• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi dan Nilai Ekonomi Cadangan Karbon pada Jalur Hijau Studi kasus : Tujuh Jalur Hijau Jalan di Lima Kecamatan Kota Pematang Siantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi dan Nilai Ekonomi Cadangan Karbon pada Jalur Hijau Studi kasus : Tujuh Jalur Hijau Jalan di Lima Kecamatan Kota Pematang Siantar"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Jalur Hijau Jalan

Ketika orang berbicara tentang kota dan perkotaan yang biasa terlintas

dalam benak semua orang adalah aneka rona kepadatan: bangunan, lalu lintas,

manusia, barang, dan lain-lain. Bangunan-bangunan di kota besar dan kota raya

atau metropolitan semakin berjubel dan semakin menjulang tinggi. Kepadatan lalu

lintas semakin nyata, mengakibatkan kemacetan dimana-mana. Sehingga ada yang

menyatakan bahwa jalan raya di ibukota kita nyaris seperti tempat parker

terpanjang di dunia. Kepadatan manusianya pun tidak kalah menegrikan,

berakibat pada merebaknya pemukiman kumuh, baik dalam bentuk perkampungan

kumuh legal (slums) maupun maupun perkampungan kumuh liar (squatters)

(Budiharjo, 2003)

Jalur hijau jalan merupakan daerah hijau sekitar lingkungan permukiman

atau sekitar kota-kota, bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunan,

mencegah dua kota atau lebih menyatu, dan mempertahankan daerah hijau,

rekreasi, ataupun daerah resapan hujan. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa jalur hijau diperuntukkan sebagai

resirkulasi udara sehat bagi masyarakat guna mendukung kenyamanan lingkungan

dan sanitasi yang baik.

Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Terdapat beberapa

struktur pada jalur hijau jalan, yaitu daerah sisi jalan, median jalan, dan pulau lalu

lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk

(2)

perlindungan terhadap bentukan alam (Carpenter, Walker, dan Lanphear, 1975

dalam Armis, 2011)

Jalur hijau jalan dapat berperan untuk mengurangi polusi akibat emisi dari

kendaraan, yang antara lain berbentuk gas pencemar dan partikel padat. Seperti

disebutkan oleh Grey dan Deneke (1978) dalam Desianti (2011), tanaman dapat

mengurangi konsentrasi polutan di udara melalui pelepasan oksigen dan

pencampuran antara udara tercemar dengan udara bersih. Tanaman dapat

mengurangi polusi udara melalui penyerapan gas pencemar dan penjerapan

partikel. Karena itu, perkembangan jalan juga perlu memperhatikan

pengembangan jalur hijau jalan.

Pencemaran Udara

Polusi atau pencemaran pada awalnya merupakan definisi yang diberikan

terhadap hal-hal yang menyebabkan gangguan kesehatan umum. Sekarang ini

penekanan polusi telah bergeser ke arah kualitas hidup. Pengertian polusi meluas

mencakup semua bentuk degradasi lingkungan. Simonds (1978 dalam Desianti,

2011) menjelaskan bahwa polusi terjadi ketika suatu aktivitas atau proses

menghasilkan produk samping yang mengganggu dan mengakibatkan

terganggunya susunan atau sstem alami atau buatan.

Udara merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia. Tanpa

udara, tidak ditemukan adanya kehidupan. Manusia bernapas dengan udara.

Tercemarnya udara akan menyulitkan pernapasan sehingga kualitas kehidupan

menurun (Frick dan Suskiyanto, 2007 dalam Desianti, 2011). Komposisi udara

(3)

dan unsur-unsur lain (Simonds, 1978 dalam Desianti, 2011). Fardiaz (1992 dalam

Desianti 2011) menjelaskan bahwa udara di alam tidak pernah ditemukan dalam

keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Proses-proses alami seperti aktivitas

vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya

menghasilkan produk samping berupa gas-gas sulfur dioksida, hidrogen sulfida,

dan karbon monoksida.

Pencemaran udara adalah adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam

udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari dalam

keadaan normalnya (Wardhana, 2001 dalam Desianti, 2011). Kehadiran bahan

atau zat asing ini pada jumlah tertentu dan waktu yang cukup lama akan dapat

mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan binatang.

