• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL MITRA STTIK KUPANG EDISI 4.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JURNAL MITRA STTIK KUPANG EDISI 4.pdf"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1 Kecerdasan rohani/spiritual quo-tient, merupakan salah satu kemampuan yang ditanamkan oleh Allah dalam diri ma-nusia. Dengan kemampuan inilah, maka manusia dapat berinteraksi dan berkomu-nikasi dengan Allah. Alkitab menegaskan bahwa Allah menaruh kekekalan dalam diri manusia. “… Ia memberikan kekekalan da-lam hati mereka … Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditam-bah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia” (Pengkhotbah 3:11,14).

Akan tetapi karena manusia tidak taat dengan melanggar larangan yang telah ditetapkan oleh Allah, membuat hubungan Allah dengan manusia menjadi terputus. Dosa menghalangi atau menjadi pengha-lang bagi manusia untuk menghampiri Allah. Hal ini ditegaskan oleh Alkitab bahwa: “Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23).

Walaupun demikian, dalam jiwa dan roh manusia kerinduan akan Allah selalu ada. Hal ini ditandai dengan adanya upaya manusia dengan caranya sendiri untuk ber-

komunikasi dengan Allah. Tujuannya ialah agar manusia dimampukan untuk mengatasi kesulitan hidup yang dialaminya. Upaya ini selalu mengalami jalan buntu, karena ma-nusia berdosa tidak dapat menghampiri Allah yang suci dan kudus.

Pada bagian ini akan dipaparkan hal-hal seputar spiritual quotient, yang me-liputi pengertian spiritual quotient, elemen spiritual dan diakhiri dengan sebuah rang-kuman. Pokok-pokok tersebut akan dije-laskan secara luas di bawah ini.

Pengertian Spiritual Quotient Kecerdasan spiritual memiliki ke-kuatan untuk mentransformasi kehidupan kita. Dalam bukunya, SQ the Ultimate Intellegence, Danah Zhar penggagas istilah SQ (spiritual quotient/kecerdasan rohani), mengatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ menunjuk pada kondisi “pusat diri” dan berurusan dengan pence-rahan jiwa.

Kecerdasan spiritual adalah kecer-dasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kepe-kaan dalam melihat makna yang ada di ba-PENERAPAN PENDIDIKAN KEARAH TERCIPTANYA KESEIMBANGAN

SPIRITUAL QUOTIENT DAN EMOSIONAL QUATIENT BAGI PERKEMBANGAN ANAK

Arriyon Prata Abstrak:

Anak dalam perkembangannya sebagai pribadi yang utuh dalam pengembangan pendidikan perlu tercipta keseimbangan antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan aspek-aspek yang berhubungan dengan konsep kecerdasan spiritual dan emosional. Adapun metode yang pakai dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai kedua bentuk kecerdasan ini sehingga dalam penerapan di bidang pendidikan dapat tercapai suatu keseimbangan.

(2)

2 liknya. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan mem-beri makna positif pada setiap peristiwa, masalah bahkan penderitaan yang dialami-nya. Dengan demikian, ia mampu mem-bangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Kecerdasan spiritual tidak identik dengan agama dan kesalehan. Namun de-mikian, cara orang menjalankan ibadahnya dapat menunjukkan tingkat kecerdasan spi-ritualnya. Misalnya, orang yang beribadah karena takut (fear motivation) menun-jukkan SQ-nya rendah. Setingkat di atas-nya, dengan motivasi mendapat hadiah ( re-ward motivation). Ini menunjuk kepada sikap dan motivasi hati di mana ibadah hanya bertujuan untuk mendapatkan berkat semata. Tingkatan ketiga memahami bahwa kitalah yang butuh untuk beribadah ( inter-nal motivation). Kecerdasan spiritual ter-tinggi adalah ketika kita beribadah untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan kasih (love motivation).

Merujuk kepada apa yang dikemu-kakan di atas, maka kecerdasan spiritual da-pat dikatakan sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan peri-laku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup se-seorang lebih bermakna dibandingkan de-ngan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfung-sikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan ke-cerdasan spiritual merupakan keke-cerdasan tertinggi kita. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan serta mampu mensinergikan IQ, EQ dan SQ secara komprehensif.

Elemen Spiritual Quotient Kesadaran diri

Fakta yang utama dan pertama dari kesaksian Alkitab tentang manusia adalah bahwa ia makhluk ciptaan Allah. Hal ini perlu ditegaskan untuk menolak anggapan bahwa semua hal termasuk manusia terjadi dalam proses evolusi, dan karenanya sulit untuk memberi landasan mengapa manusia adalah makhluk pencari makna. Sebagai makhluk ia tetap makhluk dan tak pernah menjadi sama dengan khaliknya.

Apa implikasi kemakhlukkan ma-nusia? Sebagai makhluk, pertama-tama, ia tergantung kepada Allah khaliknya dan sumber kehidupannya. Namun sebagai makhluk ciptaan Allah, maka Allah ber-daulat atas hidup dan tujuan hidup manusia, karena itu manusia yang menerima makhlukkannya, akan menerima pula ke-daulatan Allah atas hidup dan tujuan hidup-nya. Itulah sebabnya, secara hakiki, ma-nusia selalu mendambakan relasi dengan-Nya.

Alkitab menggambarkan hubungan manusia dengan Allah sebagai tanah liat di tangan penjunan. Allah berhak dan berdau-lat untuk tujuan apa benda-benda atau pe-ralatan tanah liat dibuat-Nya. Demikianlah manusia di tangan Allah, tujuan hidupnya ditentukan oleh khalik-Nya. Agustinus, se-orang teolog terkenal mengatakan bahwa, “Jiwaku gelisah sampai aku menemukan kedamaian dalam Tuhan.”

Potensi/kemampuan manusia untuk berhubungan atau merespon Allah dan da-lam arti ini manusia adalah makhluk re-ligius. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah berarti bahwa manusia diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi pihak lain dengan siapa Allah berkomunikasi (menya-takan diri dan kehendak-Nya serta me-nuntut respon manusia).

(3)

3 hati Allah. Anak-anak sangat berharga bagi Allah. Pendidik mempunyai peran penting dan strategis untuk membimbing peserta di-dik supaya sadar bahwa ia sepenuhnya ada-lah ciptaan Alada-lah.

Secara alami, anak-anak dalam pers-pektif Alkitab adalah pribadi/individu yang terhilang karena dosa. Dalam konteks ini, Allah pada hakikatnya mempunyai ke-inginan untuk menyelamatkan mereka. “Karena Anak Manusia datang untuk me-nyelamatkan yang hilang… Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hi-lang” (Matius 18:11, 14). “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, te-tapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang bi-nasa, melainkan supaya semua orang ber-balik dan bertobat” (2 Petrus 3:9).

Anak-anak pada hakikatnya mati se-cara rohani. Mereka tidak mengerti dan tidak punya pengertian tentang Allah ka-rena dosa. “Kamu dahulu sudah mati kaka-rena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa-mu” (Efesus 2:1). “Karena semua orang te-lah berbuat dosa dan tete-lah kehilangan ke-muliaan Allah” (Roma 3:23). “Sebab upah dosa ialah maut…” (Roma 6:23a). “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti de-ngan manusia rohani, tetapi hanya dede-ngan manusia duniawi, yang belum dewasa da-lam Kristus. Susulah yang kuberikan ke-padamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan se-karang pun kamu belum dapat mene-rimanya” (1 Korintus 3:1-2).

Berdasarkan kebenaran firman Tuhan di atas, maka dapat dikatakan bahwa anak-anak secara total berdosa dan terpisah dari Allah. Oleh sebab itu, anak-anak harus dibimbing sampai kepada kesadaran penuh

bahwa dia adalah orang berdosa. Sebagai orang berdosa, ia tidak dapat menyela-matkan dirinya sendiri dari hukuman Allah atas dosa. Anak-anak baik secara natur/-alami maupun dalam perbuatan – se-sungguhnya dilahirkan dengan “keinginan untuk” melakukan yang salah. Mereka ber-pikir, berkata dan bertindak/berbuat yang salah. Dalam konteks ini, anak-anak dapat melawan Allah, sehingga tidak cukup baik bagi Allah.

Jadi, anak-anak harus disadarkan bahwa mereka adalah ciptaan Allah yang mulia. Pada sisi lain, mereka juga orang berdosa. Karena dosa menjadi terpisah dari Allah. Itu sebabnya mereka membutuhkan keselamatan.

