BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Menopause
2.1.1 Definisi Menopause
Definisi menopause menurut WHO berarti berhentinya siklus menstruasi untuk selamanya bagi wanita yang sebelumnya mengalami menstruasi setiap bulan, yang disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat, sampai tidak tersedia lagi folikel, serta dalam 12 bulan terakhir mengalami amenorea, dan bukan disebabkan oleh keadaan patologis (International Menopause Society, 1999).
Kata menopause berasal dari bahasa Yunani “meno” berarti “bulan” dan “pause” “penghentian sementara”. Dalam pandangan medis, menopause didefinisikan sebagai masa penghentian haid untuk selamanya dan Reitz (2001) mengatakan bahwa istilah yang lebih tepat adalah menocease yang berarti “masa berhentinya menstruasi”.
Burger H.G. (2002) mendefinisikan menopause adalah berhentinya menstruasi secara permanen yang diakibatkan hilangnya aktivitas folikel ovarium
yang diperantai oleh transisi menopause, suatu penanda awal wanita mengalami proses peralihan dari masa reproduksi ke masa tua (senium). Ovarium sebagai organ reproduksi primer wanita berfungsi menghasilkan ovum (oogenesis) dan mensekresi hormone seks wanita (Sherwood, 2010). Menopause adalah masa setelah satu tahun berhentinya menstruasi/haid (amenorrea) yang disebabkan oleh menurunnya produksi hormon estrogen dan progesteron di ovarium untuk bisa mempertahankan siklus mentruasi (Tessy, 2012).
berhentinya haid karena ovarium tidak lagi memproduksi hormon estrogen dan progesterone dan berakhirnya masa reproduksi seorang wanita.
2.1.2 Tahapan Menopause
Menurut Soules (2001) dalam Schorge (2008), tahapan penuaan reproduktif wanita terdiri dari tiga tahap utama yaitu mulai dari tahap reproduktif, transisi menopause, dan akhirnya tahap pascamenopause. Pada tahap transisi menopause, terdapat fase pramenopause dan fase perimenopause/klimakterium sebelum mencapai fase menopause (periode menstruasi terakhir = FMP). Transisi menopause adalah suatu masa di mana seorang wanita lewat dari usia reproduktif ke peralihan menopause secara bertahap. Gambar 2.1 menunjukkan bahwa stage 5 hingga stage -3 adalah usia reproduktif wanita dan mulai dari stage -2 wanita sudah memasuki usia menopause.
Menurut Baziad Ali (2003), menopause sendiri terdiri dari empat fase, yaitu tahap pramenopause, perimenopause/klimakterium, menopause (FMP) dan tahap pascamenopause. Dari Gambar 2.1, sebelum menghadapi masa menopause secara
alamiah, seseorang akan dihadapkan pada masa pramenopause yang terjadi beberapa tahun sebelum menopause sebenarnya. Pada tahap ini keluhan perimenopause mulai berkembang. Fase pramenopause merupakan permulaan dari transisi klimaterik/perimenopause yang dimulai 2-5 tahun sebelum menopause yaitu stage -2 di mana terjadi irregularitas siklus menstruasi, perdarahan memanjang (>7 hari) disertai dismenorea (Schorge, 2008)
Fase perimenopause merupakan suatu masa peralihan yang normal yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Stage -1 adalah suatu masa menjelang menopause (FMP) dengan gejala seperti lewat >2 siklus menstruasi dengan interval amenorrea >60hari. Selanjutnya diikuti tahap menopause (FMP = Final Menstruation Period). Menopause dikatakan terjadi apabila selama 12 bulan haid tidak datang lagi, maka ditetapkan menopause sebenarnya. Selanjutnya pada tahap pascamenopause stage +1a berarti 1 tahun setelah periode menstruasi terakhir (FMP) dan +1b berarti 2-5 tahun setelah periode menstruasi terakhir (FMP). Stage +1 (a & b) merupakan fase awal dari pascamenopause and stage +2 adalah fase lanjut dari pascamenopause. Maka fase awal pascamenopause <5 tahun dan fase lanjutnya >5 tahun (Schorge, 2008).
