BAB II
KERANGKA TEORI
Bab ini menguraikan tentang beberapa landasan teori yang akan dipakai
sebagai alat analisa dalam penelitian ini. Teori-teori yang dimaksud adalah
tentang keluarga Kristen, pernikahan Kristen, pendidikan agama Kristen,
pendidikan orang dewasa, pendidikan pranikah serta faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaannya.
2.1.Keluarga Kristen
2.1.1. Defenisi dan Struktur Keluarga
Salah satu cara mendefenisikan keluarga menurut Reis dan Lee yang dikutip
Kathryn Geldrad & David Geldrad, ialah dengan meninjau segi fungsi dan bukan
dari komposisi atau strukturnya. Mereka beranggapan bahwa akan lebih
bermanfaat menanyakan apa yang dilakukan kelompok-kelompok keluarga itu,
dibanding mendefenisikan keluarga dari sisi siapa yang termasuk di dalamnya.
Dalam proposisi ini, Reis dan Lee mengemukakan empat fungsi sentral kehidupan
keluarga, yakni memberikan keintiman seksual, reproduksi, kerjasama ekonomi
dan sosialisasi pada anak.1 Menurut Hildred Geertz yang dikutip oleh N.K. Atmadja Hadinoto menyebutkan bahwa keluarga sebagai kelompok sosial terkecil
maupun keluarga besar (extended family), mempunyai tugas menyiapkan
1
anggotanya untuk dapat berhubungan secara sosial dengan dunia di luarnya.
Pengalaman semasa anak-anak mendapat bentuknya yang fundamental melalui
stuktur kelembagaan keluarga. Melalui pengalaman-pengalaman inilah ia
memperoleh pengertian, perlengkapan emosional dan keterikatan moral yang
membuat ia sebagai orang dewasa dapat berperan sebagai anggota penuh dari
masyarakat.2 Geldard & Geldrad mendefenisikan keluarga berdasarkan fungsi-fungsi primer, seperti berikut:3
Sebuah sistem sosial untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya,
Suatu lingkungan yang cocok untuk reproduksi dan pengasuhan anak,
Suatu media interaksi dengan komunitas yang lebih luas, menuju
perwujudan kesejahteraan sosial secara umum.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga
adalah sebuah lembaga sosial terkecil dalam masyarakat, yang memiliki fungsi
penting untuk menyediakan lingkungan yang baik bagi kebutuhan dan
pertumbuhan anggota-anggotanya baik secara moral, sosial maupun ekonomi dan
budaya. Penjelasan dan pemahaman arti dan fungsi keluarga tersebut menjadi
landasan ideal dalam pembangunan pendidikan pranikah bagi calon pasangan
suami-istri. Dalam kaitannya dengan pemahaman defenisi dan fungsi-fungsi
keluarga maka perlu diuraikan struktur sebuah keluarga dengan jelas.
2
N.K. Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 9.
3
Struktur keluarga dalam berbagai kebudayaan yang ada di dunia ini menurut
Eko A. Meinarno, setidaknya ada dua bentuk.4 Pertama, keluarga batih/inti (nuclear family) dan kedua, keluarga besar (extended family). Keluarga batih
merupakan gejala umum dari sebuah keluarga. Bentuk ini terlihat dari
komposisinya yang paling dasar yakni terdiri dari ayah, ibu dan anak yang
kesemuanya sedarah. Bentuk keluarga seperti ini tidak terlalu banyak bergantung
kepada keluarga besar. Sedangkan keluarga besar merujuk pada keluarga inti
dengan penambahan anggota keluarga selain anak, seperti paman, bibi serta
orangtua dari pasangan suami-istri. Di samping itu Geldrad&Geldrad menjelaskan
bahwa dalam masyarakat kontemporer ada sederetan luas tipe keluarga yang
berbeda, meliputi: keluarga luas (ibu, ayah, anak-anak, nenek, kakek, bibi,
paman), pasangan suami-istri yang tidak mempunyai anak, keluarga dengan orang
tua tunggal, keluarga dengan anak adopsi, keluarga yang disusun kembali (salah
satu atau kedua partner telah menikah sebelumnya dan membawa anak-anak dari
perkawinan sebelumnya), keluarga komunal (kelompok keluarga dengan
anak-anak dan beberapa orang dewasa lajang) dan keluarga dengan jenis kelamin sama
(pasangan gay/lesbian dengan atau tanpa anak).5
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sebuah keluarga setidaknya disusun
atas dua peran utama yaitu orang tua (ayah, ibu) dan anak. Kedua peran tersebut
merupakan struktur inti (asal) dari keluarga dan kemudian akan berkembang
menjadi lebih besar atau sedikit, sesuai dengan perkembangan dan problematika
anggota-anggotanya sendiri. Demi tercapainya fungsi dari peran tersebut maka
4Eko A. Meinarno, “Konsep Dasar Keluarga” dalam
Karlinawati Silalahi dan Eko A. Meinaro, ed., Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 4.
5
calon keluarga perlu dipersiapkan dengan baik. Salah satunya dengan
melaksanakan pendidikan pranikah untuk membekali pasangan suami-istri demi
menjalani perannya dengan baik dimasa depan.
2.1.2. Defenisi dan Ciri-Ciri Keluarga Kristen
Maurice Eminyan mendefenisikan keluarga Kristen sebagai suatu komunitas
cinta kasih, hidup dan keselamatan. Maksudnya adalah setiap keluarga sejati dan
bahagia merupakan komunitas yang berlandaskan cinta kasih dan tidak ada cinta
kasih yang sejati dalam suatu keluarga tanpa adanya kehidupan di dalamnya. Jika
suatu keluarga merupakan suatu komunitas cinta kasih dan hidup, itu berarti juga
merupakan suatu komunitas rahmat, diberi arti oleh rahmat ilahi.6 Sedangkan Darmawijaya mendefenisikan keluarga Kristen dengan memberi penekanan pada
perbedaan keluarga umum dengan keluarga Kristen. Ia menyebutkan bahwa yang
menentukan perbedaan antara keluarga umum dengan keluarga Kristen adalah
iman akan Yesus Kristus yang diutus Allah untuk menjadi sumber keselamatan
bagi setiap orang.7 Keluarga Kristen melihat hari-harinya sebagai ucapan syukur atas penyelenggaraan Allah yang mengawali hidup ini. Oleh sebab itu orang
Kristen yang membangun keluarga meletakkan dasar utama dan pertama bagi
pengalaman Allah yang menyelamatkan itu.8
Keluarga Kristen dapat didefenisikan sebagai sebuah unit terkecil sekaligus
terpenting dalam usaha mentransmisi iman Kristiani dan menyatakan karya
penyataan Allah kepada individu maupun masyarakat melalui kehidupan mereka.
6
Maurice Eminyan, SJ., Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 20.
7
St. Darmawijaya, Pr., Mengarungi Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 9.
8
Pencapaian terhadap konsep inilah yang penting untuk diperhatikan dalam
pendidikan pranikah yang diselenggarakan oleh Gereja. Berkaitan dengan
pendefenisian tersebut maka ciri-ciri tentang keluarga Kristen perlu dipahami
dengan baik.
Eminyan menguraikan tiga ciri-ciri keluarga Kristen kemudian dilengkapi
oleh Ellen G. White sebagai berikut:
2.1.2.1. Keluarga Kristen dibangun atas cinta yang tidak mementingkan diri
sendiri dan sekaligus merupakan perwujudan cinta Allah. Keluarga
itu sendiri merupakan gambar dan citra Allah.9 Jadi dalam tindakan suami-istri, di samping menghasilkan gambar dan citra mereka
sendiri, pasangan suami-istri juga meniru Allah yang menciptakan
mereka menurut gambar dan citra-Nya kepada anak-anak mereka.10 2.1.2.2. Cinta yang ada di antara pasangan yang membentuk keluarga
Kristen adalah totalitas. Setiap keluarga yang benar-benar bahagia
adalah pasangan suami-istri yang sadar akan pemenuhan secara
terus menerus dalam diri mereka sendiri hingga cinta timbal-balik
mereka tetap ada dan total.11 Ketika mereka memutuskan untuk menikah dan terlebih lagi karena cinta mereka sudah matang
(dewasa) selama masa pertunangan, tujuan mereka adalah untuk
memberikan dirinya masing-masing, tidak hanya memberikan
9
Eminyan, Teologi Keluarga, 28.