Injil adalah jalan Allah yang benar untuk menyelamatkan orang berdosa. Ini merupakan anugerah Allah yang disediakan melalui salib Yesus. Ini merupakan jalan keluar Allah terhadap kesulitan manusia. Jadi, Injil adalah berita yang menyatakan kabar sukacita dari Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi juruselamat dunia satu-satunya. Dia rela mengambil hukuman dosa manusia di kayu salib. Allah meletakkan dosa manusia pada-Nya. Yesus memberi-kan darah-Nya untuk manusia. Dia mati tetapi tidak mati selamanya. Dia bangkit lagi dan menjadi Imam Besar orang per-caya. Tanpa Dia, manusia tidak akan ber-kenan kepada Allah. Hanya melalui Dia, manusia dapat sampai kepada Bapa di sor-ga. “Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada se-orang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). 1. Pandangan luas

(4)

pendi-4 dikan tersebut, anak-anak akan dilengkapi dengan pengetahuan yang memadai, se-hingga dapat bersaing dalam berbagai bi-dang dan lapangan kehidupan.

Pengetahuan adalah modal atau aset utama bagi setiap orang untuk berkarya da-lam hidupnya. Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, akan membuat dia berwawasan yang luas. Pengetahuan juga sangat perlu untuk berkembang, baik pe-ngetahuan khusus (rohani) maupun umum serta pengetahuan tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam hidup.

Orang yang memiliki pengetahuan dan berpandangan luas ditandai dengan be-berapa hal yaitu: pertama, ia memahami ba-gaimana ia menggunakan pikirannya de-ngan baik; kedua, ia memahami dengan baik kegunaan serta manfaat berpikir pro-aktif (pro-aktif positif) dan sinergetik; ketiga, ia memahami bagaimana berpikir lengkap, tersistem/ bertahap serta menggunakan pi-kirannya untuk berpikir terencana atau stra-tegis; keempat, ia memahami bagaimana berpikir cermat dan tepat yang membantu dirinya untuk membuat penaksiran/per-kiraan serta keputusan yang tepat pula; ke-lima, dengan cara berpikir semacam itu, maka dengan sendirinya ia dianggap atau disebut berpengetahuan dan berpandangan yang luas.

Berdasarkan uraian di atas, maka se-seorang dituntut untuk mengelola piki-rannya secara efektif dan diaplikasikan da-lam praktik hidup dengan tepat dan benar. Dengan kebiasaan sikap berpikir dan ber-tindak seperti itu, maka akan menempat-kannya sebagai individu/pribadi berkom-peten yang pengetahuan dan pandangannya melebih dari orang lain. Pada sisi lain, pengetahuan dan pandangan yang luas akan memampukan seseorang untuk berhasil dalam hidup, bertanggung jawab, sehingga pada gilirannya kualitas hidup meningkat,

prestasi kerjanya akan tinggi, mandiri dan hidupnya mapan.

Untuk memiliki pandangan yang luas, seseorang dituntut untuk banyak mem-baca, bergaul luas dengan banyak orang. Dengan begitu ia akan tahu banyak hal walaupun ia bukan maha tahu.

Wadah pendidikan adalah tempat yang sangat baik bagi seorang anak untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperolehnya inilah yang akan men-jadi modal penting bagi masa depannya. Dalam konteks ini pun, anak-anak bukan saja mendapatkan pengetahuan umum, te-tapi juga memperoleh pengajaran rohani. Jadi, peserta didik dibekali dengan penge-tahuan yang komprehensif.

Sejujurnya apa yang dibentangkan di atas, adalah model pendidikan yang ideal. Artinya, pendidikan bukan saja ada untuk mengisi otak peserta didik dengan berbagai macam pengetahuan umum, namun pen-didikan hadir untuk memberikan pence-rahan bagi jiwa peserta didik tentang Allah sebagai Penciptanya.

Makna dari pandangan yang luas ar-tinya ialah peserta didik mampu untuk men-terjemahkan dan menerapkan nilai-nilai pendidikan yang diperolehnya selama me-ngikuti proses pembelajaran di sekolah. Da-lam frame inilah tujuan pendidikan boleh dikatakan berhasil, yang pada gilirannya menjadi jembatan yang luar biasa bagi pembangunan sumber daya manusia ke de-pan.

Peserta didik memiliki pandangan luas, sebenarnya tidak terlepas dari peran guru. Dikatakan demikian, karena guru adalah pengasuh kunci di dalam hidup pe-serta didik. Pendidik menyediakan keama-nan sosial, emosional, moral, etika, dan spi-ritual bagi anak didiknya.

(5)

5 signifikan bagi perkembangan dan kema-juan anak didik karena gurulah yang mam-pu memandu anak didik belajar membaca, menulis, berpikir dan membaca kata-kata untuk memahami dunia. Oleh karena itu, guru dalam konteks ini pun memiliki tang-gung jawab besar, baik secara sosial, moral, etika dan spiritual untuk mencerdaskan anak-anak didiknya.

2. Moral tinggi

Proses pembentukan moral pada se-tiap peserta didik tidak pernah selesai. Bah-kan sejak dari dalam Bah-kandungan sampai ak-hir hayat, proses pembentukan ini adalah bagian dari pendidikan yang dialami oleh peserta didik, baik di rumah, sekolah, gereja dan masyarakat.

Ketika berbicara tentang moral, tentu saja itu harus dihubungkan dengan pembi-caraan tentang manusia yang adalah ciptaan Allah. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang tertinggi, manusia memiliki nilai-nilai mo-ral dalam dirinya. Nilai-nilai momo-ral ini ter-cermin dalam sikap jujur, setia, tulus, ber-tanggung jawab, sopan, saling menghargai-menghormati dan saling mengasihi.

Nilai-nilai moral di atas, tidak secara otomatis berkembang secara maksimal da-lam kehidupan seseorang. Nilai-nilai terse-but harus ditanamkan dan diajarkan dengan baik dan benar. Allah sangat serius terhadap pembentukan moralitas umat-Nya. Hal ini terlihat dalam perintah-Nya yang tegas ke-pada Musa dalam Ulangan 6:4-9: “De-ngarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan de-ngan segenap jiwamu dan dede-ngan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepa-damu pada hari ini haruslah engkau per-hatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam

perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga eng-kau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lamban di dahimu, dan haruslah engkau menulis-kannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Kebenaran firman Allah di atas menegaskan bahwa tanggung jawab dalam pembentukan moral anak-anak, Allah serahkan kepada orang tua sebagai pengajar utama dalam sekolah keluarga sebagai komunitas terkecil dalam masyara-kat. Nilai-nilai moral terbentuk dimulai dari keluarga. Kejujuran, rasa tanggung jawab, kepedulian, empati, kesetiaan, ketulusan, keiklasan, kasih sayang, rasa kecintaan, keadilan, menghargai dan menghormati, serta sifat-sifat moral yang lainnya mulai terbangun dari lingkungan keluarga, bahkan sejak anak-anak masih dalam kandungan.

Oleh karena itu, antara keluarga dan guru perlu adanya sinergi dalam upaya membentuk nilai-nilai moral dalam kehi-dupan anak-anak. Bila hal tersebut berhasil dilakukan dengan baik, maka dengan sen-dirinya akan terbentuk sumber daya manu-sia yang bermoral tinggi.

(6)

mem-6 punyai keabsahan yang lebih luas; kelima, kesadaran etis berorientasi pada akal, hu-kum/peraturan perlu dikritisi, akal manusia mempunyai fungsi kreatif, ia menciptakan yang lebih benar dan lebih baik. Dalam ke-hidupan beragama itu berarti bahwa bukan tradisi dan dogma gereja yang paling pen-ting tetapi iman yang dapat menilai apakah dogma dan tradisi gereja itu masih benar?; keenam, pemikiran moral seseorang men-capai puncaknya, yaitu moralitas yang ber-pusat pada suara hati nurani dan keyakinan tentang yang baik dan benar.

3. Optimisme dalam segala hal

Globalisasi telah melanda berbagai dimensi kehidupan dan dampaknya sangat signifikan bagi kehidupan secara umum. Ada pengaruh positif, namun ada pula yang negatif. Globalisasi ini juga berdampak terhadap kehidupan keluarga.

Anak-anak menghadapi tantangan hidup yang lebih berat dari dekade sebe-lumnya. Tantangan berat ini dimulai se-menjak masa sekolah hingga kompetisi di dunia kerja setelah anak dewasa.

Jika tantangan-tantangan tersebut ti-dak dihadapi dengan ketangguhan jiwa, da-pat menyebabkan stres dan depresi berke-panjangan. Depresi dan stres tingkat tinggi ini dapat mendorong anak untuk terjerumus dalam berbagai kecenderungan negatif, se-peti bunuh diri, kebebasan seks, aborsi dan kecanduan narkoba.

