• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Sosial Budha Tzu Chi di Kota Medan Chapter III VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gerakan Sosial Budha Tzu Chi di Kota Medan Chapter III VIII"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi agama dengan metode penelitian kualitatif. Pendekatan sosiologi agama meneliti tentang aspek sosial agama. Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut Robert memfokuskan pada; Pertama, kelompok-kelompok atau lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya). kedua, perilaku individu dalam kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual), ketiga, konflik antar kelompok (Robert, 1984:3).

Penelitian kualitatif untuk memperoleh keterangan yang deskriptif analisis di lapangan yakni dengan penggambaran atau representasi objektif terhadap fenomena yang ada (Hadi, 1995:9). Metode penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus yang melibatkan suatu pendekatan yang interpretatif dan wajar dalam setiap pokok permasalahan (Salim, 2002:5). Penelitian kualitiatif ini melibatkan pengguna dan pengumpulan berbagai bahan seperti studi kasus, pengalaman pribadi, riwayat hidup, dokumentasi, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksinisme dan ritual yang menggambarkan momen rutin dan problematik serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif. (Salim, 2002:6)

(2)

(memahami) terhadap fenomena atau gejala-gejala sosial, karena itu bersifat to

learn about the people (masyarakat sebagai subjek) atau native‟s point of view (fenomena dalam masyarakat dijelaskan dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu sebagai berikut :

3.2.1. Teknik Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmuan namun juga dalam berbagai aktivitas kehidupan. Secara umum observasi berarti pengamatan, penglihatan. Sedangkan secara khusus, dalam dunia penelitian observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis

(3)

dilakukan oleh pengurus dan relawan organisasi yayasan Budha Tzu Chi Kota Medan.

Dalam kegiatan observasi, peneliti juga akan ikut serta dalam melakukan aktivitas yaitu kegiatan-kegiatan penting dari organisasi yayasan Budha Tzu Chi Kota Medan itu sendiri yang tujuannya untuk melakukan observasi partisipatif agar lebih mendekatkan diri lebih dalam pada objek penelitian sehingga data-data yang diperoleh lebih detail.

3.2.2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang yaitu pewancara (interviewer) yang memberikan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan pertanyaan tersebut. (Moleong, 1991:135). Wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak dilakukan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama untuk penelitian sosial yang bersifat kualitatif. Adapun yang menjadi tujuan wawancara secara umum adalah untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subjek yang diteliti

Wawancara dalam melakukan penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu peneliti dan informan berinteraksi satu sama lain dengan waktu yang relatif lama sehingga peneliti dapat membangun rapport dengan informan. Peneliti membagi informan menjadi dua jenis yaitu : informan kunci dan informan biasa.

(4)

International Medical Associations (TIMA) dan para pengurus struktural lainnya. Sedangkan informan biasa meliputi relawan yang umumnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi Budha Tzu Chi seperti bakti sosial, program kesehatan, program sadar lingkungan dan donatur. Total secara keseluruhan ada 15 informan yang 6 diantaranya merupakan informan kunci.

Wawancara dilakukan dengan waktu dan tempat yang disepakati oleh peneliti dengan informan. Untuk menjaga agar wawancara tetap pada fokus penelitian, peneliti akan menggunakan interview guide sehingga pertanayaan-pertanyaan yang akan diajukan tetap terarah dan tidak lari dari fokus penelitian. Selain menggunakan interview guide, peneliti juga akan menggunakan recorder

untuk merekam proses wawancara informan untuk memperkuat akurasi data. Penelitian ini juga akan menyiapkan dokumentasi, seperti bahan-bahan dari data yang berkaitan serta foto-foto momen yang mendukung penelitian.

3.2.3. Analisis Data

Analisa data disebut juga pengolahan data atau penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokkan, sistematisasi dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang sudah dianalisis.

(5)

diteliti kembali dan diperbaharui kembali. Pada akhirnya kegiatan ini betujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

Analisa data merupakan proses lanjutan dari bentuk catatan lapangan sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) yakni :

Fieldnotes are accounts describing experiences and observations the researcher has made while participating in a intense and involved

manner“ (Catatan lapangan yang menggambarkan kumpulan pengalaman dan pengamatan penelitian yang dicatat saat turut berpartisipasi secara intens dan terlibat)

Langkah selanjutnya, data-data ini dianalisis secara kualitatif melalui teknik observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian. Langkah selanjutnya yang paling penting yakni menarik kesimpulan dan verifikasi.

3.3. Lokasi Penelitian

(6)

BAB IV

AGAMA BUDHA DAN ALIRANNYA

4.1. Sejarah Agama Budha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama ini memperoleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pendirinya yaitu Siddharta Gautama yang memiliki sebutan Budha. Siddharta Gautama mendapat sebutan Budha, setelah menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkhalwat, mengembara untuk mencari kebenaran selama hampir tujuh tahun lamanya, dan di bawah sebuah pohon yang besar di kota Goya memperoleh hikmat dan cahaya hingga sampai kini pohon tersebut disebut pohon hikmat.

(Sou‟yb, 1983:72)

Nama asli pendiri agama ini adalah Siddharta, sedangkan Gautama adalah nama keluarga (marga). Siddharta di lahirkan dari golongaan kasta Ksatria pada abad ke- 6 SM, atau tepatnya pada tahun 563 SM. (Arifin, 1996:71). Di daerah tersebut yang sekarang di sebut Nepal. Ayahnya bernama Suddhadana beliau seorang raja dari kerajaan Sakya yang beribu kota di Kapilavastu. Sedangkan ibunya bernama Maya. Siddharta dilahirkan pada bulan purnama pada hari Vaisakh (April-Mei). Di bawah sebuah pohon sala yang sedang berbunga di taman lumbini. Ketika Maya dalam perjalanan dari Kapilavastu mengunjungi orang tuanya di Dewdaha.

(7)

pada dipan yang terbuat dari emas. Kemudian datanglah seekor gajah putih membawa bunga lotus (padma) masuk kedalam tubuh melalui sisi kanannya, (Arifin, 1996:72).

Pada hari kelahirannya cahaya yang tak terhingga menyinari alam semesta, orang buta dapat melihat, orang tuli dapat medengar, orang bisu dapat berbicara, bunga-bunga bejatuhan diri langit, musik dan wangi-wangian bertebaran di mana-mana. Anak lelaki itu berjalan tujuh langkah di atas bunga-bunga lotus beberapa saat setelah kelahirannya. Lima hari setelah kelahirannya, anak laki-laki itu dibawa ke orang suci dan para ahli peramal, mereka melihat di tubuh Siddharta terdapat tanda-tanda sebagai orang besar ditafsirkan bahwa dia akan menjadi seorang pemimpin dunia atau menjadi Budha.

Semasa muda hidup Siddharta dalam gemilang kemewahan. Mengingat kata-kata ahli peramal, Suddhadana menetapkan bahwa putranya harus menjadi pemimpin dunia bukan seorang Budha. Guru-guru terbaikpun diundang untuk mendidiknya yang mengajarkan tidak hanya hikmah tetapi juga berbagai macam seni. Dikatakan bahwa guru-gurunya kagum akan kecepatan Siddharta menguasai setiap ilmu yang diajarkan kepadanya. Sekalipun demikian sebagai seorang anak ia sering nampak duduk termenung, berfikir sangat serius.

(8)

dan lemah. Tidak seorangpun diperbolehkan bercerita tentang penyakt atau kematian, penderitaan dan ketidakbahagiaan.

Ketika Siddharta berusia 16 tahun, semua gadis cantik diundang agar dapat memilih seorang istri dari salah satu di antara mereka. Semua gadis tersebut lewat di hadapannya dan menerima hadiah darinya. Gadis yang terakhir adalah Yasodhara. Namun hadiah sudah habis. Maka kalung permata di lehernya di lepas

dan diikatkan di pinggangnya sambil berkata “ buat yang terjujur dari semuanya”

maka Yasodhara putri Suppabuddha inilah yang menjadi pilihannya. (Arifin, 1996:73). Pernikahan mereka sangat menyenangkan. Akan tetapi kehidupan mereka terbatas dalam lingkungan istana. Suatu saat Siddharta meminta izin ayahnya untuk keluar dari istana, maka Suddadana menolaknya.

Dia mengutus seseorang untuk memberitahukan tentang kunjungan putranya dan meminta mereka agar semua yang dilihatnya tampak baik dan indah dan semua yang jelek supaya di sembunyikannya. Akan tetapi takdir tidak bisa ditolak pada beberapa perjalanannya ia ditemani oleh seorang kusirnya Channa, ia melihat sesuatu yang membuat ia berfikir mendalam dan sedih: orang tua dimakan usia, orang sakit diliputi luka, dan orang mati dikuburkan. Ia lalu bercerita kepada Channa bahwa semua itu adalah keadaan yang melekat dengan kehidupan dan tak seorangpun dapat terhindar darinya. Dalam setiap keadaan ia berusaha menyenangkan hatinya, namun semakin ia tahu sesuatu, justru ia menjadi semakin sedih.