10
Eminyan, Teologi Keluarga, 30.
11
semua saja yang mereka punyai, tetapi juga semua keberadaan
mereka apa adanya.12
2.1.2.3. Cinta sejati yang menjaga kesatuan keluarga ideal dan membuatnya
menjadi gambar yang setia dari Sang Pencipta adalah kesetiaan.13 Hakikat dari kesetiaan di dalam perkawinan sebagai suatu elemen
yang konstitutif dari keluarga harus dipahami tidak hanya dalam
arti eksklusifitas, tetapi juga sebagai indissolubilitas (tak
terceraikan, tak terbatalkan).14 Indissolubilitas perkawinan pun dituntut bagi keberadaan keluarga dan merupakan suatu tanda cinta
kesetiaan yang mutlak yang Allah miliki bagi manusia. Dengan
kata lain, cinta Allah selalu bercirikan kesetiaan yang sempurna.
Cinta manusia, karena menjadi cermin dari cinta Allah, harus selalu
setia selama-lamanya.
2.1.2.4. Ciri keempat menurut Ellen G. White yaitu keluarga Kristen yang
bahagia adalah suatu rumah tangga di mana standar dan kebiasaan
umat Allah diajarkan dan dihidupkan, suatu tempat di mana para
bapak dan ibu, umat Allah, ditugaskan untuk pergi dan menjadikan
anggota keluarga mereka sendiri Nasarani.15
Berdasarkan pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa ciri-ciri keluarga
Kristen bersumber dari pewarisan kasih Allah kepada umat-Nya. Keluarga
Kristen merupakan cerminan dari cinta Allah kepada manusia. Allah yang
12
Eminyan, Teologi Keluarga, 34.
13
Eminyan, Teologi Keluarga, 35.
14
Eminyan, Teologi Keluarga, 36.
15
mencintai, memberi hidup dan menyelamatkan manusia. Oleh sebab itu, keluarga
Kristen adalah keluarga yang penuh dengan cinta kasih, setia dan total menjalin
kehidupan yang diperkenankan Allah satu dengan yang lain, serta hidup dan
berbuah dalam terang keselamatan yang diberikan oleh Allah. Untuk
menanamkan karakter keluarga Kristen dengan ciri-ciri di atas, diperlukan
kesadaran yang tinggi serta pemahaman yang sungguh-sungguh. Proses edukasi
yang matang dan baik sangat berperan penting, salah satunya melalui pendidikan
pranikah kepada calon pasutri.
2.1.3. Fungsi Keluarga Kristen sebagai Pusat Pembentukan Spiritual
Pembentukan spiritual adalah suatu “kenyataan hidup yang utama.”16 Spiritual berasal dari akar kata latin spiritus yang berarti nafas hidup, dengan kata
Latin spiritulis yang secara sederhana menunjukan roh seseorang.17 Hill et al. dalam Jame Bryan L. Batara menyebutkan bahwa kriteria dari spiritual meliputi
perasaan, pikiran dan proses yang timbul dari pencarian terhadap “yang sakral”
yang dirasakan dan dilakukan oleh seorang individu.18 Kesimpulannya, spiritual adalah energi kehidupan yang membuat kita berpikir, berperasaan dan bertindak
serta inti dari sebuah karakter. Berkaitan dengan hal tersebut Thompson
menyatakan bahwa keluarga Kristen merupakan konteks awal dan paling alami
16
Marjorie J. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan: Sebuah Visi Tentang Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Rohani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 10.
17
Peter C. Hill et al., “Conceptualizing Religion and Spirituality: Points of Commonality,
Points of Departure,” Journal For The Theory of Social Behavior Vol.30, Issue 1 (2000), 57.
18Jame Bryan L Batara, “Overlap of Religiousity and Spirituality Among Filipinos and Its
bagi pembentukan spiritual para anggota keluarganya, khususnya anak-anak.19 Melalui pernikahan, melalui proses membesarkan anak-anak dan melalui
hubungan dengan anggota-anggota keluarga termasuk para orang tua,
pembentukan pribadi seseorang sebagai manusia terus berkembang. Menurut
Parker J. Palmer yang dikutip oleh Thompson, dasar-dasar pemikiran teologis dari
pembentukan spiritual Kristen adalah proses menjadi serupa dengan gambar
Kristus.20 Keluarga dalam fungsinya sebagai pusat pembentukan spiritual dilengkapi dengan beberapa peran sebagai berikut:
a) Keluarga sebagai miniatur gereja. Thompson menjelaskan peran keluarga
sebagai miniatur gereja dengan asumsi bahwa pembinaan seminggu
sekali pada pertemuan-pertemuan di gedung gereja tidak bisa menandingi
pengalaman sehari-hari di mana pembentukan pribadi mendapat
perhatian.21 Kehidupan keluarga merupakan suatu arena di mana sebagian besar umat mempunyai kesempatan untuk “mempraktikkan”
kehadiran Allah – untuk belajar disiplin terus membuka mata terhadap
Kenyataan ilahi yang bersinar melalui peristiwa-peristiwa yang paling
biasa dalam kehidupan kita.22 Di tempat-tempat di mana pendidikan dan pengalaman iman menghadapi banyak kendala dan tantangan, gereja
rumah tangga (keluarga sebagai gereja miniatur) menjadi satu-satunya
19
Thompson, Keluarga sebagai, 1.
20
Thompson, Keluarga sebagai, 12.
21
Thompson, Keluarga sebagai, 18.
22
tempat di mana anak-anak dan orang muda menerima katekese yang
autentik.23
b) Keluarga sebagai tempat bernaung yang kudus. Dolores Leckey yang
dikutip oleh Thompson menyebut keluarga Kristen sebagai “tempat
bernaung yang kudus”, maksudnya adalah suatu tempat penerimaan,
pembinaan dan pertumbuhan yang memberdayakan anggota-anggota
keluarga untuk berperan serta dalam tindakan kasih dan penyelamatan
Allah yang terus berlanjut.24 Keluarga adalah tempat bernaung yang dindingnya dapat memberi perlindungan terhadap nilai-nilai budaya yang
merusak dan juga berfungsi sebagai penyaring bagi realitas sehingga
lambat laun para anggotanya menyadari di mana mereka seharusnya
berdiri dalam dunia yang dipenuhi oleh terang maupun kegelapan dan
segala macam ambiguitas lainnya.25
c) Keluarga sebagai pelayan. Menurut Pito Duan, peran sosial keluarga
tidak hanya terbatas pada prokreasi dan pendidikan anak, namun
keluarga juga dapat dan seharusnya melibatkan diri dalam pelbagai
kegiatan sosial, terlebih bagi yang miskin, tertindas demi kebaikan
bersama.26 Sedangkan Thompson menjelaskan bahwa peran keluarga sebagai pelayan berarti para keluarga tidak berakhir di dalam dan oleh
diri mereka sendiri. Mereka dijalin menjadi satu kain oleh masyarakat
dan secara istimewa keluarga-keluarga Kristen juga dijalin bersama
23
Yeremia Bala Pito Duan MSF, Keluarga Kristiani: Kabar Gembira bagi Milenium Ketiga
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), 42.
24
Thompson, Keluarga sebagai, 55-56.
25
Thompson, Keluarga sebagai, 55.
