BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan adalah masalah manusia dan gejala sosial karena dapat terjadi dimana dan
kapan saja dalam pergaualan hidup. Sedangkan naik turunnya angka kejahatan tersebut
tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik ekonomi, budaya dan sebagainya.
Salah satu kejahatan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor roda dua. Hal ini bukan saja menarik perhatian penegak hukum tetapi
juga mengusik rasa aman masyarakat. Kendaraan bermotor roda dua merupakan sarana
transporasi yang mempunyai mobilitas tinggi, maka pelaku kejahatan ini merupakan
kejahatan yang memiliki mobilitas tinggi juga dampak negatifnya terhadap masyarakat.
Kejahatan pencurian kendaraan bermotor merupakan kejahatan terhadap harta benda
yang tidak lajim terjadi di negara-negara berkembang……. selanjutnya dikatakan bahwa kejahatan pencurian kendaraan bermotor beserta isi-isinya merupakan sifat kejahatan yang
menyertai pembangunan.1
Fenomena pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan atau dikenal
dengan istilah “begal” adalah salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sangat
meresahkan masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata begal berarti
penyamun dan jika ditambahkan dengan membegal berarti “merampas di jalan”2
Maraknya pemberitaan aksi begal di berbagai daerah sebagaimana yang telah kita
baca, dengar, bahkan menyaksikan secara langsung, sungguh kejam dan mengiriskan sekali.
Dikatakan demikian karena dalam melakukan aksinya para begal motor ini selalu
menggunakan senjata tajam atau senjata api sehingga apabila korbannya melawan mereka
1 Soerjono Soekanto, Hartono Widodo dan Chalimah Sutanto, Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, Aksara, Jakarta, 1988, hal.20.
2
http://kbbi.web.id/begal, diakses tgl. 16 Nopember 2015.
tidak segan-segan untuk melukai dan membunuhnya bahkan dibarengi dengan tindakan
pemerkosaan karena kebanyakan para korbannya adalah kaum wanita.
Aksi begal motor yang dilakukan oleh sekelompok orang atau terorganisir pada
hakekatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan
maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara. Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan salah satu
tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu harus
diberi tindakan hukum. Hal ini telah diatur dalam KUHP Pasal 365 ayat (1), (2) dan (3) yaitu
dengan pidana hukuman selama-lamanya sembilan tahun, dua belas tahun, bahkan seumur
hidup.
Oleh karena itu, adanya aksi begal motor menuntut kita semua, khususnya penegak
hukum untuk menjalankan tugas dengan baik-baiknya. Kepada aparat Kepolisian diharapkan
melakukan tindakan dengan cepat baik secara represif maupun preventif. Sementara bagi
aparat Jaksa dan Hakim agar melakukan penuntutan dan penetapan vosis dengan
seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta hukum.
Tindak pidana pencurian kenderaan roda dua dengan kekerasan akhir-akhir ini juga
semakin marak terjadi di wilayah hukum Polresta Medan umumnya dan Polsek Delitua
khususnya. Satu hal yang justru menarik perhatian dan mengusik pikiran penulis adalah
bahwa di daerah ini tindak pidana pencurian kenderaan bermotor dengan kekerasan juga telah
melibatkan pelajar sebagai pelakunya.
Betapa sangat disayangkan, bagaimana mungkin seorang pelajar di usia remaja yang
dididik sedemikian rupa di sekolah ternyata tega dan terpengaruh untuk melakukan perbuatan
yang tidak terpuji. Tindakannya ini selain merusak mental dan masa depan pelajar itu sendiri,
Kita menyadari dan menyepakati bahwa tindak pidana pencurian bukanlah tindakan
yang manusiawi karena tidak didasari oleh akal sehat. Akal yang merupakan karunia
pemberian Tuhan Yang Maha Esa digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang benar. Karena tindak pidana pencurian merupakan tindakan yang menyimpang baik dari
segi hukum, agama, dan norma-norma adat maka perbuatan ini bukanlah perbuatan yang
baik.
Dalam keadaan demikian maka kehadiran kriminologi sebagai salah satu ilmu
bantu hukum pidana sangat diperlukan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan, bertujuan memahami gejala-gejala kejahatan di tengah pergaulan hidup
manusia, menggali sebab-musabab kejahatan, dan mencari atau menyusun konsep-konsep
penanggulangan kejahatan seperti upaya mencegah atau mengurangi kejahatan yang mungkin
akan terjadi.