(9)

memuaskan. Selain itu terpikir juga nasib sebagian rakyat yang miskin dan sengsara dari kalangan Kasta Sudra. Apa sebabnya sang Brahma, pencipta yang maha tunggal mambagi-bagi manusia dalam bentuk Kasta. Apakah benar yang demikian itu aturan sang Brahma. Semakin direnungkan semakin dalam sedih dan dukanya. Makanan yang enak, pemandangan yang indah, nyanyian dan musik yang merdu tak dapat menghiburnya, bahkan kesenangan itu dianggapnya fatamorgana, kesenangan yang hanya sekejap saja.

Setelah pergi jauh dari istana, Siddharta mencukur rambut dan jenggotnya sehingga tampangnya sebagai seorang bangsawan telah berubah menjadi mirip seorang bhiksu dan melanjutkan perjalanannya menjadi seorang pendeta atau bhiksu, untuk mencari rahasia dan hikmat hidup. Dalam perjalanannya ini ia bertekad tidak akan kembali ke Kota Kapilawastu sebelum mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu hakikat hidup, obat penderitaan segenap manusia. Ditengah perjalanan bertukar pakaian dengan seorang pemburu yang berpakaian kumal.

Dengan pakaian tersebut ia menyamar sehingga tidak akan ada seorangpun yang mengenali bahwa ia seorang bangsawan putra mahkota suatu kerajaan terkenal pada masa itu. Dalam penggembaraanya itu, Siddarta mengunjungi beberapa biara dan asrama Brahmana, seperti biara Ranthalama, biara Alodrakama, dan lain-lain perguruan Brahmana yang terkenal. Semua jawaban yang ia peroleh terhadap hakekat dan rahasia hidup adalah hendaknya mempelajari kitab Weda.

(10)

bahwa untuk medapatkan hikmat dan kesempurnaan hidup harus mensucikan roh dan jiwa dengan jalan menyiksa diri dengan kelaparan dan dahaga. (Arifin, 1996:76). Ia menjalani cara ini bersama lima bhiksu tadi masuk kedalam hutan melakukan pertapaan dengan tidak makan sama sekali, menanggung lapar dan dahaga siang malam duduk merenung, hujan dan panas, angin malam dan embun tiada diperhatikannya hingga badannya kurus kerontang tinggal kulit pembalut tulang.

Siddharta meneruskan perjalanannya, mengembara. Meminta-minta sekedar untuk kelangsungan hidupnya, merenungi hakikat hidup dan kebenaran. (Hakim, 1978:157). Akhirnya pada suatu sore di bulan purnama (waktu itu ia berumur 30 tahun) pada bulan Vaisakh (April-Mei) dan duduk di bawah pohon

Bodhi atau Bodh Gaya dengan bermaksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum ia mendapatkan pencerahan. Ketika Mara (iblis) mengetahui bahwa Siddharta sekarang bermaksud untuk berusaha dengan sekuatnya mendapatkan pencerahan yang sempurna, menggerakan seluruh roh-roh jahat untuk menghalangi Siddharta. Berbagai macam cara yang di lakukan Mara, akan tetapi usahanya tetap sia-sia. Demikian malam itu dilalui dengan peperangan melawan mara dan bala tentaranya. Tetapi Siddhartalah yang menang, dan malam ini pula ia mendapatkan pencerahan, cahaya (boddhi). Seluruh kemenangan Siddharta sebenarnya dicapai melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap yang pertama ia mendapatkan pengetahuan tantang kehidupannya yang terdahulu.

(11)

3. Tahap ketiga ia dapat pengertian tentang pangkal yang bergantungan, yang menjadi awal segala kejahatan (Afirin, 1996:77).

Demikian pada waktu matahari terbit Siddharta sudah mendapatkan

pencerahan yang sempurna. Banyak mu‟jizat yang terjadi pada waktu yang mulia

itu. Gempa bumi hingga enam kali, seluruh alam diterangi dengan sinar yang terang benderang. Kejahatan meninggalkan seluruh hati manusia. Segala kekurangan disempurnakan, yang sakit menjadi sembuh, seluruh makhluk memperoleh kedamaian, dewa-dewa menyebarkan bunga-bunga dan Siddharta disebut Tathagata (Hadiwijono, 1977:52).

Mula-mula dia ragu untuk menyebarkan pengetahuannya kepada manusia. Setelah menghadap dewa Brahman kemudian menyebarkan pengetahuannya yang sungguh menyinari dunia ini. Sejak itulah Siddharta menjadi Budha. Artinya yang disinari. Menyiarkan kenyakinanya ke negara suci Budha selama 45 tahun. dia melihat penganut-penganutnya semakin bertambah, bahkan raja-raja dan rakyatnya berduyun-duyun meminta petunjuk hidup kepada Budha (Rifai, 1984:94).

(12)

4.2. Inti Ajaran Budha

Inti dari ajaran Siddharta (Budha) tri ratna atau tiga mustika, tri ratna adalah sebagai berikut:

4.2.1. Budha

Budha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan

sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Budha

adalah seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya kebijakan dan memperoleh kebijaksanaan kebenaraan mengenai nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana. Hyang Budha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni pendiri agama Budha. Hyang Budha yang berdasarkan waktu kosmik ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Budha

(Sudharma, 2007:72). 4.2.2. Dharma

Hukum Kebenaran, agama, hal-hal apa saja yang berhubungan dengan ajaran agama Budha sebagai agama yang sempurna. Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:

1. Doktrin

2. Hak, keadilan, kebenaran 3. Kondisi

4. Barang yang kelihatan atau phenomena.

(13)

atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasa (Sudharma, 2007:72).

Budha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya. Tripitaka Mahayana termasuk dalam Budha Dharma.

4.2.3. Sangha

Persaudaraan para bhiksu, bhiksuni (pada waktu permulaan terbentuk). Kemudian, ketika agama Budha Mahayana berkembang para anggotanya selain para bhiksu, bhiksuni, dan juga para umat awam yang telah upasaka dan upasika dengan bertekad pada kenyataan tidak-tanduknya untuk menjadi seorang Bodhisattva, menerima dan mempraktekkan pancasila Budhis ataukah

Bodhisattva Sila (Sudharma, 2007:75).

4.3. Aliran-Aliran dalam Budha

(14)

Hinayana dikenal sebagai kendaraan kecil, merupakan golongan yang mempertahankan ajaran asli Budha Gautama. Walaupun terbukti telah menyimpang juga dari ajaran asli itu sendiri. Sedangkan Mahayana dikenal sebagai kendaraan besar yakni golongan pembaharu agama Budha yang lebih banyak menyimpang dari aslinya. Selain itu mempunyai penganut yang lebih banyak di banding aliran Hinayana.

4.3.1. Aliran Hinayana

Perpecahan antara Hinayana dan Mahanyana berkisar pada dua hal, yaitu mengenai pribadi Budha dan ajaran tentang Dharma dan Nirwana. Aliran Hinayana mempunyai kepercayaan bahwa dunia kita ini telah beberapa kali didatangi Budha sebagai pengajara kepada manusia supaya terhindar dari penderitaan dan dapat mencapai Nirwana. Jarak waktu kedatangan sang Budha terjadi pada masa yang lama sekali. Untuk periode sekarang ini sang Budha ialah Siddharta Gautama. Di masa yang akan datang akan ada lagi Budha yang lain yang sekarang masih bersemanyam di surga. Calon Budha itu di sebut Boddhisatwa. Ajaran aliran Hinayana mengenai Dharma dan Nirwana adalah sebagai berikut:

a. Segala sesuatu bersifat fana dan hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berbeda untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.

(15)

terus-menerus maka timbul kesadaran diri yang palsu atau ada perorangan yang palsu.

c. Tujuan Hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada di dalam Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.

d. Cita-cita yang tertinggi ialah menjadai arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali. (Hadiwijono, 1977:68)

Sementara untuk kitab sucinya berisikan tentang Vinaya Pitaka, (peraturan-peraturan golongan para Bhiksu) berbicara mengenai Sangha. Terdiri dari 3 buah tulisan yang yang membicarakan peraturan peraturan tata-tertib bagi para bhiksu. Selanjutnya Sutta Pitaka, (keranjang pengajaran) memuat 4 buah kumpulan yang besar dari pelajaran Budha. Terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh Budha dan yang terakhir Abhimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Budha. Terdiri dari 7 buah naskah, yang merupakan uraian-uraian ilmiah yanmg kering tentang dogmatika.

4.3.2. Aliran Mahayana

(16)

hakikatnya hanyalah merupakan bayangan Budha-budha surga. Asal segala sesuatu yang ada ini disebut Adhi Budha. (Hadiwijono, 1977:69)

Ajaran Sang Budha Mahayana, yang dilahirkan di India utara, digunakan atas tiga pengertian utama:

a. Sebagai tradisi yang masih berbeda, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi agama Budha yang ada sekarang ini, yang lainnya adalah Theravada pembagian ini sering kali diperdebatkan oleh berbagai kelompok.

b. Munurut cara pembagian klasifikasi filosofi agama Budha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkatan motifasi spiritual yang juga dikenal dengan sebutan Bodhisattvayana berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Sharavakayana. Hal ini juga di kenal dalam ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.

c. Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam agama Budha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran agama Budha Mahayana dan Theravada.