Ketangguhan jiwa adalah kemam-puan menghadapi rintangan dan tantangan secara efektif. Ketangguhan jiwa juga ber-arti kemampuan bertahan di masa-masa su-lit dengan tetap memiliki keyakinan bahwa dirinya akan berhasil. Inilah yang dina-makan optimis. Anak-anak yang mampu bersikap optimis adalah anak yang memiliki kecerdasan optimis yang tinggi. Kekuatan inilah yang dibutuhkan anak-anak di masa-masa penuh tantangan global ini.

Jika anak-anak tidak memiliki ke-tangguhan jiwa dan tidak berhasil melalui tantangan yang menghadangnya, maka fe-nomena yang akan terjadi sungguh mengiris hati sebagai orang tua. Fenomena dimaksud antara lain, bunuh diri, aborsi, seks pra-nikah dan kehamilan yang tidak dikehen-daki dan narkoba, HIV/AIDS, dan depresi.

Optimisme merupakan kekuatan yang sangat penting bagi kehidupan anak di masa depan. Optimisme akan membuat anak mampu melihat masalah sebagai tan-tangan yang harus dipecahkan.

Optimisme merupakan fasilitator da-ri sebuah kompetensi kecerdasan emosional seseorang. Seperti putaran roda, optimisme akan menggerakkan kompetensi EQ lain-nya, seperti kreativitas, fleksibilitas, ketang-guhan dan intuisi. Artinya, optimisme ada-lah energi yang menggerakkan potensi EQ anak. Optimisme menjadi pendorong ber-kembangnya kekuatan kecerdasan emo-sional lainnya.

Tanpa optimisme, anak-anak akan mudah menyerah sebelum benar-benar ber-usaha keras. Akibatnya, acap kali anak ka-lah sebelum bertanding, dan mereka tidak berdaya menghadapi berbagai tantangan da-lam hidupnya.

Optimisme memotivasi terciptanya pemecahan masalah yang lebih baik dan produktif bagi anak-anak. Dikatakan demi-kian, karena emosi-emosi positif akan me-luaskan dan menjernihkan pemikiran anak-anak. Tetapi sebaliknya, emosi-emosi nega-tive menutup pemikiran dan membatasi kemampuan anak untuk melihat berbagai alternative solusi masalah tersebut.

(7)

meme-7 cahkan tantangan dan kebuntuan dalam hi-dup dengan sukses.

Anak-anak yang optimis lebih mam-pu menyeimbangkan emosinya ketimbang anak yang pesimis. Orang yang optimis dapat menghadapi tekanan hidup secara lebih baik. Mereka juga dapat pulih lebih cepat dari kesedihan dan memiliki keyaki-nan akan berhasil mengalahkan setiap ham-batan. Karena itu anak menjadi manusia yang tangguh. Mereka mampu berkelit lam kesulitan dan menjadi pengendali da-lam hidupnya sendiri.

Anak yang optimis melihat peristiwa buruk sebagai sesuatu yang acak, nasib buruk, tidak berhubungan dengan karakter mereka dan menganggap peristiwa buruk tersebut mungkin akan terjadi. Anak yang pesimis melihat peristiwa buruk sebagai hal yang permanen, menyeluruh dan khusus terjadi pada dirinya. Mereka juga menyim-pulkan bahwa peristiwa buruk tersebut ter-jadi karena karakter mereka sendiri dan oleh karenanya akan terjadi lagi di masa de-pan.

Anak yang optimis menjalani kehi-dupan yang lebih bahagia ketimbang anak yang pesimistis. Anak yang optimis tahan terhadap depresi, memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengembangkan potensi diri, tangguh dalam menghadapi kesulitan dan menikmati kesehatan lebih baik. Me-reka juga menikmati kepuasan yang lebih maksimal dari kesuksesannya, karena ada-nya keyakinan diri dan kepercayaan kepada Allah bahwa mereka dapat mencapai keber-hasilan dan mereka tetap yakin bahwa me-reka juga akan mencapainya lagi.

A. Rangkuman

Kecerdasan spiritual sebagai lan-dasan penting untuk menjawab kebutuhan rohaniah dan mengisi kekosongan batin seseorang. Kecerdasan ini pula yang me-mampukan seseorang untuk memberi

mak-na positif dalam setiap situasi hidup yang dialaminya. Kecerdasan spiritual adalah ke-cerdasan yang mengangkat fungsi jiwa se-bagai perangkat internal diri yang memiliki kepekaan dalam melihat makna yang ada di baliknya. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan mem-beri makna positif pada setiap peristiwa, masalah bahkan penderitaan yang di-alaminya. Dengan demikian, ia mampu membangkitkan jiwa dan melakukan per-buatan dan tindakan yang positif.

Kecerdasan spiritual seseorang akan terlihat dalam beberapa elemen pen-ting yang mendukung perkembangan karak-ter rohaninya. Pertama, kesadaran diri dan pengenalan serta penghargaan terhadap diri semakin tinggi, di mana seseorang akan memandang dirinya sebagai ciptaan Allah dan sangat berharga. Kedua, pandangan yang luas atau berwawasan yang luas. De-ngan wawasan yang memadai dan luas, membuat seseorang ketika diperhadapkan dengan berbagai masalah dan situasi hidup sulit, tidak gampang putus asa atau me-nyerah. Ketiga, karakter moral yang ber-kualitas, ditandai dengan sikap hidup yang jujur, setia, peduli dan menghargai serta menghormati sesama, menegakkan kebe-naran dan keadilan. Keempat, optimis da-lam berbagai hal, artinya seseorang yang memiliki sikap hidup yang optimis akan berjuang terus sampai yang diperjuangkan-nya itu berhasil.

SEKILAS TENTANG EMOTIONAL QUOTIENT

Emosi adalah salah satu unsur yang terdapat dalam diri mansuai. Unsur ini sesungguhnya diberikan oleh Allah. Tu-juannya ialah agar manusia dapat bereaksi terhadap berbagai situasi dan kondisi yang ada di sekelilingnya.

(8)

se-8 bagai pencipta manusia. Dikatakan de-mikian, karena dalam sepanjang sejarah suci Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menunjukkan emosi-Nya dengan kemarahan yang dahsyat atas setiap dosa dan kejahatan manusia. Pada sisi lain, Allah juga menunjukkan kasih dan belas kasihan-Nya yang mendalam kepada ma-nusia.

Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal seputar emotional quotient, yang me-liputi pengertian emotional quotient, ele-men emotional quotient dan diakhiri dengan sebuah rangkuman. Topik-topik tersebut se-cara sistematis dan luas akan dijelaskan di bawah ini.

Pengertian Emotional Quotient

Pada umumnya manusia dilahirkan dengan sejumlah dinamika hidup yang luar biasa. Salah satu dinamika hidup manusia itu adalah emosi yang dimilikinya. Kalau begitu, pertanyaan yang patut diajukan ia-lah sesungguhnya apakah emosi itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata emosi mempunyai arti sebagai: “Luapan perasaan yang ber-kembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (spt kegembiraan, kesedihan, keharuan, ke-cintaan); keberanian yang bersifat sub-jektif.”1

Dalam makna yang paling harfiah, Oxford English Dictionary yang dikutip oleh Daniel Goleman mendefinisikan emosi sebagai, “Setiap kegiatan atau pergolakkan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.”2

Lebih lanjut, Daniel Goleman mem-beri makna kepada emosi itu sebagai: “Sua-tu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya,

1

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 298.

2

Daniel Goleman, Emotional Intellegence, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 411.

suatu keadaan biologis dan psikologis dan rangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan cam-puran, variasi, mutasi, dan nuansanya.”3 Di sini, emosi dilihat sebagai perpaduan se-luruh keberadaan manusia secara total. Emosi dipengaruhi oleh suasana hati, si-tuasi dan kondisi baik bersifat internal maupun ekstenal. Situasi dan kondisi inter-nal dan eksterinter-nal ini akan sangat menen-tukan besar-kecilnya dan tinggi-rendahnya tingkat emosional seseorang.

Para teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang golongan itu. Golongan-golongan dimaksud yaitu:

1. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, ter-ganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barang kali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.

2. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi pa-tologis, depresi berat.

3. Rasa takut: cemas, takut, gugup, kha-watir, was was, perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologi fobia dan panik.

4. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa ter-pesona, rasa puas, rasa terpenuhi, ke-girangan luar biasa, senang sekali, dan batas ujungnya manusia.

5. Cinta: penerimaan, persahabatan, ke-percayaan, kebaikan hati, rasa dekat, hormat, kasmaran, kasih.

(9)

9 6. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub,

ter-pana.

7. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

8. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, kesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

Masing-masing kelompok tersebut di atas, mempunyai inti emosi dasar di titik pusatnya, dengan kerabat-kerabatnya me-ngembang ke luar dari titik pusat tersebut dalam proses mutasi yang tak berujung. Tepi luar “lingkaran emosi” diisi oleh suasana hati yang secara teknis, lebih ter-sembunyi dan berlangsung jauh lebih lama daripada emosi. Di luar suasana hati itu terdapat temperamen, yaitu kesiapan untuk memunculkan emosi tertentu atau suasana hati tertentu yang membuat orang menjadi murung, takut, atau bergembira. Dan, di luar bakat emosional semacam itu, ada juga gangguan emosi seperti depresi klinis atau kecemasan yang tidak kunjung redah, yaitu ketika seseorang merasa terus menerus ter-jebak dalam keadaan memedihkan. A. Elemen Emotional Quotient

Kecerdasan emosi manusia dibangun di atas beberapa elemen. Elemen-elemen tersebut turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi setiap individu. Elemen-elemen dimaksud yaitu: pemahaman emosi diri, pengaturan emosi, motivasi diri, emosi orang lain dan membina relasi. Bagian-bagian dari elemen tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1. Pemahaman emosi diri

Pemahaman emosi diri, sesungguh-nya mengacu kepada pengenalan akan diri sendiri. Pengenalan akan diri sendiri ini me-nunjukkan inti kecerdasan emosional yaitu kesadaran akan perasaan sendiri ketika pe-rasaan itu muncul. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi, be-reaksi secara berlebihan dan melebih-lebih-kan suatu persoalan. Kesadaran diri lebih

merupakan modus netral yang memper-tahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi.

Dalam kondisi terbaik, pengamatan dan pemahaman akan emosi diri, memung-kinkan adanya semacam kesadaran yang mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak, sehingga seseorang dapat me-nguasai dan mengendalikan dirinya dengan tepat, baik dan benar. Tetapi sebaliknya, bila emosi berada dalam kondisi terendah, seseorang dapat saja tidak mampu mengontrol dan menguasai emosinya.

Setiap individu dituntut untuk mema-hami dan mengenal serta merasakan emosi-nya sendri. Dengan begitu, ia lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul baik dari dalam diri sendiri (internal) mau-pun dari luar dirinya (eksternal). Dalam konteks inilah setiap individu dapat ber-kembang kecerdasan emosinya. Kesadaran akan emosi merupakan kecakapan emosio-nal dasar yang melandasi terbentuknya ke-cakapan-kecakapan lain, seperti kendali diri akan emosi.

Mengenali dan memahami emosi sendiri akan memampukan seseorang untuk membedakan perasaannya dengan tindakan yang dilakukannya. Artinya seorang anak dalam memberi respons terhadap setiap si-tuasi tidak lagi mengikuti emosinya tetapi lebih kepada pertimbangan yang sehat dan bertanggung jawab.

2. Pengaturan emosi

(10)

10 baik dari dalam hati (internal) maupun dari orang lain (eksternal).

Emosi perlu dikelola dengan baik dan benar. Dengan mengelola emosi, ten-tunya ada dampak positif yang diperoleh. Dampak positif dimaksud antara lain: per-tama, ejekan verbal, perkelahian, dan gang-guan di ruang kelas mampu diselesaikan de-ngan cerdas; kedua, lebih mampu mengung-kapkan amarah dengan tepat, tanpa ber-kelahi; ketiga, berkurangnya larangan ma-suk sementara dan skorsing, artinya tingkat kenakalan anak-anak menjadi relative kecil atau minimal; keempat, berkurangnya pe-rilaku agresif atau merusak diri sendiri, lebih mengenal diri sebagai berharga; ke-lima, perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga; keenam, lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa; ketujuh, berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan, interaksi so-sial menjadi optimal dan mantap.

3. Motivasi diri

Setiap anak membutuhkan dukungan dan motivasi baik dari orang tuanya mau-pun oleh nara didik/gurunya serta teman-temannya. Menurut penelitian anak yang mendapat dukungan dan motivasi cende-rung lebih bersemangat dalam berkompetisi dan memiliki kepercayaan diri lebih tinggi, ketimbang anak yang tidak mendapat du-kungan dari orang tua dan guru serta teman-temannya. Acap kali anak mendapat kesu-litan dan hambatan dalam usahanya, namun dukungan dan motivasi orang tua dan guru serta teman-temannya, membuatnya lebih percaya diri, seolah-olah dia mendapatkan enegi baru untuk menghancurkan hambatan yang dihadapinya. Anak-anak yang men-dapatkan dukungan dari orang tuanya dan gurunya lebih optimis memandang hidup-nya. Sebaliknya, anak yang tidak menda-patkan dukungan dan motivasi dari orang

tua dan gurunya cenderung mudah putus asa dan pesimis.

Dukungan orang tua dan guru ke-pada anak-anak, menjadi kekuatan bagi anak-anak untuk berkompetisi. Pada sisi lain, orang tua dan guru menjadi teladan ba-gaimana bersikap optimis dalam mengha-dapi berbagai tantangan.

Anak-anak yang mendapatkan asu-pan motivasi yang memadai dan berkua-litas, maka mereka akan menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab dalam hidup dan bagi masa depannya. Lebih mampu me-musatkan perhatian pada tugas yang di-kerjakan dan tidak akan menyerah sampai yang dia kerjakan itu berhasil. Kurang im-pulsive, lebih menguasai diri. Nilai pada tes-tes prestasi menjadi maksimal atau me-ningkat.

Kemampuan memotivasi diri dan membimbing diri sendiri, entah dalam me-lakukan pekerjaan rumah (PR), menyele-saikan suatu pekerjaan atau bangun tidur di pagi hari. Kemampuan menunda pemuasan serta mengendalikan dan menyalurkan dorongan seseorang untuk bertindak merupakan keterampilan emosional. Itulah kegunaan dari memotivasi diri yang dilaku-kan dengan baik, berkualitas dan optimal. 4. Emosi orang lain

Pada hakikatnya kecerdasan emosi se-seorang, sesungguhnya turut dipengaruhi oleh kondisi emosi orang lain. Emosi orang lain berperan sebagai stimulus yang me-mancing respon dari anak-anak. Jika emosi yang diperlihatkan oleh pihak lain/orang lain itu positif, maka pasti akan disambut dengan positif pula. Tetapi jika emosi yang diperlihatkan oleh pihak lain itu meledak-ledak dan bersifat negatif, pasti hal itu pun akan dibalas dengan emosi yang negatif juga.

(11)

me-11 nyikapi emosi orang lain, sehingga kita ti-dak terpancing dan ikut mengamuk bila mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang lain.

Dengan memahami emosi orang lain, maka ada keuntungannya. Keuntungan di-maksud antara lain: pertama, lebih mampu menerima sudut pandang orang lain secara bijaksana dan positif; kedua, tentunya hal tersebut akan memperbaiki empati dan ke-pekaan terhadap perasaan orang lain, ting-kat kepedulian terhadap orang lain semakin tinggi dan tidak memaksakan kehendak; ketiga, lebih baik dalam mendengarkan orang lain, menjadi pendengar yang baik terhadap pernyataan-pernyataan orang, se-hingga respon yang diberikan pun manjadi positif.

5. Membina relasi

Menurut Abraham Maslow dalam piramida kebutuhan dasar manusia, dijelas-kan bahwa salah satu kebutuhan manusia ialah kebutuhan bersosial atau membangun hubungan dengan orang lain. Oleh sebab itu anak-anak perlu diajarkan cara bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain secara tepat dan benar. Karena bila tidak diajarkan, maka bisa merusak karakternya. Alkitab mengatakan dengan tegas bahwa: “Jangan-lah kamu sesat: Pergaulan yang buruk me-rusakkan kebiasaan yang baik” (I Korintus 15:33).

Dengan memberikan pembinaan yang baik kepada anak-anak berkaitan re-lasinya dengan orang lain, maka tentunya akan membawa pengaruh yang positif ter-hadap karakter anak-anak didik. Keun-tungan yang didapat oleh anak-anak didik antara lain yaitu: pertama, meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan dengan orang lain; kedua, lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan dengan orang lain; ketiga, lebih mantap dalam

menyele-saikan persoalan yang timbul dalam hu-bungan dengan sesamanya; keempat, lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi; kelima, lebih popular dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman se-baya; keenam, lebih dibutuhkan oleh teman sebaya; ketujuh, lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa; kedelapan, lebih me-mikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok; kesembilan, lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka meno-long; kesepuluh, lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

Mampu mengesampingkan fokus dan dorongan hati yang berpusat pada diri sendiri mempunyai manfaat sosial di mana tindakan itu membuka jalan bagi empati, untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh, untuk menerima sudut pandang orang lain. Empati sebagaimana telah kita ketahui dan lihat yaitu menjurus kepada ke-pedulian, mementingkan orang lain dan be-las kasihan.

