• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Rifai Politik Pendidikan Nasion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Muhammad Rifai Politik Pendidikan Nasion"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Ricko Valentino NIM : 1220410225 Kelas : MKPI-B

Topik : Pe merataan dan Mutu Pendidikan Nasional

Review 7

Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, Jakarta: Ar-Ruz Media, 2011; hal. 131-164

BAB VI

PEMERATAAN PENDIDIKAN NASIONAL BELUM TERCAPAI

Dilihat dari tujuan pendidikan nasional terkait pencerdasan seluruh rakyat Indonesia terutama pemeratan pendidikan. Apakah pendidikan nasional sudah bisa

diakses oleh semua golongan dan kelas dari msyarakat Indonesia? Kalau belum, golongan dan kelompok mnakah yang belum menerima atau mengakses tersebut?

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Rina Ngesty Anggraini memberikan pemetaan tentang persoalan pemerataan pendidikan yang tidak merata, yaitu; (1) Perbedaan tingkat sosial ekonomi masyarakat, (2) perbedaan fasilitas pendidikan, (3) sebarn sekolah tidak merata, (4) nilai masuk sebuah sekolah dengan standar tinggi, dan (5) Rayonisasi.

Dari pemetaan tersebut Rina mengajak kita untuk lebih realistis dalam melihat

bagaimana keberhasilan sebuah program pemerataan pendidikan oleh pemerintah terkait lima faktor di atas, tidak hanya sekedar merumuskan program tanpa sebuah perencanaan yang matang.

Di dalam buku Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi Daerah oleh Fasli Jalal dan Dedi Supriadi tahun 2001, terdapat tiga indiktor keberhasilan

pemerintah dalam program wajib belajarnya:

1. Mayoritas penduduk berpendidikan minimal SLTP dan partisipasi pendidikan

meningkat yang ditujukan dengan APK-SD 115%; APK-SLTP 80%; APK SLTA 47% dan APK-PT 12,5% dengan perluasan terkendali untuk

bidang-bidang unggulan dan teknologi.

(2)

program pendidikan masyarakat, dan meningkatnya penduduk yng melek huruf

hingga 88% pad tahun 2005.

3. Meningkatnya proporsi penduduk kurang beruntung yang memperoleh

kesempatan pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan.

Untuk itu, usul yang dikemukakan untuk kebijakan program tersebut adalah; (1) Memperluas kesempatan pendidikan dengan prioritas pada pendidikan dasar, (2) Meningkatkan layanan pendidikan kepada kelompok kurang beruntung, termasuk kaum perempuan, (3) Mengembangkan layanan pendidikan alternatif tanpa mengorbankan mutu program, (4) Menetapkan standar kompetensi minimal

keluaran pendidikan, (5) Melanjutkan program PMTAS secara terseleksi dan terkendali bagi yang benar-benar memerlukan, (6) Melanjutkan program beasiswa

bagi kalangan anak-anak miskin, (7) Meningkatkan anggaran pemerintah untuk pendidikan secara bertahap dan terencana, (8) Meningkatkan partisipasi keluarga

dan masyarakat dalam membiayai pendidikan.

Agus Suwignyo mengapresiasi niatan dan implementasi pemegang kebijakan mengenai pemerataan pendidikan ini. Namun ia menilai pernyataan tersebut hanyalah retorika ketika kita harus menghadapi kenyataan yang ada. Dalam praktiknya, perwujudan perataan pendidikan tidak hanya memerlukan

undang-undang dan dana.

Miskonsepsi juga terjadi pada pelaksanaan pemerataan pendidikan ini. Konsep “pendidikan gratis” justru menggerus kemandirian dan melambungkan harapan masyarakat tentang jaminan negara. Faktanya, hinga 63 tahun kemerdekaan, pemerintah belum bersedia menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat. Penegasan perundang- undangan oleh elite negara atas

pendidikan rakyat membuai mimpi warga akan pendidikan tanpa biaya yang perwujudannya jauh dari jangkaun. Karena, meskipun pemerataan pendidikan

adalah kebijakan negara, implementasinya amatlah tergantung pada kepentingan politik mereka.

