• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif da"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif

dalam konteks Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia Oleh: Listiyono Santoso1

Abstrak

Pemahaman manusia terhadap agama memililki pengaruh penting dalam sikap dan perilaku kehidupannya. Konstruksi pemahaman keagamaan juga erat kaitannya dengan pilihan ideologis penganut umat beragama. Ada dua sikap dalam memahami agama, yakni eksklusif (tertutup) dan inklusif (terbuka). Dua sikap ini membawa pengaruh dalam bagaimana meletakkan agama dalam konteks kehidupan kongkrit. Dalam konteks, kebangsaan Indonesia yang plural dan majemuk, pilihan pemahaman keagamaan berkontribusi bagi ada tidaknya penghargaan umat terhadap berbagai perbedaan yang ada. Nalar agama yang terbuka (inklusif) banyak menjadi pilihan dalam rangka memberikan makna agama dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan.

Kata Kunci: agama, konstruksi, keindonesiaan, dan kemanusiaan

Pengantar

Lima tahun lebih negeri ini terperangkap dalam jeratan krisis multidimensi. Krisis yang telah medegradasikan secara menyeluruh kualitas hidup bangsa, tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Ironisnya, menurut Musa Asy‟arie2 jeratan itu makin kencang, karena ternyata kita tetap didera oleh berbagai konflik kekerasan antar kelompok dan etnis dan juga „agama‟ (dimensi SARA; Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan), yang meminta korban sangat besar, baik harta, nyawa, harga diri maupun semangat hidup.

Disadari bahwa konflik-konflik berdimensikan SARA tersebut tidak saja sulit diredakan secara tuntas. Berbagai upaya penyelesaian konflik yang berdimensikan SARA selalu saja menyisakan berbagai endapan masalah. Alih-alih dapat dihentikan, justru semakin memberikan bukti bahwa keragaman yang seharusnya bermakna sebagai uniting factor (factor pemersatu) ternyata lebih mengedepan warna deviding factor (factor pemisah). Keragaman kebudayaan bangsa ini dalam kenyataannya memiliki potensi konflik. Keragaman kebudayaan menjadi ibarat „bakal janin‟ yang bayinya adalah (fenomena) konfliktual.

(2)

Fenomena konfliktual tersebut seolah menjadi realitas dalam kehidupan berbangsa kita. Tidak saja sulit dihentikan melainkan semakin meluas dan sanggup meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan kita. Belum selesai tragedi Ambon, Papua, Aceh serta Sambas, kini telah muncul lagi konflik di Poso dengan katalisator yang seolah sama, yaitu SARA. Hal ini menunjukkan betapa peristiwa konflik awal seperti di Ambon, tidak dianggap sebagai pengalaman buram untuk segera ditinggalkan, tetapi malah menjadi inspirasi lahirnya peristiwa-peristiwa serupa di tempat lain.

Kekerasan demi kekerasan tidak kunjung selesai. Ironisnya, kekerasan di negeri ini penuh dengan keterlibatan-keterlibatan ornamen kebudayaan juga agama, baik berupa lambang-lambang bahasa untuk menyemangati kobaran „perang‟, maupun berupa barang-barang fisik seperti pakaian dan atribut khas kelompok umat beragama ataupun identitas kebudayaan lain. Ornamen-ornamen itu, yang semula sakral, sejuk, dan mengesankan kedamaian, berubah kesannya menjadi profan, panas, ganas, dan bernuansa permusuhan3 (Benny Susetyo, Kompas, 16/11/2001). Itu baru lambang-lambang. Soal lain, seperti sikap, tingkah laku nyata dan juga relasi antar agama maupun budaya –tidak terkatakan- juga telah berkembang menjadi katalisator permusuhan.