Melihat segala sesuatu dari titik pandang orang lain memecahkan anggapan umum yang melenceng, dan dengan de-mikian, menimbulkan toleransi dan kemam-puan menerima perbedaan. Kemamkemam-puan ini semakin dibutuhkan dalam masyarakat kita yang semakin beranekaragam, sehingga memungkinkan orang untuk hidup bersama-sama dengan saling menghormati dan men-ciptakan kemungkinan pembahasan umum secara produktif.

B. Rangkuman

(12)

pena-12 laran logis berfungsi untuk mengantisipasi dorongan-dorongan keliru, untuk kemudian menyelaraskannya dengan proses kehidu-pan dengan sentuhan manusiawi. Di sam-ping itu, emosi pun ternyata salah satu ke-kuatan penggerak: “Bukti-bukti menunjuk-kan bahwa nilai-nilai dan watak dasar se-seorang dalam hidup ini tidak berakar pada kecerdasan intelektual tetapi pada kemam-puan emosionalnya.

Kecerdasan emosi terlihat dalam be-berapa elemen utama. Elemen-elemen di-maksud antara lain: pertama, pemahaman emosi diri, artinya seseorang dapat merasa-kan dan memahami serta menguasai emo-sinya dengan baik dan benar; kedua, emosi seseorang perlu dikelola secara benar dan bertanggung jawab, karena di sini ukuran kedewasaan emosinya. Bila emosi tidak di-kelola dengan benar, maka akan menjadi liar dan merugikan diri sendiri dan juga lingkungan serta orang lain; ketiga, mo-tivasi diri menunjuk kepada sikap hati se-seorang dalam memberi respons terhadap berbagai peristiwa dan aktivitas hidup se-hari-hari. Seseorang yang memiliki ke-sehatan emosi dapat memberi dorongan bagi diri untuk menyelesaikan suatu tugas dengan maksimal walaupun di bawah te-kanan; keempat, emosi orang lain turut mempengaruhi perkembangan emosi se-seorang karena hal itu merupakan suatu stimulus yang datang dari luar dirinya. Oleh karena itu, seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain, perlu menempatkan diri secara tepat dan benar ketika berada di an-tara sesamanya, sehingga tidak terpancing dengan emosi negative dari orang lain itu; kelima, membina relasi dengan orang lain sangat penting dalam rangka me-ngembangkan kecerdasan emosional. Ka-rena biar bagaimana pun, orang lain juga tu-rut memberi kontribusi bagi kemajuan posi-tif dari emosi kita.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPE-NGARUHI SPIRITUAL QUOTIENT – EMOTIONAL QUOTIENT ANAK BA-LITA

Perkembangan dan kemajuan kecer-dasan emosional dan kecerkecer-dasan spiritual seseorang turut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor dimaksud ialah faktor internal maupun faktor eksternal. Kedua faktor ini sangat potensial dalam memberi-kan kontribusi bagi perkembangan kecerda-san emosional dan juga spiritual.

Pada bagian ini akan menyoroti faktor-faktor tersebut yang meliputi usia anak, lingkungan sebagai konteks di mana anak-anak mendapat asupan nutrisi bagi ke-sehatan emosi dan spiritualnya, perkem-bangan anak sebagai dinamika hidup yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan hu-bungan sosialnya, pendidikan sebagai wa-dah pembentukan karakter, moral dan spi-ritual. Pada akhirnya semua pembahasan tersebut akan diakhiri dengan sebuah rang-kuman.

A. Usia Anak

Perkembangan kecerdasan emosi (Emotional Quotient) dan kecerdasan ro-hani (Spiritual Quotient) pada seorang anak sangat ditentukan oleh usianya. Artinya ke-cerdasan emosi dan rohani tidak langsung terbentuk dalam diri seorang anak ketika ia dilahirkan ke dunia ini. Ada proses yang harus dilalui oleh setiap anak.

Kemampuan merasa, memahami dan mengelola emosi serta rohani secara efektif dan berkualitas akan meningkat se-iring dengan bertambahnya usia seorang anak. Setiap pertambahan usia seorang anak, maka pada setiap level tersebut terjadi pertambahan kecerdasan emosi dan rohani. B.Faktor Lingkungan

(13)

13 faktor lingkungan. Lingkungan pertama yang memiliki peranan penting dalam pro-ses ini ialah lingkungan keluarga.

Pola asuh dan pola asah orang tua sangat menentukan dinamika perkem-bangan kecerdasan emosi dan rohani dari seorang anak. Anak-anak yang mendapat kasih sayang dan perhatian dari orang tua-nya memiliki tingkat pertumbuhan kecer-dasan yang sangat baik. Tapi sebaliknya, bila anak-anak kurang atau tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari orang tua-nya, maka tingkat kecerdasannya emosi dan rohaninya sangat rendah pertumbuhannya bahkan cenderung negatif.

Oleh karena itu keharmonisan hu-bungan dalam keluarga/rumah tangga an-tara orang tua dan anak sangat penting pe-ngaruhnya terhadap perkembangan emosi dan kerohanian pada anak-anak. TUHAN Allah memberi perintah kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya dalam se-luruh aktivitas hidup. “Apa yang kupe--rintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau menga-jarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila eng-kau duduk di rumahmu, apabila engeng-kau se-dang dalam perjalanan, apabila engkau sedang berbaring dan apabila engkau ba-ngun. Haruslah juga engkau mengikatkan-nya sebagai tanda pada tanganmu dan ha-ruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ulangan 6:6-9).

Kebenaran firman Tuhan di atas memberikan penegasan bahwa betapa stra-tegisnya peran orangtua dalam pemben-tukan moral, karakter dan spiritual bagi seorang anak. Dalam perspektif Tuhan, orangtua merupakan guru utama, pertama dan terpenting bagi seorang anak. Bila orangtua melaksanakan tugasnya secara

tepat, benar dan baik, maka akan terbentuk suatu generasi ilahi yang akan memberi dampak yang positif bagi kemaslahatan dunia ini. Anak-anak yang mendapatkan bimbingan dan arahan yang tepat, akan menjadi orang dewasa yang memiliki nilai-nilai yang jelas, mereka akan memberikan sumbangan positif bagi komunitas mereka sambil memupuk kedamaian batin.

Di sisi lain, orang tua pun akan me-nikmati hidup yang damai, sejahtera dan penuh sukacita. Alkitab mengatakan: “Di-diklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Amsal 29:17). Banyak orang tua jaman sekarang, yang karena tuntutan hidup harus bekerja, sehingga ku-rang menghabiskan cukup waktu dengan anak-anaknya. Anak menjadi tidak terlatih untuk mengkomunikasikan maksud dan pendapatnya. Hal ini menyebabkan anak kehilangan rasa percaya diri.

Tujuan perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak ialah memberikan anak-anak arah, harapan dan tujuan yang dapat mereka jadikan pe-gangan dalam menghadapi tantangan hidup dan kesibukan. Harga diri, pemberdayaan dan keutuhan adalah jalan yang membim-bing pada kehidupan yang berhasil, efektif dan produktif.

(14)

se-14 bagai pribadi yang dikasihi dan dihargai Tuhan.

C.Faktor Perkembangan Anak

Kecerdasan emosi dan spiritual pada anak akan terbentuk pada usia dini ketika anak bercermin pada cara orang di sekitar mereka mengekspresikan perasaan dan me-nyelesaikan konflik. Kecerdasan emosi dan spiritual pada anak belum mendapatkan po-la yang tetap hingga usia 15 tahun. Tingkat kecerdasan emosi dan spiritual pada anak dapat menurun apabila ia mengalami peno-lakan sosial. Masa anak-anak adalah saat yang penting bagi perkembangan ketajaman dan kecerdasan emosi dan spiritualnya. Hal itu akan memengaruhi kemampuan belajar anak dan secara langsung berdampak pada kebahagiaan mereka ketika dewasa.

Secara khusus pada tahun-tahun pra-sekolah, orangtua, sanak keluarga dan sau-dara kandung sangatlah memengaruhi ke-mampuan anak dalam mengelola emosi dan juga tingkat perkembangan spiritualitasnya. Karena anak-anak menyerap pengaruh eks-ternal yang akan merefleksikan jiwa dari pribadi yang paling dominan dalam ke-luarga.

Asupan kasih sayang yang diperoleh seorang anak, turut menentukan peningka-tan kecerdasan emosi dan spiritualnya. Di sini, peran orang tua dalam menciptakan ra-sa aman dan nyaman bagi anak punya pe-ngaruh yang signifikan. Lalu anak yang merasa dilindungi, diperhatikan (minat, ke-inginan, pendapat), diberi contoh yang baik, dibantu, dimotivasi, dihargai, pe-nuh ke-gembiraan dan koreksi (bukan ancaman/hu-kuman), sangat berpotensi menjadi anak yang berprestasi baik dan memiliki karakter yang berkualitas.