(17)

dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.

Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Budha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet).

Aliran agama Budha Mahayana sekarang ini adalah “Pure Land”, Zen,

Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.

4.3.3. Perbedaan Aliran Hinayana dan Mahayana, yaitu:

1. Jika aliran Budhisme Hinayana pada dasarnya memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada penyelamatan orang lain, aliran Mahayana berpendirian sebaliknya. Oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Mereka berpendapat bahwa hal ini terkandung dalam ajaran pokok sang Budha tentang anatta yang seperti telah kita ketahui berarti bahwa semua makhluk dan semua hal tidak mempunyai kemandirian.

(18)

suatu kenyataan. Kedamaian yang ada di dalam hati semua manusia di sebabkan karena adanya suatu kekuatan tanpa batas, yang berakar dalam nirwana, yang tanpa kecuali memperhatikan setiap jiwa dan berada dalam setiap jiwa itu, dan pada saatnya yang tepat akan menarik setiap jiwa itu ke tujuan itu.

3. Dalam Aliran Hinayana, kebajikan utama adalah bodhi, kearifan, yang lebih mengutamakan perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri dari pada perbuatan aktif mencari kebenaran. Aliran Mahayana menempatkan istilah lain sebagai pusat perhatiannya, yaitu karuma, kasih sayang.

4. Aliran baharan Budhisme Hinayana berpusat pada rahib. Biara-biara adalah pusat kehidupan rohani negeri-negeri dimana aliran ini dianut oleh banyak orang yang mengingatkan semua orang akan adanya kebenaran agung yang pada akhirnya memberi makna kepada kehidupan ini merupakan pembenaran terakhir bagi dunia. Sebaliknya, aliran Budha Mahayana merupakan agama bagi orang awam. Bahkan para rahibnya diharapkan merupanyai perhatian utama melayani perhatian utama untuk melayani orang awam

(19)

rohani dari Dhyani Budha ini disebut Dhyani Bodhisatwa yang jumlahnya ada lima.

Mereka inilah masing-masing periode atas nama bapak rohani mereka memerintah dunia, membimbing segala makhluk terutama manusia agar terhindar dari penderitaan, serta menuntun manusia ketempat kebahagiaan, yakni surga. Lima Dhyani Budha tersebut di samping melahirkan lima Dyani Bodhisatwa, juga melahirkan lima Manusia Budha, yakni Budha yang benar-benar hidup sebagai manusia Budha dalam periode yang berbeda.

Adapun periode dunia yang ditinggali ini adalah periode yang keempat. Manusia yang mati dalam periode dunia sekarang ini akan masuk surga yang keempat pula, yaitu surga Siddharta Gautama. Dia dibimbing oleh Dhyani Bodhisatwa yang keempat pula. Dyani Boddhisatwa keempat itulah yang di Jawa disebut Lokeswara yang berasal dari kata Awalokiteswara.

(20)

4.4. Masuknya Ajaran Budha ke Indonesia

Agama Budha tidak pernah bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Agama ini pernah berkembang pesat dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada masa kejayaan Sriwijaya. Pemikiran-pemikiran dalam agama Budha banyak berpengaruh pada banyak hal dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti seni patung, sastra, filsafat, dan kerohanian. Termasuk peninggalan-peninggalan arsitektural yang masih dapat dilihat sebagai bukti masa keemasan agama Buddha yaitu candi, seperti candi Borobudur, candi Mendut, candi Pawon, dan lain-lain. Perkembangan agama

Budha di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua “kiblat” agama Budha

yaitu agama Budha “awal” yang masuk pada masa kerajaan dan “chinese

budhisme” sebagai gelombang akhir, yang dibawa oleh imigran dari Cina masuk

ke Indonesia (Sudharma, 2007:95).

Aliran awal ini masuk ke Indonesia pada masa kerajaan kurang lebih pada abad VII. Kemungkinan pada masa ini, pangeran-pangeran yang berkuasa di kerajaan- kerajaan kecil di indonesia dipengaruhi oleh para pendeta dan brahmana dari India. Pendeta-pendeta ini bertanggung jawab atas pengenalan suatu agama yang memungkinkan raja mengidentifikasi dirinya dengan dewa atau bodhisatva sehingga memperkuat kekuasaannya. Secara awam dapat dikatakan bahwa agama

Budha yang pertama kali masuk ke Indonesia ini adalah ajaran yang lebih „murni‟

(21)

pusat. Kerajaan ini merupakan pusat ilmu dan kebudayaan agama Budha khususnya di kawasan Asia Tenggara. Banyak vihara di sana bahkan terdapat juga perguruan agama Budha. Kebudayaan ini terus bertahan sampai akhirnya tergeser oleh masuknya agama Islam pasca runtuhnya Majapahit kurang lebih pada tahun 1478.

Sementara Chinese Budhisme masuk Indonesia melalui para imigran yang berasal dari negeri Cina. Sebenarnya awal dari Chinese Budhisme ini juga berasal dari India. Kemudian setelah masuk ke Cina agama ini berasimilasi dengan budaya setempat serta agama yang ada sebelumnya yaitu agama Tao dan Konghucu. Akibatnya adanya hubungan dan rasa toleransi antara agama-agama tersebut kemudian terjadi peleburan antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dari landasan ritual ataupun tata cara upacaranya.

Di dalam sebuah kelenteng walaupun tata upacaranya secara confucianistis

juga umumnya disediakan pula ruangan-ruangan penghormatan kepada para suci Budhis dan Taoist. Hal ini berlangsung secara terus menerus hingga diwariskan turun temurun sehingga fungsi tempat peribadatan yang demikian bahkan hingga kepercayaan tersebut terbawa ke Indonesia. Dan setelah masuk ke Indonesia

bangunan ini lebih dikenal dengan tempat peribadatan “Tri Dharma” yang

maknanya secara murni tidak terlepas dari hakekat tempat untuk menghormati para nabi dan para suci tiga agama Pada perkembangannya khususnya tahun 1965,

akibat perkembangan kebijakan politik, banyak kelenteng yang “berganti baju”

(22)

4.5. Tzu Chi Non Aliran dan Sekterian

Dengan beragamnya aliran dan sekte dalam Budha itu sendiri, maka yang menjadi pertanyaan, Budha Tzu Chi yang didirikan oleh master Chen Yen masuk dalam aliran yang manakah?. Kepala Sekretariat Tzu Chi Medan, Stevan (24 Tahun) mengatakan, Tzu Chi sebenarnya tidak masuk dalam aliran mahayana maupun Hinayana. Karena ajaran Master Chen Yen merupakan ajaran Budha yang sesungguhnya, bahkan ajaran Tzu Chi ini juga bukanlah suatu aliran baru dalam ajaran Budha itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Stevan (24 tahun):

“ Tzu Chi sebenarnya tidak masuk dalam aliran mana pun, dan tidak

membuat aliran sendiri, guru kita (Master Chen Yen) mengataka Tzu Chi itu Ekayana, ajaran Budha yang satu dana sama, tidak membawa

semangat budha aliran tertentu”

Pada dasarnya inti sari ajaran Budha sama saja baik itu pada aliran Hinayana maupun Mahayana, namun caranya saja yang berbeda beda dalam menerapkan ajaran Budha itu sendiri. Ajarannya sama namun penerapannya yang berbeda-beda, jika dicontohkan bagaimana cara orang timur dan barat berpakaian, tujuannya semua tetap sama. Tzu Chi juga bukan membuat agama baru, karena Master Chen Yen juga berpesan agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada yang mengajarkan keburukan, kalau pun ada lebih ke oknumnya saja. Dalam arus ajaran Budha, Master Cheng Yen ini digategorikan sebagai ajaran yang datang nya dari Taiwan. Sedangkan ajaran Budha yang umumnya diketahui dibawa oleh dua arus utama, yakni Tibet dan Tiongkok.

(23)

juga baik, karena pada dasarnya inti ajaran Budha sama dengan yang lainnya. Para pengikut Tzu Chi juga diperbolehkan untuk datang ke vihara Budha mana saja untuk melakukan praktik ibadah, meskipun Tzu Chi sendiri tidak memiliki vihara, yang ada hanyalah Griya Jing Si yakni berada langsung di Taiwan tepatnya di kediaman Master Chen Yen sendiri. Tzu Chi sendiri dalam meningkatkan pemahaman ajaran-ajaran Budha dengan melakukan kebaktian pada tanggal 1 dan 15 pada kelender lunar (Chines) dengan membaca Paritta (Sutra) di setiap kantor yayasan Budha Tzu Chi di Indonesia.

