• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking di Sulawesi Utara T1 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking di Sulawesi Utara T1 BAB IV"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ASEAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN TRAFFICKING

4.1 Globalisasi dan Trafficking

Globalisasi menciptakan arus lalulintas barang dan jasa, serta informasi lebih mudah dan cepat. Kemudahan akses yang ada memberi dampak baik dan buruk, seperti dalam hal keamanan. Ancaman keamanan suatu negara saat ini sudah tidak lagi terfokus pada ancaman dari sisi tradisional saja, namun ada beberapa ancaman yang muncul dari sisi non-tradisional. Menurut United Nation News Centre, perdagangan manusia

(trafficking) yang merupakan bentuk baru dari perbudakan juga merupakan bentuk

ancaman keamanan non-tradisional bagi suatu negara.

Dalam laporan The Rights on Non-Citizen mengatakan bahwa globalisasi meyebabkan permasalahan bagi manusia, seperti (1) munculnya kejahatan tansnasional dengan adanya beberapa inovasi teknologi, (2) bertambahnya kebutuhan pekerja buruh akibat negara yang membuka perekonomiannya, (3) kemudahan perjalanan atau travel menyebabkan seseorang dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat, (4) perubahan pasar dimana sebagian besar negara industri membutuhkan pekerja yang lebih banyak. Kemudahan-kemudahan yang ada menyebabkan beberapa kejahatan transnasional (kejahatan yang melintasi batas negara) semakin banyak bentuk dan modusnya, seperti

trafficking. Ditambah dengan banyaknya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi,

seperti kebutuhan sumber daya ketenagakerjaan yang semakin besar, menjadikan trafficking lebih berkembang.

(2)

4. 2 Trafficking Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Perdagangan manusia (trafficking) terjadi di semua negara di dunia, dan telah lama berlangsung. Artinya, trafficking bukan menjadi hal yang baru dalam masyarakat dan negara. Menurut Damone (2010) trafficking telah ada sejak 200 tahun lalu, dan bahkan pada waktu itu, Inggris dan Amerika Serikat telah secara resmi melarang trafficking (lebih dikenal dengan perdagangan budak pada saat itu) melalui undang-undang atau peraturan (yang mengatur mengenai hak asasi manusia) dalam Negara mereka.

Perkembangan mengenai hak asasi manusia lebih dikenal pembahasannya berasal dari negara-negara Barat, khususnya di bagian Eropa. Hal ini dikarenakan banyaknya tulisan dan dokumen-dokumen yang membahas mengenai hak asasi manusia berasal dari mereka. Namun, bukan berarti bahwa negara-negara selain Eropa tidak membahas mengenai hak asasi manusia. Hanya saja kurangnya dokumentasi dan cara penyebarannya yang berupa cerita-cerita yang kemudian sulit untuk diterima atau dibuktikan kebenarannya. Hak asasi manusia yang dibahas dibedakan dalam beberapa generasi, dengan generasi pertama pembahasan mengenai hak asasi manusia yaitu mengenai hak sipil dan politik. Kemudian generasi kedua mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya yang muncul pada masa Perang Dingin (1945- awal 1870an). Generasi ketiga mengenai hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan (Budiardjo, 2016).

Konsep hak asasi manusia muncul melalui pemikiran liberalisme klasik seperti John Lock dan Montesquieu, yang melihat bahwa manusia hidup dalam suatu ‘keadaan alam’ (state of nature), dimana dalam keadaan alam ini semua manusia martabatnya sama, yang tunduk kepada hukum alam, dan memiliki hak-hak alam. Hak-hak alam menurut John Lock adalah hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikan (life, liberty,

property). Kemudian dari sinilah konsep dan peraturan mengenai hak asasi manusia terus

berkembang. Di Inggris, hak asasi dijadikan undang-undang yang dikenal dengan Bill of

Rights tahun 1689. Sedangkan di Amerika, undang-undang hak asasi atau Bill of Rights

(3)

bentuk 10 amandemen pada tahun 1791. Prancis juga membuat deklarasi hak asasi manusia dan warga negara yang dikenal dengan Declaration des Droits de I’Homme et

du Citoyen pada tahun 1789 (Budiardjo, 2016: 214). Pada saat itu,

pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia terjadi akibat tindakan penguasa atau pemerintahan (Raja) pada saat itu yang mengesampingkan kesejahteraan rakyatnya, dan lebih mementingkan kekuasaan dan kekayaan penguasa (Raja) dan golongannya (Bangsawan). Maka dari itu, hak asasi manusia mulai dimasukan kedalam undang-undang atau peraturan dalam negara, dikarenakan pemikiran-pemikiran mengenai hak asasi manusia yang menjadi inspirasi untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan dikala itu.