Hampir dapat dipastikan, negeri yang terdiri dari ribuan kebudayaan dan ratusan bahasa ini adalah negeri yang „belum selesai‟ berproses menjadi sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang di dalamnya hidup berbagai kebudayaan, etnisitas, suku, bahasa dan agama. Realitas keragaman ini menjadi karakteristik bagi negeri ini untuk mengukuhkan identitas kulturalnya sebagai negara bangsa. Sebagai bangsa yang menjadi „ruang‟ bagi hidup dan berkembangnya kebersamaan dalam keragaman. Inilah kesadaran multicultural. Kesadaran yang tidak cukup hanya berbekal pada pengetahuan bahwa masyarakat kita memang masyarakat multikutural.. Kesadaran ini menuntut pemahaman mendasar bahwa multiculturalisme adalah keniscayaan keindahan peradaban. Kesadaran ini tidak serta merta dilahirkan, melainkan seharus diciptakan melalui berbagai dialog

(3)

dalam keterbukaan. Faktor pendidikan tampaknya menjadi salah satu alat potensial bagi upaya memberikan kesadaran multikultural bagi masyarakat.

Mengelola Multikultural: Dari Konfrontasi ke Dialog

Fenomena konfliktual yang melanda negeri ini, dalam banyak hal sering mengedepankan berbagai bentuk perbedaan budaya dan agama (baca: SARA) sebagai salah satu penyebabnya. Konflik yang berdimensikan SARA tersebut, sejak beberapa tahun belakangan telah cukup mengubah citra negeri ini secara mendasar. Kebanggaan atas citra sebagai negeri yang sanggup mengelola berbagai perbedaan; dari soal budaya sampai agama, menjadi faktor utama integrasi bangsa, kini mulai mengalami pergeseran. Semangat bertanah air satu tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia, yang sejak tahun 1928 dipancangkan sebagai simcol nasionalisme, satu persatu dipertanyakan keampuhannya.

Dalam konteks kehidupan kebangsaan, konflik atas nama SARA adalah representasi dari kegagalan kita untuk mengelola pluralitas menjadi kekuatan (uniting factor) integrasi bangsa. Apa yang terjadi di beberapa daerah konflik sesungguhnya mencerminkan betapa pluralitas tidak lagi sebagai uniting factor

melainkan telah menjadi deviding factor (faktor pemisah). Padahal keragaman kebudayaan dan agama merupakan situasi khas dan unik, yang menambah mozaik

kebangsaan ini menjadi lebih menarik untuk dinikmati.

Prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam ideologi negara merupakan bukti betapa bangsa ini sangat menghargai tumbuh kembangnya keragaman kebudayaan dan agama. Indonesia, melalui prinsip tersebut, adalah ruang yang kondusif untuk hidup berdampingan secara damai dan terjalinnya relasi yang saling menghargai satu sama lain berbagai bentuk pluralitas. Tapi, konflik-konflik bernuansakan SARA telah membuat „ruang‟ tersebut menjadi tempat yang menakutkan, karena dipenuhi dengan berbagai „ancaman‟ dan kebencian satu sama lain. Ia telah menjadi „ruang‟ untuk slaing mencurigai, memusuhi dan membenci segala sesuatu yang berbeda dengan „kita‟ (baca: identitas masing-masing).

(4)

kebangsaan masa depan, karena basis utama dari konstruksi kebangsaan ini, justru dikembangkan dari adanya pluralitas. Menurut Th. Sumartana4, basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak pada SARA. SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Di manapun kita mencari identitas asli bangsa ini, akan bertemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras dan pluralisme dari golongan-golongan profeso, ideologi, kelas-kelas ekonomi, dan lain-lain, yang beranekaragam.

Pengelolaan atas keragaman budaya (multikultural) kemudian menjadi prasyarat bagi penguatan identitas kebangsaan secara lebih kondusif. Artinya, apakah identitas kebangsaan dapat dipertahankan atau tidak sangat tergantung atas pengelolaan keragaman yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pengelolaan tersebut tidak hanya terletak pada kepentingan negara (state), melainkan juga harus menjadi tanggungjawab (kepentingan) masyarakat (society). Hal ini berkaitan dengan suatu kenyataan, betapa konflik-konflik yang berdasarkan latarbelakang keragaman, seringkali terjadi secara rigid dalam masyarakat yang majemuk, yang tidak memiliki kesadaran atas pluralitas tersebut. Ketidaksadaran tersebut menjadikan masyarakat (golongan) yang satu akan menganggap yang lain sebagai the other („yang lain‟); sebagai „musuh‟ yang harus dicurigai. Ketidasadaran atas keragaman ini memunculkan kebencian satu sama lain, yang berakibat pada instabilitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Selama ini bangsa ini terjebak pada simbolitas „nasionalisme‟ dengan