Selain itu dengan tidak adanya vihara Tzu Chi di Indonesia, juga sejalan dengan tidak adanya Biksu dan Biksuni Tzu Chi di Indonesia, seperti para biksu yang umumnya berada di Vihara Budha aliran Mahayana maupun Hinayana. Biksu Tzu Chi hanya berada di Taiwan. Menurut Stevan (24 Tahun) yang sudah beberapa kali ke Taiwan melihat tempat lahir dan mulai berkembangnya Tzu Chi, biksu Tzu Chi tidak menerima imbalan baik itu bentuk uang maupun barang dari umat Budha yang berdoa di vihara, karena umumnya para biksu menerima imbalan bagi umat yang berdoa di viharanya meskipun tidak ada kewajiban untuk memberi.

(24)

BAB V

PROFIL TZU CHI

5.1. Sejarah Berdirinya Budha Tzuchi

Pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen yang memiliki nama asli Wang Chin-Yun dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1937 di Chingsui, Taiwan bagian tengah. Wafatnya sang ayah di tahun 1960 menjadikan beliau memahami bahwa hidup ini hanyalah sementara dan selalu berubah. Sejak saat itu beliau mulai mempelajari agama Budha secara lebih serius sebelum akhirnya menjalani hidup sebagai

bhiksuni pada tahun 1964. Cheng Yen ditujukan sebagai "Master" (上人) oleh

semua pengikutnya dan menghormatinya secara penuh sebagai tokoh agama serta pemimpin organisasi. Pengalaman hidupnya menginspirasinya untuk mencari bentuk Budhisme baru.

(25)

Suatu hari di tahun 1966, Master Cheng Yen bersama beberapa pengikutnya datang ke suatu balai pengobatan di Fenglin untuk mengunjungi salah seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung. Ketika keluar dari kamar pasien, beliau melihat bercak darah di atas lantai tetapi tidak tampak adanya pasien. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa darah tersebut milik seorang wanita penduduk asli asal Gunung Fengbin yang mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar NT$ 8.000 (sekitar Rp 2,4 juta), wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa harus dibawa pulang. Mendengar hal ini, perasaan Master Cheng Yen sangat terguncang. Seketika itu beliau memutuskan hendak berusaha mengumpulkan dana amal untuk menolong orang dan menyumbangkan semua kemampuan yang ada pada dirinya untuk menolong orang yang menderita sakit dan kemiskinan di Taiwan bagian timur. (Tzu Chi, 2013:5)

Ketua yayasan Budha Tzu Chi, Mujianto (60 Tahun ) menyebut peristiwa sejarah itu karena ada jalinan jodoh, di saat itu kebetulan sekali ada tiga orang suster Katolik dari Sekolah Menengah Hualien datang berkunjung untuk menemui Master Cheng Yen. Kemudian salah seorang suster katolik itu bertanya kepada master, "agama Katolik kami telah membangun rumah sakit, mendirikan sekolah, dan mengelola panti jompo untuk membagi kasih sayang kepada semua umat manusia, walaupun Budha juga menyebut menolong dunia dengan welas asih, tetapi mohon tanya, agama Budha mempersembahkan apa untuk masyarakat?" Kata-kata ini sangat menyentuh hati Master Cheng Yen.

(26)

memiliki rasa cinta kasih yang dalam, hanya saja terpencar dan kurang koordinasi serta kurang terkelola. Master Cheng Yen bertekad untuk menghimpun potensi ini dengan diawali dari mengulurkan tangan mendahulukan bantuan kemanusiaan. Dia membayangkan sebuah dunia yang penuh dengan kebaikan, belas kasih, sukacita dan kesetaraan yang ia berusaha untuk dicapai melalui tujuan dan misi dari Tzu Chi itu sendiri.

Master Cheng Yen memahami bahwa kesengsaraan di dunia ini bukan semata-mata karena kemiskinan, tetapi kurangnya tujuan yang berarti dalam hidup. Dengan demikian, kehidupan yang paling bermakna adalah salah satunya memberikan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam rangka mencapai kehidupan yang memuaskan, Cheng Yen mengajarkan bahwa Budhisme harus terlibat secara aktif dalam membantu orang. Master bersumpah untuk, memurnikan pikiran, menyelaraskan masyarakat dan membebaskan dunia dari bencana.

Gerakan kemanusiaan Master Cheng Yen melalui Tzu Chi mendapatkan perhatian dari dunia internasional yakni dianugerahi Eisenhower Medallion

karena kontribusi untuk perdamaian dunia pada tahun 1996 dengan dedikasinya tanpa pamrih untuk membawa persoalan dunia damam visi kasih sayang dalam segala tindakannya. Selain itu majalah Business Week pada edisi Juli 2000 menyebut Cheng Yen sebagai salah satu dari lima puluh "Stars of Asia"

(27)

5.2. Cikal Bakal Tzu Chi Dimulai dari Celengan Bambu

Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi untuk kaum fakir miskin diawali dari 6 ibu rumah tangga yang setiap hari, masing-masing individu, merajut sepasang sepatu bayi. Di samping itu, setiap anggota diberi sebuah celengan bambu oleh Master Cheng Yen, agar para ibu rumah tangga setiap pagi sebelum pergi berbelanja ke pasar, menghemat dan menabung 50 sen ke dalam celengan bambu. Dari 30 anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai dana bantuan untuk kaum fakir miskin.

Gambar 5.2 : Celengan Bambu yang lebih modern digunakan oleh Tzu Chi di Medan, celengan bambu ini dipriotitasnya untuk diisi setiap hari baik untuk uang koin maupun uang kertas. Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

(28)

berupaya menghasilkan produk untuk mendukung kehidupan, sambil mengurus jalannya organisasi. Pada musim gugur tahun 1967, ibunda Master Cheng Yen membelikannya sebidang tanah yang sekarang dimanfaatkan untuk bangunan Griya Perenungan.

Walaupun demikian, Master Cheng Yen beserta para pengikut masih tetap mempertahankan prinsip hidup mandiri. Biaya perluasan seluruh proyek Griya Perenungan, selain mengandalkan pinjaman uang dari bank atas dasar hipotik hak kepemilikan tanah tersebut, juga dari hasil usaha kerajinan tangan. Sampai kini pun, Master Cheng Yen dan para pengikutnya tetap hidup mandiri dengan bercocok tanam ataupun menjalankan industri rumah tangga. Mereka tidak mau menerima sumbangan. (Tzu Chi Indonesia, 2013:8)

5.3. Fase Perjalan Tzu Chi

Dalam sejarah perjalanan Tzu Chi dapat dibagi dalam tiga kategori yang diantaranya pada fase pertama yakni Ideologisasi pada tahun 1966-1978, fase kedua yakni Budhisme sebagai jalan hidup pada tahun 1979- 1986 dan terakhir pada fase memperluas misi kemanusiaan 1987- sekarang (Tan, 2008:52)

5.3.1. Fase Ideologisasi Tzu Chi (1966-1978)

Fase awal ini dapat dikatakan sebagai fase “menanamkan ideologi” bagi

(29)

akhirnya mengumpulkan donasi dari 30 anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai dana bantuan untuk kaum fakir miskin.

Para biarawati juga terlibat di berbagai jenis pekerjaan, terutama membuat lilin dan bubuk kacang, mereka tidak bergantung pada setiap sumbangan publik. Misi kemanusiaan ini secara bertahap diperluas untuk mencakup pengiriman barang bantuan bencana korban, kunjungan rumah (Home visit) untuk distribusi

barang amal mereka. Cheng Yen disebut sebagai "Huiyuan" 会员, karena mereka

bekerja sebagai misionaris sukarela. Gerakan sukarela Tzu Chi kian kuat dan terkait dengan ajaran Buddha, dimulai dari mengumpulkan pahala hingga mendapatkan karma baik.

5.3.2. Fase Budhisme Sebagai Jalan Hidup (1979-1986)

Fase ini Tzu Chi mulai memiliki orientasi untuk mempromosikan

“Budhisme sebagai jalan hidup”. Para anggota Tzu Chi didorong untuk

(30)

Tahun 1979, pertumbuhan Tzu Chi kian meningkat yakni membangun sebuah rumah sakit di Hualien Taiwan. Sebab Master Cheng Yen menganggap penyakit sebagai penyebab utama dari penderitaan dan kemiskinan.

5.3.3. Fase Memperluas Misi Kemanusiaan (1987- sekarang )

Fase ini ditandai dengan pertumbuhan organisiasi yang cepat, memiliki lembaga khsusus dan mulai memperlebar sayap Tzu Chi ke luar Taiwan. Tzu Chi melakukan program perekrutan anggota baru, meningkatkan upaya penggalangan dana amal. Misi Tzu Chi juga diperluas yakni misi pendidikan, kedokteran dan kemanusiaan. Rumah sakit Tzu Chi menjadi rumah sakit terbesar, di timur Taiwan. Pada tahun tahun 1994 mendirikan universitas. Selain itu juga mendirikan stasuin televisi, siaran radio dan media cetak yang berbasis di Taipei, publikasi (Tzu Chi majalah), audio (video dan kaset) yang berisi ajaran-ajaran Master Cheng Yen dan literatur Budhis.