Seusai Perang Dunia II (1942-1945), negara-negara Barat menginginkan akan adanya suatu rumusan mengenai hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal, sehingga memunculkan beberapa piagam penting dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia, seperti dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Salah satu permasalahan yang juga menjadi sorotan bagi masyarakat yang mulai sadar akan adanya hak asasi manusia adalah masalah perbudakan. Perbudakan merupakan tindakan eksploitasi manusia dengan penghilangan terhadap hak-hak yang dimiliki sebagai manusia (United Nation, 2014), seperti tidak mendapatkan akses kesehatan, pemaksaan bekerja dengan tidak mendapatkan gaji atau upah yang sesuai, kekerasan fisik dan mental, dan lain sebagainya. Dampak dari pembangunan yang terjadi di berbagai wilayah, yang berimbas pada perlunya ketenagakerjaan, maka budak-budak ini mulai diperjual-belikan. Seiring dengan berkembangnya konsep dan peraturan mengenai hak asasi manusia, disertai dengan desakan oleh masyarakat, akhirnya praktek perbudakan mulai dihapuskan. Namun, permasalahan perbudakan masih belum sepenuhnya hilang, dan malah permasalahan ini berubah bentuk menjadi tindakan perdagangan manusia (trafficking in persons). Global Report on Trafficking in Persons (UNODC, 2009) mengatakan bahwa trafficking merupakan bentuk modern dari perbudakan.

(4)

Pasal 19 (mempunyai pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat), hak asasi yang tida boleh dibatasi dalam keadaan apapun adalah Pasal 6 (hak untuk hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (anti perbudakan), Pasal 11 (antipasang badan), Pasal 15 (sifat kedaluarsa tindakan kriminal atau non-retroaktif), Pasal 16 (pribadi di hadapan hukum), Pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama). Seiring dengan perkembangan trafficking ini, maka dibuat adanya berbagai peraturan anti trafficking, dimana peraturan ini merupakan bentuk dari perkembangan Pasal 8 yang membahas mengenai peraturan anti perbudakan.

Perbudakan merupakan bentuk eksploitasi terhadap manusia dimana menghilangkan hak-haknya sebagai manusia. Pada saat itu, perbudakan merupakan suatu hal yang biasa dan normal. Namun dengan adanya hak asasi manusia, perbudakan dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perbedaan perbudakan di waktu lalu dan trafficking di saat ini adalah semua orang dapat menjadi korban. Perbudakan di masa lalu lebih banyak berasal dari perbedaan etnis, warna kulit, atau status sosialnya. Sedangkan korban trafficking, tidak hanya berasal dari beberapa etnis, warna kulit tertentu, dan perbedaan status sosialnya. Dengan kata lain semua orang dapat menjadi korban trafficking.

Bentuk eksploitasi terkait dengan permasalahan trafficking tidak jauh berbeda dengan bentuk eksploitasi budak masa lalu, yaitu yang didapatkan mulai dari bekerja dengan tidak dibayar upah pekerja, bekerja melewati jam kerja yang seharusnya, eksploitasi seksual, serta bekerja dibawah kondisi ditekan oleh majikan atau pemilik korban (IOM, 2013).

Praktek trafficking saat ini tidak mengenal batas wilayah. Modus operandi

trafficking bisa dibilang rapi dan tersebar luas, sehingga untuk mengentikannya

(5)

media masa, dan juga partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pelayanan rehabilitasi bagi korban trafficking.

4.3 Modus Operandi Trafficking

Data yang dimiliki oleh pemerintah daerah mengenai kasus trafficking yang menimpa warganya yang diperjual-belikan di dalam maupun luar negeri tidaklah banyak. Angka-angka tersebut juga sama dengan data yang ada di pemerintah pusat, juga dengan detail data yang terbatas. Permasalahan trafficking di dunia memang memiliki beberapa faktor umum yang mendorong berkembangnya bentuk kejahatan ini, seperti faktor ekonomi dan pendidikan. Pembangunan ekonomi menyebabkan kebutuhan ketenagakerjaan yang banyak sehingga migrasi tenaga kerja menjadi yang rentan akan

trafficking. Maka dari itu kejahatan ini harus mendapatkan perhatian serius bagi

pemerintah dan masyarakat.

Beberapa dari kita masih menyamakan antara trafficking dengan people

smuggling (penyelundupan manusia). Padahal keduanya memiliki arti dan tujuan yang

berbeda. Dalam ASEAN and Trafficking in Persons; Using Data as a Tool to Combat Trafficking in Persons, perbedaan terletak dimana trafficking terkait dengan beberapa kejahatan seperti pembunuhan, kekerasan, dan penculikan, dimana kejahatan tersebut melawan individu seseorang sehingga tergolong sebagai korban. Sedangkan people

smuggling dimana kejahatan tersebut mendapat ijin dari individu tersebut dan individu

itu bukanlah sebagai korban. Terdapat perbedaan dalam kasus trafficking dan people

(6)

Tabel 4.1 Perbedaan antara Trafficking dan Smuggling

Trafficking Smuggling

Adanya unsur kekerasan, penipuan, atau pemaksaan secara nyata terhadap korban yang biasanya ditunjukan untuk kerja paksa atau pekerja seks komersial.