Bhineka Tunggal Ika-nya. Simbol ini tentunya berpijak pada realitas keberagaman kebudayaan yang kalau dibiarkan dan tidak dikelola menjadi kekuatan awal yang sanggup mencabik-cabik kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Bhineka Tunggal Ika (seharusnya) adalah semangat untuk hidup berdampingan secara damai dalam „ruang‟ yang bernama Indonesia. Sayangnya, konsep ini kemudian menjadi alat efektif bagi kekuatan-kekuatan yang berkuasa untuk mematikan keragaman melalui semangat penyeragaman. Lahirnya kebudayaan nasional, lahirnya bahasa nasional dan bahkan lahirnya kepribadian nasional adalah salah satu „proyek‟ yang

4 Th. Sumartana, dkk, 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,

(5)

selalu dihembuskan oleh kekuasaan. Dengan dalih mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan multikultural, maka negara mulai menciptakan

homogenitas kebudayaan.

Homogenitas kebudayaan menjadi satu-satunya realitas kebudayaan kita. Kebudayaan yang heterogen sifatnya menjadi terpasung. Meskipun ia ada, tidak boleh mereduksi kebudayaan nasional yang „dibentuk‟ oleh kekuasaan. Karena „dibentuk‟ oleh kekuasaan, maka kebudayaan tidak lagi bermakna. Dalam terminologi ini Faruk5 mulai menyebut bahwa keanekaan Indonesia kemudian

dikenali, diakui dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berlaku hingga saat ini. Sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan dan pengukuhan keanekaan itu, dibangun berbagai program pendokumentasian sebagaimana yang tampak dalam berbagai program pembangunan di masa Orde Baru. Di lingkungan perguruan tinggi, terutama studi antropologi, telah dihasilkan sebuah buku suntingan Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Indonesia. Buku ini berisi himpunan karangan dan penelitian mengenai aneka budaya Indonesia yang kemudian menjadi referensi (utama) tentang kebudayaan Indonesia.

Akhirnya, yang muncul adalah keanekaan kebudayaan Indonesia itu kemudian dibayangkan dari satu komunitas etnis sebagai yang mandiri, utuh dan karenanya –meminjam istilah Faruk- dianggap statis. Aneka kebudayaan itu tidak dipahami sebagai dan dilepaskan dari proses kehidupan, baik proses yang diakibatkan oleh dinamika internal komunitas itu sendiri, maupun persentuhannya dengan berbagai komunitas dan kebudayaan yang ada di luarnya. Seolah ketika berbicara tentang (bagian) kebudayaan Indonesia, misalnya kebudayaan Jawa, selalu dipahami sebagai sesuatu yang seakan telah sempurna dalam dirinya, mandiri, utuh dan statis6.

Implikasi logisnya menurut Faruk7, adalah ketika kebudayaan setiap komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh, murni, cutra yang

5 Faruk dalam Sumartana, Th. , 2001. Ibid. hlm. 14

6

Ibid. hlm. 15

7

(6)

terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Cara pandang ini pada gilirannya akan membentuk sebuah pengakuan dan pengukuhan terhadap keterpisahan antar budaya. Konsep nasionalisme atau taruhlah kebudayaan nasional –jika menggunakan sudut pandang tersebut- hanya akan menjadi „proyek‟ penyeragaman (monokultural) yang tidak menghargai keragaman (multikultural) yang senantiasa berdialog, „bersetubuh‟ secara dinamis satu sama lainnya.

Memaknai kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan da perkembangan secara kontinue. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar „fosil‟ pada saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah menghimpun kebudayaan dalam satu simbol kebudayaan nasional. Proyek penyatuan yang sesungguhnya memisahkan.