26
dalam tubuh Kristus. Oleh sebab itu, mereka adalah alat-alat
pertumbuhan yang diberkati, dipanggil untuk menyalurkan anugerah ilahi
melalui pola-pola hubungan mereka yang unik: “Kasih dalam ikatan
pernikahan dan kasih keluarga merupakan sarana utama bagi
pasangan-pasangan untuk saling membantu dan juga menolong anak-anak mereka
menikmati kehidupan kasih yang universal serta memiliki tanggung
jawab sosial.”27
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, disimpulkan bahwa keluarga Kristen
memiliki andil yang sangat penting dalam menanam, membentuk dan memelihara
dasar yang kuat tentang iman kepada Allah yang juga akan berdampak pada
pembentukan spiritualitas dan karakter para anggotanya (terkhususnya
anak-anak). Penghayatan fungsi keluarga sebagai pusat pembentukan spiritual
mengambil bentuk dalam tiga peran penting yang perlu dipahami dan didalami
dengan baik. Peran keluarga sebagai gereja miniatur, tempat bernaung yang kudus
dan pelayan adalah tiga pilar yang akan memperkuat fondasi keluarga Kristen
membentuk generasi yang takut akan Tuhan, berkarakter, memiliki spiritualitas
yang tinggi dan pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Konsep-konsep ini juga yang menjadi landasan dan materi pada pendidikan
pranikah yang diberikan oleh gereja kepada calon-calon pasangan suami-istri.
27
2.2Pernikahan Kristen
Sebelum mendalami pemahaman Kristen terhadap pernikahan, maka lebih
dahulu akan diuraikan mengenai pernikahan dalam prespektif umum. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 1
tentang pernikahan, defenisi pernikahan adalah: “Ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”28
Jelas dikatakan dalam UU bahwa pernikahan tidak hanya mengikat
laki-laki dan perempuan secara fisik (lahir) saja tetapi juga secara jiwa (batin) dan
suatu pernikahan harus didasari oleh KetuhananYang Masa Esa. Dalam
pengertian umum, “perkawinan/pernikahan pada hakikatnya adalah persekutuan
hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup
bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling
membahagiakan.”29
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah
ikatan hidup antara pria dan wanita yang telah bersepakat untuk hidup bersama
dan memiliki tujuan yang sama demi membangun keluarga.
Dalam prespektif Kristen, pernikahan merupakan salah satu wujud iman bagi
semua orang Kristen yang dipanggil demi memperdalam kehidupan gerejanya.30 Konstruksi pemahaman ini dimulai dari narasi penciptaan manusia, laki-laki dan
perempuan dalam Kejadian 1:27-28a yaitu:
28
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1.
29
Keuskupan Agung Semarang, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga (Jogja: Kanisius, 2007), 17
“27
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
“Beranak-cuculah dan bertambah banyak”.”
Ayat ini menggambarkan bahwa kelelakian dan keperempuanan adalah
komponen penting dari martabat unik kita sebagai manusia yang diciptakan dalam
gambar Allah, karena melalui realitas ini kita berpartisipasi dalam kreativitas
ilahi. Dengan demikian, dari sudut pandang Kristen, hubungan seksual harus
didekati dengan hormat dan sebagai pengakuan atas potensi intrinsik untuk
kehidupan baru.31 Tindakan seksual memiliki dimensi spiritual dan moral; mereka bukan sekadar dorongan fisik atau biologis. Baik atau buruk, tindakan seksual kita
mempengaruhi citra Allah yang kita tanggung.
Berkaitan tentang hal tersebut, dalam ajaran Kristiani, pernikahan
menciptakan “satu tubuh,” sebuah realitas baru yang memuliakan penyatuan
seksual seorang pria dan seorang wanita dengan memerintah ke arah kehidupan
bersama yang mempromosikan kebaikan dari pasangan, keluarga dan masyarakat
secara keseluruhan.32 Pemahaman ini diambil dari Kejadian 2:24 yaitu:
“24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Pernikahan menciptakan persatuan sosial yang unik dan tidak didasarkan
pada hubungan darah atau keturunan umum (seorang laki-laki meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya); sehingga pernikahan juga
adalah lembaga primordial manusia. Martin Luther menyebutnya first estate, yang
31“The Two Shall Become One Flesh: Reclaiming Marriage,” First Things: A Monthly Journal
of Religion and Public Life No. 251 (2015), 24.
32“The Two,
mendahului gereja dan pemerintah sipil.33 Dengan demikian, institusi pernikahan adalah dasar dari tatanan politik dan pembibitan civic virtue (kebajikan sipil),
sebagai pasangan yang menjalankan tanggung jawab bersama untuk membesarkan
anak-anak mereka. Dengan tanggung jawab yang besar itulah maka sebelum
pernikahan pasutri dipersiapkan dengan baik, salah satunya dengan pendidikan
pranikah. Pendidikan pranikah sendiri perlu dipahami sebagai usaha gereja
mengedukasi jemaatnya dalam kerangka pendidikan agama Kristen.
2.3.Pendidikan Agama Kristen
2.3.1. Defenisi Pendidikan Agama Kristen
Menurut Groome, Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah kegiatan politis
bersama para peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama mereka
memberi perhatian pada kegiatan Allah di masa kini kita, pada cerita komunitas
iman Kristen dan visi Kerajaan Allah, benih-benih yang telah hadir di antara
kita.34
Kata lain yang sering dipakai untuk berbicara mengenai pendidikan agama
Kristen adalah “katekese” (catechesis). Kata “katekese” berasal dari kata kerja
Yunani katechein, yang berarti “menyuarakan dengan keras,” “menggemakan,”
atau “mengumumkan”. Dengan demikian, etimologi kata ini mengandung arti
pengajaran lisan.35 Oleh sebab itu, katekese merupakan kegiatan menggemakan
33“The Two,
25.
34
Thomas H. Groome, Christian Religious Education – Pendidikan Agama Kristen: Berbagi Cerita dan Visi Kita (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 37
35
kembali atau menceritakan kembali cerita iman Kristen yang telah diberi tahu.36 Katekese dengan demikian ditempatkan secara khusus sebagai kegiatan
pengajaran dalam pendidikan agama Kristen yang lebih luas.
Sedangkan Nuhamara menjelaskan hakikat PAK dengan menguraikan
elemen-elemen inti dari hakikatnya.37
a) “PAK itu adalah suatu usaha pendidikan. Oleh karena itu, ia merupakan usaha yang sadar, sistematis dan berkesinambungan, apapun bentuknya. Ini tidak berarti bahwa pendidikan hanya terbatas pada pendidikan yang formal baik di sekolah atau di dalam gereja, melainkan juga pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan sosialisasi asalkan sosialisasi tersebut disengaja.
b) PAK juga merupakan pendidikan yang khusus yakni dalam dimensi religius manusia. Ini berarti usaha tersebut dikhususkan pada bagaimana pencarian akan yang transenden serta pemberian ekspresi dari seseorang terhadap yang transenden tadi dikembangkan, serta dimungkinkan tetap terjadi pada manusia masa kini. Artinya segala pendidikan yang dikhususkan pada dimensi religius manusia, apakah itu pencarian akan yang transenden, kehendak-Nya dan pemberlakuan kehendak-Nya dalam kehidupan konkrit.
c) Secara khusus PAK menunjuk kepada persekutuan iman yang melakukan tugas pendidikan agamawi, yakni persekutan iman Kristen. Karenanya pencarian manusia terhadap yang transenden serta ekspresi dari hubungan itu diwarnai oleh ajaran Kristen sebagaimana dinyatakan kepada kita dalam Alkitab sebagai warisan usaha ini, tidak hanya untuk transmisi warisan Kristen tetapi bagaimana membentuk masa depan sesuai dengan visi Allah berdasarkan warisan masa lampau dan tindakan kreatif masa kini.
d) PAK sebagai usaha pendidikan bagaimana pun juga mempunyai hakikat politis. Karena itu, PAK juga turut berpartisipasi dalam hakikat politis pendidikan secara umum. Artinya, dalam PAK tidak hanya ada intervensi dalam kehidupan individual seseorang di bidang kerohaniannya saja, tetapi juga memengaruhi cara dan sikap mereka ketika menjalani kehidupan dalam konteks masyarakatnya.”38
36
Groome, Christian Religious, 40.