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul : “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian
Kendaraan Bermotor Roda Dua Dengan Kekerasan (Begal) Yang Dilakukan Oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)”
B. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan
masalah yang mendasari skripsi ini adalah :
1. Apakah faktor-faktor penyebab pelajar melakukan pencurian kendaraan bermotor roda
dua dengan kekerasan (begal) di wilayah hukum Polsek Delitua?
2. Bagaimana upaya aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi pencurian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pelajar melakukan pencurian kendaraan
bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) di wilayah hukum Polsek Delitua?
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polsek Delitua
dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal)
yang dilakukan oleh pelajar.
Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat yang berupa :
1. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat memberikan masukan sekaligus menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal
yang berhubungan dengan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan
(begal) yang dilakukan oleh pelajar. Selain itu dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
hukum di Indonesia.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat memberi pengetahuan tentang kasus-kasus tindak
pidana yang terjadi dewasa ini dan bagaimana upaya penanggulangan sehingga
kasus-kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar bisa dikurangi. Selain itu juga sebagai pedoman dan masukan baik
bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan
langkah-langkah dalam memberantas tindak pidana pencurian.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polsek Delitua
dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal)
D. Keaslian Penulisan
Dengan melihat skripsi ini, maka akan diperoleh suatu gambaran mengenai tindak
pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan
oleh pelajar. Sepanjang yang diketahui, khususnya setelah mengadakan intervensi judul
skripsi ini di perpustakaan Fakultas Hukum USU maka skripsi yang berjudul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua Dengan
Kekerasan (Begal) Yang Dilakukan Oleh Pelajar ((Studi di Polsek Delitua)” belum pernah diangkat sebelumnya. Penyusunan skripsi ini berdasarkan referensi buku-buku hasil
pemikiran, bacaan-bacaan dari media internet, dan juga bantuan dari berbagai pihak. Semua
ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara alamiah. Dengan demikian skripsi ini masih
asli.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi
Asal mula perkembangan kriminologi tidak dapat disangkal berasal dari penyelidikan
C. Lomborso (1876). Bahkan lomborso menurut Pompe dipandang sebagai salah satu tokoh
revolusi dalam sejarah hukum pidana, disamping Cesare Baccaria.Namun ada pendapat lain
yang mengemukakan bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari
Lomborso melainkan dari Adolhe Quetelet, seorang Belgia yang memiliki keahlian dibidang
Matematika. Bahkan, dari dialah berasal “statistic kriminil” yang kini dipergunakan terutama oleh pihak kepolisian di semua negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan
kejahatan di negaranya. 3
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama
kriminologi ditemukan oleh P. Topinard (1983-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara
3
harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang
berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau
penjahat. 4
W.A. Bonger menyatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. 5
Definisi kriminologi menurut Edwin H.Sutherland adalah keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurutnya
kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas
pelanggaran hukum.6
Sedangkan Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan
perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap
perbuatan jahat dan para penjahat7
Menurut Ediwarman, kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan (baik yang dilakukan oleh individu, kelompok atau masyarakat) dan sebab
musabab timbnya kejahatan serta upaya-upaya penanggulangannya sehingga orang tidak
berbuat kejahatan lagi.8
Moeljatno berpendapat bahwa kriminologi adalah untuk mengerti apa sebab-sebab
sehingga seseorang berbuat jahat. Apakah memang karena bakatnya adalah jahat ataukah
didorong oleh keadaan masyarakat disekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun
ekonomis. Ataukah ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu diketahui, maka
disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat, agar orang tadi tidak
4
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.9 5
W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Terjemahan oleh R.A.Koesnoen, PT.Pembangunan, Cetakan Ketujuh, 1995, hal.19
6
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.cit, hal.9 7 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.cit, hal.12 8
lagi berbuat demikian, atau agar orang-orang lain tidak akan melakukannya. Karena itulah
terutama dinegeri-negeri angelsaks, Kriminologi dibagi menjadi tiga bagian9, yaitu :
1. Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab
dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohani.
2. Criminal sociology, yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan
masyarakat dimana penjahat itu berbeda (dalam milieunya).
3. Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang disekitarnya harus dijalankan
supaya orang lain tidak berbuat demikian.
Menurut A.S. Alam, ruang lingkup pembahasan kriminologi meliputi tiga hal
pokok10, yaitu :
1. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). Pembahasan
dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making laws) meliputi :
a. Definisi kejahatan
b. Unsur-unsur kejahatan
c. Relativitas pengertian kejahatan
d. Penggolongan kejahatan
e. Statistik kejahatan
2. Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori yang menyebabkan
terjadinya kejahatan (breaking of laws). Sedangkan yang dibahas dalam etiologi
kriminal (breaking of laws) meliputi :
a. Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi
b. Teori-teori kriminologi
c. Berbagai perspektif kriminologi
3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum, (reacting toward the breaking of laws).