Kesadaran multikultural seharusnya dibentuk melalui keterbukaan bersama. Bahwa keragaman adalah realitas sejarah peradaban. Terminologi „multi‟ pada dasarnya memberikan aksentuasi keunikan dan keindahan peradaban. Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan manusia telah dipertimbangkan dan diperlukan untuk menjadi pernik dalam keindahan peradaban. Minimal menjadi bagian dari keunikan kebangsaan Indonesia. Dunia dibangun di atas spesialisasi dalam seluruh aspek yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Dunia –meminjam terminologi Ruslani8 seperti sebuah hutan yang berisi beragam flora dan fauna yang saling melengkapi.

Mengelola multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa kita tampaknya harus disandarkan pada kesadaran logis yang didasari pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Pendasaran itu penting, karena masyarakat kita perlu diberikan suatu pemahaman objektif tentang multikultural sebagai keniscayaan sejarah yang muncul secara alamiah. Kondisi-kondisi objektif tentang keragaman kebudayaan

8

(7)

harus mulai dikenalkan. Bahwa ada kondisi objektif yang memang membedakan, tetapi semuanya tidak mempertentangngkan. Kebersamaan dibangun karena memang ada perbedaan. Bukankah perbedaan tidak boleh dimaknai sebagai pertentangan ? Inilah kesadaran multikultural yang dikembangkan melalui dialog bukan melalui konfrontasi. Inilah yang dimaknai sebagai keindahan peradaban sebagai sebuah bangsa.

Ikhwal Kesadaran Multikultural

Keberhasilan pengelolaan tersebut sangat terkait dengan usaha-usaha serius untuk memunculkan (minimal) kesadaran atas realitas yang plural. Sehingga, diperlukan berbagai upaya secara komprehensif untuk menumbuh-kankembangkan perilaku berbangsa yang sadar atas keragaman (pluralitas) sebagai suatu keniscayaan sejarah. Pluralitas etnik, kultural, keagamaan, dan lain-lain di manapun di dunia ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari, karena pluralitas adalah hukum alam. Yang menjadi persoalan –sesungguhnya- bukan pluralitas itu sendiri, melainkan bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembang pluralitas itu ? Apakah masing-masing kita toleran terhadap dan hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik, kultur, agama dan sebagainya ?

Realitas masyarakat bangsa Indonesia yang diguncang oleh berbagai konflik berdarah yang dipicu oleh perbedaan etnik dan agama memberikan bukti bahwa keragaman multikultural belum dikelola secara baik. Rangkaian kerusuhan berdarah ini memperlihatkan ada persoalan besar antar etnik dan agama di dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Prinsip penghargaan akan multikultural yang berkembang dalam masyarakat Indonesia seolah-olah luluh lantak seiring dengan konflik-konflik rasial dan agama. Konflik tersebut seolah juga semakin memberikan gambaran bahwa konsep bhineka tunggal ika sesungguhnya adalah kesatuan kebudayaan yang memisahkan satu sama lain.

(8)

ras tertentu yang terdapat didaerah perkotaan. Kenyataan ini mendorong timbulnya prasangka. Sebagai gejala psikologis yang ditandai dengan sikap penuh emosi yang tak disertai bukti-bukti terlebih dahulu berdasarkan pengalaman. Faktor yang mendorong munculnya prasangka dalam pergaulan antar ras adalah : sugesti, kepercayaan, keyakinan dan emulasi(persaingan, perlombaan). Seorang Antropolog, A.L.Kroeber mengemukakan ada 6 faktor penyebab prasangka ras dan aksi rasialisme,yaitu : faktor ekonomi, politis, sosio kultural, psikologis, religius, dan biologis. Munculnya prasangka ras bertalian dengan pendidikan orang tua di rumah maupun melalui buku-buku pelajaran di sekolah . Karena itu upaya mencegahnya harus dimulai di bidang pendidikan baik formal maupun informal9.

Fenomena konfliktual yang melanda masyarakat Indonesia disertai dengan „kebencian‟ rasis misalnya dapat menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Bangunan identitas negara bangsa dapat porak poranda tatkala masyarakat kita memberikan citra yang tidak baik terhadap kondisi keunikan dan kekhasan negara Indonesia dengan keragaman kebudayaan, agama dan rasnya. Peradaban bangsa yang luhur, yang mengedepankan harmonisasi sosial, ketiadaan konflik, dsb, hanya akan menjadi –meminjam istilah Ben Anderson- sebagai Imagine Community atau komunitas bayang-bayang belaka. Negara bangsa Indonesia hanya menjadi mimpi; karena sesungguhnya negara bangsa adalah sebuah kemauan serius untuk hidup dalam satu negara, meski harus dengan varian identitas kulturalnya.

Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan Th. Sumartana10 bahwa di basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan). SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Dimanapun kita mencari identitas asli bangsa ini, akan ketemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras, dan pluralisme dari golongan-golongan profesi, ideologi, kelas-kelas sosial ekonomi dan lain-lain, yang berwarna-warni. Tidak ada yang salah dengan SARA. SARA seungguhnya mengisyarakat betapa masyarakat hidup tidak dalam homogenitas

(kesamaan), melainkan heterogenitas (keanekaragaman). Kalau toh terjadi konflik

9

Sandra Kartika dan M.Mahendra, ed., 1999 10

(9)

atas SARA, maka kesalahan terletak pada kemampuan negara dan masyarakatnya mengelola SARA secara baik dan benar.

Realitas keberagaman tersebut di atas merupakan nature keindonesiaan. Keberagaman menjadi fakta yang tidak bisa ditolak oleh siapapun dan kapanpun. Dia hadir menjadi pembentuk dari identitas keindonesiaan kita. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana sikap dan perspektif kita terhadap keindonesiaan yang plural tersebut. Bagaimana kita mengembangkan suatu sikap inklusif yang menerima realitas perbedaan sebagai keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditolak. Lebih spesifik adalah bagaimana konstruksi beragama kita –jika kemudian diletakkan dalam konteks keberagamaan- yang mengokomodir keindonesiaan tersebut. Nalar beragama seperti apakah yang harus diapresiasi kehadirannya agar mampu menerjemahkan pluralitas tersebut?

Wacana ’Agama’ dan Ke-Indonesia-an

Prolog panjang di atas diletakkan dalam rangka mengawali perbincangan kita bahwa realitas kebangsaan kita adalah kebangsaan dengan kemajemukan dan keberagaman. Artinya, kita tidak hidup sendiri dalam kerangka ke-Indonesia-an. Ada beberapa elemen dan komponen bangsa ini yang secara faktual ada dan tidak bisa dinafikan kehadirannya. Dalam konteks demikian, harusnya pemaknaan keagamaan kita juga diletakkan dalam konteks kehidupan berbangsa yang demikian. Dan ini tantangan berat. Meminjam terminologi Budhy Munawar-Rachman 11, tantangan teologi paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah: bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Istilahnya, bagaimana umat beragama bisa berteologi dalam konteks agama-agama, tanpa harus mendegradasikan keyakinan ajarannya. Setiap umat beragama –pasti dengan keyakinan- meyakini kebenaran mutlak setiap doktrin agamanya. Doktrin agama menjadi suatu nilai yang memperteguh keyakinan umat beragama untuk beragama. Namun demikian, tetap diperlukan suatu konstruksi beragama yang bersifat dogmatis, meski kemudian tidak kontraproduktif terhadap keteguhan keyakinan beragama tersebut.

11

(10)

Realitas yang demikian melahirkan suatu keinginan mengkonstruksikan nalar agama yang bersifat terbuka (inklusif) yang menghargai setiap perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan ideologi keagamaan. Pemahaman keagamaan ini yang diletakkan dalam konteks keindonesiaan menjadi penting. Hal ini karena agama dalam konteks keberagaman bisa berfungsi paradoks, bisa menjadi faktyor pemersatu (uniting factor) tetapi bisa juga berfungsi sebagai faktor pemisah (deviding factor). Dalam bukunya Mukadimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kelompok (group belonging) atau kesatuan sosial, karena ia masih membutuhkan faktor lain untuk memperkuatnya.

Membaca terminoloci dua fungsi agama dalam kemajemukan tersebut, tidak salah jika seharusnya kita bangga bahwa dalam keragaman manusia Indonesia – meminjam istilah Soetjipto Wirosradjono12 (1991)- dimana agama tidak pernah menjadi faktor pemecah belah. Salah satu spekulasi untuk kehidupan beragama yang relatif harmonis ini adalah bahwa semua agama yang kini dipeluk oleh warga negara Indonesia datang melalui cara damai. Tidak pernah ada insiden ‟militer‟ atau millitary conquest yang mengawali proses pengenalan agama di negeri ini, semuanya datang melalui pendekatan persuasif. Maka sejauah yang disadari oleh penganut agama, tak satupun dari mereka dalam rentang sejarah merasa mengalami menjadi pihak yang kalah maupun pihak yang menang. Artinya, warga bangsa Indonesia sesungguhnya tidak pernah memiliki pengalaman buruk dalam konteks relasi antar umat beragama satu sama lain. Perbedaan agama justru menjadi suatu mozaik yang memperindah keindonesiaan.

Realitas ini memberi bukti bahwa negeri ini telah cukup nyaman bagi kehidupan keberagamaan yang beragam. Tafsiran agama yang dihadirkan pun selama ini adalah tafsiran dengan teologi kearifan yang seringkali mengakomodir lokalitas. Satu sama lain terajut dalam sebuah common platform yang sama demi kebangsaan Indonesia yang multikultural ini. Negeri ini hampir tidak pernah ada memori yang jelek tentang hubungan antar umat beragama. Karenanya, menjadi aneh rasanya ketika tiap ada kekerasan maupun teror bom (apapun namanya)

12

(11)

seolah-olah berhubungan dengan konflik agama. Atau jika kemudian ada kekerasan yang mengatasnamakan agama di negeri ini.

Dalam hal kemajemukan, hampir semua agama mengajarkan untuk saling berhubungan dalam kedamaian dan kemanusiaan. Bukankah setiap agama diturunkan dan ada dalam rangka membangun peradaban damai di muka buni ini? Hanya tafsiran agamalah yang menjadikan seolah-olah agama itu anti kemajemukan. Seolah-olah agama itu untuk menjadikan yang majemuk itu menjadi homogen. Implikasinya, hadirlah tafsiran agama yang cenderung membenarkan diri dengan menegasikan yang lain. Akibat parahnya, meminjam terminologi Erich Fromm13- dalam kondisi psikologis demikian seorang yang kian taat beragama (jika tafsirannya cenderung binnary opposition) akan cenderung menganggap orang lain itu syaithon dan berlumuran kemungkaran.

Menurut Nurcholis Madjid, Islam sebagai agama yang saya yakini kebenarannya, sejauh keyakinan saya adalah agama yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak terkecuali. Muhammad SAW pun diturunkan dalam kerangka untuk menyelamatkan peradaban dunia yang jahiliyah menuju peradaban yang di ridhoi Allah SWT. Sebuah peradaban yang dalam sepanjang sejarahnya ‟nyaman‟ untuk hidup berkembangnya kemajemukan.

Bukankah Alloh SWT sendiri menjamin, ”wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li-ta’arufu’: Dan (Kami) jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal14.

Dalam Islam, homogenitas agama tidak dijadikan platformnya. Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Al-Qur‟an juga menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”15 Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan

siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya.16 Menurut Nurcholis Madjid selanjutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai

13

Fromm, Eric. 1989. Masyarakat yang Sehat, Jakarta: Yayasan Obor. hlm. 86

14 (QS Al-Hujurat (49): 13).

(12)

ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman17 .

Merujuk pada Kitab Suci al-Qur‟an, Nurcholish Madjid18 menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Madjid selanjutnya mengutip Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu Nurcholis Madjid dikatakan bahwa:

“... semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Qur‟an,

kalimatun-sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”

Dalam konteks yang demikian, umat beragama yang berbeda tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan penganut agama yang sama yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain.19 Inilah sesungguhnya pemaknaan beragama untuk kemanusiaan. Agama diturunkan untuk kepentingan membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik dari sebelumnya. Artinya, hampir tidak ada agama yang diturunkan yang berisi ajaran-ajaran yang kontraproduktif bagi kemanusiaan yang kebih baik.