37
Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25.
38
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan agama Kristen merupakan sebuah usaha edukasi yang memberi
perhatian pada kegiatan Allah di masa kini, komunitas iman Kristen dan Visi
Kerajaan Allah serta berlangsung secara sadar, sistematis dan berkesinambungan.
2.3.2. Tujuan PAK
Tujuan pendidikan agama Kristen menurut Groome adalah untuk
memampukan orang-orang hidup sebagai orang-orang Kristen, yakni hidup sesuai
iman Kristen.39 Pertanyaannya apa itu iman Kristen? Sebelum memahami apa sebenarnya iman Kristen maka haruslah dijawab terlebih dahulu pertanyaan
tentang apa tujuan menjadi Kristen. Groome menjawab pertanyaan itu dengan
menguraikannya dalam beberapa bagian yaitu, pendidikan bagi Kerajaan Allah
sebagai tujuan utama, makna iman Kristen yang hidup sebagai respon terhadap
Kerajaan dan merefleksikan konsekuensi dan kondisi dari iman Kristen yang
hidup ke arah Kerajaan, yaitu kebebasan manusia.40 2.3.2.1. Pendidikan bagi Kerajaan Allah
Groome mengusulkan tujuan utama pendidik agama Kristen adalah untuk
menuntun orang-orang ke luar menuju Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus.41 Ia memberikan tiga alasan untuk mendukung usulan ini:
“Pertama, dalam kitab suci orang Yahudi visi Kerajaan Allah ditempatkan sebagai visi dan rencana Allah sendiri bagi seluruh manusia dan ciptaan.
39
Groome, Christian Religious, 48.
40
Groome, Christian Religious, 48.
41
Kedua, dalam kesinambungan dengan dan dalam tradisi orang Yahudi itu Yesus memberitakan Kabar Baik-Nya. Yesus, yang orang-orang Kristen kenal sebagai Kristus, menjalani kehidupan-Nya dan memberitakan Injil-Nya bagi Kerajaan Allah. Demikianlah tujuan-Nya. Tujuan-Nya seharusnya juga menjadi tujuan orang-orang yang mendidik dalam nama-Nya.
Ketiga, meskipun Kerajaan Allah sebagai tema utama pemberitaan Kristen mengalamai stagnasi di Gereja mula-mula, Kerajaan Allah telah menjadi yang utama kembali dalam teologi kontemporer. Meskipun ada banyak perbedaan pendapat di antara para teolog dan para pakar kitab suci dewasa ini mengenai makna Kerajaan Allah, ada juga kesepakatan utama bahwa Kerajaan Allah adalah tema utama dari kitab-kitab Injil dan orang-orang Kristen yang hidup jarus merespons Kerajaan itu. Pendidikan agama Kristen memiliki tujuan untuk mempromosikan respons yang demikian.”42
2.3.2.2. Pendidikan bagi Iman Kristen
Menurut Groome iman Kristen sebagai realitas yang hidup memiliki tiga
dimensi yang esensial: a) keyakinan, b) hubungan yang penuh kepercayaan dan c)
kehidupan agape yang hidup.43 Ia mengekspresikan tiga dimensi tersebut dalam tiga kegiatan yaitu:
1) Iman sebagai Kepercayaan (Believing)
Iman (faith) dan kepercayaan (belief) dalam mentalitas Barat sering
dianggap sama.44 Namun sesungguhnya iman Kristen lebih dari sekedar kepercayaan, khususnya jika iman dikurangi, hanya sebagai kegiatan
intelektual atau kognitif saja.45
Oleh karena itu, iman Kristen selalu adalah pemberian anugerah Allah. Iman Kristen timbul dari iluminasi batiniah yang menentukan seseorang percaya. Oleh anugerah Allah yang sama dan pengaruh kecerdasan berpikir milik kita sendiri, kecenderungan untuk percaya diekspresikan dalam kepercayaan-kepercayaan yang dinyatakan yang kita yakini dan
setujui. Akan tetapi, deskripsi intelektual itu tidak dapat diterima sebagai deskripsi iman Kristen yang lengkap. Iman Kristen sekurang-kurangnya adalah kepercayaan, tetapi iman Kristen juga harus lebih dari kepercayaan jika iman Kristen adalah realitas yang hidup.46
2) Iman sebagai Keyakinan (Trusting)
Kata bahasa Inggris faith berasal dari kata Latin fidere, yang berarti
“mempercayakan.” Oleh karena itu, menurut asal katanya, beriman mengandung arti kegiatan mempercayakan. Jika kegiatan iman Kristen
“percaya” (believing) terutama menunjuk pada tindakan kognitif, maka kegiatan iman Kristen mempercayakan (trusting) terutama bersifat afektif. Kegiatan iman Kristen mempercayakan adalah dimensi iman yang berdasarkan kepercayaan. Dimensi iman Kristen yang bersifat afektif/kepercayaan ini mengambil bentuk hubungan pribadi yang penuh kepercayaan dengan Allah yang menyelamatkan di dalam Yesus Kristus; dan mempercayakan (trust) diekspresikan dalam kesetiaan, kasih dan kelekatan. Karena Allah adalah setia, kita dapat menyerahkan diri kita dengan penuh kepercayaan.47
3) Iman sebagai Tindakan (Doing)
Dalam Injil Matius, Yesus menjelaskan bahwa berseru “Tuhan, Tuhan” tidak cukup untuk masuk ke dalam Kerajaan. Kehendak Allah juga harus dilakukan (Mat. 7:21). Iman Kristen sebagai respons terhadap Kerajaan Allah dalam Kristus harus mencakup melakukan kehendak Allah. Secara lebih khusus melakukan kehendak Allah harus diwujudkan dalam kehidupan agape yang hidup – mengasihi Allah dengan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Iman dan perbuatan ada bersama-sama secara simultan atau dengan kata lain iman ada dalam perbuatan.48
Dengan demikian maka iman Kristen setidaknya memiliki tiga kegiatan yang
penting: kegiatan percaya (believing), mempercayakan (trusting) dan melakukan
(doing). Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan komunitas
Kristen. Oleh sebab itu PAK yang menerima iman Kristen sebagai tujuannya
harus dirancang dengan sengaja untuk mempromosikan tiga dimensi iman ini.
46
Groome, Christian Religious, 82.
47
Groome, Christian Religious, 82.
48
2.3.2.3. Pendidikan bagi Kebebasan Manusia
Menurut Groome, hubungan antara iman Kristen dan kebebasan manusia
bersifat simbiotis dalam hal, jika mereka ada, mereka ada bersama-sama dan
masing-masing menerima kehidupan dari yang lain dan memberi kehidupan
kepada yang lain.49 Oleh karena alasan ini, maka Groome menyatakan bahwa dalam tujuan utama Kerajaan Allah, pendidikan agama Kristen memiliki dua
tujuan terdekat (immediate purpose), yakni iman Kristen dan kebebasan
manusia.50 Keterkaitan kedua hal tersebut ia jelaskan sebagai berikut:
“Kita harus meletakan kedua tujuan tersebut secara sadar di hadapan kita ketika kita membuat keputusan-keputusan mengenai hakikat, konteks, pendekatan, kesiapan dan rekan-rekan dalam pendidikan agama Kristen (PAK). Meskipun kita boleh menganggap tujuan-tujuan tersebut sebagai dua tujuan, mereka ada bersama-sama seperti dua sisi dari uang logam yang sama
– kehidupan yang dijalani sebagai respons terhadap Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus. Dalam kegiatan pendidikan kita dan sesungguhnya dalam kehidupan Kristen, iman Kristen dan kebebasan manusia satu sama lain sama-sama penting sebagai penyebab yang efektif yang menimbulkan akibat.