Grey dan Deneke (1978 dalam Desianti 2011) menyebutkan bahwa

polutan udara dapat berbentuk gas maupun partikel. Komponen pencemar udara

yang banyak berpengaruh pada pencemaran udara yaitu karbon monoksida (CO),

nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidrokarbon (HC), partikel

(particulate). Jenis-jenis polutan ini termasuk dalam golongan pencemar udara

primer yang jumlahnya mencakup 90% dari jumlah total polutan udara. Kelima

kelompok pencemar udara primer ini memiliki dampak negatif bagi kesehatan

manusia

Karbon

Pada umumnya unsur karbon menyusun 45-50% bahan kering (biomassa)

dari tanaman. Sejak jumlah CO2 meningkat secara drastis di atmosfer sebagai

(4)

jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Kegiatan deforestasi menghasilkan emisi

tahunan yang tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap efek rumah

kaca. Emisi gas terbesar yang dihasilkan kegiatan deforestasi adalah CO2. Karbon

tersimpan dalam bahan yang sudah mati seperti serasah, batang pohon yang jatuh

ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore,

1985 dalam Maretnowati, 2004).

Hutan, tanah, laut, dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang

berpindah secara dinamis di antara tempat-tempat penyimpanan tersebut

sepanjang waktu. Tempat penyimpanan ini disebut dengan kantong karbon aktif

(active carbon pool). Penggundulan hutan akan mengubah kesetimbangan karbon

dengan meningkatkan jumlah karbon yang berada di atmosfer dan mengurangi

karbon yang tersimpan di hutan, tetapi hal ini tidak menambah jumlah

keseluruhan karbon yang berinteraksi dengan atmosfer.

Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer melalui proses

fotosintesis dengan menyerap CO2 dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan.

Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon

tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Penyusun

vegetasi baik pohon, semak, liana, dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas

permukaan. Akar tumbuhan di bawah permukaan tanah juga merupakan

penyimpan karbon selain tanah itu sendiri (Sutaryo, 2009 dalam Roesyane, 2010).

Peranan Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat

(5)

peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab

terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas

Rumah Kaca (GRK) di atmosfer di mana peningkatan ini menyebabkan

kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas (Wahyu, 2010

dalam Karo, 2011).

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 di mana dengan

bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu

menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini

antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh

menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus

sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara

umum hutan dengan “net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang

berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan

hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stok karbon

tetapi tidak menyerap CO2 berlebih. Dengan adanya hutan yang lestari maka

jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak semakin lama. Oleh

karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau

merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di

atmosfer (Adinugroho, et al, 2009 dalam Karo, 2011).

Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di

kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan

C (rosot C=C sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh

karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan

(6)

atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat resprasi

dan dekomposisi serasah, namun pelaksanaannya terjadi secara bertahap, tidak

sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang

besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau

perkebunan maka jumlah karbon yang tersimpan akan merosot (Hairiah dan

Rahayu, 2007 dalam Karo, 2011).

Hairiah dan Rahayu (2007 dalam Karo, 2011), juga menyatakan bahwa

jumlah karbon tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman

dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.

Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan

tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah

(biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam

tanah (bahan organik tanah, BOT).

Nilai Ekonomi Karbon

Nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu

pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan

merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga.

Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan

seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang

diinginkannya.

Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan

konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson

(7)

kota, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks,

mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik.

Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis

besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan

nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994;

Turner, Pearce dan Bateman 1994 dalam Tyaspambudi 2014). Selanjutnya

dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai

penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung

(indirect use value) dan nilai pilihan (option value).

Pengelolaan lingkungan dengan baik diperlukan sumber daya yang bukan

hanya dari manusia saja, tetapi juga sarana dan prasarana yang berkaitan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan tersebut. Misalnya untuk mengelola

taman rekreasi diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Dimana dalam hal

ini biaya sangat diperlukan sebagai suatu nilai atau rasio yang dapat digunakan

untuk mengukur seberapa besar nilai guna atau manfaat terhadap lingkungan dari

kegiatan pengelolaan jasa lingkungan sumber daya tersebut (Suparmoko, 2000).

Namun nilai ekonomi dalam keberadaan karbon sangat tergantung kepada

keberadaan vegetasi yang terdapat pada sumberdaya hutan, dimana jika luas hutan

primer terus berkurang dan vegetasinya mengalami kerusakan, maka dengan

sendirinya potensi karbon akan berkurang, dan sekaligus nilai ekonominya juga

akan berkurang. Disamping itu nilai ekonomi karbon juga tergantung kepada

harga dan nilai jual dari karbon, serta dipengaruhi oleh harga dan skema

perdagangannya. Pada saat ini munculnya kompensasi jasa lingkungan melalui

(8)

masyarakat lokal melalui alternatif pendapatan melalui penjualan jasa hutan, dan

dapat memperbaiki produktivitas lahan.

Dalam periode antara 2008 dan 2012, Protokol Kyoto menetapkan

target-target bagi negara-negara industri untuk menurunkan polusi mereka. Protokol ini

juga memberikan keleluasaan bagi mereka untuk melakukannya, yang berarti

bahwa mereka dapat memenuhi target-target ini dengan cara yang berbeda.