9
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.14 10
Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa
tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa
upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). Selanjutnya yang dibahas
dalam bagian ketiga adalah perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum
(Reacting Toward the Breaking laws) meliputi :
a. Teori-teori penghukuman
b. Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan
pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari mengenai
kejahatan, untuk memahami sebab-musabab terjadinya kejahatan, serta mempelajari tentang
pelakunya, yaitu orang yang melakukan kejahatan, atau sering disebut penjahat. Dan juga
untuk mengetahui reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku . Hal ini bertujuan untuk
mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau
gejala-gejala yang timbul dimasyarakat yang dipandang sebagai perbuatan yang merugikan
atau membahayakan masyarakat luas.
2. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana a. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. 11Menurut Moeljatno istilah hukuman yang
berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan
istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. 12
Andi Hamzah membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa
11
Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493 12
Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang
diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin
dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang
berkaitan dengan hukum pidana.13
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang
dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja.
Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara
hukum pidana dengan hukum yang lainnya.14 Hukum pidana menentukan sanksi terhadap
setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan
penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula
yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.15
b. Pengertian Tindak Pidana
R. Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana
(Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi
unsur-unsur pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman
sebagai kejahatan atau pelanggaran.16
Menurut Moeljatno, pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 17 Berkaitan dari pendapat di
atas, menurut Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan
hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan, dapat
13
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Bandung, 2009, hal. 1 14
J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta,Bandung, 1987. hal.17.
15 J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta,Bandung, 1987. hal.17.
16 R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.17517.
17
diisyaratkan kepada pelaku. 18
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana dapat
dipahami sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan
akibat dilakukannya tindakan hukuman atau pemberian sanksi terhadap perbuatan tersebut.
3. Pengertian Pencurian
Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggitingginya enam
puluh rupiah”.
Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui, bahwa kejahatan pencurian itu
merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan
hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan “mengambil”.
Menerjemahkan perkataan “zich toeeigenen” dengan “menguasai”, oleh karena
didalam pembahasan selanjutnya pembaca akan dapat memahami, bahwa “zich toeeigenen”
itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari pengertian “memiliki”, yang ternyata
sampai sekarang banyak dipakai di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun benar bahwa perbuatan “memiliki” itu
sendiri termasuk di dalam pengertian “zich toeeigenen” seperti yang dimaksudkan di dalam
Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut di atas. 19
a. Unsur-Unsur Pidana Pencurian
Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu pengertian
unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur dalam arti luas. Misalnya
unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa,
18
C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT.Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.106. 19
yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak
pidana dalam arti luas terdapat pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP. Apabila kita perhatikan rumusan tindak
pidana yang terdapat dalam KUHP dapat dibedakan antara unsur obyektif dan
unsur-unsur subyektif. 20
1) Yang disebut unsur obyektif ialah :
a) Perbuatan manusia
Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundang-undangan
unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur objektif. Namun demikian adakalanya sifat
melawan hukumnya perbuatan tidak saja pada unsur objektif tetapi juga pada unsur
subjektif yang terletak pada batin pelaku. Bentuk suatu tindak pidana dengan unsur
objektif antara lain terdapat pada tindak pidana yang berbentuk kelakuan. Maka akibat
yang terjadi dari perbuatan tidak penting artinya. Dari rentetan akibat yang timbul dari
kelakuan tidak ada yang menjadi inti tindak pidana, kecuali yang telah dirumuskan
dalam istilah yang telah dipakai untuk merumuskan kelakuan tersebut. Misalnya
kelakuan dalam tindak pidana “pencurian” yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, dirumuskan dengan istilah “mengambil barang” yang merupakan inti dari delik
tersebut. Adapun akibat dari kelakuan; yang kecurian menjadi miskin atau yang
kecurian uang tidak dapat belanja, hal itu tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana
pencurian.
b) Delik materiil
Delik materiil dimana dalam perumusannya tindak pidana hanya disebutkan akibat
tertentu sebagai akibat yang dilarang. Apabila kita jumpai delik yang hanya
dirumuskan akibatnya yang dilarang dan tidak dijelaskan bagaimana kelakuan yang
20
menimbulkan akibat itu, kita harus menggunakan ajaran “hubungan kausal”, untuk
manggambarkan bagaimana bentuk kelakuan yang menurut logika dapat
menimbulkan akibat yang dilarang itu. Dengan begitu baru dapat diketahui perbuatan
materiil dari tindak pidana yang menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa
diketahui siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itu, tidak dapat ditentukan
siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan dengan akibat yang dilarang tersebut.
c) Delik formiil
Delik formil ialah delik yang dianggap telah terlaksana apabila telah dilakukan suatu
perbuatan yang dilarang. Dalam delik formil hubungan kausal mungkin diperlukan
pula tetapi berbeda dengan yang diperlukan dalam delik materiil. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa delik materiil tidak dirumuskan perbuatan yang dilarang
sedang akibatnya yang dirumuskan secara jelas, berbeda dengan delik formil yang
dilarang dengan tegas adalah perbuatannya.