Dalam rangka kepentingan tersebut di atas, upaya membangun dialog antar umat beragama menjadi suatu keharusan. Dialog diajalankan dengan cara yang netral satu sama lain. Dialog bukanlah dalam rangka mempertentangkan keyakinan

17

Djohan Efendi dalam Th. Sumartana, op.cit. 2001: 54-55).

18

Madjid, Nurcholis, 2001, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina. Hlm. 98

(13)

keagamaan, tetapi dalam rangka pemberian kesadaran atas perbedaan yang harus dihargai satu sama lain. Nalar agama yang inklusif selalu menyediakan diri untuk menerima perbedaan yang lain. Nalar agama ini lebih menyukai mengedepankan dialog demi kepentingan bersama atas dasar kemanusiaan, bukan demi kepentingan pembenaran keyakinannya masing-masing.

Alwi Shihab20 menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme menurtu Alwi Shihab adalah , pertama, tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif

terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.

Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Dan keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian

20Shihab, Alwi , 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama Bandung : Mizan, hlm.

(14)

komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Sikap toleran dan penghargaan atas pluralitas merupakan suatu cerminan betapa keyakinan beragama tidaklah bisa dipaksakan kebenarannya. Setiap masing-masing agama memiliki kebenaran yang diyakini pemeluknya. Dalam rangka membangun sikap toleran dan penghargaan atas pluralitas itulah, maka pola relasional antar masing-masing agama harus dalam ruang publik keindonesiaan harus dituntun oleh suatu etika publik sebagai common value dalam kehidupan keindonesiaan. Common value sebagai etika publik dalam rangka membangun dialog peradaban tersebut didasarkan atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Dalam bahasa yang lebih tegas etika publik dalam membangun kehidupan beragama yang inklusif itu adalah Pancasila.

Penutup

Keyakinan keagamaan itu sakral dan sensitif. Karenanya, keyakinan keagamaan seseorang haruslah dihormati dan dilindungi. Realitas keindonesiaan kita yang majemuk jelas tidak memberikan „ruang‟ bagi tumbuh kembangkan tafsiran keagamaan yang tidak toleran yang hadir hanya untuk mengeliminasi wajah keIndonesiaan kita saat ini. Ajaran keagamaan (manapun) tidaklah anti terhadap keberagaman, justru darisanalah benih-benih untuk saling bersapa dalam kedamaian dan kemanusiaan bisa dijalankan. Mari selamatakan peradaban kebangsaan ini dengan agama yang mencintai kemanusiaan.

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict, 2001, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Insist Press.

Dahlan, Muhidin M. 2003, Sosialisme Relijius, Yogyakarta: Jendela

Effendy, Bachtiar, “Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan: Dapatkah Sektor Pendidikan Diharapkan”., dalam Th. Sumartana (ed). 2001,

Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

(15)

Madjid, Nurcholis, 2001, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina

Noer, Kautsar Azhari, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem pendidikan Agama”, dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Shihab, Alwi , 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama Bandung : Mizan,

Wirosardjono, Soetjipto, 1991, Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta: P3M

Sumartana, Th. (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Interfidei, Yogyakarta.

Suseno, Frans Magnis, “Pluralisme Agama, Dialog dan Konflik di Indonesia” dalam Th. Sumartana (ed). 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.

Referensi

Dokumen terkait

08 02 01 02 003, Mahasiswa Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Qaimuddin Kendari, telah diuji dan dipertahankan dalam ujian

Sedangkan untuk serangan SQL Injection melalui paket HTTP yang disimulasikan menggunakan SQLMap, maka rules SNORT dibuat untuk melakukan inspeksi terhadap paket data

Kompetensi Dasar Materi Pokok/ Pembelajar an Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar Teknik Bentuk Instrumen Contoh Instrumen kehidupan

sehingga informasi secara tahunan perusahaan dapat diketahui, tidak mengalami delisting selama periode penelitian, menyajikan lapor- an keuangannya dalam satuan mata uang

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

[r]

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pda tanggal 03-05 Maret 2014 di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto dengan menggunakan kuesioner terhadap 10 lansia diperoleh data

Hasil penelitian ini adalah motiviasi ibu nifas dalam memberikan ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan Di Ruang Gayatri RSUD Wahidin Sudirohusodo Kota