Negara-negara industri (disebut juga negara-negara “maju”) yang telah berikrar

dan karenanya harus mememenuhi target. Target ini dicantumkan dalam Annex 1

Protokol Kyoto, dan di UNFCCC dan Protokol Kyoto mereka disebut “Annex 1

Parties” (Para Pihak Annex 1). Beban yang jauh lebih berat untuk mengurangi

emisi gas rumah kaca dibebankan kepada negara-negara maju. Hal ini dipandang

adil karena mereka mampu membayar biaya pengurangan emisi dan juga secara

historis, kontribusi negara-negara maju dalam pelepasan gas rumah kaca jauh

lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang. Ini disebut sebagai prinsip

“tanggung jawab yang sama namun berbeda”(Soriano, 2010).

Hasil-Hasil Penelitian yang Terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Hafsah Purwasih (2013) yang berjudul

Potensi Cadangan Karbon pada Beberapa Jalur Hijau di Kota Medan. Jalur Hijau

Jalan Kota Medan memperoleh hasil potensi total serapan karbon sebesar

6.044,234 tonCO2/Ha dan total simpanan karbon yang diperoleh adalah 1.646,930

tonC/Ha dari total biomassa yang diperoleh sebesar 3.580,283 ton/Ha. Total

keseluruhan tanaman yang diperoleh pada jalur hijau penelitian di Kota Medan

(9)

Penelitian yang dilakukan Julian Hisky Tyaspambudi (2014) dengan judul

Valuasi Ekonomi Ruang Terbuka Hijau sebagai Penyerap Karbon dan Penghasil

Oksigen (Kasus: Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera

Utara) menghasilkan total kandungan karbon Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar

298,57 tonC/Ha dari tiga bentuk RTH yaitu hutan kota, taman buah dan jalur

hijau. Dengan nilai ekonomi yang dihasilkan berdasarkan pendekatan harga

karbon menurut Pirard (2005) yaitu Rp 22.087.900,18,- ; Rp 33.131.850,27,- dan

Rp 45.884.907,46,-

Penelitian yang dilakukan Samosir tahun 2011 yang berjudul Potensi

Karbon Tersimpan di Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara mengatakan

sebagian besar karbon tersimpan pada tegakan mahoni yaitu 212,15 ton C

(94,10%), diikuti tegakan sengon 5,58 ton C (2,48%), tegakan jati 5,48 ton C

(2,43%), tegakan pulai 2,06 ton C (0,92%), tegakan rambutan 0,17 ton C (0,08%).

Total karbon tersimpan untuk seluruh hutan Tri Dharma USU mencapai 225,45

ton C.

Tegakan pada lokasi penelitian dikelompokkan menjadi lima (5) jenis

tegakan yaitu tegakan mahoni, sengon, jati, pulai dan rambutan. Karbon tersimpan

untuk jenis mahoni paling tinggi yaitu 389,98 kg/pohon, diikuti jenis jati 260,81

kg/pohon, sengon 169,12 kg/pohon, pulai 128,97 kg/pohon, dan rambutan 87,04

kg/pohon.

Nilai hasil perhitungan potensi karbon tersimpan di hutan Tri Dharma

USU berbanding lurus dengan diameter pohon, semakin besar diameter pohon

maka kandungan karbon tersimpan akan semakin besar pula. Batang merupakan

(10)

linear berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga semakin tinggi

selulosa maka kandungan karbon akan semakin tinggi. Adanya variasi horizontal

mengakibatkan adanya kecendrungan variasi dari kerapatan dan juga komponen

kimia penyusun kayu. Semakin besar diameter pohon diduga memiliki potensi

selulosa dan zat penyusun kayu lainnya akan lebih besar. Faktor tersebut

menyebabkan pada tegakan dengan diameter yang lebih besar akan memiliki

(11)

KONDISI UMUM PENELITIAN

Profil Wilayah

Gambar 1. Peta administrasi Kota Pematang Siantar

Kota Pematang Siantar merupakan kota perdagangan yang secara geografi

diapit Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan perkebunan karet, sawit,

teh, dan pertanian. Kemudian kota ini juga menghubungkan jalan darat ke

kabupaten-kabupaten lainnya, seperti Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Tapanuli

Selatan. Sehingga, posisinya sangat strategis sebagai kota transit perdagangan

antar kabupaten atau transit wisata ke Danau Toba Parapat.

Sebagai kota perdagangan, secara geografi Pematang Siantar diapit

Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan perkebunan karet, sawit, teh, dan

pertanian. Kemudian kota ini juga menghubungkan jalan darat ke

(12)

Sehingga, posisinya sangat strategis sebagai kota transit perdagangan antar

kabupaten atau transit wisata ke Danau Toba Parapat.