Sebenarnya, di sini saya (Groome) sedang mengusulkan istilah kebebasan sebagai cara yang paling komprehensif untuk berbicara mengenai konsekuensi dan kondisi hidup bersama dengan dan bagi nilai-nilai Kerajaan Allah. Deskripsi yang saya berikan bagi “kebebasan” adalah cukup komprehensif, mencakup seluruh nilai-nilai Kerajaan (keadilan, kedamaian, rekonsiliasi, sukacita, harapan dan sebagainya) dan pada waktu yang sama difokuskan secukupnya baik untuk memberdayakan maupun mengkritik usaha-usaha kita dalam pendidikan agama Kristen.”51
Oleh sebab itu maka iman Kristen dan kebebasan manusia ada bersama-sama
sebagai sebab dan konsekuensi satu sama lain. Kedua-duanya harus dengan sadar
ditempatkan sebagai tujuan bersama dalam pendidikan agama Kristen. Ketika
kebebasan manusia ditempatkan sebagai bagian integral dari tujuan PAK, ada
implikasi-implikasi penting terhadap cara kita membentuk prakis pendidikan.52 Berdasarkan uraian para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa PAK
memiliki tiga tujuan utama yaitu untuk menyatakan Kerajaan Allah di dunia,
membangun spiritualitas dan membebaskan manusia. Berkaitan dengan ketiga hal
tersebut, maka semua konten dan proses dari pendidikan pranikah perlu dibangun
dan dirancang untuk mencapai ketiga hal tersebut.
2.4.Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan Orang Dewasa (POD) merupakan proses di mana orang-orang
yang sudah memiliki peran sosial sebagai orang dewasa melakukan aktivitas
belajar yang sistematik dan berkelanjutan dengan tujuan untuk membuat
perubahan dalam pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan keterampilan.53 Peter Jarvis menyebutkan bahwa pertama-tama harus diakui bahwa istilah “pendidikan orang
dewasa” memiliki definisi sosial sebagai bentuk pendidikan liberal yang
dilakukan oleh orang-orang yang dianggap sebagai orang dewasa.54 Wiltshire yang dikutip Jarvis menyarankan bahwa pendidikan orang dewasa perlu juga
dipahami sebagai sebuah proses pendidikan yang dilakukan secara dewasa.55 Dewasa di sini berarti seseorang telah mencapai tingkat kematangan sosial di
52
Groome, Christian Religious,146.
53
Lunandi, Pendidikan Orang Dewasa (Sebuah Uraian Praktis untuk pembimbing, penatar, pelatih dan penyuluh lapangan (Jakarta: Gramedia, 1989), 1
54
Peter Jarvis, Adult Education and Lifelong Learning 3rd Edition: Theory and Practice
(London: RoutledgeFalmer, 2004), 44. 55
mana ia dapat mengasumsikan posisi yang bertanggung jawab dalam
masyarakat.56
POD hanya menjadi efektif (menghasilkan perubahan perilaku), apabila isi
dan cara pendidikannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakannya. Dengan
mengetahui kebutuhan kelompok orang dewasa yang menjadi peserta suatu
kegiatan pendidikan, maka dapat dengan tepat ditentukan suasana belajar yang
harus diciptakan, isi pelajaran yang hendak disampaikan dan metode atau
gabungan metode apa saja yang mau dipergunakan.57 Berikut ini adalah model proses pembelajaran dan pengajaran untuk pendidikan orang dewasa:58
Gambar II.1. Model Proses Pembelajaran dan Pengajaran untuk Pendidikan Orang Dewasa
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
POD adalah sebuah proses edukasi yang berlangsung dalam konteks individu
56
Jarvis, Adult Education, 45.
57
Lunandi, Pendidikan Orang, 1. 58
Peter Jarvis, Adult Education, 247.
Tujuan dan Sasaran
Isi Materi Evaluasi
yang dianggap dewasa berdasarkan konsensus masyarakatnya demi
mentransformasi kehidupannya. POD dilakukan untuk meningkatkan dan
memperkaya pengetahuan orang dewasa sehingga menghasilan perubahan
perilaku yang positif. Dengan demikian maka pendidikan pranikah dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk pendidikan orang dewasa karena
pesertanya terdiri dari laki-laki dan perempuan yang telah dianggap dewasa secara
hukum dan telah siap untuk menikah. Pendidikan pranikah dalam bagian sebagai
pendidikan orang dewasa juga berfungsi sebagai usaha yang mentransformasi dan
mentransmisi nilai-nilai pengetahuan pernikahan kristiani yang memperkaya dan
meningkatkan kemampuan calon pasangan suami-istri berperan sebagai orang
dewasa yang bertanggung jawab.
2.4.1. Metode Pendidikan Orang Dewasa
Banyak metode yang diterapkan dalam program pendidikan orang dewasa.
Pemilihan metode hendaknya ditentukan oleh tujuan pendidikan, yang pada garis
besarnya dapat dibagi dalam dua jenis:59
a) Ada proses belajar yang dirancang untuk membantu orang menata
pengalaman masa lampau yang dimilikinya dengan cara baru, misalnya
melalui konsultasi, latihan kepekaan dan beberapa jenis latihan manajemen,
yang membantu individu untuk dapat lebih memanfaatkan apa yang sudah
diketahuinya, tetapi kurang disadarinya.
59
b) Ada proses belajar yang dirancang untuk memberikan pengetahuan baru,
ketrampilan baru, yakni mendorong individu meraih lebih jauh daripada apa
yang diketahuinya, apa yang menjadi anggapannya, ketrampilannya hingga
kini.
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa metode
pendidikan orang dewasa selalu ditentukan oleh tujuan pendidikannya. Jika
pendidikan tersebut dirancang untuk menjangkau masa lampau maka metode yang
digunakan akan berbeda untuk pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan
masa depan. Pendidikan pranikah sebagai pendidikan yang menargetkan masa
depan kedua calon pasutri memerlukan metode yang dirancang untuk memberikan
pengetahuan baru, ketrampilan baru, yakni mendorong pasutri meraih lebih jauh
daripada apa yang diketahuinya, apa yang menjadi anggapannya, ketrampilannya
hingga kini. Guna lebih jauh memahami pendidikan pranikah maka berikut ini
akan dijelaskan defenisi, tahapan, fungsi, tujuan dan materinya.
2.5.Pendidikan Pranikah
2.5.1. Defenisi dan Tahap Pendidikan Pranikah
Pendidikan pranikah termasuk dalam usaha pendidikan agama Kristen untuk
mentransmisi maupun mentransformasi calon pasangan suami-istri Kristen. Untuk
memahami hakikat dari pendidikan pranikah, maka terlebih dahulu perlu
dijelaskan mengenai hakikat pendidikan, baru kemudian dibahas mengenai
pendidikan pranikah secara keseluruhan.
Menurut etimologisnya, istilah pendidikan merupakan terjemahan dari
ducere yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan ”e” yang berarti
keluar (out). Jadi arti dasar dari pendidikan adalah: suatu tindakan untuk
membimbing keluar.60
Menurut Lawrence Cremin pendidikan adalah “usaha sengaja, sistematis dan
terus-menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh
pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian, atau kepekaan-kepekaan,
juga setiap akibat dari usaha itu.”61
Sedangkan Alfred North Whitehead
menjelaskan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk
memahami seni kehidupan; ... yang mengekspresikan potensi-potensi makhluk
hidup ketika berhadapan dengan lingkungannya yang sebenarnya.”62
Kekuatan
kedua defenisi ini terletak pada penekanan mereka bahwa pendidikan mewajibkan
pendekatan holistik terhadap manusia yang memperhatikan seluruh seni
kehidupan dan penekanannya pada potensi-potensi para naradidik dalam konteks
lingkungan sosial mereka. Dua defenisi di atas dirangkum kembali oleh Thomas
H. Groome yang menamakan hakikat kegiatan pendidikan sebagai kegiatan politis
bersama pada para peziarah dalam waktu, yang dengan sengaja bersama
orang-orang memperhatikan masa kini kita, warisan masa lampau yang ada di dalamnya
dan kemungkinan masa depan yang menguasai manusia secara utuh dan
komunitas.63
Berdasarkan teori-teori di atas maka menurut peneliti penggunaan istilah
pendidikan di sini merujuk kepada semua kegiatan yang dilakukan secara sengaja,
60
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan, 8.