Saat ini di Taiwan, Tzu Chi menjalankan sebuah rumah sakit, sebuah sekolah dasar, sekolah tinggi, dan universitas yang bekerja sama dengan pemerintah Taiwan. Yayasan Budha Tzu Chi saat ini telah terdaftar di Persyarikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan sudah berdiri di 52 negara termasuk di Indonesia.

5.4. Visi Tzu Chi

(31)

Chi yang bersih dan suci, dengan kebijaksanaan menunaikan tugas yang sempurna, mengajak kaum dermawan di seluruh dunia, bersama-sama menanam jasa kebajikan dilahan kebajikan yang subur, dengan tekun menanam ribuan kuntum teratai dalam hati, menciptakan bersama masyarakat yang penuh dengan cinta kasih. Sedangkan yang menjadi misinya dibagi atas 4 misi utama antara lain,

5.5. Misi Tzu Chi

Dalam menjalankan misi amal Tzu Chi, dibagi dalam beberapa misi yakni misi amal, misi kesehatan, misi pendidikan, misi budaya humanis, bantuan bencana internasional, donor sumsum tulang, pelestarian lingkungan, dan relawan komunitas. Adapun misi-misi tersebut dijelaskan dalam beberapa sub bab berikut 5.5.1. Misi Amal

A. Bakti Sosial

Dalam misi amal ini Tzu Chi menjalankan bakti sosial. Para relawan

berpedoman pada ajaran dan niat luhur Budha yaitu, “Welas asih kepada sesama

tanpa harus sedarah serta sependeritaan dan sepenanggungan”, dan menjunjung

tinggi komitmen “demi ajaran Budha, demi semua makhluk” yang diamanatkan

oleh Master Yin Shun, guru dari Master Cheng Yen.

Koordinator komite kesehatan dan pengobatan, Alice 64 tahun menyebut bahwa Master Cheng Yen menyadari bahwa niat baik harus diwujudkan dengan berbuat baik pada sesama. Rasa empatinya pada orang-orang miskin dan menderita, membuatnya bertekad untuk berbuat sesuatu demi membantu mereka.

“Jenis bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat, misalnya bantuan keuangan dan sembako untuk keluarga berpenghasilan rendah, bantuan biaya pengobatan, pendampingan saat

(32)

Di Indonesia, perjalanan Tzu Chi juga diawali lewat misi amal sejak tahun 1993. Dimulai dari memberikan bantuan ke beberapa panti jompo dan panti asuhan di Jakarta dan Bekasi, hingga kini bantuan pun semakin berkembang, mulai dari bantuan darurat, pasien dengan penanganan khusus, anak asuh, bantuan hidup jangka panjang, hingga pembangunan perumahan dan sekolah yang terkena bencana. Pemberian bantuan juga didasarkan pertimbangan bahwa bantuan Tzu Chi harus langsung, tepat sasaran, dan memiliki manfaat yang nyata.

Sebelum memutuskan untuk memberikan bantuan pada Gan En Hu

(penerima bantuan), pertama-tama relawan Tzu Chi melakukan survey ke rumah untuk memahami kondisi kehidupan mereka dan mempelajari bantuan yang sungguh-sungguh dibutuhkan. Sepanjang memberikan bantuan, secara rutin relawan juga melakukan kunjungan kasih ke rumah Gan En Hu. Interaksi secara langsung ini menyentuh hati para Gan En Hu sekaligus memberi pelajaran kehidupan bagi para relawan untuk senantiasa bersyukur akan berkah yang dimiliki. Pada tahun 2015, Tzu Chi Medan melakukan 8 kali bakti sosial yang tersebar di Kota Medan dan luar Kota Medan, serta 11 kali melakukan aksi donor darah, dan 4 kali pembagian beras kepada masyarakat tidak mampu.

Tabel 5.1. Data Jumlah Bakti Sosial Tahun 2015

Sumber : Data Tzu Chi Medan, 2015

B. Tanggap Darurat Bencana

No Jenis Bantuan Jumlah

1 Bantuan Beras Rutin 1.203 Kepala keluarga (14.410 Kg)

(33)

Sejak awal dimulai, Tzu Chi Indonesia berusaha untuk mengirimkan bantuan bagi wilayah yang tertimpa bencana di berbagai pelosok di Indonesia. Kepala Hubungan Masyarakat (Humas), Sopyan Tjiawi (38 tahun) mengatakan,

saat memberikan bantuan, insan Tzu Chi berpedoman “Datang paling awal,

pulang paling akhir”, tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga berusaha

memberikan solusi dan pendampingan. Semua itu dilakukan untuk menampilkan kembali senyuman di wajah para korban yang tertimpa bencana.

Dalam setiap pemberian bantuan bencana, Tzu Chi memegang prinsip

“langsung, prioritas, sesuai kebutuhan, menghargai dan cepat”. Prinsip

“Langsung” mengkondisikan relawan untuk berinteraksi langsung dengan

penerima bantuan. Prinsip “Prioritas” menjadi pegangan relawan saat harus

menentukan pihak yang dibantu. Sedangkan prinsip “Menghargai” menunjukkan

bahwa Tzu Chi memandang penerima bantuan dengan penuh penghormatan sebagai sesama manusia.

Tahun-tahun setelah terjadinya bencana Tsunami tahun 2004 diwarnai dengan banyak bencana yang melanda Indonesia. Saat itu dibutuhkan lebih banyak relawan yang siap dan mampu turun ke lokasi bencana segera setelah bencana melanda. Atas dasar itulah sebuah tim tanggap darurat Tzu Chi di bentuk. Dibidani oleh sejumlah relawan yang berpengalaman dalam bantuan bencana, Tim Tanggap Darurat Tzu Chi dibentuk pada tahun 2007 dan dipimpin oleh Adi Prasetio. Dengan dibentuknya tim ini, Tzu Chi berupaya untuk hadir secepat mungkin membantu meringankan derita para korban bencana.

(34)

bantuan sudah bisa disalurkan kepada masyarakat yang tertimpa bencana, misalnya gunung meletus, kebakaran massal, puting beliung, banjir dan lain lain. Misalnya paket untuk kebakaran, Tzu Chi memberikan selimut, makanan, dan pakaian.

Tabel 5.2.

Data Pemberian Bantuan Bencana Tzu Chi Medan Tahun 2015

NO Bencana Bantuan Jumlah

3 Pengungsi Rohingya pakaian dalam 1.008

buah

Sumber : Data Sekretariat Tzu Chi Medan, 2015 C. Perumahan Cinta Kasih

Perumahan cinta kasih merupakan perumahan yang permanen di bangun untuk masyarakat yang terkena bencana alam. Adapun data yang berhasil dikumpulkan setidaknya ada lima perumahan cinta kasih yang telah dibangun di Indonesia.

(35)

Chi dan warga sekitar Merapi, Jawa Tengah, Yogyakarta. Tzu Chi segera datang untuk menyalurkan bantuan dan bantuan tersebut menjadi bantuan bencana terbesar, pertama bagi Tzu Chi Indonesia. Pada tanggal 5 September 1995, Tzu Chi membangun 12 Rumah Cinta Kasih pertama di Wonokerto, Yogyakarta sebagai bantuan untuk korban Gunung Merapi yang meletus. Rumah ini dibangun untuk para warga yang rumahnya sudah tidak dapat ditempati karena berada di lokasi yang berbahaya.

Kedua perumahan cinta kasih di Cengkareng, Banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Januari tahun 2002 melatarbelakangi pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Pada Juli 2002, dimulailah pembangunan perumahan cinta kasih yang diperuntukkan bagi warga bantaran kali Angke yang menjadi korban banjir. Perumahan cinta kasih yang berdiri di Cengkareng di atas lahan seluas 5 hektar bekerja sama dengan pemerintah daerah DKI Jakarta dan Perumnas. Perumahan yang berkonsep rumah susun tersebut dapat menampung 1.100 KK dan diresmikan oleh Presiden Megawati tanggal 25 Agustus 2003, lengkap dengan poliklinik, sekolah, dan pusat daur ulang. Perubahan yang terpenting bukan pada apa yang tampak di luar, namun apa yang terjadi di dalam. Tak hanya

kehidupan warga pindah dari “pinggiran” menjadi “gedongan”, namun cara hidup

warga juga mulai bergeser menjadi lebih memperhatikan kebersihan, pendidikan, dan ketertiban.

(36)

perumahan ini persis sama dengan Perumahan Cinta Kasih Cengkareng. Bedanya, karena luas lahan yang tersedia hanya 1,8 hektar, maka di sini dibangun 600 unit rumah susun. Perumahan ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, pada 17 Juli 2005. Meski penduduk di kedua perumahan ini memiliki latar belakang yang berbeda, Tzu Chi memperlakukan mereka dengan cara yang sama, dengan perhatian dan cinta kasih, menuntun warga ke arah hidup yang lebih baik dan manusiawi.