D. Faktor Pendidikan

Pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia. Artinya pendidi-kan berfungsi untuk membentuk peserta

(15)

15 dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.

Pendidikan merupakan sebuah pen-dekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembentuk, pembebasan dan pencerdasan peserta didik dari ranah tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan adalah pembebasan pe-serta didik dari ketertutupan menuju bukaan, dari ketertiduran menuju keter-bangunan dalam menyikapi realitas hidup dan sosialnya, dari pesimisme menuju op-timisme dalam membangun diri dan masa depan yang lebih baik. Dengan pendidikan, peserta didik dapat dikelola sikap, perilaku dan tindakannya. Pada sisi lain, pendidikan juga adalah suatu upaya untuk mendorong peserta didik meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritualnya. Yang jelas, pendi-dikan sebagai wadah untuk mentrans-formasi guna mewujudkan peserta didik yang terlepas dari kehancuran moral, etika dan sosialnya. Transformasi yang dimak-sudkan ialah mengupayakan sebuah peru-bahan secara mendasar dan radikal terhadap segala tatanan dan perilaku hidup peserta didik. Transformasi itu mencakup peru-bahan mendasar pola berpikir, bersikap dan bertindak dari seorang peserta didik, me-nuju kepada tingkat kehidupan yang lebih cerdas, berkualitas dan unggul baik secara emosi maupun rohaninya.

Pendidikan merupakan media untuk mengajarkan kepada peserta didik untuk sa-ling menghargai satu dengan yang lainnya. Dalam pendidikan, terkandung ajaran-aja-ran beretika menjalani hidup yang sebe-narnya. Artinya, peserta didik menjadi pribadi yang cerdas bukan saja secara in-telektual, tapi juga emosi dan rohaninya. Inilah muara yang harus dicapai oleh suatu proses pendidikan yang ditempuh oleh se-orang peserta didik.

E. Rangkuman

Perkembangan dan peningkatan ke-cerdasan emosional dan spiritual pada se-orang anak sebagai peserta didik dipe-ngaruhi oleh berbagai macam faktor. Se-perti faktor internal dan juga eksternal. Faktor internal antara lain usia anak dan perkembangannya yang mencakup pening-katan fungsi-fungsi sensorik, motorik, kok-nitif, komunikasi, emosi-sosial, kemandi-rian, kreativitas, kerjasama dan kepemim-pinan, moral dan spiritual. Faktor internal lainnya lagi yaitu kebutuhan anak semacam nutrisi (kandungan gizinya), imunisasi (yang menjadi kekebalan atau daya tahan tubuhnya terhadap serangan berbagai pe-nyakit), kebersihan badan dan lingkungan, kasih sayang, rasa aman dan nyaman, peng-hargaan, motivasi, penuh kegembiraan serta stimulus yang diterima. Semua faktor in-ternal tersebut punya pengaruh besar ter-hadap totalitas perkembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak.

Faktor eksternal juga tidak kalah penting pengaruhnya dalam bagian dari pe-ningkatan dan perkembangan kecerdasan emosi dan spiritual pada anak. Faktor eks-ternal dimaksud yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan ma-syarakat.

Orangtua dan orang dewasa lain yang menjadi sosok penting dan strategis bagi anak, berperan besar dalam meletakan dasar/fondasi yang kokoh/kuat bagi terca-painya peningkatan dan perkembangan ke-cerdasan emosiona dan spiritual pada anak. Sebelum anak membangun hubungan de-ngan orang lain, mereka membangun hu-bungan dengan orang tua dan keluarganya.

(16)

ling-16 kungan yang mengaplikasikan prinsip-prin-sip tersebut. Orang tua mampu menentukan batas-batas secara tegas dan memastikan tindakan anak tidak merugikan dirinya dan juga orang lain.

Orang tua dan nara didik dapat mengajar anak/peserta didik untuk mem-perlakukan orang lain dengan ramah dan hormat serta penuh kasih. Dengan men-jalani peran sebagai orang tua yang ramah dan pendidik/guru yang menghormati, ma-ka memberi kesempatan/ peluang kepada anak membangun sikap dan cara yang sama.

Bila hal di atas dilakukan secara konsisten dan penuh komitmen oleh orang tua dan pendidik/guru, maka akan terbentuk individu yang cerdas bukan saja secara in-telektual, tetapi juga secara emosi dan spiritual. Kalau hal itu terwujud, itu memberi kebanggaan, sukacita dan kese-jahteraan baik bagi orang tua, pendidik/guru dan khususnya bagi anak atau peserta didik. Alkitab menegaskan bahwa: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut ba-ginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). Prinsip umumnya ialah bahwa seorang anak yang telah diajarkan menurut ajaran yang tepat dan benar, maka mereka tidak akan menyimpang dari ajaran itu sepanjang kehidupannya.

CARA PENGEMBANGAN SPIRITUAL QUOTIENT – EMOTIONAL QUO-TIENT ANAK BALITA

Kecerdasan emosional dan kecer-dasan spiritual pada anak balita, pada ha-kikatnya dapat dikembangkan secara op-timal, karena Allah Sang Pencipta telah me-naruh potensi itu dalam diri setiap anak. Peran dan tanggung jawab orangtua serta nara didik dalam konteks dan perspektif menjadi sangat urgen/penting dan strategis

untuk mengasah ketajaman kecerdasan emosi dan spiritual.

Pada bab ini akan dibahas dua topik utama yang berkaitan dengan cara pe-ngembangan kecerdasan emosional dan ke-cerdasan spiritual pada anak balita. Cara pertama berkaitan dengan hubungan ver-tikal anak dengan Allah, antara lain me-ngundang Tuhan dalam hidup, menerapkan kebenaran secara konsisten, membantu me-nemukan solusi, memberikan teladan, rek-reasi, mengevaluasi diri secara efektif, be-kerjasama dengan orang lain, menjalin ko-munikasi, dan mengembangkan sikap so-sial. Hal kedua berkaitan dengan hubungan horizontal anak baik dengan diri sendiri maupun dengan sesamanya sebagai upaya melatih ketajaman emosionalnya. Elemen-elemen tersebut antara lain membangun percaya diri anak, belajar mengendalikan anak diri, belajar untuk memaafkan, me-manfaatkan audio visual dan memperluas dunia anak. Kedua topik pembahasan ter-sebut akan diakhiri dengan sebuah rangkuman.

A.Spiritual

(17)

17 yaitu kesucian dan kekudusan Allah tanpa ada dosa di dalamnya.

Akan tetapi dalam Kejadian 3, ma-nusia gagal mentaati perintah Allah, yang mana mereka lebih mengikuti keinginan Iblis dari pada taat akan kehendak Allah. Sejak saat itulah relasi antara Allah dan manusia terputus secara rohani. Alkitab menegaskan bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan hilang kemuliaan Allah (Roma 3:23). Upah dari dosa manusia ialah maut (Roma 6:23). Berdasarkan kebenaran firman Allah tersebut, maka tidak ada seorang pun di kolong langit ini yang tidak berdosa termasuk anak-anak. Daud mengemukakan kenyataan itu dengan me-ngatakan: “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku di-kandung ibuku” (Mazmur 51:7). Logika dari ayat tersebut ialah Daud mengakui bahwa sejak bayi dia memiliki kecen-derungan bawaan untuk berdosa. Dengan kata lain, ia mengambil tanggung jawab penuh atas sifatnya yang berdosa. Jadi, se-tiap orang tercemar sejak dalam kandungan sampai ia lahir, besar dan kembali menjadi debu karena manusia berasal dari debu. Kecenderungan untuk mengikuti kesena-ngan dan keinginan diri sendiri, bahkan jikalau itu menyebabkan sakit atau pen-deritaan bagi orang lain ada pada setiap orang sejak lahir.

Dengan demikian anak-anak balita dalam perspektif Allah berdosa dan mati secara rohani serta membutuhkan keselama-tan. Allah dalam kasih-Nya telah me-nyediakan jalan keselamatan bagi manusia termasuk anak-anak balita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia (anak-anak balita) ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak bi-nasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Jalan keselamatan itu

hanya ada di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus. Di luar Tuhan Yesus Kristus tidak ada keselamatan. “Kata Yesus ke-padanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Anak-anak balita hanya bisa diperdamaikan dengan Allah Bapa hanya melalui Tuhan Yesus Kristus. Me-ngundang Tuhan dalam hidup

Merujuk kepada penjelasan di atas, maka sangat penting membantu anak balita yang mengalami keterpisahan hubungan ro-hani dengan Allah. Sebab anak secara prin-sip adalah pribadi/individu yang berdosa, sehingga mati secara rohani dan mem-butuhkan keselamatan di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus. Artinya, anak secara alami terhilang (Matius 18:11, 14), anak tidak dapat memahami hal rohani (I Ko-rintus 3:1-2) dan anak berdosa serta terpisah dari Allah (Roma 3:23, 6:23).