Orang yang diselundupkan pada umumnya kooperatif bekerjasama dengan pelaku penyelundupan orang, tidak ada kekerasan.

Orang yang diperdagangkan adalah korban.

Orang yang diselundupkan adalah pelaku pelanggaran hukum bukan korban.

Pergerakan korban dibatasi bahkan sering diisolasi.

Pelaku bebas pergi atau berganti pekerjaan.

Tidak harus lintas batas negara. Penyelundupan harus sudah lewat batas negara.

Korban perdagangan orang dipekerjakan di labor/service atau commercial sex acts, dan harus bekerja namun kebanyakan tidak mendapat bayaran/upah.

Orang yang diselundupkan berusaha masuk secara illegal di tempat tujuan.

Sumber: Sefrani, 2016:290

(7)

Tabel 4.2 Proses, Cara, dan Tujuan Trafficking

Sumber: Buku Saku Kepala Desa (2011), diolah

Banyak korban yang terjerumus dalam lingkungan trafficking, misalnya anak gadis dan perempuan yang dipekerjakan dalam sektor domestik, seperti pekerja rumah tangga atau pengasuh (bukan perawat profesional). Memang kebanyakan korban

trafficking yang dicari oleh pelaku memiliki keterampilan yang terbatas dan

berpendidikan rendah. Korban kebanyakan bekerja di dalam rumah, sehingga mereka tidak dapat diawasi, menyebabkan banyak yang tidak terdeteksi oleh pihak aparat berwenang terkait dengan kejahatan trafficking.

Pelaku kejahatan trafficking sangatlah beragam, terdiri dari perseorangan (individu) ataupun yang telah terorganisir (kelompok). Para pelaku trafficking biasanya

Proses Cara Tujuan

Pelaku memindahkan korban menjauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau menerima mereka (calon korban)

Pelaku menggunakan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penyalahgunaan

kekuasaan/posisi rentan atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat memaksa mereka.

(8)

memiliki nama panggilan atau sebutan (samaran) germo/mucikari/’mami’atau’papi’. Pelaku trafficking bisa dari orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali sampai pada orang yang dekat dengan kita, seperti, orangtua, paman, bibi, tante, tetangga atau kenalan di kampung, sponsor/calo, pegawai atau pemilik perusahaan, oknum aparat pemerintah, oknum guru, sampai sindikat trafficking lainnya.

Modus yang dipakai oleh pelaku pun sangat beragam. Menurut Buku Saku Kepala Desa yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2011), modus pelaku antara lain mulai dari pengiriman jasa ketenagakerjaan; duta seni budaya; perkawinan pesanan (kawin kontrak); pengangkatan atau adopsi anak; pemalsuan dokumen seperti kartu keluarga; kartu tanda penduduk (KTP/identitas) dan surat-surat lainnya; menggunakan perusahaan Non Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS); menggunakan visa pelajar ke Negara tertentu; melaksanakan pelatihan di tempat kerja; memindahkan dari satu wilayah ke wilayah lainnya secara illegal; penjeratan hutang; kerja paksa; penculikan; dan masih banyak lagi. Ada juga kondisi kejahatan baru dimana anak-anak atau orang dewasa, serta penjualan organ tubuh dijual secara online (deep web dan dark web1). Ada situasi yang dilakukan oleh pelaku

trafficking, dengan cara pemaksaan dimana walaupun calon korban menolak janji-janji

atau promosi palsu oleh sang pelaku, namun mereka masih bisa memaksa calon korban tersebut untuk ikut bersama mereka, sehingga calon korban itu pun terjebak didalam lingkungan trafficking.