2) Yang disebut unsur subyektif ialah :
a) Dilakukan dengan kesalahan Delik yang mengandung unsur memberatkan pidana,
apabila pelaku pencurian itu dengan keadaan yang memberatkan seperti yang tertera
pada Pasal 365 ayat, 2, 3 dan 4 KUHP. Maka pelaku pencurian ini dapat dikenakan
pencabutan hak seperti yang tertera dalam Pasal 336 KUHP yang berbunyi :
“Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yanmg diterangkan dalam Pasal 362,
363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam Pasal 345 no 1-4”. b) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab tentang adanya unsur-unsur pada tindak
pidana apabila: Perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum,
dilakukan, dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Pengertian
kemampuan bertanggung jawab, banyak yang telah mengemukakan pendapat antara
suatu pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Selain itu, Simons juga mengatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya
sehat, yaitu apabila : (1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum, (2) Ia dapat menentukan kehendaknya
sesuai dengan kesadaran tersebut.
KUHP tidak memuat perumusan kapan seseorang mampu bertanggung jawab. Di
dalam buku I bab III Pasal 44 berbunyi :
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu jiwanya karena
penyakit tidak dapat dipidana”
Dari Pasal 44 KUHP tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa ada 2 hal yang
menjadi penentuan keadaan jiwa si pembuat yaitu :
(1) Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Pemeriksaan keadaan pribadi si
pembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit, yang dilakukan oleh seorang dokter penyakit jiwa.
(2) Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan
perbuatannya. Adapun yang menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan
jiwa yang demikian itu dengan perbuatan tersangka adalah Hakim.
Kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa sistem yang dipakai
dalam KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggung jawabkannya si pembuat
adalah deskriptif normatif. Deskriptif karena keadaan jiwa digambarkan apa adanya
oleh psikiater, dan normatif karena hakimlah yang menilai, bardasarkan hasil
pemeriksaan, sehingga dapat menyimpulkan mampu dan tidak mampunyai tersangka
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Maka kesimpulannya meskipun orang telah melakukan tindak
bahwa perbuatan itu dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Suatu perbuatan yang
melanggar aturan hukum dapat dipidana apabila sudah dinyatakan salah. Dapat
diartikan salah apabila tindak pidana tersebut dalam hal apa dilakukan ternyata
perbuatan itu dipengaruhi oleh ikhwal pada diri pelaku, artinya meskipun ia sudah
melanggar larangan suatu aturan hukum pengenaan pidana dapat dihapuskan apabila
perbuatan itu diatur dalam pasal; Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49 ayat 1 dan 2,
Pasal 50, Pasal 51 KUHP.
Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya
dalam buku II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk
perbuatan tindak pidana apa yang dilarang. Untuk menentukan rumusan tersebut perlu
menentukan unsur-unsur atau syarat yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu,
misalnya: Tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Unsur-unsur yang terdapat
dalam rumusan Pasal 362 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”
Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti
tersebut diatas, tanpa menitik beratkan pada satu unsur. Tiap-tiap unsur mengandung
arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan.
(1) Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum;
(2) Mengambil barang sesuatu; dengan sengaja mengambil untuk memiliki atau
diperjual belikan;
(3) Barang kepunyaan orang lain; mengambil barang yang telah menjadi hak orang
lain;
atau tanpa izin pemilik hak barang tersebut.
Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan
unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu
pengetahuan dan praktek peradilan. Untuk itu dalam menentukan tindak pidana yang
digunakan, selain unsur-unsur tindak pidana yang dilarang juga ditentuka kualifikasi
hakikat dari tindak pidana tersebut. Misalnya seorang pencuri tidak segera menjual
hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung. Rumusan
tersebut memenuhi unsur penadahan seperti yang diatur dalam Pasal 480 KUHP
namun karena kualifikasi kejahatan sebagai pencuri maka ia tetap malanggar Pasal
362 KUHP bukan sebagai penadah.
Pompe, dengan tegas berpendapat; “Seorang pencuri yang tidak segera menjual hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung, maka perbuatan
tersebut tidak dapat dikatakan penadah, sebab perbuatan itu tidak dapat dimasukkan
kualifikasi penadah”. Sehingga didalam pemberian pidana yang diperbuat pidananya
haruslah dengan melihat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan penjatuhan
pidananya yang mana dimulai dari pembuktian, sistem pembuktian, jenis pidana dan
tujuan pemidanaan serta kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat.