Tuhan Yesus menegaskan bahwa anak-anak balita yang percaya dapat dise-lamatkan (Matius 18:6). Allah meng-hendaki supaya tidak ada satupun dari anak-anak balita itu hilang dan binasa tanpa Ju-ruselamat (Matius 18:14; 2 Petrus 3:9). Tuhan Yesus Kristus mengundang anak-anak balita untuk datang kepada-Nya (Lu-kas 18:16) dan Tuhan Yesus juga mati di atas kayu salib untuk menebus anak-anak balita juga (Lukas 19:10).

Orang tua dan nara didik/guru/pen-didik memiliki posisi yang sangat sentral dan penting serta strategis dalam kehidupan anak-anak balita. Peran dan posisi sentral, penting dan strategis tersebut ialah untuk membimbing anak-anak balita supaya per-caya dan menerima serta mengundang Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruse-lamat pribadi.

(18)

keper-18 cayaan kepada Tuhan Yesus Kristus se-bagai landasan bagi kecerdasan spiri-tualnya. Kepercayaan kepada Tuhan Yesus Kristus merupakan dasar bagi semua hu-bungan sepanjang sisa hidup dan keper-cayaan kepada Tuhan Yesus Kristus ber-pengaruh terhadap setiap wilayah per-kembangan hidup anak-anak balita yang meliputi perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional dan moral. Konsep diri anak-anak balita sebagai pribadi yang di-cintai dan berarti sudah terbentuk pada usia ini.

Ada dua hal yang harus dilakukan dalam memimpin anak-anak balita secara rohani. Pertama, undangan menerima Kristus. Pada tahap ini orang tua atau nara didik/guru harus menjelaskan kebenaran firman Allah dalam Yohanes 1:12. Jelas-kanlah kepada anak-anak bagaimana do-sanya dapat diampuni dengan mengakui bahwa dia adalah orang berdosa, percaya dengan segenap hati bahwa Tuhan Yesus Kristus sudah mati disalibkan dan bangkit lagi pada hari ketiga serta mengundang dan menerima Yesus sebagai Juruselamat dan sadar bahwa Dia sudah menyucikannya dari dosa dan memberikan kepadanya hidup yang kekal.

Orang tua atau nara didik/guru mem-beri dorongan kepada anak-anak untuk berbicara kepada Allah dengan kata-ka-tanya sendiri. Jika mereka agak malu atau tidak tahu cara berdoa, tolonglah mereka. Anak-anak bisa mengikuti doa yang ucapkan oleh orang tua atau guru/nara di-diknya. Dalam doa anak-anak harus akui bahwa dia orang berdosa, percaya bahwa Yesus telah mati dan hidup kembali untuk-nya serta mengundang dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Ke-dua, kepastian keselamatan. Bawa kembali anak-anak pada janji Allah dalam Yohanes 1:12, sehingga mereka diyakinkan bahwa

mereka sekarang anak-anak Allah (sudah menjadi keluarga Allah secara rohani). Le-takkan nama mereka dalam ayat tersebut. Jelaskanlah kepada mereka bahwa kese-lamatannya tidak berdasarkan perasaannya dan juga tidak pada apa yang diucapkan. Pastikan bahwa anak-anak yakin akan ke-selamatannya berdasarkan kebenaran fir-man Allah. Tunjukkan kepada anak-anak bahwa hidup Kristus di dalamnya akan memberikannya kuasa untuk melakukan apa yang benar.

Selain itu, orang tua dan guru/ pen-didik perlu mengembangkan iklim yang pe-nuh nuansa religius. Misalnya mengajari anak berdoa sebelum makan dan sebelum serta sesudah proses belajar mengajar di kelas. Ajaklah anak-anak untuk beribadah ke tempat ibadah-ibadah dan membaca kitab suci. Semua aktivitas tersebut akan mengenalkan anak-anak pada kebesaran Allah dan memantapkan keyakinan akan kasih sayang-Nya, karena anak membu-tuhkan spirit ketuhanan yang dapat mem-bimbingnya dalam mmenghadapi berbagai goncangan hidup.

Kebermaknaan spiritual dan komit-men religiusitas akan sangat komit-menguatkan jiwa anak-anak menghadapi kehidupan di masa depan. Kekuatan dan kecerdasan spi-ritual ini mencegah anak-anak untuk ter-jerumus dalam berbagai perilaku me-nyimpang dan merusak. Kekuatan dan ke-cerdasan spiritual ini juga akan memberikan ketangguhan dan semangat optimisme ke-tika anak-anak menghadapi badai tantangan yang berat dalam kehidupannya.

(19)

19 tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan mene-rimanya” (Yohanes 15:7). Logika kebe-naran firman Allah ini menunjukkan bahwa rahasia dari doa yang terjawab ialah tinggal di dalam Kristus. Makin dekat kita hidup dengan Kristus melalui merenungkan dan mempelajari Alkitab, makin selaras doa-doa kita dengan sifat dan ajaran Kristus, se-hingga doa kita akan menjadi lebih efektif.

Berkaitan dengan apa yang dipapar-kan di atas, Yakobus dalam suratnya menu-lis demikian: “Tetapi hendaklah kamu men-jadi pelaku firman dan bukan hanya pen-dengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika se-orang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana ru-panya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang me-merdekakan orang, dan ia bertekun di da-lamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yakobus 1:22-25).

Berdasarkan kebenaran firman Allah di atas, orang tua atau guru/nara didik Kristen dan anak-anak balita mengawali kehidupan baru dengan dilahirkan kembali “oleh firman kebenaran”. Hidup baru di dalam Kristus menuntut setiap orang Kris-ten untuk membuang hidup yang lama dan bertekun dalam menerima firman Allah. Firman Allah itu harus menjadi bagian dari tabiat barunya. Firman yang tertanam dalam hati membawa kepada keselamatan yang kekal. Melalui iman kepada Kristus, orang percaya tidak hanya menerima kemurahan dan pengampunan, tetapi juga kuasa dan kemerdekaan untuk menaati hukum Allah.

Inilah yang disebut “hukum yang memer-dekakan”. Kemerdekaan atau kebebasan ini janganlah dianggap sebagai kebebasan un-tuk melanggar firman Allah, tetapi sebagai kemerdekaan dan kuasa untuk menaati firman Allah.

2. Membantu menemukan solusi

Dewasa ini anak-anak menghadapi tekanan dan tantangan hidup yang lebih berat sejak usia pra-sekolah sampai mema-suki dunia kerja. Tekanan dan tantangan bersumber dari faktor internal dan eks-ternal. Faktor internal misalnya suasana dalam keluarga yang tidak harmonis, gizi buruk dan sebagainya. Faktor eksternal misalnya tekanan teman sebaya, media masa, lingkungan masyarakat dan sebagai-nya.

Tekanan dan tantangan tersebut me-nimbulkan gangguan psikis dan meng-hambat pertumbuhan fisik, intelektual, so-sial, moral dan emosionalnya. Persoalan-persoalan tersebut berpotensi untuk meng-hancurkan hidup dan masa depan anak-anak.

Dalam situasi dan kondisi semacam itulah, peran orangtua dan pendidik/guru menjadi sangat dibutuhkan untuk mem-bantu anak-anak mengatasi kesulitan-kesu-litan mereka. Anak-anak membutuhkan pendampingan yang mendukung perkem-bangan mereka secara holistik.

(20)

20 penghargaan terhadap minat dan usahanya. Libatkan mereka dalam tugas yang mena-warkan tantangan dan kembangkan ke-mampuan mereka untuk memberi mereka perasaan berprestasi. Mereka dengan rasa hormat, mintalah pandangan mereka, de-ngar pendapat mereka dengan serius dan berikan respons balik yang bermanfaat. Bantulah mereka mengatasi kegagalan dengan memberi tahu mereka bahwa cinta dan dukungan yang diberikan tidak pernah berubah. Memberikan semua itu merupakan tugas dan tanggung jawab orangtua dan pendidik/guru /nara didik.

2. Memberikan teladan

Kata Yunani yang diterjemahkan “teladan” adalah tupos yang berarti “mo-del”, “gambar”, “ideal”, atau “pola”. Jadi, memberikan teladan berarti menjadi model yang ideal di mana bisa diikuti. Salah satu tugas penting dari orangtua dan guru/pen-didik ialah menjadi teladan dalam totalitas hidupnya. Teladan dalam perkataan, dalam sikap dan dalam tindakan serta dalam hubungannya dengan anak-anak secara so-sial.