Terdapat juga korban atau calon korban yang memiliki karakteristik yang pas bagi pelaku trafficking, seperti orang miskin, orang yang dengan pola hidup konsumtif, orang yang tidak memiliki keterampilan, orang yang berpendidikan rendah, orang buta aksara, orang yang memimpikan gaji tinggi dengan bekerja di luar daerah/negeri tanpa informasi yang jelas, korban kekerasan dalam rumah tangga, orang yang kehilangan anggota

1 Merupakan kumpulam konten/website yang tidak bisa terdeteksi oleh sea rch engine seperti Google, dan biasanya berisikan mengenai kegiatan-kegiatan illegal dan terlarang seperti pornografi dan lain

(9)

keluarganya, korban konflik, korban bencana, sampai pada pengangguran. Ciri-ciri orang yang kurang waspada adalah sasaran yang baik bagi para pelaku trafficking. Kemudian terdapat bentuk-bentuk eksploitasi kepada korban didalam situasi trafficking, antara lain dilacurkan (dijadikan pekerja seks komersial), pengedar narkoba atau obat-obatan terlarang, bekerja tidak sesuai dengan pekerjaan yang dijanjikan, bekerja tanpa batas waktu, gaji tidak pernah dibayarkan, penyelundupan bayi, adopsi illegal, penjualan bayi atau anak, dijadikan ABK (Anak Buah Kapal) untuk kapal ikan atau serupa, transplantasi organ tubuh (Buku Saku Kepala Desa, 2011).

Kemungkinan pekerjaan dalam sektor domestik masih menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia karena tidak memerlukan keahlian yang khusus untuk melakukan suatu pekerjaan seperti menjadi pembantu rumah tangga, dengan mendapatkan upah yang dapat membiayai kehidupannya dan keluarga sehari-hari. Selain itu ada juga cerita-cerita kesusksesan Tenaga Kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga yang sudah terlebih dahulu bekerja di luar negeri menambah keinginan bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan untuk mencoba peruntungan mereka dalam bidang pekerjaan tersebut.

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, trafficking yang terjadi khususnya pada perempuan dan anak bertujuan sebagai:

(1) Pekerja domestik atau pekerjaan rumah tangga, dengan korban yang diiming-imingi janji-janji, kemudian dipekerjaan sebagai pembentu rumah tangga. (2) Sebagai pengemis di lampu merah atau tempat-tempat tertentu dan

kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan, biasanya dipekerjakan sebagai pengemis di beberapa daerah di Indonesia.

(3) Pengedar narkoba, yaitu memanfaatkan korban sebagai perantara untuk mengedarkan narkoba.

(4) Pekerja seks, dimana pekerjaan golongan ini masih sangat tinggi dilakukan. (5) Pedofil, dimana anak-anak diesploitasi secara seksual.

(10)

Mereka yang pada awalnya secara legal bekerja di luar negeri juga memiliki potensi menjadi korban trafficking karena tergiur dengan gaji atau upah yang diterima, tidak atau belum mengerti aturan atau birokrasi pelaporan kepada kedutaan atau konsul jendral Indonesia, tidak melaporkan kedatangan atau perpanjangan jika habis masa berlaku untuk menetap di luar negeri, tertipu dengan pemalsuan dokumen.

Adapun dampak yang ditimbulkan dalam kejahatan trafficking ini, yang dirasakan baik oleh individu, keluarga, serta sosial, yang tentunya sangat merugikan semua orang, seperti dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.3 Dampak Bagi Individu, Keluarga dan Sosial

Individu Keluarga Sosial

Terkuculkan

Depresi (gangguan jiwa). Terjadi cacat fisik bila mengalami penyiksaan. Putus asa dan hilang harapan Terganggunya fungsi reproduksi’kehamilan yang tidak diinginkan.

Bila dilacurkan, akan terinfeksi IMS/HIV/AIDS Kematian.

Beban psikososial (malu, rendah diri, dll).

Keluarga gagal.

Timbulnya pandangan negative oleh masyarakat.

(11)

4.4 Peran ASEAN dalam Stabilitas Kawasan

ASEAN pada awalnya merupakan organisasi regional yang memfokuskan kerja sama dalam bidang non politik seperti dalam sektor ekonomi, teknik, keilmuan, sosial dan kebudayaan (Sefrani, 2016:212). Hal ini sangat dimaklumi ketika negara-negara anggota ASEAN memiliki pengalaman yang buruk terkait dengan penjajahan yang menggangu bidang politik masing-masing negara. Para pendiri ASEAN mempercayai bahwa persekutuan militer atau fakta pertahanan keamanan hanya akan menarik oposisi dan menimbulkan situasi dimana dunia dibagi dalam kelompok kawan dan lawan yang berpotensi menimbulkan ketegangan dan mengganggu keamanan diri sendiri maupun kawasan dan internasional, dan hal ini tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967. Adapun misi ASEAN yang dituliskan dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967, untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara dalam suasana penuh rasa persahabatan, kedamaian dan kemakmuran. Pada tahun 1976, bidang kerjasama ASEAN diperluas sampai menyentuh bidang politik. Dalam kerjasama bidang politik ini memiliki poin penting dalam perjanjiannya dimana segala sengketa dalam ASEAN penyelesaiannya diusahakan dengan cara damai. ASEAN Way merupakan istilah dimana sengketa yang terjadi dalam ASEAN diselesaikan secara damai, dengan prinsip non intervensi.