Kesemuannya yang diuraikan di atas saling terkait dan merupakan
suatu sistem dalam proses untuk tercapainya rasa keadilan dan kepastian hukum, di
dalam wilayah Hukum Negara Indonesia. Dapat diterapkannya pemberatan pidana
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam KUHP, maka diperlukan hal-hal tersebut
di atas guna menentukan pasal-pasal mana yang seharusnya diterapkan.
Jenis – jenis tindak pidana pencurian terbagi menjadi lima yaitu :
1) Tindak Pidana Pencurian Dalam Bentuk Pokok
Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggitingginya enam
puluh rupiah”.
Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui, bahwa kejahatan
pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang
dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan
“mengambil”.
2) Tindak Pidana Pencurian dengan Unsur–Unsur yang Memberatkan
Tindak pidana pencurian dengan unsur–unsur yang memberatkan ataupun yang ada di dalam doktrin juga sering disebut gequalificeerde distal atau pencurian dengan
kualifikasi oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 363 KUHPidana
yang berbunyi :
a) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun: (1) pencurian ternak
(2) pencurian yang dilakukan pada waktu terjadi kebakaran, ledakan, bahaya banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, pemberontakan, huru-hara atau bahaya perang.
(3) pencurian pada malam hari dalam suatu tempat kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutupyang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, yang dilakukan olehseseorang yang berada di sanatanpa sepengetahuan atau bertentangan dengan keinginan orang berhak.
(4) pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. (5) pencurian dimana orang yang bersalah dalam mengusahakan jalan masuk ke
tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya telah melakukan pembongkaran, perusakan atau pemanjatan atau memakai kunci-palsu, suatu perintah palsu atau seragam palsu.
(6) Tindak Pidana Pencurian Dalam Bentuk Pokok
seperti yang dimaksudkan dalam angka 4 dan angka 5, dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan kualifikasi
seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP di atas mempunyai arti sama dengan kata
pencurian sebagai pencurian dalam bentuk pokok dan dengan demikian juga
mempunyai unsur-unsur yang sama.
3) Tindak Pidana Pencurian Ringan
Yang oleh undang-undang telah diberikan kualifikasi sebagai pencurian ringan
atau lichte diefstal, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 364
KUHPidana yang berbunyi:
“Tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 angka 4, demikian halnhya yang dirumuskan dalam Pasal 363 angka 5, jika tidak dilakukan di dalam tempat kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, jika nilai dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, sebagai pencurian ringan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus
rupiah.”
Tentang nilai benda yang dicuri itu semula ditetapkan tidak lebih dari dua puluh
lima rupiah, tetapi kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 16 tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-Undang-Undang-Undang
Hukum Pidana telah diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah.
4) Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu oleh pembentuk undang-undang
telah diatur dalam pasal 365 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:
a) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika diketahui pada waktu itu juga, ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda yang telah dicuri. b) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun:
kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau di atas jalan umum, atau di atas kereta api atau trem yang bergerak.
(2) jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.
(3) jika untuk mendapat jalan masuk ke tempat kejahatan, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu, suatu perintah palsu atau suatu seragam palsu.
(4) jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka berat pada tubuh.
c) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana itu telah mengakibatkan matinya orang.
d) Dijatuhkan pidana atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan luka berat pada tubuh atau matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama dan disertai dengan salah satu keadaan yang disebutkan dalam angka 1 dan angka 3.
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana juga
merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun
merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan.
Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana sesungguhnya
hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan
pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, ataupun bukan
merupakan suatu samenloop dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian
kekerasan terhadap orang.
5) Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga
Tindak pidana pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 KUHPidana
yang berbunyi:
(1) Jika pelaku atau orang yang membantu melakukan salah satu kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Bab ini ialah seseorang suami atau istri yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta kekayaan dengan orang, terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap pelaku atau orang yang melakukan kejahatan tersebut,
penuntutan terhadap mereka hanya dapat dilakukan, jika ada pengaduan terhadap mereka dari orang, terhadap siapa telah dilakukan kejahatan.