Alkitab secara khusus menyoroti topik tentang keteladanan. Yang menjadi standart utama soal keteladan ialah me-ngacu kepada ajaran Yesus dan para ra-sulnya. “Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Ku perbuat kepadamu” (Yohanes 13:15). Yesus menjadi teladan utama dalam hal kasih, ke-taatan, kerendahan hati, dan pengorbanan diri. Ia telah melakukannya secara sem-purna, sehingga Dia meminta supaya orang-tua dan nara didik/guru mengikuti teladan-Nya. Rasul Paulus mengatakan: “Sebab itu aku menasehatkan kamu: turutilah tela-danku!” (1 Korintus 4:16). Rasul Paulus dalam seluruh aspek hidupnya, ia mengikuti teladan Kristus, sehingga dia meminta agar

orang Kristen yang ada di Korintus me-ngikuti jejaknya. “Saudara-saudaraku, ikuti-lah teladanku dan perhatikanikuti-lah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17). “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus me-ngikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu” (2 Tesalonika 3:7). “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Petrus 2:21). “Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, te-tapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (1 Petrus 5:3). Dalam seluruh aspek kehidupan orangtua dan pen-didik Kristen, Alkitab menuntut supaya me-ngikuti ajaran keteladan yang telah dila-kukan oleh Tuhan Yesus dan para rasulnya. Anak-anak balita sangat mudah dipengaruhi dan mengikuti segala sesuatu yang ia lihat, dengar, rasakan dan alami di seputar kehidupannya. Itu sebabnya orang-tua dan pendidik yang menjadi teladan sangat membantu anak-anak dalam pe-ngembangan kecerdasan spiritualnya. Hal ini penting, mengingat dewasa ini terjadi krisis keteladanan hidup yang diperlihatkan oleh orang-orang dewasa di hadapan anak-anak.

Bila orangtua dan nara didik/guru/-pendidik Kristen sungguh-sungguh me-mainkan perannya secara konsisten dengan menjadi teladan hidup yang baik dan benar, maka anak-anak pun pasti akan menerapkan itu, sehingga menjadi berkat bagi banyak orang khususnya bagi anak-anak yang be-lum mengenal kebenaran di dalam Tuhan Yesus Kristus.

3. Rekreasi

(21)

21 manusia pada umumnya memiliki beberapa kebutuhan yang mendasar. Salah satu kebu-tuhan dasar tersebut menurut Maslow ialah kebutuhan akan relaksasi/rekreasi.

Kebutuhan akan rekreasi tersebut menjadi sangat urgen dan meningkat de-wasa ini. Hal ini ditandai dengan semakin menjamurnya fasilitas-fasilitas hiburan dan tempat-tempat wisata yang setiap waktu dipenuhi oleh para pengunjung baik domes-tik maupun manca negara.

Tingginya prosentase kebutuhan akan relaksasi/rekreasi, sesungguhnya di-picu oleh semakin meningkatnya tingkat kesibukan manusia dalam semua aspek. Baik dalam bidang ekonomi/bisnis, pe-kerjaan, sosial, politik, keamanan, kese-hatan dan pendidikan. Tuntutan dan ru-tinitas pekerjaan yang menguras energi, mengakibatkan kebanyakan orang menjadi stress. Guna menjaga keseimbangan dan kebugaran manusia secara total dalam hi-dup, maka rekreasi menjadi salah satu alter-natif untuk menjawab dan memenuhi kebu-tuhan hidup tersebut.

Anak-anak balita juga dapat di-ajarkan untuk bersikap santai dalam kondisi yang menegangkan melalui metode rekreasi atau relaksasi. Reksreasi ini dapat dilakukan di dalam rumah bersama orangtua, atau di luar rumah bahkan dapat juga pergi ke tempat-tempat khusus.

Anak-anak balita secara per-sonal/individu juga membutuhkan rekreasi dalam hidup dan aktivitasnya. Karena rek-reasi bagi mereka menjadi sarana untuk mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri dan potensinya. Pada sisi lain, rekreasi juga berguna untuk mendekatkan anak-anak balita dengan lingkungan atau alam ciptaan Allah, sehingga anak-anak memliki sence of belonging atau memiliki rasa cinta terhadap lingkungan atau alam ciptaan Allah. De-ngan begitu, mereka akan melestarikan

alam itu karena mereka sudah diajarkan se-jak dini untuk mengasihi lingkungannya. Selain itu, rekreasi juga bermanfaat untuk memotivasi anak-anak dalam upaya ber-interaksi secara langsung dengan sesama dan lingkungan alamnya.

Oleh sebab itu, orangtua dan guru /pendidik/pembimbing Kristen perlu mem-persiapkan atau mengalokasikan waktu khusus untuk melakukan kegiatan rekreasi bersama-sama anak-anak. Misalnya me-ngunjungi lokasi-lokasi wisata atau tempat-tempat bersejarah yang disediakan baik oleh pemerintah, LSM maupun lembaga swasta. Hal ini bila dilakukan dengan baik, maka akan sangat berpengaruh sekali bagi perkembangan dan keseimbangan kecerda-san spiritual anak. Kemudian cara tersebut pun akan menumbuhkan rasa empati anak sejak dini terhadap alam.

(22)

sa-22 saran yang dituju. Melalui evaluasi juga akan ditemukan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan program kerja bisa berhasil mencapai tujuan. Pada sisi lain, evaluasi juga bermanfaat untuk mengetahui ham-batan-hambatan/kendala-kendala apa yang menyebabkan sebuah program kerja tidak berhasil mencapai tujuan, sehingga perlu ada perbaikan atau strategi baru guna me-muluskan jalan menuju tujuan yang hendak dicapai. Hal inilah yang dinamakan dengan mengevaluasi diri secara efektif.

Orang tua dan nara didik/pendi-dik/guru perlu melakukan evaluasi diri de-ngan efektif, secara khusus dalam hu-bungannya dengan peran mereka mengem-bangkan kecerdasan spiritual anak-anak. Kehidupan spiritual orangtua dan nara di-dik/guru/pendidik akan turut memberi warna tersendiri bagi kehidupan rohani anak-anak. Fakta membuktikan bahwa bila kehidupan rohani orangtua dan guru/nara didik/pendidik, kualitasnya rendah, maka dampaknya juga akan dialami oleh anak-anak. Karenanya, orangtua dan nara di-dik/guru/pendidik perlu melakukan evaluasi yang mendalam khususnya sejauh mana relasinya dengan Allah. Bila didapati bahwa dirinya kurang membangun hubungan de-ngan Allah baik melalui doa, ibadah pribadi, persekutuan dengan anggota tubuh Kristus dan membaca firman Allah, maka harus berubah dan perbaiki.

5. Bekerjasama dengan orang lain

TUHAN Allah menciptakan manusia dengan kapasitas untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Itu sebabnya manusia disebut makhluk sosial, karena dia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Itulah kapasitas yang Allah taruh dalam diri manusia. Allah ingin supaya manusia saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Dalam perspektif itulah manusia dalam upaya penyelenggaraan hidupnya

perlu bekerja sama dengan orang lain. Artinya bahwa manusia itu tidak sempurna, sehingga ia membutuhkan sesamanya da-lam rangka memenuhi tujuan Allah seda-lama hidup di dunia ini.

Dalam konteks itu, orangtua dalam rangka meningkatkan kecerdasan spiritual anak-anaknya harus bekerjasama dengan berbagai pihak. Pihak-pihak dimaksud yaitu gereja, pendidik Kristen, anggota tubuh Kristus dan sebagainya. Upaya ini sesung-guhnya penting supaya apa yang menjadi tujuan utama dapat tercapai.

Anak-anak yang melihat orang-tuanya berinteraksi secara sosial dengan orang dewasa lain, aktif dalam berbagai ke-giataan keagamaan/rohani, hal tersebut akan mempengaruhi kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu orangtua bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya agar dapat bekerjasama dengan orang lain. Orangtua juga dapat melibatkan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan sosial yang meli-batkan dan membutuhkan peran serta anak-anak. Umpanya lomba-lomba khusus se-bagai suatu kegiatan hari raya keagamaan yang diadakan oleh instansi tertentu atau gereja (hari raya Natal, Paskah, HUT Ge-reja, Ibadah Sekolah Minggu). Kegiatan yang lainnya seperti HUT kemerdekaan yang selalu diadakan setiap tahunnya dan yang melibatkan peran serta anak-anak.

Semua aktivitas di atas, sesungguh-nya dapat merangsang peningkatan kecer-dasan anak-anak baik secara sosial maupun secara rohani. Bila orangtua dan nara di-dik/pendidik tekun melakukan hal itu, maka anak-anak akan menjadi pribadi yang ung-gul rohaninya.

6. Menjalin komunikasi

Referensi

Dokumen terkait