Dalam Piagam ASEAN, terdapat prinsip-prinsip utama ASEAN yaitu:

1. Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN.

2. Tidak ikut campur urusan dalam negeri negara anggota ASEAN.

3. Penghormatan terhadap hak setiap negara anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan paksaan. 4. Menghormati kebebasan fundamental pemajuan dan perlindungan HAM, dan

pemajuan keadilan sosial.

(12)

6. Tidak turut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun termasuk penggunaan wilayahnya, yang dilakukan negara anggota atau non anggota ASEAN atau subjek negara maupun yang mengancam kedaulatan, integritas wilayah, atau stabilitas politik dan ekonomi negra-negara anggota ASEAN.

ASEAN kemudian merangkum semua bidang kerjasamanya dengan membentuk suatu kawasan yang terintegrasi sembari melakukan berbagai pembenahan di berbagai bidang. Pembentukan komunitas kawasan ASEAN (Association of Southeast Asian

Nation) dilakukan dengan berlandaskan 3 (tiga) pilar yaitu Pilar Politik-Keamanan

ASEAN, Pilar Ekonomi ASEAN, dan Pilar Sosial Budaya ASEAN.

Komunitas Politik Keamanan ASEAN merupakan satu dari tiga pilar Komunitas ASEAN dengan tujuan untuk mempercepat kerja sama politik dan keamanan di ASEAN dalam mewujudkan perdamaian di kawasan regional dan global. Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN memiliki tiga karakteristik (Kemlu, 2015) yaitu:

1. Masyarakat yang mengacu pada peraturan dengan kesamaan nilai dan norma (a rules based community with shared values and norms).

2. Kawasan yang kohesif, damai dan berdaya tahan tinggi dengan tanggung jawab bersama untuk menciptakan keamanan komprehensif (a comprehensive, peaceful and resilient region with shared responsibility for

comprehensive security).

3. Kawasan yang dinamis dan berpandangan keluar (a dynamic and outward looking region).

(13)

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering terjadi di negara-negara anggota ASEAN dan jelas mengganggu stabilitas keamanan kawasan ASEAN. Untuk menunjang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, ASEAN membentuk Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN pada 23 Oktober 2009 di Thailand. Banyak bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi oleh ASEAN salah satunya adalah praktek

trafficking. Negara-negara ASEAN tidak lagi hanya menjadi tempat persinggahan saja,

melainkan juga pengirim dan tujuan trafficking. Maka dari itu diperlukan adanya sebuah kerja sama dalam memerangi permasalahan pelanggaran hak asasi manusia, salah satunya adalah permasalahan trafficking, dimana bentuk kejahatan trafficking berakibat pada ketidakstabilitas keamanan individu dan negara.

Permasalahan trafficking sendiri tergolong kedalam tindakan kejahatan transnasional, dimana kejahatannya tidak hanya terjadi di dalam suatu negara, serta pelakunya merupakan kelompok kriminal yang terorganisir. Menurut klasifikasi yang terdapat dalam ASEAN Convention Against Trafficking in Persons tahun 2015, yang dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan transnasional (Article 2 huruf ‘h’) ketika:

1. It is committed in more one State;

2. It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning,

direction or control takes place in another State;

3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that

engages in criminal activities in more than one State; or

4. It is committed in one State but has substantial effects in another States.

4.4.1 ASEAN dan Traffciking

(14)

aman dan kesejahteraan masyarakatnya yang merata. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang ada, maka diperlukan suatu keseragaman dan komitmen dari anggota ASEAN.

Dalam cetak biru Masyarakat Politik-Keaman ASEAN, terdapat beberapa roadmap dan timetable dengan 147 action line yang harus dilaksanakan dalam pelaksaan Masyarakat ASEAN 2015. Dalam cetak biru ini beberapa diantaranya membahas mengenai perlindungan hak asasi manusia, pemberantasan kejahatan lintas negara, dan perlindungan terhadap perdagangan dan penyelundupan manusia. ASEAN mewujudkan komitmennya dalam peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia terlihat dengan pembentukan organisasi AICHR (ASEAN

Intergovermental Commision on Human Rights) pada KTT ASEAN

ke-15 di Thailand tahun 2009. ASEAN juga meningkatkan kerja sama dalam pemberantasan kejahatan transnasional, dimana aktivitas kejahatan ini semakin meningkat sehingga dapat mengganggu keamanan ASEAN. Beberapa organisasi dibuat dalam mengatasi permasalahan yang tergolong kedalam kejahatan transnasional seperti ASEAN Ministerial

Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEANSenior Officials on

Drugs Matters (ASOD), ASEANChiefs of National Police (ASEANPOL),

ASEANDirectors-General of Customs, dan ASEANDirectors-General of

Immigration and Heads of Consular Division, Ministry of Foreign Affairs

(DGCIM). Selain itu, dibuat juga perlindungan terhadap perdagangan dan penyelundupan manusia yang juga merupakan kejahatan transnasional yang konvensinya terlah mencapai kesepakatan dari semua anggota ASEAN.