Berdasarkan keadaan endokrinologik, mulai tahap perimenopause terjadi penurunan produksi estrogen dan kenaikan hormon gonadotropin (FSH). Kadar hormon akhir ini terus tetap tinggi sampai kira-kira 15 tahun setelah menopause, kemudian mulai menurun. Tingginya kadar hormone gonadotropin disebakan oleh
2.1.3 Fisiologi Menopause
Pada saat gestasi berusia 5 minggu, sel primordial bermigrasi ke alat genital janin. Pembelahan sel secara mitotic membentuk oogonium yang kemudian menjadi
oocyte. Ternyata pada saat janin berusia 20 minggu, sekitar 7 juta oogonium sudah terbentuk. Namun, jumlah tersebut berkurang secara berangsur sehingga tersisa 2 juta saat lahir dan hanya tinggal 300.000 saat pubertas. Secara fisiologis, jumlah tersebut berangsur –angsur menurun hingga menopause. Penyebab menopause adalah ovarium berhenti menghasilkan ovum (Guyton and Hall, 2006).
Kira-kira 400 folikel primordial tumbuh menjadi folikel yang matang dan berovulasi sepanjang kehidupan reproduksi wanita. Pada usia sekitar 40 tahun, hanya tinggal jumlah kecil folikel primordial yang distimulasi oleh hormone FSH (follicle stimulating hormone) dan LH (luteinizing hormone). Jumlah folikel primordial yang kecil mengakibatkan produksi estrogen oleh ovarium menurun sehingga titik kritis dan estrogen tidak dapat lagi menghambat produksi FSH dan LH. Akibatnya hormone gonadotropin terutama FSH ini diproduksi dalam jumlah yang besar dan secara berkelanjutan setelah menopause (Guyton and Hall, 2006).
2.1.4 Tingkat Hormonal Dalam Sirkulasi pada Menopause
Tabel 2.1 Perubahan Tingkat Hormonal dalam Sirkulasi pada Menopause
Hormone Pramenopause Pascamenopause
Estradiol 40-400 pg/mL 10-20 pg/mL
Estrone 30-200 pg/mL 30-70 pg/mL
Sumber: Buku Clinical Gynecology, Endocrinology and Infertility, Edisi 7, Lippincott Williams and Wilkins, Bab 17: Menopause dan Perimenopausal Transition, Halaman 635
2.1.5 Patofisiologi Menopause
a. Kemoterapi pada wanita
Kemoterapi karena menderita kanker seringkali berakibat pada kondisi menopause dini sementara ataupun permanen. Wanita yang harus menjalani kemoterapi untuk kanker menemukan menopause dini karena terapi ini bekerja pada sel-sel yang sedang membelah demikian targetnya adalah ovum-ovum dalam ovarium. Radiasi pada daerah pelvis juga menghancurkan folikel dan dapat menyebabkan vaginal scarring (Mayo, 1996).
b. Menopause karena merokok.
Walaupun belum diteliti, diasumsikan merokok dapat mempercepat datangnya masa menopause. Aktivitas merokok dilaporkan membawa pengaruh terhadap menopause dini pada wanita. Diketahui 59% wanita perokok aktif lebih mungkin berisiko terhadap menopause dini. Ini mungkin karena kerusakan yang mungkin terjadi pada alat – alat reproduksinya seperti ovari sehingga produksi hormon estrogen menurun. Penurunan produksi estrogen akibat kerusakan ovarium maupun ovum, secara otomatis akan mematikan siklus reproduksi secara bertahap. Ketika produksi estrogen tidak lagi memadai, maka proses menstruasi akan terhenti dan henti haid atau menopause data
c. Menopause karena operasi.
Menopause akan terjadi baik pada mereka yan menjalani histerektomi tanpa pengangkatan ovarium maupun histerektomi dengan pengangkatan ovarium.
Hal ini menjadi masalah jika histerektomi terjadi pada wanita yang masih dalam masa produktif akibat kurangnya hormon estrogen sehingga mengalami perubahan pada organ reproduksi yang seringkali menimbulkan gangguan siklus menstruasi dan menopause dini (Dini Kasdu, 2008).