61
Groome, Christian Religious, 29.
62
Groome, Christian Religious, 30.
63
sistematis, terus menerus, bersifat kognitif, afektif dan tingkah laku. Oleh sebab
itu, pendidikan pranikah merupakan semua kegiatan pendidikan yang dibuat
dengan sistematis, sengaja dilakukan secara berkala, memiliki dasar yang holistik
dan tidak hanya bertumpu pada pewarisan nilai-nilai kristiani namun juga
menampilkan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi masa depan calon
pasutri, kontekstual berdasarkan budaya serta menjawab kebutuhan psikologis.
Pendidikan pranikah pada umumnya lebih dikenal dengan istilah katekisasi
pranikah atau konseling pranikah. Menurut M. Utama konseling pranikah adalah
bentuk konseling yang berpusat pada hubungan antar pribadi seorang pria dan
seorang wanita, yang membantu mereka menilai hubungan mereka dari aspek
pendekatan perkawinan mereka dan memperkenalkan jalan-jalan yang bisa
membantu untuk membentuk perkawinan yang bahagia dan sukses.64 Sedangkan Howard Clinebell menyebutkan bahwa sasaran umum dari konseling perkawinan
(termasuk latihan pranikah) ialah untuk menolong tiap pasangan suami-istri agar
secara bersama mereka dapat menciptakan suatu hubungan yang memungkinkan
keduanya menemukan dan mengembangkan talenta masing-masing dengan cara
saling memperkaya.65 Sedangkan Abineno menjelaskan bahwa katekisasi pranikah atau yang ia sebut sebagai penggembalaan adalah percakapan dengan
kedua calon mempelai tentang hal-hal yang bersangkutan dengan peneguhan dan
pemberkatan nikah Kristen.66
64
Pusat Bimbingan Universitas Kristen Satya Wacana, Konseling Kristen (Salatiga: UKSW Press, 1980), 126.
65
Clinebell Howard, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisus, 2002), 323.
66
Pendidikan pranikah atau persiapan pernikahan itu sendiri, idealnya harus
dilihat dan dilaksanakan sebagai proses yang berjalan bertahap dan terus menerus.
Persiapan itu meliputi tiga tahap utama: persiapan jauh, persiapan dekat dan
persiapan terakhir.67
a. Persiapan jauh dimulai dari masa kecil. Pada masa ini penghormatan pada semua nilai manusiawi yang sejati ditanamkan, baik dalam hubungan-hubungan antarpribadi maupun dalam hubungan-hubungan sosial, dengan segala sesuatu yang mempunyai arti untuk pembentukan watak, untuk pengendalian dan penggunaan yang benar dari kecenderungan-kecenderungan, untuk perilaku dalam memandang dan menjumpai orang-orang lain dan sebagainya. b. Atas dasar itu selanjutnya langkah demi langkah dilaksanakan persiapan dekat. Persiapan ini dilaksanakan pada usia yang sesuai. Persiapan itu harus menampilkan perkawinan sebagai hubungan antarpribadi seorang pria dan seorang wanita yang harus terus-menerus dikembangkan dan mendorong mereka yang berkepentingan untuk mempelajari hakikat hubungan suami-istri dan panggilan menjadi bapak-ibu yang bertanggungjawab, beserta pengetahuan medis dan biologis yang secara hakiki bersangkut paut dengan itu.
c. Kemudian persiapan terakhir, harus diadakan dalam bulan-bulan dan minggu-minggu terakhir sebelum pernikahan, supaya dapat memberikan arti, isi dan bentuk yang baru tentang pernikahan. Persiapan itu perlu untuk setiap pasangan, tetapi diperlukan secara lebih mendesak oleh pasangan tunangan yang masih memperlihatkan kekurangan-kekurangan atau kesulitan-kesulitan dalam ajaran dan praktik hidup Kristiani
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan pranikah merupakan sebuah usaha pewarisan dan transformasi yang
sistematis, disengaja dan terstruktur untuk mempersiapkan calon pasangan
suami-istri memahami dan memaknai tugas dan peran sebagai partner juga orang tua
dalam terang iman kepada Kristus.
67
2.5.2. Pentingnya Pendidikan Pranikah
Pernikahan merupakan sebuah kesepakatan seumur hidup yang harus dijalani
dengan sukacita dan bahagia. Oleh sebab itu pentingnya persiapan sebelum
pernikahan adalah sebuah keharusan. Pendidikan pranikah sebagai salah satu
tanggung jawab gereja perlu dipahami sebagai sebuah langkah yang penting untuk
memasuki kehidupan rumah tangga. Berikut ini merupakan alasan pentingnya
dilakukan suatu pendidikan pranikah:
a) Keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama
Pendidikan persiapan pernikahan sangat penting karena keadaan keluarga
yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya keselamatan
(kesejahteraan), baik bagi orang perseorangan, masyarakat umum, maupun
Gereja. Artinya, nilai-nilai hidup yang menjiwai tentang keluarga Kristen
akan terpantul keluar sehingga akan membantu untuk menentukan
pandangan hidup selanjutnya.68
b) Pengertian mengenai martabat pernikahan (keluarga) harus jelas bagi calon
pasangan suami-istri.
Kebutuhan akan persiapan yang teratur dan terperinci sungguh-sungguh
dirasakan dewasa ini, baik oleh muda-mudi sendiri maupun oleh pimpinan
Gereja, lebih-lebih karena adanya gejala-gejala negatif masyarakat yang
mengaburkan martabat pernikahan dan adanya perubahan nilai-nilai.69
68
Tim Pusat Pendampingan Keluarga Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), 15.
69
c) Segala upaya diberikan dalam persiapan
Dewasa ini, susunan dan struktur keluarga sedang mengalami perubahan
yang mendalam oleh sebab itu harus digunakan segala upaya (pandangan
yang jelas dan sehat) untuk menciptakan pemahaman yang lebih matang
dan memuaskan mengenai keluarga.70
Berdampingan dengan itu, berdasarkan hasil penelitian dalam dua dekade
terakhir, telah menetapkan bahwa program-program persiapan pernikahan yang
berkualitas dapat mengurangi tekanan pernikahan dan meningkatkan kepuasan
perkawinan.71 J.S. Carroll dan J.W. Doherty dalam ulasan meta-analisis dari 23 program pranikah menemukan bahwa secara umum program pendidikan pranikah
efektif dalam memproduksi keuntungan langsung dan jangka pendek dalam
keterampilan interpersonal dan kualitas hubungan pasangan secara keseluruhan72 Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan pranikah sangat penting dilakukan mengingat berbagai perkembangan
dan dinamika sosial di mana nilai-nilai yang baik mengenai keluarga mulai
mengalami degradasi. Untuk mencegah dan memperbaiki hal tersebut maka
pendidikan pranikah perlu dilakukan secara terstruktur, terperinci dan mendalam
sehingga calon pasangan suami-istri mampu memiliki pegangan yang baik untuk
menghadapi pernikahan dan keluarga baru mereka.
70
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 15.
71Benjamin Silliman dan Walter R. Schumm, “Marriage Preparation Programs: A Literatur
e
Revew”, dalam The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, Vol. 8 No.2 (Sage Publication, April 2000), 133-142.