(3)

bukunya Equality of Educational Opportunity membagi pemerataan secara

konsepsional menjadi pasif dan aktif. Dengan kata lain implikasinya siswa tidak hanya memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga harus diperlakukan sama

guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensinya secara optimal. Dengan demikian, dimensi pemerataan pendidikan mencakup; (a) Equality of access, (b) equality of survival, (c) equality of output, (d) equality of outcome.

Menurut Taufikurrachman Saleh, harus ada kemauan politik yang sangat keras untuk membuat kebijakan pemerataan pendidikan yang berpihak pada rakyat. Kemudian harus ada kebijakan di tingkat makro dengan strategi subsidi

silang di semua jalur dan jenjang pendidikan Indonesia. Keluarga kaya diwajibkan memberikan biaya pendidikan dan subsidi terhadap siswa dari keluarga miskin.

Sehingga perlu ada political will dari semua pihak terutama pemerintah dan legislatif untuk melaksanakan program ini.

BAB VII

KUALITAS/MUTU PENDIDIKAN NASIONAL BELUM BISA DIBANGGAKAN

Di dalam buku Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi Daerah oleh

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi menjelaskan kebijakan pemerintah untuk

meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan yang meliputi empat aspek; kurikulum, tenaga kependidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Jika kita meninjau konsepnya di bawah ini;

Pertama, pengembangan kurikulum berkelanjutan di semua jenjang dan jenis pendidikan yang meliputi: (a) pengembangan kurikulum pendidikan dasar

yang dapat memberikan kemampuan dasar secara merata yang disertai dengan pengutan muatan lokal, (b) mengintegrasikan keterampilan generik dalam

kurikulum yang memberikan kemampuan adaptif yang meliputi empat kelompok keterampilan; pengelolaan diri, komunikasi, mengelola orang dan tugas, serta

(4)

sekolah dengan kebutuhan dunia kerja, (e) mengembangkan keteladanan dalam

hal pendidikan.

Kedua, pembinaan profesionalisme dan peningkatan kesejahteraan guru; (a) menata kembali sistem jenjang karier guru dan tenaga kependidikan lainnya, (b) meningkatkan kesejahteraan guru baik secara material mupun psikologis, (c) memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya, (d) memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai pelatihan dan studi lanjut.

Ketiga, pengadaan dan pendayagunaan sarana dan prasarana pendidikan: (a) menjamin tersedianya buku pelajaran – satu buku untuk setiap peserta didik, (b) melengkapi kebutuhan ruang dan peralatan laboratorium, bengkel kerja, dan

perpustakaan, termasuk laboratorium hidup, (c) mengefektifkan pengelolaan dan pendyagunaan sarana dan prasarana pendidikan yang disangkutkan dengan sistem

intensif dalam rangka efektifitas proses belajar mengajar, (d) menyediakan dana pemeliharaan yang memadai pada satuan pendidikan, (e) mengembangkan lingkungan sekolah sebagai pusat pembudayaan dan pembinaan peserta didik.

Keseluruhan konsepsi peningkatan mutu di atas memang baik, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kesesuaian konsep denga n praktik dalam

budaya politik kebijakan di Indonesia selalu tidak sebaik fakta di lapangan yang

kita temui. Prof. Nizam mengakui bahwa kualitas SDM masih menjadi persoalan utama dalam pendidikan di segala jenjang. Dari 160.000 dosen hampir 54% masih belum bergelar S2 dan S3, sementara dari 2,7 juta guru, 1,5 juta diantaranya belum bergelar S1.

Nizam sebagai salah satu penentu kebijakan yang jujur mengakui

kegagalan pemerintah cenderung memilah antara sistem dan SDM, bahkan lebih jauh mengatakan SDM lebih penting ketimbang sistem. Tentu pemilahan tersebut

belum tepat mengingat peningkatan kualitas SDM mutlak memerlukan dukungan sistem yang menciptakan hal tersebut.

(5)

20/2003, yaitu merencanakan, melaksanakan, menilai, membimbing, melatih,

meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Selain itu, jika dilihat dari pendidikan guru yang bersangkutan, sebagian guru di Indonesia bisa dikatakan “tidak layak

mengajar”.