(15)

tujuan trafficking. Beberapa bulan terakhir, trafficking di Asia Tenggara menjadi sorotan dunia dimana krisis pengungsi di Rohingya, gelombang migran dari Bangladesh, penemuan kuburan masal di Malaysia dan Thailand, serta kasus perbudakan pekerja industri makanan laut di Thailand (The Diplomat, 2016). Banyak diantaranya merupakan bagian dari kasus trafficking yang telah terjadi lama sebelumnya. Dalam laporan

Trafficking in Persons oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat

(2011), mengatakan bahwa Brunei Darrussalam tergolong kedalam watch

list Tier 22, begitu juga dengan anggota ASEAN lainnya.

Permasalahan-permasalahan seperti ini bukanlah Permasalahan-permasalahan yang baru bagi negara-negara anggota ASEAN.

Dalam Laporan ASEAN and Trafficking in Persons, Kamboja merupakan tempat pengirim dan penerima, serta tempat transit trafficking. Sejak tahun 2005, pemerintah Kamboja beserta LSM non-pemerintahan bekerja sama dengan institusi internasional seperti UNICEF memberantasi trafficking terhadap anak. Korban trafficking asal Kamboja kebanyakan dipekerjakan di Malaysia, Vietnam, dan Thailand, sebagai pekerja seks atau pekerja rumah tangga (bagi wanita) dan buruh paksa (bagi pria). Lemahnya perekonomian masyarakat Kamboja, kurangnya pendidikan, serta kurangnya hukum dan penegakan hukum serta globalisasi merupakan pemicu trafficking di negara ini (Ambarita, 2014).

2 Merupakan salah satu dari 3 (tiga) golongan dalam penanganan tindakan trafficking oleh pemerintah negara. Yang termasuk dalam kriteria Watch List Tier 2 adalah Pemerintah Negara tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum Peraturan Perlindungan Terhadap Korban Trafficking, namun melakukan upaya yang signifikan untuk pemenuhan standar yang ada, serta:

a. Jumlah korban trafficking yang meningkat secara signifikan;

b. Terdapat kegagalan dalam memberikan bukti peningkatan upaya untuk melawan trafficking dari tahun sebelumnya; atau

c. Usaha suatu negara membuat upaya yang signifikan kedalam pemenuhan standar minimum dengan komitmen yang dilakukan oleh negara sebagai langkah selanjutnya ditahun mendatang. (U.S Department of State. The Placements. Retrieved from

(16)

UNICEF menyebutkan pada tahun 1994, trafficking perempuan mencapai 60.000 korban yang dieksploitasi secara seksual. Sedangkan di Filippina, permasalahan trafficking menjadi suatu permasalahan dalam negeri. Filipina tergolong kedalam negara pengirim trafficking.

Di Thailand, pemerintah Thailand telah aktif memerangi permasalahan trafficking pada tahin 1984 pada saat dimana trafficking dijadikan sebagai agenda publik. Pada saat itu korban trafficking terbakar hingga tewas di suatu tempat penahanan bagi mereka yang akan dipekerjakan menjadi pekerja seks komersial (ASEAN and Trafficking in

Persons). Namun, permasalahan ini masih terjadi, diperparah dengan

Thailand yang dengan terang-terangan mengembangkan bidang pariwisatanya yang salah satu menjadi daya tarik adalah kehidupan seks komersial mereka.

Di Vietnam pada tahun 2015 tercatat ada sebanyak 470 korban trafficking, yang diantaranya dipekerjakan sebagai pekerja seks, buruh paksa, dan penjualan organ tubuh. Korban diselundupkan melalui perbatasan langsung dengan Vietnam, seperti China, Kamboja, Laos, dan beberapa negara lainnya. Trafficking yang terjadi di Vietnam diperkirakan disebabkan oleh faktor ekonomi (Tempo, 2016).