(3) Jika berdasarkan lembaga-lembaga keibuan, kekuasaan bapak itu dilakukan oleh orang lain daripada seorang ayah, maka ketentuan dalam ayat yang terdahulu itu juga berlaku bagi orang lain tersebut.
Lembaga-lembaga scheiding van tafel en bed atau bercerai meja makan da
tempat tidur dan scheiding van geoderen atau bercerai harta kekayaan merupakan
lembaga-lembaga yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, dan dengan sendirinya juga
hanya berlaku bagi mereka yang menundukkan diri pada Burgerlijk Wetboek tersebut.
Bagi mayoritas warga negara Indonesia yang menganut Agama Islam dan
menikah menurut Hukum Islam hanya dikenal lembaga talak, sehingga untuk
memberlakukan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 KUHPidana bagi
mereka, kata-kata bercerai meja makan dan tempat tidur dan bercerai harta kekayaan
itu harus dibaca sebagai bercerai dalam pengertian talak tanpa perlu memperhatikan
apakah talak tersebut merupakan talak pertama, talak kedua, atau talak ketiga.
Bagi sebagian lagi penduduk Indonesia yang biasa melangsungkan perkawinan
mereka menurut adat mereka, yang disebut perkawinan itu menurut hukum yang
berlaku hanya merupakan lembaga hidup bersama tanpa nikah, sehingga
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 KUHPidana tidak berlaku bagi mereka, yakni
karena lembaga hidup bersama tanpa nikah itu tidak dikenal lembaga cerai melainkan
hanya berpisah.
c. Pemidanaan Pada Tindak Pidana Pencurian
Secara garis besar pemberian wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada
hakim terhadap dakwaan yang diberikan meliputi :
1) Putusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan);
2) Penindakan;
Selain dakwaan yang diberikan juga meliputi unsur-unsur yang ada pada pasal-pasal
KUHP, hakim juga harus memiliki pemenuhan pada Pasal 183, 184 KUHAP dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,. Menurut keputusan seminar
hukum nasional ke-1 tahun 1983, yang dimaksud dengan hukum acara pidana adalah norma
hukum yang berwujud wewenang yang diberikan kepada negera untuk bertindak apabila ada
persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.21 Atas dasar hal-hal tersebut di atas dapat
disimpulkan, bahwa fungsi hukum acara pidana mempunyai tiga tugas pokok, yaitu :
1) Mencari dan mendapat kebenaran material;
2) Memberikan suatu putusan hakim;
3) Melaksanakan putusan hakim.
Tekanan dalam tiga tugas pokok tersebut harus diletakkan pada fungsi mencari
kebenaran material sebab kebenaran yang harus menjadi dasar dari pada keputusan hakim
pidana.
Menurut KUHP, peristiwa pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu “misdrijf“ (kejahatan) dan “overtrading” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan syarat-syarat untuk
membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua ketentuan yang
dimuat dalam buku II adalah kejahatan sedang semua yang terdapat dalam buku III adalah
pelanggaran. Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada
pelanggaran, selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Pencurian pada umumnya merupakan tindakan yang pada KUHP terdapat pada buku
II (kejahatan), namun pencurian juga dapat dikatergorikan pada delik materil apabila
pencurian tersebut disertai pembunuhan, penganiayaan atau hal-hal yang menitik beratkan
pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Hukum pidana
21
adalah peraturan hukum mengenai pidana, dan kata pidana itu sendiri berarti hal
“dipidanakan” yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang terdakwa
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya. 22
4. Pengertian Kenderaan Bermotor
Pengertian kendaraan bermotor Indonesia, menurut Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang
No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) adalah :
“Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.”
Dari pengertian kendaraan bermotor di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan
kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang mempergunakan tenaga mesin sebagai
intinya untuk bergerak atau berjalan, kendaraan ini biasanya dipergunakan untuk
pengangkutan orang dan barang atau sebagai alat transportasi akan tetapi kendaraan tersebut
bukan yang berjalan di atas rel seperti kereta api.
Mengingat pentingnya kendaraan bermotor dalam kehidupan sehari-hari, maka pabrik
kendaraan bermotor semakin berkembang pesat khususnya setelah perang dunia kedua.Hal
ini ditandai dengan tahap motorisasi di segala bidang.Kendaraan bermotor sebagai sarana
transportasi atau sebagai alat pengangkutan memegang peranan penting dalam menentukan
kemajuan perekonomian suatu bangsa.Kendaraan bermotor di Indonesia merupakan lambang
status sosial di masyarakat.