Ini terjadi akibat proses pembedahan, diantaranya operasi uterus (histerektomi) dan pengangkatan kedua indung telur (oophorectomy bilateral). Proses pembedahan di mana pengangkatan kedua indung telur akan memicu menopause pada 30% wanita dalam masa dua tahun (Mayo, 2000). Dampak potensial dari operasi pada sistem reproduksi terbukti, ketika sesekali setelah ligasi tuba untuk birth control, waktu penyesuaian hormonl diperlukan karena terjadinya perubahan aliran darah ke ovarium pasca operasi (Mayo, 1996).
d. Menopause karena kondisi medis.
Obat – obatan anti kanker dinilai mempengaruhi produksi hormon yang diproduksi oleh indung telur. Tidak hanya itu, perilaku dan kebiasaan mengkonsumsi obat – obatan anti hipertensi, reumatik dan jantung akan mempercepat datangnya masa menopause. Obat – obatan ini diduga akan memberikan efek penekanan produksi hormon – hormon reproduksi (Schorge, 2008).
2.1.6 Faktor Resiko Menopause
a. Menarche (umur haid pertama)
bahwa menarche makin dini timbul dan menopause makin lambat terjadi, sehingga masa reproduksinya menjadi lebih panjang (Prawirohardjo, S. 2011).
b. Usia
Usia rata-rata wanita mengalami menopause (FMP) adalah 51.5 (Schorge, 2008). Rata-rata percepatan penghabisan folikel dan penurunan fertilitas dimulai pada umur 37-38 tahun. Pramenopause di mana perempuan lewat dari masa reproduksi terjadi pada umur rata-rata 40-50 tahun dan menopause terjadi pada umur rata-rata 50-51 tahun (Prawirohardjo, S. 2011). Wanita dengan premature ovarian failure akan mengalami menopause <40 tahun. Ada juga yang mengalami menopause terlambat. Umumnya batas usia terjadinya menopause adalah usia 52 tahun. Namun ada beberapa wanita yang masih memiliki siklus menstruasi atau dalam arti masih mengalami menstruasi di usia 52 tahun. Ada beberapa faktor yang mendorong mengapa di usia 52 tahun masih ada wanita yang mengalami menstruasi, diantaranya faktor tersebut adalah fibromioma uteri dan tumor ovarium yang menghasilkan estrogen. Wanita dengan karsinoma endometrium sering dalam anamnesis disebut juga dengan menopause terlambat (Carmellia, 2013).
c. Jumlah anak
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa wanita yang melahirkan banyak anak, cenderung lebih mudah dan lebih cepat mengalami penuaan dini dan mereka makin dekat dengan masa menopause (Carmellia, 2013). Ada peneliti yang menemukan, semakin sering melahirkan makin tua baru memasuki usia menopause (Baziad Ali, 2003).
d. Usia melahirkan
wanita tersebut memasuki usia menopause. Hal ini disebabkan oleh ketika seorang dalam masa kehamilan dan persalinan di usia yang cukup tua akan berpengaruh pada lambatnya proses sistem kerja dari organ reproduksi dan
memperlambat proses penuaan dini (Carmellia, 2013).
e. Merokok
Diketahui 59% wanita perokok aktif lebih mungkin berisiko terhadap menopause dini dibanding wanita yang tidak merokok. Wanita yang mempunyai kebiasaan merokok cenderung lebih cepat mengalami masa menopause akibat kerusakan alat-alat reproduksi dan fungsi enzim hati yang dibutuhkan untuk produksi estrogen dihambat (Mary Ann Mayo & Joseph Mayo, 2000).
f. Penggunaan Obat-obat Keluarga berencana (KB)
Pemilihan dalam pemakaian alat kontrasepsi juga dapat mempengaruhi seorang wanita mengalami keterlambatan dalam menopause. Wanita yang menggunakan pil KB lebih lama baru memasuki umur menopause karena obat-obat KB menekan fungsi hormonal dari ovarium (Baziad Ali, 2003).
g. Cuaca dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut
Dari penelitian yang masih sedikit dilakukan, kelihatannya wanita yang tinggal diketinggian lebih dari 2000-3000m dari permukaan laut lebih cepat 1-2 tahun memasuki usia menopause dibanding dengan wanita yang tinggal diketinggian <1000m dari permukaan laut (Baziad Ali, 2003).
Gejala-gejala yang sering dijumpai berhubungan dengan penurunan folikel
ovarium dan kemudian kehilangan estrogen pascamenopause adalah sebagai berikut:
2.1.7.1Perubahan Fisik
a. Gangguan pola haid
Gangguan pola haid termasuk anovulasi dan penurunan fertilitas, penurunan keluarnya darah atau justeru hipermenore, frekuensi haid yang tidak teratur dan kemudian diakhiri dengan amenorrhea (Prawirohardjo, 2011).
b. Perubahan thermoregulasi
Gejala-gejala vasomotor seperti hot flush dan keringat malam adalah gejala klinis yang paling umum dialami oleh sebagian besar perempuan pascamenopause, berupa dimulainya kulit kepala, leher dan dada kemerahan mendadak disertai perasaan panas yang hebat dan kadang-kadang diakhiri dengan berkeringat banyak. Lamanya bervariasi dari beberapa detik hingga beberapa menit bahkan satu jam walaupun jarang. Lebih sering dan berat di malam hari atau saat stress (Prawirohardjo, 2011).
Studi epidemiologi menunjukkan gejala vasomotor ini dialami oleh 11-60% wanita pada tahap transisi menopause. Wanita mengalami gejala hot flush rata-rata 2 tahun sebelum siklus menstruasi terakhir (FMP) dan terus mengalami lebih 1 tahun setelah menopause. Hot flush terjadi akibat vasodilatasi perifer dan dapat dirasakan terutama pada wajah, leher dan dada serta jari-jari kaki dan tangan dengan peningkatan suhu kulit 10-15ºC. Patofisiologi hot flush selain vasodilatasi perifer sering dikaitkan dengan estrogen (Schorge, 2008). Penelitian menunjukkan withdrawal dari estrogen atau fluktuasi tingkat estrogen saat menopause yang menyebabkan gejala hot
c. Perubahan dermatologi
Penurunan kandungan kolagen kulit, elastisitas dan ketebalan kulit yang terjadi oleh karena penuaan adalah akibat kekurangan estrogen
(Prawirohardjo, 2011). Menurut Guinot (2005) dalam Schorge (2008), pada transisi menopause bisa terjadi hiperpigmentasi (age spots), wrinkles serta keluhan gatal. Estrogen berperan dalam menjaga elastisitas kulit, ketika menstruasi berhenti maka kulit terasa lebih tipis, kurang elastis terutama pada daerah sekitar wajah, leher dan lengan. Menurut Wines (2001) dalam Schorge (2008) kulit di bagian bawah mata menjadi menggembung seperti kantong dan lingkaran hitam di bagian ini menjadi lebih permanen dan jelas.
d. Perubahan endometrial
Perubahan mikroskopis pada endometrium dapat menggambarkan tingkat estrogen dan progesteron sistemik sehingga menunjukkan perubahan endometrial secara dramatis pada transisi menopause. Pada wanita yang anovulatori, tidak ada korpus luteum terbentuk maka tidak ada produksi progesterone. Pada fase lanjut transisi menopause, endometrium menunjukkan peningkatan estrogen akibat tidak dilawan (unopposed) oleh progesterone. Tetapi setelah menopause, terjadi atrofi endometrium akibat kurangnya stimulasi dari estrogen (Schorge, 2008).
e. Perubahan genitourinaria
Uretritis dengan disuria, inkontinensa urgensi, dan meningkatnya frekuensi berkemih merupakan gejala lanjutan dari penipisan mukosa urethra dan kandung kemih.karena kehabisan estrogen, vagina kehilangan kolagen,
jaringan adipose, dan kemampuan untuk mempertahankan air. Ketika dinding vagina mengerut, rugae akan mendatar dan lenyap (Prawirohardjo, 2011).
Osteoporosis, masalah tulang yang paling menonjol, berkurangnya massa tulang dengan rasio mineral terhadap matriks yang normal. Dengan kata lain ia merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa dan
kepadatan tulang sehingga tulang menjadi lemah. Apabila terus berlanjut, maka tulang menjadi lebih rapuh dan bahkan dengan tekanan yang ringan saja dapat menyebabkan tulang menjadi fraktur (Prawirohardjo, 2011). Osteoporosis banyak terjadi pada orang lanjut usia dan paling banyak mengenai wanita menopause. Estrogen memiliki efek protektif pada tulang dengan mencegah kehilangan tulang secara keseluruhan. Jumlah wanita yang telah mengalami menopause dan kehilangan kepadatan tulang sampai 1.5 million per tahun di Amerika karena kehilangan estrogen yang terjadi pada saat menopause (Schorge, 2008).
g. Peningkatan berat badan
Perubahan hormone setelah menopause memberikan dampak di kemudian hari pada wanita saat pascamenopause (Spencer dan Brown, 2006). Wanita dalam masa transisi pascamenopause sering melaporkan mengalami kenaikan berat badan yang cepat dibandingkan sebelum menopause (Schorge, 2008). Kenaikan berat badan sepanjang periode ini berkaitan dengan distribusi lemak pada bagian abdomen yang menyebabkan obesity sentral (Dallman, 2004). Penelitian menunjukkan wanita mengalami kenaikan berat badan kira-kira 2-3 kg selama periode pascamenopause karena perubahan hormone mengakibatkan distribusi lemak tubuh lebih tinggi di bagian abdominal dibanding subkutan (Lovejoy, 1998). Didapati tingkat obesitas pada wanita pasca menopause stadium lanjut lebih tinggi dibanding wanita pasca
menopause stadium awal (Zhang, 2013).
a. Stabilitas emosional
Pendapat bahwa menopause memiliki efek yang merugikan pada kesehatan jiwa tidak didukung dalam kepustakaan psikiatrik. Pada awal
pascamenopause sering dijumpai kelelahan, gugup, nyeri kepala, insomnia, depresi, iritabilitas, nyeri sendi dan otot, berpusing putar dan berdebar-debar. Stabilitas emosional selama perimenopause dapat diganggu oleh pola tidur yang buruk, hot flush sendiri berdampak buruk pada kualitas tidur (Prawirohardjo, 2011).
b. Kognisi dan penyakit Alzheimer
Efek yang menguntungkan dari estrogen pada kognisi khususnya pada memori verbal. Perempuan tiga kali lebih banyak yang menderita Alzheimer dibanding laki-laki. Estrogen mampu melindungi fungsi sistem saraf pusat melalui berbagai mekanisme (Prawirohardjo, 2011).
2.2 Obesitas
2.2.1 Pengertian Obesitas
National Institute of Health mengartikan obesitas sebagai jumlah jaringan lemak berlebihan dan sebagai kelebihan lemak tubuh. Ketika kuantitas energi dalam bentuk makanan yang masuk dalam tubuh lebih besar daripada yang dikeluarkan, maka berat badan meningkat dan sebagian besar dari kelebihan energi ini disimpan dalam bentuk lemak (Guyton & Hall, 2006).
2.2.2 Klasifikasi Obesitas
1) Obesitas android atau tipe sentral
Distribusi lemak di setengah bagian atas tubuh (perut, dada, punggung, muka). Pada umumnya tipe ini dialami oleh pria.
2) Obesitas gynoid atau tipe perifer
Distribusi lemak di setengah bagian bawah tubuh (pinggul dan paha) Pada umumnya tipe ini biasanya banyak dialami oleh wanita.
2.2.3 Pengukuran Obesitas
Pengukuran obesitas dapat dilakukan dengan berbagai metode:
1) Mengukur lemak tubuh
a. Hydrodensitometry atau underwater weight, pengukuran berat badan dilakukan di dalam air dan kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang tersisa.
b. BOD POD merupakan ruang berbentuk telur yang telah dikomputerisasi. Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah udara yang tersisa digunakan untuk mengukur lemak tubuh.
c. DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry), menyerupai scanning tulang. Sinar X digunakan untuk menetukan jumlah dan lokasi dari lemak tubuh.
d. Jangka kulit, ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai forceps).
e. Bioelectric impedance analysis (analisa tahanan bioelektrik), penderita berdiri di atas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya dialirkan ke seluruh tubuh, kemudian dianalisis.
paling sederhana dan sering digunakan untuk mengukur tingkat obesitas dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Nilai BMI yang didapat tidak tergantung umur
dan jenis kelamin.
Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia Dewasa
Kategori BMI (kg/m2)
Underweight <18,5 kg/m2
Normal 18,5-22,9 kg/m2
Overweight >23kg/m2
At Risk 23-24,9 kg/m2
Obese I 25-29,9 kg/m2
Obese II >30kg/m2
(Sumber: International Obesity Task Force 2005)
g. Antropometri: Pengukuran Lingkar pinggang dan rasio lingkar perut
dan pinggul (waist hip ratio). Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cutt of
point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang. Sehingga IDF (Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis.
Tabel 2.3 Kriteria Ukuran Pinggang Berdasarkan Etnis
Negara/ Grup Etnis
Sumber: Ethnic specific values for waist circumference, International Diabetes Federation, 2005)
Jenis Kelamin Ukuran RLPP Normal
Wanita <0,85
Pria <0,90
Sumber: World Health Organization, International Association for the Study of Obesity, International Obesity Task Force, 2000)
Menurut WHO (2000), obesitas sentral adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum. Prevalensi obesitas sentral pada penduduk Barat dan Timur tinggi. Prevalensi obesitas sentral pada laki-laki AS meningkat dari 37 persen (periode 1999-2000) menjadi 42,2 persen (periode 2003-2004), sedangkan prevalensi obesitas sentral pada wanita AS meningkat dari 55,3 persen persen menjadi 61,3 persen pada periode yang sama. Pada laki-laki dan wanita Eropa, obesitas sentral yang didefinisikan menurut kriteria lingkar perut definisi lokal
dengan menggunakan nilai cut-off 90-102 cm untuk laki-laki dan 80-92 cm untuk wanita (Elya, 2007).
2.3Hubungan Lamanya Mengalami Menopause dengan Tingkat Obesitas pada
Wanita Pascamenopause
Para peneliti mengatakan kenaikan berat badan atau obesitas pada usia pertengahan biasanya disebabkan oleh perubahan gaya hidup, aktivitas fisik dan kebiasaan makan. Secara umum, lebih banyak wanita mengalami obesitas dibanding laki-laki dan fluktuasi hormon seks telah diusulkan sebagai penyebab bagi penambahan berat badan. Menurut beberapa penelitian sebelumnya wanita sering mengalami kenaikan berat badan pada pascamenopause akibat dari perubahan distribusi lemak tubuh yang dipengaruhi oleh perubahan hormonal setelah menopause
(Pao, 2000).
2.3.1 Faktor Persentase Lemak Tubuh
Laporan dari New Mexico Aging Process Study (2003), orang dewasa memiliki persentase lemak tubuh yang tinggi dibandingkan yang lebih muda karena hilangnya massa otot akibat penuaan (Schorge, 2008). Hilangnya massa otot dimulai sekitar usia 30 tahun dan berlanjut sepanjang hidup. Penurunan tingkat growth hormone, estrogen dan testosterone yang merangsang perkembangan otot menyebabkan penurunan massa otot. Sekitar usia 75 tahun, persentase lemak tubuh biasanya tinggi dibandingkan selama masa dewasa muda. Peningkatan lemak tubuh dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskuler. Perubahan distribusi lemak tubuh akan menyebabkan akumulasi lemak dan mengubah bentuk badan (Porter, 2009).
2.3.2 Faktor Gaya Hidup
Massa otot menurun mungkin karena otot-otot kurang digunakan dan mulai ‘shrink’ karena kurang aktif. Olahraga teratur untuk menguatkan otot dapat mencegah penurunan massa otot dan dan peningkatan lemak tubuh (Porter, 2009). Wanita postmenopause kurang berolaraga menyebabkan otot tidak aktif, dan metabolism yang lambat (Spencer dan Brown, 2006). Peningkatan intake kalori, sedikitnya olahraga serta kurangnya keaktifan otot mengakibatkan tubuh membakar kalori yang sedikit. Kebanyakan kalori disimpan di sel lemak, makin menumpuk dan mengakibatkan obesitas.