Banyak diantara kasus trafficking yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN diakibatkan oleh belum meratanya perekonomian masyarakat. Dengan masih banyaknya pengangguran yang ada, menyebabkan beberapa diantaranya rentan terhadap ajakan pelaku

trafficking yang mengaku sebagai penyalur tenaga kerja. Tentunya

trafficking terjadi tidak hanya dari wilayah ke wilayah lain dengan negara

(17)

Dengan adanya peningkatan aktivitas trafficking di ASEAN, maka permasalahan ini menjadi permasalahan regional ASEAN yang harus ditangani secara serius. Pada tahun 2011, dalam KTT ASEAN ke-18, kerjasama dalam memerangi perdagangan manusia semakin ditingkatkan. ASEAN mulai fokusnya dalam memerangi kejahatan trafficking dimulai pada 24 Februari 1976 dalam Declaration of ASEAN Concord3 di Bali, dengan inisiatif negara-negara anggota untuk memerangi perdagangan narkoba dan obat bius. Kemudian dari situlah berkembang kerjasama yang tergolong kedalam kejahatan transnasional dengan mengeluarkan ASEAN

Declaration on Transational Crimes tahun 1997 pada pertemuan di

Manila. Dengan semakin berkembang bentuk-bentuk kejahatan transnasional, maka dibuatlah Hanoi Plan of Action (HPA) dalam pertemuan ASEAN Summit ke-6 tahun 1998 di Hanoi, Vietnam, untuk memberantas kejahatan transnasional. Kemudian pada tahun 2002 dilakukan kembali pertemuan dimana menghasilkan ASEAN Plan of

Action to Combat Transnational Crimes (ASEAN-PACT) yang

menggolongkan perdagangan manusia menjadi salah satu dari jenis kejahatan transnasional.

Pada tahun 2011, KTT ASEAN ke-18 yang dilaksanakan di Jakarta, Indonesia, pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembuatan Konvensi ASEAN tentang pemberantasan trafficking. Ada juga beberapa poin yang dibahas dalam KTT ini, yaitu konektivitas ASEAN, ketahanan pangan dan energi, manajemen dan resolusi konflik, regional architecture, partisipasi organisasi masyarakat, peanganan bencana alam, kerjasama subkawasan ASEAN, penyelenggaraan the 1st

3 Sebuah kesepakatan kerjasama dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan informasi, dan

(18)

East Asia Summit, keanggotaan Timor Leste, dan Pertukaran Myanmar dan Laos sebagai ketua ASEAN.

ASEAN juga membentuk badan-badan yang fokus dalam permasalahan trafficking seperti ASEAN Ministerial Meeting on

Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Finance Ministers Meeting

(AFMM), ASEAN Senior Officials on Drugs Meters (ASOD). Pembahasan permasalahan trafficking pertama kali dibicarakan melalui forum ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) yang didalamnya juga dilaksanakan Working Group on Trafficking In Persons dan Experts Working Group on ASEAN

Convention on Trafficking in Persons (ACTIP) dan Regional Plan of

Action (RPoA) dengan Filipina yang bertindak sebagai lead shepherd

(ketua).

(19)

4.4.2 ASEANConvention Against Trafficking in Persons Expecially Woman and Children (ACTIP)

ASEAN Convention Against Trafficking in Persons Expecially

Woman and Children (ACTIP) ini sebagai sebuah instrument yang

mengikat serta menjadi landasan dalam pemberantasan trafficking di ASEAN, juga dengan mitra wicara. Konvensi ini disetujui di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2015. Sejauh ini, mereka yang telah meratifikasi perjanjian ini adalah Singapura, Thailand, dan Kamboja (meratifikasi pada tahun 2015) dan Vietnam, Myanmar (meratifikasi pada awal tahun 2017). ACTIP ini berperan sebagai:

1. Sebagai bentuk kerjasama antar negara-negara ASEAN untuk memerangi permasalahan trafficking.

2. Sebagai pedoman ASEAN dalam menghadapi permasalahan

trafficking yang terjadi di ASEAN.

ASEAN mengetahui akan pentingnya instrumen regional untuk memerangi permasalahan trafficking mengenai strategi dan prioritas yang bersifat legally binding, yang dapat membantu negara anggota ASEAN sebagai daerah atau tempat asal, transit, dan tujuan trafficking. Tentunya ASEAN juga akan berhadapan dengan kepentingan nasional negara yang berbeda-beda terkait permasalahan trafficking.

ACTIP dibuat dengan pertimbangan dalam prinsip hak asasi manusia yang tertuang dalam Charter of the United Nations, the Universal Declaration on Human Rights, ASEAN Charter, the ASEAN Human

Rights Declaration, the United Nation Convention against Transnational

Organized Crime, dan the Protocol to Prevent, Suppress and Punish

Trafficking in Persons, Especially Woman and Children, serta menindak

(20)

in Persons Particularly Women and Children pada tahun 2004, the Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons, ASEAN

Practitioner Guidelines, the ASEAN Leaders’ Joint Statement in

Enchancing Coorperation against Trafficking in Persons in South East

Asia tahun 2011, dan ASEAN Human Rights Declaration tahun 2012. Namun, konvensi trafficking tidak sama dengan perjanjian hak asasi manusia, walaupun didalamnya memang dipengaruhi oleh elemen-elemen yang ada dalam hak asasi manusia, seperti objeknya adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Akibat dari banyaknya bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti permasalahan trafficking, juga akibat dari dorongan masyarakat internasional serta berkaitan dengan kepentingan politik dalam menghapus perbudakan (Budiardjo, 2016), maka dibuatlah beberapa instrumen hukum dalam mengatur permasalahan trafficking.