Dilihat dari kualitas peserta didiknya, banyak data penelitian yang menunjukan rendahnya kualitas peserta d idik kita dibanding negara lain. Bank Dunia (Greaney, 1992) studi International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) di Asia Timur melaporkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD Indonesia berada di peringkat terendah di bawah

Thailand dan Filipina. Kemampuan membaca siswa SD kita menduduki urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi, sedangkan matemtika urutan ke-39 dari 42

negara, dan IPA urutan ke-40 dari 42 negara.

Lembaga pendidikan yang buruk pula berdampak pada kualitas lulusan.

Dimulai dari angka pengangguran yang tinggi, sekitar tiga juta (2006). Lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran teoritis verbalis berakibat pada lulusan yang kurang kreatif dan inovatif, yang tidak mampu mandiri di era yang sarat dengan kebutuhan akan daya inisiatif, kreatif, inovatif dan jiwa entrepreneur. Sarjana di Indonesia hanya 12% atau sekitar 2% dari total jumlah penduduk. Fakta lain membahasakan “semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin

tinggi tingkat kebergantungannya.”

Di dalam Forum Kompasiana menyebutkan ada tujuh persoalan mengenai rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia; (1) pembelajaran yang terpaku pada buku paket (kurikulum buku paket), (2) model pembelajrn ceramah, (3) kurangnya daya dukung sarana prasarana dari regulator, (4) peraturan yang

membelenggu, (5) guru tidak mengajari keterampilan bertanya, murid tidak berani bertanya (kompetensi setengah), (6) guru tidak berni mengajukan pertanyaan

terbuka (kurang kreatif), dan (7) siswa menyontek, guru pun juga (budaya mencontek).

(6)

profesionalisme guru dan pendidik, (3) sebisa mungkin kurangi dan berantas

korupsi. (4) berikan sarana dan prasarana yang layak.

Asian Development Bank (ADB) sampai-sampai memberikan

rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan kualitas pendidikan. Prinsipil Economist ADB, Muhammad Ekhsan Khan menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia terhambat oleh kondisi fasilitas sekolah, penyediaan alat sekolah, dan kualitas SDM berupa guru yang tidak merata di tempat terpencil. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus meningkatkan standar kurikulum setara dengan negara-negara yang lebih maju di kawasan Asia

Tenggara. Data di atas tentunya menampar wajah pendidikan nasional kita. Bagaimana lembaga internasional keuangan Asia sampai memberikan

rekomendasi kepada pengelola kebijakan pendidikan nasional kita gar memperbaiki kinerja dan kualitas pendidikan.

Andriadi Achmad memberikan beberapa solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional; (1) menerapkan sistem praktik dalam skala besar – bisa jadi 20% teori dan materi di kelas, 80% dipraktikan, (2) mendukung sekolah alternatif sebagai bentuk lain upaya pencerdasan anak bangsa, sebagai pengembangan bakat, minat dan keterampilan, (3) mendukung pemerintah dalam

mengembangkan program double degree untuk jenjang pendidikan sarjana,

Referensi

Dokumen terkait

(GPS). Pada daerah yang luas hampir tidak mungkin dilakukan dengan alat konvensional , misalnya untuk batas antar kabupaten atau kota dan juga Propinsi. Banyak ruang laut

Kemampuan menulis argumentasi : studi korelasional antara motivasi menulis dan penguasaan kosakata dengan kemampuan menulis argumentasi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan

1: Mata Pembayaran Umum.

[r]

Diharapkan dari hasil penelitian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi untuk menghadapi para kompetitor dan bahan pertimbangan dalam

1) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis baik secara teoritis maupun secara praktis khususnya tentang proses pemulihan korban penyalahgunaan narkoba melalui

Resetting dengan penambahan rele differensial dilakukan karena pada bus masing-masing tipikal masih terdapat nilai insiden energi melebihi batas yang diizinkan oleh NFPA

Ya, Sertifikat yang diberikan kepada seorang dosen yang memiliki kualitas Ya, Dengan adanya sertifikasi tersebut kita dapat menilai apakah dosen tersebut