Sebagai wujud nyata dari keberhasilan pembangunan, masyarakat di Indonesia
semakin hari semakin banyak yang memiliki kendaraan bermotor, akan tetapi di lain pihak
pula ada sebagian besar golongan masyarakat yang tidak mampu untuk menikmati hasil
kemajuan teknologi ini. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial di dalam
masyarakat, perbedaan semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya berbagai macam
22
kejahatan diantaranya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.Kejahatan ini adalah
termasuk kejahatan terhadap harta benda (crime against property) yang menimbulkan
kerugian.
5. Teori-Teori Sebab Terjadinya Kejahatan
Teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan telah dikemukakan oleh para kriminolog.
Dalam perkembangannya tentang kejahatan atau kriminologi terus menimbulkan berbagai
pendapat dari berbagai pakar kriminolog dan pakar ilmu hukum. Berikut ini teori penyebab
kejahatan23 :
a. Perspektif Sosiologis
Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan
perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan
budaya), dan social control. Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan
perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang
melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan
berbeda.
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan
bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan
jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan
penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal
berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain
beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu
23
nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan
ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk
mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang
tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah
memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari
kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti
sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.
Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku)
yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai
salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting.
Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah
satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena
penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari
pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan
sifat-sifat egoistis, ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan
keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain.
Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan
bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba
untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan.
Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya
masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah
yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam
aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum,
Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan
theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri
dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms
kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja
dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu
bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini
perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa
masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial
memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku
manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan
masyarakat.
b. Perspektif Biologis
Cesare Lombrosso seorang berkebangsaan Italia yang sering dianggap sebagai “the father of modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik menuju mashab
positif. Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah bahwa yang
terakhir tadi mencari fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa kejahatan itu
ditentukan oleh berbagai faktor, dimana para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu
variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang
tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu dll. Sementara dari tokoh
biologis mengukuti tradisi Charles Goring dalam upaya menelusuri tentang tingkah laku
kriminal.
Berdasarkan penelitiannya ini, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat kedalam 4
golongan, yaitu :
1) Born criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di atas.
2) Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa
membedakan antara benar dan salah. Contohnya adalah kelompok idiot, embisil,
atau paranoid.
3) Occasional criminal atau Criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya. Contohnya
penjahat kambuhan (habitual criminals).
4) Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena
marah, cinta, atau karena kehormatan.
c. Perspektif Psikologis
Teori psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku
criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat sehingga
menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat
mengontroldorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa
kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan
bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap
dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka berada.
Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi
normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya menarik kalangan psikologis
yang mempelajari kejahatan yaitu :
1) Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada
perkembangan masa kanak-kanak mereka.
2) Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin, dan interaksi itu
mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan.
3) Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis.
1) Teori Labeling
Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan sebagai orang yang
bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah terhadap mereka
adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem
peradilan pidana maupun secara luas.
Dipandang dari perspektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru
reaksi sosial atasnyalah yang signifikan. Jadi, penyimpangan dan kontrol atasnya terlibat
dalam suatu proses definisi sosial dimana tanggapan dari pihak lain terhadap tingkah laku
seorang individu merupakan pengaruh kunci terhadap tingkah laku berikutnya dan juga
pandangan individu pada diri mereka sendiri.
Tokoh-tokoh yang menganut teori labeling antara lain :
a) Becker, melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada mata si pengamat karena
anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang berbeda memiliki perbedaan konsep
tentang apa yang disebut baik dan layak dalam situasi tertentu.
b) Howard, berpendapat bahwa teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu :
(1) persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label;
(2) efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
(3) Scharg menyimpulkan asumsi dasar teori labeling sebagai berikut :
(1)tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal
(2)rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan
kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan
(3)seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang melainkan
karena ia ditetapkan oleh penguasa
(4)sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik,
kriminal dan non kriminal
(5)tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
(6)penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fingsi
dari pelaku sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya
(7)usia, tingkat sosial-ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan
yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana
(8)sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang
memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai
penjahat
(9)labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra
sebagai deviant dan menghasilkan rejection of the rejector
(4) Frank Tannenbaum memandang proses kriminalisasi sebagai proses memberikan label,
menentukan, mengenal, memencilkan, menguraikan, menekankan / menitikberatkan,
membuat sadar atau sadar sendiri. Kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-ciri
khas sebagai penjahat
2) Teori Konflik
Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami
pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang
memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat
(communal consensus).