ACTIP berfungsi sebagai instrumen regional dalam penanganan permasalahan trafficking di ASEAN. Konvensi yang telah disepakati bersama diperlukan proses ratifikasi oleh Negara-Negara yang telah menyetujuinya. Selanjutnya, fungsi dari hukum pidana internasional menurut Sefrani (2016) adalah mengharmonisasikan antara hukum pidana nasional negara satu dengan negara lainnya. Hukum pidana internasional merupakan solusi yang baik untuk penanggulangan masalah terkait kejahatan transnasional. Untuk itulah ACTIP ini dibuat dalam menanggulangi permasalahan trafficking di ASEAN, mengingat bahwa penanggulangan dalam permasalahan trafficking memerlukan kerjasama regional.

(21)

Prinsip hukum internasional berlaku terhadap kejahatan transnasional adalah AuDedere Au Punire atau pelaku tindak pidana dapat dipidana oleh negara locus delicti atau diserahkan/ekstradiksi ke negara peminta yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut (Sefrani, 2016).

Di dalam konvensi juga menawarkan perlindungan terhadap korban trafficking dan saksi. Seperti dalam Pasal 14, Negara anggota membuat prosedur terkait identifikasi korban trafficking dan melakukan kerjasama dengan swasta untuk menciptakan perlindungan yang maksimal terhadap korban trafficking, Negara asal harus diberitahu secepatnya dari Negara penerima akan adanya korban atau saksi trafficking, Negara harus melindungi identitas dan privasi korban, tidak menghukum atau menahan korban trafficking dari tindakan melawan hukum domestik yang dilakukan oleh korban terhadap Negara penerima jika tindakan tersebut berhubungan dengan situasi trafficking yang dihadapi korban, Negara harus saling berkomunikasi untuk mengidentifikasi korban trafficking, memberikan informasi untuk proses perlindungan dan bantuan terhadap korban, menyediakan fasilitas perlindungan korban seperti tempat tinggal, konseling dan informasi bantuan hukum dengan bahasa yang dimengerti oleh korban, mendapatkan bantuan medis fisik dan psikis, serta kesempatan mendapatkan pelatihan, pemberdayaan, pendidikan ketenagakerjaan.

(22)

adanya penanganan yang tepat untuk para korban trafficking, hukuman yang tepat bagi pelaku trafficking, serta kesetaraan hukum di ASEAN.

Dalam tataran nasional Indonesia dan daerah, terlebih Sulawesi Utara, peranan ACTIP ini masih bersifat normatif dimana sebagai instrument hukum yang mengikat untuk membantu menyelesaikan permasalahan trafficking yang ada, seperti mengkriminalisasikan segala bentuk kejahatan trafficking dan memberikan perlindungan bagi korban, saksi, maupun keluarga korban. Konvensi ini mengatur mengenai ketentuan-ketentuan menghadapi permasalahan trafficking, baik pencegahan maupun penanganan yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dengan pembentukan berbagai gugus tugas dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan

trafficking yang terjadi (Yuniftasari, 2013). Selain itu ACTIP dapat

Gambar

Tabel 4.1 Perbedaan antara Trafficking dan Smuggling
Tabel 4.2 Proses, Cara, dan Tujuan Trafficking
Tabel 4.3 Dampak Bagi Individu, Keluarga dan Sosial

Referensi

Dokumen terkait

In translating fixed expressions and idioms, there are five out of six strategies applied by the translator in the sample, which are using similar meaning and

c. Prinsip Perlindungan dan Keadilan Ideal yang memberikan keadilan dan perlindungan yang berorientasi pada korban maupun pihak pelaku secara seimbang namun tetap berpegang

Dismaturitas adalah bayi dengan berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk usia kehamilannya, yaitu berat badan di bawah persentil 10 pada kurva pertumbuhan intra

Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang kota modern di indonesia diperhatikan ketika kota jayakarta kemudian menjadi kota batavia dikuasai oleh belanda pada awal abad ke

After analyzing the data based on their categories and the translation strategies, the next step was calculating the number of collocations and fixed

“Bagaimana perasaan Tina setelah mandi dan mengganti pakaian ? Coba Tina sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah Tina. lakukan tadi ?” ”Mari kita

Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

Table 4.25 Translating Fixed Expressions and Idioms by Using Similar Meaning but Dissimilar Form