72J.S Carroll dan J. W Doherty, “
2.5.3. Tujuan Pendidikan Pranikah
Menurut buku Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, pendidikan pranikah
dilaksanakan dengan beberapa tujuan antara lain:
a) Memberikan pegangan bagi calon pasutri (pasangan suami-istri) untuk
mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut asas dan
moral Kristiani serta menanamkan benih panggilan Kristiani. 73
b) Sebagai langkah persiapan dan pembekalan bagi calon pasutri untuk hidup
berkeluarga dengan melengkapi kebutuhan mereka dalam pengetahuan
teologi, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan ekonomi, paham gender
dan pengetahuan lainnya yang berkaitan erat dengan hidup berkeluarga.74 Sedangkan menurut Viviana A. Soesilo,75 ada tiga hal yang menjadi tujuan dari pelaksanaan katekisasi pranikah:
a) Katekisasi pranikah bertujuan untuk membantu dua orang yang akan
menikah agar dapat mempersiapkan diri supaya mereka dapat hidup
bersama dengan baik dan menjadi keluarga yang diberkati Tuhan.
b) Melalui katekisasi pranikah, diharapkan pasangan dapat memahami
harapan mereka masing-masing dan bagaimana harus bersikap ketika apa
yang mereka harapkan tidak terpenuhi serta belajar untuk menerima
lingkungan dan orang-orang baru dalam kehidupan rumah tangga mereka.
c) Katekisasi pranikah membantu pasangan untuk bisa mengerti dengan lebih
jelas karakter dan kebiasaan masing-masing agar keduanya bisa
73
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 14.
74
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 14.
75
memikirkan dengan lebih terbuka apakah pasangan siap untuk menjalani
suatu kehidupan rumah tangga dengan karakter dari pasangannya.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
pranikah adalah untuk membangun dan menyempurnakan dasar-dasar hidup
keluarga Kristiani bagi calon pasutri. Konsep-konsep dasar mengenai keluarga
Kristen ini juga diperlengkapi dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan
dengan kehidupan berkeluarga yang akan membantu para pasutri menghadapi
kompleksnya kehidupan berumah tangga. Dengan demikian maka diharapkan
setelah mengikuti pendidikan pranikah, para calon pasutri memahami dan
memiliki identitas keluarga Kristen dan berkarya dalam masyarakat dengan
optimal.
2.5.4. Materi Pendidikan Pranikah
Salah satu unsur dari sebuah pendidikan adalah apa yang diajarkan atau
materi-materi apa saja yang terkandung di dalamnya. Tjandraini dalam buku
Bimbingan Konseling Keluarga menjelaskan beberapa hal yang dapat dijadikan
materi pada pendidikan pranikah, antara lain:76
Peran suami-istri. Perlu dipahami bahwa dalam pembagian tugas dan
kebahagiaan rumah tangga haruslah diutamakan. Setiap pasangan perlu
merencanakan dan mengembangkan bersama „partnership‟ dalam hidup
pernikahan.
76
Komunikasi. Kemampuan berkomunikasi adalah hal yang penting dalam
sebuah hubungan. Pasangan suami-istri perlu belajar mengungkapkan
sesuatu seperti yang dimaksudkan dan menerima pesan yang
dimaksudkan. Begitu juga dengan kemampuan mendengarkan.
Kehidupan seksual. Hubungan seksual merupkan salah satu aspek penting
dalam kehidupan pernikahan, walaupun bukan satu-satunya cara
mengungkapkan kasih dalam pernikahan.
Kiat-kiat untuk membina pernikahan. Pernikahan yang akan dibangun
senantiasa perlu dipelihara dan dirawat dengan baik agar tetap berjalan
dengan semestinya, oleh sebab itu kiat-kiat untuk membina pernikahan
juga dibutuhkan dalam penyajian materi pendidikan pranikah.
Sedangkan dalam perspektif Kristen menurut buku Kursus Persiapan Hidup
Berkeluarga, materi-materi yang diberikan dalam pendidikan pranikah meliputi:
Ajaran Gereja tentang Perkawinan. Tujuannya adalah agar calon mempelai
memahami arti dan makna perkawinan secara umum dan memahami
kekhasan perkawinan Kristen sehingga diperoleh wawasan yang
mendalam tentang ajaran Gereja mengenai perkawinan.77
Komunikasi Keluarga. Tujuannya adalah agar calon mempelai memahami
peran komunikasi dalam membangun perkawinan yang sejahtera;
menambah keterampilan berkomunikasi sehingga dapat mencapai tingkat
77
komunikasi yang mendalam sepenuh pikiran dan perasaan, bahkan
pengalaman rohani.78
Psikologi Pria dan Wanita. Tujuannya adalah agar pasangan suami-istri
memahami psikologi pria dan wanita secara mendalam.79
Reproduksi Manusia dan Pengaturannya. Tujuannya adalah untuk
memberikan pemahaman kepada pasangan suami-istri tentang anatomi dan
faal organ reproduksi manusia, serta cara mengendalikan kesuburan
sehingga diperoleh wawasan yang menyeluruh mengenai kehidupan
seksual suami-istri.80
Keluarga Berencana Alamiah. Tujuannya agar pasangan suami-istri
memahami Keluarga Berencan dengan memakai Metode Ovulasi Bilings
(MOB).81
Ekonomi Rumah Tangga. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan sikap
terbuka antara suami, istri dan anak dalam usaha mengelola dana, waktu
dan daya yang tersedia secara bertanggung jawab dan mengacu ke masa
depan melalui anggaran dialog cinta.82
Materi-materi di atas merupakan hal-hal pokok yang menjadi panduan dalam
pendidikan pranikah. Namun ada juga tambahan beberapa materi dengan
pertimbangan berbagai perkembangan yang terjadi disekitar kehidupan
pernikahan dan keluarga, antara lain:
78
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 28.
79
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 39
80
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 49.
81
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 58.
82
Persiapan Teknis Menghadapi Perkawinan. Tujuannya adalah agar calon
suami-istri mempersiapkan administrasi dan teknis pelaksanaan
pernikahan mereka dengan baik.83
Gender dan permasalahannya. Pemahaman mengenai gender dan
permasalahannya merupakan sebuah pengetahuan yang penting untuk
membekali pasangan suami-istri agar hidup setara, saling menghormati
dan saling menghargai.84
Pendidikan Nilai Hakiki dalam Keluarga. Tujuannya adalah agar pasangan
suami-istri memahami bahwa keluarga merupakan pendidik yang pertama
dan utama bagi anak-anaknya.
Membina Keharmonisan Kehidupan Seksualitas. Tujuannya adalah agar
pasangan suami-istri memahami kehidupan seksual yang harmonis.
Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Perawatan Bayi. Tujuannya adalah agar
pasangan suami-istri memahami perawatan kehamilan dan perawatan bayi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
materi-materi yang disiapkan dalam pendidikan pranikah yang dilaksanakan oleh
Gereja meliputi berbagai aspek dalam kehidupan keluarga. Tidak hanya
pemahaman mengenai konsep pernikahan dan keluarga Kristen saja yang
diberikan dalam proses persiapan, namun aspek psikologis, ekonomi, komunikasi
dan seksual juga penting diperkenalkan dari sudut pandang Kristiani. Dengan
demikian maka Gereja juga mengambil tanggung jawab membentuk keluarga
83
Brayat Minulyo, Kursus Persiapan, 76.
84
Kristen yang mampu membuktikan imannya dalam kehidupan keluarga secara
utuh.