Menurut model konsensus, anggota masyarakat pada umumnya sepakat tentang apa
yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari hukum merupakan kodifikasi
nilai-nilai sosial yang disepakati tersebut. Model konsensus ini melihat masyarakat sebagai suatu
kesatuan yang stabil dimana hukum diciptakan “for the general good” (untuk kebaikan
kepentingan-kepentingan yang oleh kebanyakan anggota masyarakat dihargai, dengan
pengorbanan yang sedikit mungkin.
Sedangkan model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana
seseorang menjadi kriminal, tetapi jugatentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan
(power) untuk membuat dan menegakkan hukum. Para penganut teori konflik menentang
pandangan konsensus tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya.
3) Teori Konflik
Teori Radikal Dalam buku The New Criminology, para kriminolog Marxis dari
Inggris yaitu Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas
bawah kekuatan buruh dari masyarakat industri dikontrol melalui hukum pidana para
penegaknya, sementara “pemilik buruh itu sendiri” hanya terikat oleh hukum perdata yang
mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi kemudian merupakan sumber dari
konflik; pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya dan
kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.
Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami
pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang
memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat
(communal consensus).
6. Teori-teori upaya penanggulangan kejahatan
Teori-teori tentang upaya penanggulangan kejahatan telah dikemukakan oleh para
kriminolog. A.S. Alam, membagi teori-teori penanggulangan kejahatan terbagi dalam tiga
tingkatan, yaitu :
a. Pre-Emtif
pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan
dalam penanggulangan kejahatan secara Pre-Emtif adalah menanamkan nilai-nial,
norma-norma yang baik sehingga norma-norma-norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang.
Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk
melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha Pre-Emtif faktor
niat akan menjadi hilang meskipun ada kesempatan.
b. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindakan lanjut dari upaya Pre-Emtif
yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif
ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Contoh
ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor yang
ada ditempatkan di tempat penitipan motor, dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan
tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan dihilangkan.
c. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya
berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukuman24.
F. Metode Penelitian
Bobot keilmuan yang terdapat dalam karya tulis termasuk skripsi ini dipengaruhi oleh
keakuratan data yang diperoleh untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi
bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini, maka diadakan penelitian dalam rangka pengumpulan
data. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, penulis memilih penelitian murni karena penelitian ini
24
bertujuan untuk membangun pengetahuan. Biasanya, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan hal baru. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis
serta pendekatan normatif yaitu penelitian untuk mengkaji kaedah dan asas hukum.
Pendekatan normatif dimaksudkan untuk mengkaji mengenai arti dan maksud berbagai
kaidah hukum yang berlaku mengenai tindak pidana pencurian dalam sistem pemidanaan
di Indonesia berdasarkan Kitab undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana serta peraturan lainnya yang memiliki keterkaitan.
2. Jenis Data
Data yang terkumpul dipilih dan dikelompokan berdasarkan permasalahan. Adapun
data yang dikumpulkan dibagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder
a. Data primer : adalah data yang diperoleh secara langsung dari penegak hukum dalam
hal ini aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar sebagai pelaku tindak pidana
pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal).
b. Data sekunder : adalah data yang diambil sebagai penunjang atau bahan banding guna
memahami data primer. Data sekunder ditemukan dari berbagai sumber seperti :
jurnal, skripsi, buku-buku, dokumen, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka.
Wawancara dilakukan menggali informasi dari aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar
sebagai pelaku begal motor. Sedangkan studi pustaka dilakukan melalui penelusuran
pustaka atau dokumen terkait lainnya.
4. Analisa Data
Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu memaparkan
data yang telah diperoleh kemudian menyimpulkannya. Analisis data ini terfokus pada
formil lainnya. Dalam hal ini penulis membandingkan antara das sollen dengan das sein
untuk mengetahui mengetahui penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor (begal)
yang dilakukan oleh oknum pelajar, penanganan serta penegakan hukumnya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, dan masing-masing bab ini
saling berkaitan antara satu dengan yang lain, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan hal-hal yang umum sebagai langkah awal dari penulisan
skripsi ini. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : GAMBARAN UMUM KEPOLISIAN SEKTOR DELITUA
Bab ini memaparkan tentang profil wilayah hukum Polsek Delitua, data statistik
pencurian kenderaan bermotor roda dua serta modus operandi pencurian
kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh
pelajar.
BAB III : ANALISA KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAJAR YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA
DENGAN KEKERASAN
Bab ini menjelaskan tentang alur kriminologis pelajar melakukan tindak pidana
pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan, faktor-faktor
penyebab pelajar melakukan tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda
dua dengan kekerasan, dan upaya aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam
kekerasan yang dilakukan pelajar.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yaitu intisari dari hasil