2.3.3 Faktor Hormonal
Secara teoritis, wanita mengalami berbagai gejala setelah menopause karena perubahan keseimbangan hormonal. Hormon-hormon yang mempengaruhi kenaikan berat badan pada wanita pascamenopause:
a. Estrogen
The penurunan produksi estrogen ovarium yang terjadi pada menopause dapat menyebabkan peningkatan aktivitas aromatase perifer. Jaringan adiposa perifer adalah sumber utama untuk produksi estrogen pada wanita pascamenopause (Clark, 2001). Selama menopause, ovarium memproduksi lebih sedikit estrogen, tubuh mencoba untuk menemukan hormone tersebut selain di ovarium, sel lemak dapat memproduksi estrogen, sehingga tubuh akan menyimpan kalori ekstra sebagai lemak untuk kemudian digunakan untuk memproduksi estrogen. Di usia lanjut metabolisme tubuh melambat dan cenderung kehilangan massa otot dan menggantinya dengan lemak. Sel otot membakar lebih banyak kalori daripada sel lemak (Norsigian, 2006).
menopause sangat terkait dengan hilangnya lemak subkutan dan penumpukan lemak visceral. Namun, mekanisme hormon estrogen mengontrol akumulasi lemak belum diketahui. Penelitian tentang efek estradiol in vivo dan in vitro pada
metabolisme jaringan adiposa manusia menemukan bahwa estradiol meningkatkan jumlah reseptor antilipolytic alpha-2 (α2) adrenergic receptor di
jaringan adipose subkutan. Lipolisis pada manusia dikendalikan melalui β
-adrenergik (lipolitik) dan α2-adrenergik (antilipolytic) reseptor. Estrogen
menurunkan respon lipolitik penumpukan lemak di subkutan dengan meningkatkan jumlah reseptor antilipolytic α2-adrenergik, sedangkan estrogen tampaknya mempengaruhi lipolisis penumpukan lemak intraabdominal. Wanita postmenopause mengalami penurunan kadar estradiol dan peningkatan lipolisis pada jaringan adipose subkutan, maka terjadi penumpukan lemak pada intraabdominal dan menyebabkan obesitas sentral (Pedersen, 2004).
b. Progesterone
Penurunan progesterone menyebabkan kenaikan berat badan setelah menopause. Progesteron meningkatkan suhu tubuh basal yang membakar kalori. Tidak ada ovulasi berarti tidak ada progesterone maka, tidak ada peningkatan suhu, dan berarti tubuh membakar kalori lebih sedikit (Roizen, 2007). Progesteron adalah diuretik yang meningkatkan metabolisme tubuh dan efek diuretiknya membantu menurunkan retensi cairan, yang menyebabkan tubuh mengembung (Selye, 1940). Penurunan kadar progesterone menyebabkan retensi air. Retensi air membuat kandungan air pada tubuh lebih tinggi dan membuat tubuh lebih mengembung serta berat badan bertambah (Leonard, 2012).
c. Testosterone
meningkatkan kadar free testosterone (Schorge, 2008). Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan free testosterone (FT) sangat terkait dengan akumulasi lemak di abdomen pada wanita pascamenopause (Burger HG, 2000). Terbukti
bahwa peningkatan kadar free testosterone serta kadar sex hormone-binding globulin (SHBG) yang rendah pada wanita menopause berhubungan dengan penurunan produksi adiponektin (Sieminska, 2006). Adiponektin (diproduksi oleh jaringan adipose) terlibat dalam beberapa proses metabolisme, seperti utilisasi glukosa, oksidasi asam lemak dalam otot, penurunan resistensi insulin di hati dan metabolisme jaringan adiposa (Harvey, 2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa adiponektin bisa menjadi marker untuk sindrom metabolik pada menopause (Mankowska, 2008). Adiponektin berperan dalam patogenesis sindrom metabolik. Protein ini meningkatkan toleransi glukosa melalui peningkatan sensitivitas insulin. Adiponektin meningkatkan oksidasi asam lemak di hati dan otot, sehingga mengurangi kandungan trigliserida dalam jaringan. Selain itu, merangsang utilisasi glukosa di dalam otot dan menghambat produksi glukosa oleh hati, akibatnya penurunan kadar glukosa darah (Choi, 2005). Adiponektin meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin dan defisiensinya dapat menyebabkan perkembangan resistensi insulin (Mankowska, 2008). Maka, menurut para peneliti, penurunan tingkat adiponektin menyebabkan akumulasi lemak visceral pada wanita pascamenopause (Ritland, 2008).
d. Leptin
Leptin berarti tipis. Leptin adalah hormon yang dihasilkan dari stored fat atau dari jaringan adiposa. Ia menekan nafsu makan, sehingga mengurangi konsumsi