Keempat perumahan cinta kasih di Aceh. Tanggal 26 Desember 2004,

gempa berkekuatan 8.9 Skala Ritcher dan tsunami melanda “Serambi Mekkah”,

Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Akibat bencana ini ratusan ribu masyarakat Aceh meninggal dan kehilangan tempat tinggal. Untuk itu, Tzu Chi ikut berperan dalam tahap rekonstruksi Aceh dengan membangun kembali rumah para korban bencana di tiga tempat, yaitu Panteriek-Banda Aceh sebanyak 716 unit rumah, Neuheun-Aceh Besar sebanyak 850 unit rumah, dan Meulaboh, Aceh Barat sebanyak 1.000 unit rumah dengan total keseluruhan 2.566 unit rumah. Tepat satu tahun setelah terjadinya tsunami, Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Panteriek diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Desember 2005. Dengan adanya perumahan ini, warga pun memiliki sebuah rumah yang lebih nyaman, aman, dan tentram, sehingga mereka juga dapat terus bersemangat untuk melanjutkan kehidupannya yang lebih baik.

(37)

tengah perjalanan, proses pembangunannya terhenti. Maka, pemerintah Padang mengajak Tzu Chi untuk menyelesaikannya. Demikianlah jodoh pembangunan 100 unit Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Padang bermula. Warga yang tinggal di sini berasal dari berbagai etnis, ada warga Padang, Nias, dan Tionghoa. Semua hidup saling berdampingan dengan harmonis. Sejak masuk ke perumahan, relawan mengajak warga untuk ikut kegiatan pelestarian lingkungan. Seminggu sekali, sebanyak 25 blok rumah berangkat ke depo pelestarian Tzu Chi Padang untuk belajar memilah sampah dengan relawan. (Tzu Chi Indonesia, 2013:14).

D. Bedah Kampung

Di dalam sebuah rumah, seseorang dapat merasa hangat dan damai bersama keluarga. Bangunan rumah yang kokoh dapat membuat mereka merasa aman dari terpaan panas dan hujan, namun kenyataannya di luar sana masih banyak keluarga yang tinggal di dalam rumah yang seadanya dan bahkan tidak bisa melindungi mereka dari panas dan hujan.

(38)

Selain itu, di beberapa titik, program ini dilangsungkan untuk memulihkan kehidupan warga yang menjadi korban kebakaran. Relawan Tzu Chi berharap, rumah yang lebih baik dan nyaman, akan menjadi titik awal bagi para warga untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan harmonis bersama keluarga mereka.

Tabel 5.3.

Data bedah kampung Tzu Chi di Indonesia

Lokasi Jumlah Rumah Direnovasi

Latar Belakang

Dadap, Jakarta Barat 82 unit Kondisi rumah memprihatinkan dengan dinding bilik dan lantai tanah Pademangan, Jakarta

Utara

242 unit Rumah pendek dan seringkali tempatnya di bawah jalan sehingga sering terkena banjir

Kelapa Gading, Jakarta Utara

40 unit Kondisi rumah memprihatinkan dan kurang layak huni

Jamika, Bandung 28 unit Merupakan lokasi yang sangat padat. Rumah gubuk berlantai tanah, dinding bilik, dan tidak memiliki kamar mandi sendiri

Cilincing, Jakarta Utara 105 unit Rumah beratap rendah, berupa bangunan semipermanen dan sangat sering terendam banjir akibat pasang air laut

Lautze, Jakarta Pusat 50 unit Rumah warga habis terbakar dalam bencana kebakaran tanggal 7 Februari 2012

Marisso-Tallo-Bontoala, Makassar

75 unit Merupakan kawasan kumuh dan padat penduduk sehingga terdapat rumah-rumah yang kurang layak huni Tegal Sari I, Medan 67 unit Rumah warga habis terbakar

dalam bencana kebakaran tanggal 6 Januari 2012

Sumber : Sekertariat Tzu Chi Medan, 2015

(39)

kebakaran pada 6 Juni 2016. Kalau untuk merenovasi rumah dalam satu perkampungan sulit untuk dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar, dan kemudian status tanah masyarakat yang terkadang tidak jelas, lanjut Stevan Halim (24 tahun):

“Misalnya kita ingin bedah kampung di kawasan pinggiran rel kereta

api atau sungai, walaupun kita lihat sangat kumuh dan tidak layak, ketentuan status tanah mereka juga menjadi penting, jadi program bedah kampung secara penuh seperti nya sulit untuk dilakukan, masih

hanya merenovasi rumah yang terkena bencana saja”

5.5.2. Misi Kesehatan

A. Bakti Sosial Kesehatan

Menderita penyakit adalah salah satu bentuk penderitaan yang harus dialami manusia. Bagi mereka yang mampu mengobati penyakitnya, penderitaan ini bisa segera berlalu dan segera melanjutkan perjalanan hidup yang penuh tantangan. Namun, bagi mereka yang tidak mampu mengobatinya apalagi yang membutuhkan tindakan operasi, penyakit tersebut terus menggerogoti sedikit demi sedikit kehidupan mereka. Penyakit yang berkepanjangan dapat membuat manusia menjadi jatuh miskin, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. kondisi ini sering dijumpai di Indonesia.

Karena alasan itulah, Tzu Chi Indonesia secara rutin mengadakan kegiatan baksos kesehatan baik yang berskala besar (yang mencakup tindakan operasi) maupun yang berskala kecil (mencakup pengobatan umum dan gigi) di daerah yang membutuhkan di seluruh pelosok Indonesia.

(40)

Sebanyak 9.330 orang berhasil ditangani dalam baksos ini. Berlandaskan cinta kasih universal, tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras, Tzu Chi juga menyelenggarakan baksos kesehatan bekerjasama dengan berbagai institusi dari latar belakang yang berbeda. Selain dengan pihak rumah sakit swasta, Tzu Chi juga bekerja sama dengan instansi pemerintah dan keamanan dalam mengadakan baksos kesehatan. Hingga tahun 2013, baksos kesehatan telah dilakukan sebanyak 96 kali dari ujung barat di Nanggroe Aceh Darussalam hingga ujung timur Indonesia di Papua. (Tzu Chi Indonesia, 2013:12).

Untuk di kota Medan sendiri, menurut Alice (64 tahun) umumnya bakti sosial dipusatkan di kawasan Medan Utara, baksos meliputi pemeriksaan kesehatan THT, kulit, gigi serta operasi katarak, Tzu Chi juga rutin melakukan donor darah bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia dan rumah sakit yang selama ini menjadi mitra Tzu Chi. Pada baksos yang terakhir, Tzu Chi bekerja sama dengan RS Stella Maris melakukan bakti sosial di Teluk Dalam , Nias Selatan dengan melibatkan dokter spesialis dari Tzu Chi International Medical Associations (TIMA) dan 39 relawan.

Tabel 5.4. Data Baksos Kesehatan Tzu Chi kota Medan tahun 2015

No Jenis Baksos Kesehatan Jumlah

1 Pemeriksaan mata 561 pasien

2 Pemeriksaan gigi 256 pasien

(41)

4 Pemeriksaan gigi 405 pasien

5 Pemberian kaca mata 850 pasien

6 Operasi katarak 646 pasien

7 Donor darah 2.486 kantong

Sumber : Data Tzu Chi Medan, 2015

B. Tzu Chi International Medical Association (TIMA)

Pada tanggal 9 - 13 September 2000, Asosiasi Medis Tzu Chi atau yang lazim disebut Tzu Chi International Medical Association (TIMA) mengadakan pertemuan tahunan di RS. Tzu Chi Dalin, Taiwan. Para relawan medis, dokter dan perawat dari Indonesia yang telah bergabung dalam beberapa kegiatan baksos kesehatan sejak tahun 1999 juga berkesempatan mengikuti kegiatan ini. Acara ini melibatkan para relawan dokter dari Amerika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Afrika Selatan, Indonesia dan beberapa negara lainnya. Di sini para dokter saling berbagi pengalaman dan berdiskusi mencari terobosan-terobosan baru untuk kegiatan kemanusiaan di bidang kesehatan yang dapat diterapkan di negaranya masing-masing. Seusai pertemuan, para relawan medis Tzu Chi diajak mengunjungi RS. Tzu Chi Hualien, Perguruan Tinggi Kedokteran Tzu Chi dan Institut Teknologi Tzu Chi di Hualien. (Tzu Chi Indonesia, 2013:23).

Beberapa bulan kemudian, sekembalinya dari pertemuan tersebut pada tanggal 27 Mei 2001, Tzu Chi Indonesia mengadakan seminar bagi para relawan medis Tzu Chi Indonesia di Hotel Dusit Mangga Dua, Jakarta Utara. Para peserta yang hadir terdiri dari 40 dokter, 10 perawat, dan 20 relawan. Para dokter dan paramedis yang datang ini, telah beberapa kali berpartisipasi dalam sejumlah bakti sosial kesehatan Tzu Chi.

(42)

dari seminar ini, akhirnya para relawan di bagian medis ini berkoordinasi untuk membentuk TIMA Indonesia. Cita-cita tersebut akhirnya tercapai dengan didirikannya TIMA Indonesia pada tanggal 10 November 2002. Saat pertama kali berdiri, TIMA Indonesia diketuai oleh dr. Budiono Sp. B. dan wakilnya dr. Hengky Ardono dengan jumlah anggota sebanyak 34 orang.

Seiring berjalannya waktu, anggota TIMA Indonesia semakin bertambah. Melalui gathering dan training TIMA yang diadakan setiap tahunnya, para anggota TIMA belajar lebih mendalami misi dan visi Tzu Chi serta menjalin kekeluargaan. Hingga akhir 2011, TIMA Indonesia telah memiliki 492 anggota, yang terdiri dari dokter umum dan spesialis sebanyak 334 orang, apoteker sebanyak 31 orang, perawat sebanyak 126 orang, dan 1 orang elektromedik.

Gambar 5.3 : Ketua TIMA, Irwanto Phen (Ketiga dari Kiri) usai melakukan tanda tangan MoU dengan Pimpinan Wilayah „Aisyiyah Sumut dalam rangka penanggulangan penyakit Tuberkulosis di kota Medan. Kegiatan ini disaksikan oleh pengurus dan relawan Tzu Chi Medan . Sumber: dokumentasi pribadi, 2015

(43)

kulit, THT dan juga gigi. Salah seorang yang pernah mendapatkan bantuan bakti sosial kesehatan Nurhayati (45 Tahun) mengaku sangat senang karena suaminya dahulu, mengalami katarak mata, melalui bakti sosial Tzu Chi mata suaminya dioperasi dan dapat melihat dengan normal. Karena ketertarikannya dengan Tzu Chi, Nurhayati pun memutuskan untuk bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

5.5.3. Misi Pendidikan

Misi pendidikan Tzu Chi menitikberatkan pada mengembangkan pendidikan untuk membentuk manusia seutuhnya yang berhati-nurani, memiliki kemampuan yang bajik, dan memiliki pikiran serta pandangan yang benar, meletakkan dasar bagi sebuah pendidikan berjenjang lengkap yang bertujuan membentuk sumber daya manusia yang berdaya guna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, serta membentuk sumber daya yang berkompeten dan berakhlak baik. secara umum misi pendidikan di terjemahkan dalam beberapa program yang di antaranya Sekolah cinta kasih Tzu Chi, Tzu Chi School, kelas budi pekerti (SD-SMA), Tzu Ching (muda-mudi) dan bantuan pembangunan sekolah (Tzu Chi Indonesia, 2013:25).

(44)

untuk anak SD, SMP dan SMA dapat mengikuti kelas budi pekerti setiap sebulan sekali di kantor Tzu Chi Cemara Asri.

“Anak anak yang dibantu, tetap ada survey rumahnya terlebih dahulu,

untuk mengetahui, apakah anak tersebut layak atau tidak diberikan bantuan. Bantuan yang Tzu Chi berikan, meliputi bantuan uang sekolah, bisa pertiga bulan sekali atau enam bulan sekali, nominalnya

bervariasi tergantung sekolahnya” kata Stevan Halim (24 Tahun)

A. Tzu Ching

Tzu Ching adalah wadah generasi muda Tzu Chi yang terdiri dari sekelompok mahasiswa-mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi. Master Cheng Yen memberikan pesan kepada Tzu Ching untuk menggunakan kekuatan kaum muda dan memberi pengaruh bagi kaum muda. Tzu Ching harus mengembangkan semangat kebersamaan demi membimbing lebih banyak kaum muda untuk berpartisipasi dalam organisasi yang indah dan bajik ini.” Pesan itu pun disambut baik oleh Tzu Ching sedunia, termasuk Indonesia. Sejak terbentuk di Jakarta pada tanggal 7 September 2003 dengan anggota sebanyak 32 orang, hingga kini Tzu Ching telah tersebar di beberapa daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Tangerang, Bandung, Medan, Pekanbaru, Batam, Singkawang, hingga Makassar.

(45)

tahun terbentuknya Tzu Ching, para relawan muda ini menggelar pementasan Sutra Makna Tak Terhingga (Wu Liang Yi Jing) yang dihadiri untuk Tzu Ching dari berbagai kota. (Tzu Chi Indonesia, 2013:28).

Stevan Halim (24 Tahun) menambahkan, berbagai kegiatan diikuti oleh Tzu Ching, mulai dari baksos, pembagian beras, kunjungan kasih ke rumah penerima bantuan Tzu Chi, dan juga panti asuhan dan jompo, hingga kegiatan pelestarian lingkungan. Berbagai kegiatan Tzu Chi pun sering didukung oleh Tzu Ching sebagai salah satu relawan komunitas. Mereka membawa harapan bahwa cinta kasih akan terus diwariskan dan senantiasa hadir di masa mendatang.

Di Kota Medan, Tzu Ching memiliki kepengurusan dan relawan di Universitas Prima Indonesia (Unpri) yang mulai didirikan pada tahun 2010. Tzu Ching Unpri bergerak dengan kegiatan kegiatan muda mudinya yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan.

5.5.4. Misi Budaya Humanis

Misi budaya humanis menekankan pada nilai-nilai “benar, bajik dan

indah” adapun program-program yang mendukung misi budaya humanis antara

lain, media cetak dan online, DAAI TV Indonesia, Jing Si Book dan Cafe, serta isyarat tangan dan penampilan sutra.

A. Media Cetak dan Online

(46)

menampilkan nama-nama donatur dan jumlah dana yang mereka sumbangkan. Di Indonesia, Tzu Chi pada awal mula berdirinya mencatat seluruh data kegiatan dan disimpan dalam bentuk kliping dan album foto yang berfungsi sebagai arsip.

Hingga pada bulan Mei tahun 2000, Tzu Chi menerbitkan tabloid dunia Tzu Chi sebagai sarana informasi yang dapat menginspirasi dan membangkitkan rasa welas asih para pembacanya di Indonesia. Sejak tahun 2005, karena perkembangan kegiatan Tzu Chi yang semakin pesat dan meluas, tabloid ini berubah menjadi majalah triwulan dunia Tzu Chi dan ditambah bulletin bulanan Tzu Chi. Selain berisikan informasi kegiatan insan Tzu Chi di seluruh Indonesia, media-media ini juga menampilkan kisah-kisah humanis dan dharma dari Master Cheng Yen.

Pada tahun 2005, Tzu Chi Indonesia meluncurkan website yang beralamat di www.tzuchi.or.id. Laman ini diperbarui setiap harinya, menampilkan berita dan foto kegiatan dari berbagai unit komunitas maupun kantor penghubung. Fitur-fitur lain dalam website Tzu Chi Indonesia antara lain kata perenungan Master Cheng Yen, resep vegetarian, cara menjadi relawan, serta cara berdonasi. Media di dunia maya ini juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan kertas dalam rangka upaya melestarikan lingkungan.

B. DAAI TV Indonesia

(47)

Secara unik, DAAI TV memposisikan diri sebagai “Televisi Cinta Kasih”. Isi dari

setiap tayangan sarat akan pesan moral dan cinta kasih, memberi inspirasi, dan juga bersifat kreatif edukatif. Diperlukan keteguhan tekad dalam menjunjung nilai kebenaran, kebajikan, keindahan. Komitmen untuk menjaga hal ini di tengah arus zaman merupakan salah satu keutamaan kami.

DAAI TV hanya menayangkan program tentang pelajaran dan perjuangan hidup dalam masyarakat, pendidikan, kesehatan, amal sosial, budaya kemanusiaan, dan pelestarian lingkungan. DAAI TV berupaya menebarkan cinta kasih dan di waktu yang bersamaan juga terus - menerus melatih diri sendiri. Kepala operasional DAAI TV Medan, Tony Honkley (33 Tahun) mengatakan:

“Kami percaya bahwa great things take times, great things take

efforts, and great things happen when we work together – hal baik

yang besar memerlukan waktu, usaha keras dan kerja sama.”

(48)

Gambar 5.4: Kantor DAAI TV Medan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Komplek Jati Junction Blok P No 1. Kantor ini juga difungsikan sebagai kantor kedua Tzu Chi Medan yang dibawahnya terdapat Jing-Si Book & cafe. (Sumber : dokumentasi pribadi, 2016)

Beberapa penghargaan nasional telah diraih oleh DAAI TV, terakhir pada tahun 2016 ini, DAAI TV mendapatkan penghargaan dolanesia Award 2016, Tributes to Autoimmune Survivors & The Caregivers Inspiring Caregiver Award:

Noble Media Atas aksi nyata dalan mewujudkan Program Nasional Senyum Indonesiaku yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak RI, bersama Marisza Cardoba Foundation (Daai TV, 2016)

C. Jing Si Book & Cafe

(49)

Gambar 5.5 : Beberapa buku Master Chen Yen yang ditampilkan di Jing Si Books and Cafe yang terletak di jalan Jalan Perintis Kemerdekaan Komplek Jati Junction Blok P No 1. Sumber : dokumentasi pribadi, 2016)

Buku-buku terbitan Jing Si menghadirkan inspirasi kehidupan, pengetahuan dan wawasan. Melalui buku-buku ini, pengunjung diajak untuk menyelami makna kehidupan. Buku-buku yang dijual di Jingsi Books and Café antara lain adalah buku berbahasa Mandarin terbitan Jing Si Publication di Taiwan ataupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sampai sekarang, sudah ada 21 judul buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah riwayat hidup Master Cheng Yen yang berjudul teladan cinta kasih.

Selain buku-buku, Jing Si Books and Café juga menyediakan CD lagu-lagu Tzu Chi dan DVD drama DAAI TV serta menawarkan suvenir-suvenir khas Tzu Chi yang ramah lingkungan seperti peralatan makan, pakaian, tas, lilin, alat tulis, dan sebagainya.

D. Isyarat Tangan dan penampilan Sutra

(50)

dialaminya itu. Sejak saat itu, isyarat tangan bukan hanya sebagai sarana komunikasi, melainkan juga dikembangkan dan dikemas menjadi pertunjukan yang menarik dan mengharukan hati penontonnya, dan menjadi budaya yang yang sering ditampilkan dalam acara-acara Tzu Chi.

Isyarat tangan telah menjadi budaya Tzu Chi. Dalam berbagai kegiatan, isyarat tangan seringkali menjadi aktivitas bersama yang dapat mempererat interaksi antara relawan, masyarakat, maupun para penerima bantuan. Satu keluarga adalah judul sebuah lagu yang sering dinyanyikan dalam kesempatan sosialisasi ataupun baksos kesehatan Tzu Chi. Irama lagunya sederhana, disertai dengan isyarat tangan yang mudah diikuti. Melalui lagu dan isyarat tangan ini, suasana menjadi lebih hangat, dan semuanya melebur menjadi satu keluarga dalam keluarga besar Tzu Chi (Tzu Chi Indonesia, 2013:33).

Dalam menyebarkan ajaran Dharma (kebajikan) pada masyarakat luas, isyarat tangan juga dikemas dengan melodi dan drama musikal, membentuk suatu pementasan sutra yang indah dan menggugah. Beberapa pementasan sutra yang pernah ditampilkan oleh relawan Tzu Chi Indonesia mencakup, sutra bakti seorang anak, sutra pertobatan air samadhi, sutra makna tak terhingga (Wu Liang Yi Jing) dan sutra 37 faktor pendukung pencapaian pencerahan.

(51)

minum, duduk, berkomunikasi dengan orang lain sampai tidur juga ada etikanya. Etika ini dalam Tzu Chi juga disebut sebagai bagian dari budaya humanis.

5.5.5. Pelestarian lingkungan

Misi pelestarian menjadi misi turunan dalam Tzu Chi, pelstarian ini dibagi menjadi dua program yakni depo pelestarian lingkungan dan pola makanan vegetarian.

A. Depo pelestarian Lingkungan

Pada Agustus 1990, Master Cheng Yen mulai memberikan ceramah

berseri “Sebuah Hidup yang Penuh Berkah”. Master menghimbau para relawan

untuk melestarikan lingkungan, menggalakkan pemilahan sampah, daur ulang dan pemanfaatan limbah, dan menghargai energi. Pada akhir ceramahnya, ketika para

hadirin bertepuk tangan, beliau berkata, “Gunakanlah kedua tangan kalian yang

sedang bertepuk itu untuk melestarikan lingkungan.” Sejak saat itu, Tzu Chi mulai

menggalakkan program pelestarian lingkungan.

Orang menganggap sampah adalah sampah, sisa yang tak berharga, tapi

Tzu Chi mengubahnya menjadi “emas”. Kerja keras para relawan Tzu Chi tidak

hanya menjadikan program daur ulang masuk ke dalam kehidupan rumah tangga, mereka juga memberi inspirasi pada banyak orang di seluruh dunia untuk ikut serta. Para relawan ini mengajak teman dan keluarga mereka untuk bersama-sama membantu dan membangun sebuah komunitas orang-orang yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Sampah pun berubah menjadi ladang berkah tempat

menanam kebajikan dan menebar cinta kasih. Siklus “mengubah sampah menjadi

(52)

Di Indonesia, program pelestarian lingkungan Tzu Chi dimulai sejak 1 Januari 2004. Sebuah gudang khusus seluas 500 m2 di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat dibangun untuk menampung sampah daur ulang. Sampah-sampah berupa kertas, plastik, alat rumah tangga, aluminium, hingga meja kursi bekas, dikumpulkan dari para relawan. Sejak saat itu, pelestarian lingkungan pun semakin digalakkan dan terus berkembang hingga terdapat 20 Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi di beberapa wilayah di Indonesia (Tzu Chi Indonesia, 2013:30).

Stevan Halim (24 tahun) mengatakan depo pelestarian lingkungan ini membuat relawan semakin bersemangat untuk melakukan pengumpulan dan pemilahan sampah. Tak sedikit relawan yang menjadikan rumahnya sebagai depo pelestarian lingkungan mini. Mereka menampung sampah daur ulang yang diberikan oleh para tetangga, bahkan setiap harinya, tanpa ragu, malu, dan kenal lelah, mereka menjemput sampah tersebut ke rumah-rumah. Semua dilakukan demi satu hal, membantu melindungi bumi yang sedang sakit.

Di Kota Medan, depo pelestarian lingkungan Tzu Chi berada di komplek Cemara Asri, di Mandala, Titi Kuning, dan juga Binjai. Karena keterbatasan alat untuk mendaur ulang sampah, jadi masih terbatas pada pola pemilahan sampah, antara plastik sampah, besi, kardus dan lain lain. Sampah- sampah yang sudah dipisah kemudian dijual kembali kepada pembeli dengan harga yang sesuai dengan misi kemanusiaan Tzu Chi. Kata Stevan (24 tahun);

“Hasil keuntungan dari penjualan sampah, seratus persen kita

sumbangkan untuk dana operasional DAAI TV Medan, kadang kita sepele dengan sampah, Tzu Chi mengubah sampah menjadi emas dan

bernilai harganya”

(53)

Sejak awal Tzu Chi berdiri, setiap relawannya dihimbau untuk bervegetarian, terutama pada saat mengenakan seragam relawan. Namun seiring waktu, Master Cheng Yen pun mulai meminta relawan Tzu Chi untuk mempertahankan pola makan vegetarian tidak hanya saat mengenakan seragam saja, tetapi juga dalam keseharian.

Sofyan Tjiawi (38 tahun) mengatakan Master Cheng Yen menyerukan aksi vegetarian ini, agar setiap orang dapat membangkitkan welas asih terhadap semua makhluk, melindungi bumi, dan menjaga kesehatan diri. Seruan Master Cheng Yen pun disambut dengan positif dan penuh antusiasme. Segenap insan Tzu Chi bergerak menyosialisasikan nilai penting dan manfaat vegetarian.

5.6. Logo Tzu Chi dan Struktur Organisasi

Gambar 5.6 : Logo Tzu Chi

Bentuk utama logo Tzu Chi berupa bunga teratai, yang melambangkan bahwa kita dapat menjadikan dunia lebih baik dengan menanam benih kebajikan. Hanya dengan benih, bunga dapat mekar dan berbuah. Sebuah dunia yang lebih baik dapat diciptakan dengan kebajikan dan pikiran yang murni.

(54)

melambangkan Delapan Ruas Jalan Mulia yang menjadi panduan bagi anggota

Struktur kepengurusan 4 in 1 Tzu Chi

1 組長 Zǔzhǎng Ketua

2 副組長 fù zǔzhǎng Wakil Ketua

3 活動幹事 huódòng gànshi Kegiatan

4 培訓幹事 péixùn gànshi Pelatihan

5 精進幹事 jīngjìn gànshi Pengembangan Diri

Gambar

Gambar 5.1 :  Master Chen Yen, pendiri Tzu Chi yang saat ini menetap di Hualien, Taiwan (Sumber : Dokumentasi Budha Tzu Chi Medan, 2016)
Gambar 5.2 : Celengan Bambu yang lebih modern digunakan oleh Tzu Chi di Medan, celengan bambu ini dipriotitasnya untuk diisi setiap hari baik untuk uang koin maupun uang kertas
Tabel 5.1. Data Jumlah Bakti Sosial Tahun 2015
Tabel 5.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberdayaan ( empowerment ) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program (misalnya, kebijakan pembangunan pertanian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk memperoleh biaya transportasi yang optimal dalam pendistribusian keramik di Kota Palu dengan menggunakan

Seperti yang kita lakukan pada bagian aplikasi Eviews 5.1 untuk data panel, berikut akan dilakukan analisa model data panel dengan dua pendekatan yaitu pendekatan

Metode rasional dalam menentukan laju puncak aliran permukaan (debit puncak) mempertimbangkan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang dibutuhkan air yang

Pengertian rencana Kerja Tahunan Penyuluh Pertanian adalah jadwal yan disusun oleh para penyuluh pertanian berdasarkan programa penyuluhan setempat yang menentukan hal0hal

[r]

Dalam melakukan studinya tentang fenomena sosial, dia tidak menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan ekonomi klasik, yaitu melihat perilaku manusia

Pengukuran capaian kinerja dalam LAKIP Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2014, Dalam Dokumen Rencana Kinerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tasikmalaya