2.6.Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Pranikah
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pranikah tidak selalu berjalan dengan
lancar. Di samping berbagai faktor pentingnya melakukan program ini, namun
juga terdapat berbagai penghambat. Berikut ini merupakan beberapa faktor
pendorong dan penghambat pelaksanaan pendidikan pranikah menurut Tim Pusat
Pendampingan Keluarga Brayat Minulyo:85
2.6.1. Faktor Pendukung
a) Dalam prespektif sosial, kenyataan menunjukan bahwa beberapa
keluarga mengalami kesulitan yang disebabkan karena kurang
persiapan dalam pernikahan. Oleh sebab itu pengertian mengenai
martabat pernikahan dan hidup berkeluarga harus jelas bagi
muda-mudi, terkhususnya di era globalisasi yang diwarnai oleh media
massa yang begitu kuat pengaruhnya, radio, TV, film, majalah, dan
sebagainya.
b) Dalam prespektif pastoral, keluarga yang baik perlu dipersiapkan
lama sebab keluarga yang baik adalah faktor utama untuk
keselamatan (kesejahteraan), baik pribadi, masyarakat, maupun
gereja.
85
2.6.2. Faktor Penghambat
a) Sampai saat ini, persiapan pernikahan di berbagai tempat masih
diserahkan kepada pastor paroki/pendeta setempat dengan kursus
kilat. Waktu yang tersedia sangat pendek dan tidak ada kesamaan
waktu yang tersedia. Padahal seharusnya persiapan pernikahan
yang efektif menuntut waktu, metode dan kerja sama dari berbagai
bidang yang terkait.
b) Dalam kursus pernikahan, tidak jarang, seorang pastor/pendeta
terpaksa merangkap tugas sebagai ekonom, psikolog, dokter dan
moralis sekaligus, yang kadang-kadang bukan merupakan
kompetensinya.
c) Di lain pihak bagi para calon yang berkepentingan, persiapan
pernikahan merupakan hal yang tidak menguntungkan sebab bekal
yang mereka perlukan untuk hidup berkeluarga bukan hanya moral
dan teologi perkawinan, melainkan juga hal-hal praktis, seperti
kesehatan, ekonomi rumah tangga, psikologi, komunikasi
suami-istri, pendidikan anak, dan sebagainya.
d) Kenyataan menunjukkan bahwa banyak calon pasangan suami-istri
terpaksa cepat-cepat harus melangsungkan perkawinan tanpa
bimbingan yang memadai dan menyeluruh.
Berkaitan dengan suksesnya sebuah pendidikan (dalam hal ini berkaitan
dengan pendorong dan penghambat sebuah pendidikan Kristen) maka Thomas
secara implisit ataupun eksplisit harus dijawab oleh mereka yang terlibat didalam
prosesnya:86
1) Secara khusus apa yang harus diajarkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidik Kristen bisa
mengidentifikasi berbagai area pengetahuan, pengertian, nilai-nilai,
sikap dan kemampuan. Adalah penting untuk membangun dasar
alkitabiah dan teologi di titik ini sambil tetap memperhatikan area
kehidupan Kristen lainnya. Bahkan pada usia yang masih sangat
muda, anak-anak bisa dipaparkan kepada konsep-konsep teologi.
2) Mengapa area ini harus diajarkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidik bisa menjelaskan secara
garis besar tujuan umum dan tujuan khusus pelayanannya seperti yang
dijelaskan melalui studi Alkitab, doa, kebergantungan pada Roh
Kudus secara sadar dan evaluasi cermat terhadap kebutuhan peserta
didik. Kebutuhan harus selalu dibandingkan dengan tuntutan Tuhan
dan tanggung jawab kita di hadapan Tuhan. Ada kebutuhan yang
rumit, tetapi budaya mungkin mendefenisikan kebutuhan yang harus
dipertanyakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai alkitabiah.
3) Di manakah pengajaran dilaksanakan?
Suatu situasi atau seting akan mempengaruhi apa yang bisa dicapai
secara wajar dengan sumber daya dan keterbatasan yang ada. Faktor
budaya yang unik, sosial dan ekonomi harus diperhitungkan juga oleh
86
para pendidik. Konteks pengajaran mungkin bisa memberikan batasan
yang jelas yang mempengaruhi pengambilan keputusan tentang
kurikulum.
4) Bagaimana pengajaran dilakukan?
Pendidik harus mempertimbangkan metode-metode yang paling tepat
untuk pengajaran. Ada banyak variasi metode yang konsisten dengan
kebenaran yang diajarkan yang bisa digunakan dalam pengajaran.
Demikian juga dalam masyarakat Barat yang berorientasi pada media,
lebih banyak materi visual harus digunakan untuk menjaga
ketertarikan peserta didik. Pertanyaan “bagaimana” juga dilibatkan
dalam membuat keputusan tentang perngorganisasian konten yang
akan diajarkan dan hubungan saling terkait antar berbagai komponen
dalam kurikulum yang bisa memfasilitasi proses integrasi dan transfer
pembelajaran pada situasi lain.
5) Kapankah seharusnya berbagai macam area pengetahuan diajarkan?
Pendidik Kristen menentukan tingkat kesiapan peserta didik dan
pendidiknya untuk berhadapan dengan berbagai area iman Kristen
yang sudah dipilih untuk masih ke dalam pengajaran. Kedewasaan
rohani dan usia yang berkaitan dengan pengalaman hidup menjadi dua
faktor yang harus dipertimbangkan. Pemilihan waktu yang tepat
menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembelajaran
sebelumnya dan pembelajaran yang sudah diantisipasi serta kejadian
6) Siapa yang diajar dan siapa yang mengajar?
Dengan mengerti kehidupan dan kebutuhan peserta didik,
mengarahkan pada dasar yang penting untuk pemilihan dan
pengembangan kurikulum apa saja. Pendidik Kristen harus juga
mengerti karunia yang mereka miliki dengan keunikan yang
menggabungkan kekuatan dan kelemahan mereka. Semua orang yang
terlibat dalam pelayanan pendidikan membutuhkan dukungan dan
dorongan personal yang menjadi ciri dari persekutuan Kristen. Relasi
menjadi sarana untuk mengomunikasikan kebenaran Allah yang
hidup.
7) Apakah prinsip yang menyatukan semuanya?
Apa yang menyatukan, mengintegrasikan dan menjadi puncak
pengalaman pendidikan dalam arti perencanaan, implementasi dan
evaluasi? Dalam pendidikan Kristen ketertarikan pada elemen Alkitab,
teologi dan filosofi bisa menjadi sarana untuk mengidentifikasikan
prinsip-prinsip yang memiliki nilai universal dan menyingkapkan apa
yang mungkin dianggap benar oleh semua orang yang terkait dalam
pendidikan Kristen yang benar.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor
penghambat terlaksananya pendidikan pranikah bagi jemaat terletak pada dua sisi,
yaitu jemaat itu sendiri dan penyelenggara pendidikan pranikah. Kurangnya
mereka tidak merasa perlu untuk mengikuti program tersebut. Selain itu banyak
juga jemaat yang terpaksa untuk melaksanakan pernikahan terburu-buru karena
berbagai macam faktor salah satunya seperti sudah hamil diluar pernikahan,
sehingga pelaksanaan pendidikan pranikah tidak mungkin untuk diikuti dengan
baik. Di lain sisi, pihak penyelenggara pendidikan pranikah juga berkontribusi
sebagai penghambat pelaksanaan pendidikan pranikah bagi jemaat. Secara umum
pelaksana pendidikan pranikah dilakukan oleh pendeta jemaat, sehingga waktu
dan materi yang dipersiapkan sangat terbatas. Kurikulum yang diajarkan terbatasi
dengan kompetensi pengajarnya dalam hal ini para pendeta. Sedangkan faktor
pendorong terlaksananya pendidikan pranikah juga memiliki dua sisi, yaitu
dimensi sosial dan teologis. Secara sosial, calon pasangan suami-istri perlu
dipersiapkan dengan baik demi menghindari penyakit-penyakit sosial seperti
perceraian, perselingkuhan dan sebagainya. Di sisi yang lain, secara teologis,
keluarga yang baik adalah faktor utama untuk keselamatan (kesejahteraan), baik
pribadi, masyarakat, maupun gereja oleh sebab itu perlu dipersiapakan dengan