Kota Pematang Siantar mempunyai visi dalam pembangunan kotanya

yaitu ”Terwujudnya Kota Pematang Siantar yang memiliki jati diri kota dalam

daerah otonom yang maju, demokratis, berbudaya rukun dan harmonis yang

didukung oleh masyarakat Kota Pematang Siantar yang beriman, bermoral,

tangguh, produktif, berdaya saing dan mampu bekerja sama dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia”

Untuk mewujudkan visi di atas, maka yang menjadi misi dalam rencana

tata ruang wilayah Kota Pematang Siantar yaitu pembentukan jati diri Kota

Pematang Siantar yang mempunyai karakteristik berdasarkan pertimbangan

historis dan nilai budaya geografis dan fisik kota, potensi sumber daya, fungsi

kota dan kajian planologi kota, arsitektur bangunan dan sebagainya.

Kota Pematang Siantar terdiri dari 8 (delapan) kecamatan yaitu Kecamatan

Siantar Marihat, Siantar Marimbun, Siantar Selatan, Siantar Barat, Siantar Utara,

Siantar Timur, Siantar Martoba dan Siantar Sitalasari dengan jumlah kelurahan

sebanyak 53 kelurahan.

Tabel 1. Luas wilayah Kota Pematang Siantar

No Kecamatan Luas (Km2)

1 Siantar Marihat 7,825

2 Siantar Marimbun 18,006

3 Siantar Selatan 2,020

4 Siantar Barat 3,205

5 Siantar Utara 3,650

6 Siantar Timur 4,520

7 Siantar Martoba 18,022

8 Siantar Sitalasari 22,723

Total 79,971

(13)

Letak Geografis

Secara geografis wilayah Kota Pematang Siantar berada antara 3° 01’ 09”

- 2° 54’ 40” Lintang Utara dan 99° 6’ 23” – 99° 1’ 10” dengan luas wilayah 79,97

km2 dengan batas-batas sebagai berikut :

฀ Batas Utara : Kabupaten Simalungun

฀ Batas Selatan : Kabupaten Simalungun

฀ Batas Timur : Kabupaten Simalungun

฀ Batas Barat : Kabupaten Simalungun

Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Siantar Martoba

(40,75 km2) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Siantar

Selatan (2,02 km2). Struktur geologis wilayah ini adalah berada pada ketinggian

0,5-5 meter di atas permukaan laut dengan permukaan tanah yang berbukit-bukit

(Dinas Kabupaten/Kota Pematang Siantar, 2002).

Sebagian besar kondisi jalan-jalan di kota ini bisa dikatakan relatif baik,

dengan keseluruhan total jalan 321,97 km.

Tabel 2. Data jalan di Kota Pematang Siantar

NO. URAIAN SATUAN BESARAN

I. Data Jenis Permukaan

1. Nama Pengelola : Sub Dinas Bina Marga Kota Pematang Siantar

2. Panjang total Km 321,97

(14)

Demografi

Penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2010 mencapai 234.698 jiwa

yang tersebar pada 8 (delapan) kecamatan, dimana Kecamatan Siantar Utara

merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dengan 46.423

jiwa, sementara Kecamatan Siantar Marimbun merupakan kawasan dengan

jumlah penduduk terkecil, yaitu 14.642 jiwa. Adapun kepadatan penduduk

tertinggi terjadi di Kecamatan Siantar Utara diikuti Siantar Barat dan Siantar

Timur yaitu masing-masing 12.719 jiwa/km2, 10.915 jiwa/km2 serta 8.508

jiwa/km2.

Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan perdagangan dan jasa

terkonsentrasi di ketiga kecamatan tersebut sedangkan di sisi lain kecamatan

kecamatan yang mengalami kepadatan penduduk sedang dan rendah merupakan

area yang didominasi oleh permukiman maupun pertanian. Dari segi jenis

kelamin, penduduk berjenis kelamin perempuan di Kota Pematangsiantar pada

tahun 2010 berjumlah 120.137 jiwa dan penduduk laki-laki berjumlah 114.561

Gambar

Gambar 1. Peta administrasi Kota Pematang Siantar
Tabel 1. Luas wilayah Kota Pematang Siantar No Kecamatan
Tabel 2. Data jalan di Kota Pematang Siantar NO.  URAIAN    SATUAN

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menyebabkan jumlah biomassa yang terdapat pada suatu pohon berbeda karena semakin besar diameter suatu pohon maka akan semakin besar pula biomassa dan karbon yang

Hal ini menyebabkan jumlah biomassa yang terdapat pada suatu pohon berbeda karena semakin besar diameter suatu pohon maka akan semakin besar pula biomassa dan karbon yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besar potensi cadangan karbon pada tegakan pohon, dan nilai ekonomi cadangan karbon pada tegakan pohon di hutan primer resort

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besar potensi cadangan karbon pada tegakan pohon, dan nilai ekonomi cadangan karbon pada tegakan pohon di hutan primer resort

Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar