• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkompatibilitas Antara Injeksi Dexamethasone dengan Larutan Parenteral yang Mengandung Kalsium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inkompatibilitas Antara Injeksi Dexamethasone dengan Larutan Parenteral yang Mengandung Kalsium"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parenteral

Jalur pemberian obat parenteral merupakan jalur dimana obat dimasukkan ke dalam tubuh pasien menggunakan jarum suntik. Ada empat rute parenteral yang umum digunakan, yaitu: intradermal (ID), subkutan (SC), intramuskular (IM), dan intravena (IV). Pilihan jalur parenteral yang akan digunakan ditentukan oleh resep berdasarkan sifat obat, onset efek terapeutik yang diinginkan, dan kebutuhan pasien (Kamienski dan Keogh, 2015).

2.1.1 Intravena

Injeksi intravena digunakan untuk memberikan onset obat yang cepat karena obat langsung disuntikkan ke sistem sirkulasi. Area injeksi dapat di vena sefalika, atau kubiti di lengan, atau vena dorsal di tangan. Injeksi intravena menggunakan jarum berukuran 21-23 gauge dengan panjang 1 sampai 1,5 inci. Obat dapat diberikan langsung ke pembuluh darah dengan jarum suntik, melalui kateter intermiten yang diinsersikan ke pembuluh darah pasien, serta dapat disuntikkan dalam cairan infus atau diberikan sebagai infus (piggyback) (Kamienski dan Keogh, 2015). Larutan bervolume besar atau kecil dapat diberikan ke dalam vena untuk mendapatkan efek lebih cepat, tetapi pemberian melalui rute ini potensial berbahaya karena obat tidak dapat dikeluarkan kembali setelah diberikan (Agoes, 2009).

(2)

teknik peracikan; pengeluaran darah yang menyebabkan bengkak, dan flebitis (Phillips dan Gorski, 2014).

2.1.2 Dasar pemberian cairan intravena

Pemberian cairan infus intravena (parenteral) merupakan pemberian cairan dan elektrolit kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan cairan rumatannya karena tidak dapat dilakukan pemberian secara oral atau untuk memberikan cairan pengganti secara cepat akibat kehilangan cairan. Pemberian cairan intravena juga merupakan tindakan yang sering dilakukan pada kondisi gawat darurat yang sangat menentukan keselamatan hidup pasien (life saving), seperti pendarahan hebat, diare berat dan luka bakar. Selain untuk pemberian cairan dan elektrolit, jalur intravena dapat juga sebagai jalur untuk memasukkan obat dan nutrisi (Hardisman, 2015)

2.2 Injeksi Dexamethasone

2.2.1 Uraian umum deksametason natrium fosfat Rumus Bangun:

Gambar 2.1 Rumus bangun deksametason natrium fosfat Rumus Molekul : C22H28FNa2O8P

(3)

Pemerian : serbuk hablur; putih agak kuning; tidak berbau etanol; sangat higroskopis

Kelarutan : mudah larut dalam air; sukar larut dalam etanol; sangat sukar larut dalam dioksan; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter

(Ditjen POM, 1995) Injeksi dexamethasone tiap ml (1 ampul) mengandung deksametason natrium fosfat 5,465 mg setara dengan deksametason fosfat 5 mg. Injeksi intravena 5 mg/ml, dalam kotak 100 ampul (Ditjen POM, 1989).

lnjeksi Deksametason Natrium Fosfat adalah larutan steril Deksametason Natrium Fosfat dalam air untuk injeksi. Mengandung Deksametason Fosfat, C22H30FO8P, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 115,0% dari jumlah

yang tertera pada etiket, sebagai garam dinatrium. pH injeksi deksametason natrium fosfat antara 7,0 dan 8,5 (Ditjen POM, 1995).

Dapat diberikan tanpa diencerkan atau dapat ditambahkan ke glukosa intravena atau normal salin dan diberikan melalui infus. Untuk intravena digunakan 24 mg/mL, sedangkan 4 mg/mL dapat digunakan untuk intramuskular (Gahart dan Nazareno, 2014).

Penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap untuk menghindari pengendapan gejala insufisiensi adrenal. Pasien harus diamati, terutama dalam keadaan stres, hingga 2 tahun. Gunakan dosis tunggal sebelum jam 09.00 pagi untuk mengurangi penekanan aktivitas adrenokortikol individu (Gahart dan Nazareno, 2014).

(4)

Tabel 2.1 Solution compatibility chart dexamethasone

2.2.2 Dosis umum

Dosis standar: 0,5-24 mg setiap hari untuk injeksi intravena/infus, dosis bervariasi tergantung pada kondisi pasien. Dosis dapat dibagi menjadi 2 sampai 4 dosis. Injeksi dexamethasone biasanya diberikan dalam situasi darurat atau ketika tidak layak diberikan dosis oral. Total dosis biasanya tidak melebihi 80 mg/24 jam. Pengobatan untuk dosis tinggi biasanya digunakan tidak lebih dari 48 sampai 72 jam hingga kondisi pasien stabil (Gray, et al., 2011; Gahart dan Nazareno, 2014).

2.2.3 Farmakologi

(5)

2.2.4 Indikasi dan kontraindikasi

Digunakan sebagai terapi tambahan untuk reaksi alergi/hipersensitif parah, pengurangan daerah edema akut (edema serebral, edema saluran napas), insufisiensi adrenokortikol, antimuntah untuk kemoterapi-induksi muntah (misalnya, cisplatin). Injeksi dexamethasone dapat diberikan melalui berbagai rute pemberian yang lain misalnya, intramuskular; intra-artikular; intralesi; intrasinovial (Gahart dan Nazareno, 2014).

Kontraindikasi berupa tukak lambung, infeksi akut atau kronis (terutama cacar), diabetes mellitus, osteoporosis, insufisiensi ginjal, kecenderungan tromboemboli (Gahart dan Nazareno, 2014).

2.2.5 Efek samping

Biasanya bersifat reversibel yaitu, sindrom Cushing; ketidakseimbangan elektrolit; sakit kepala; hiperglikemia; reaksi hipersensitivitas termasuk anafilaksis; hipertensi; tukak lambung; pendarahan (Gahart dan Nazareno, 2014).

Sebagai informasi tambahan deksametason juga dapat memberikan efek yang tidak diinginkan yang timbul dari penggunaan jangka pendek (dapat diminimalkan dengan menggunakan dosis efektif terendah dalam waktu singkat) efek seperti peningkatan tekanan darah, retensi natrium dan air, penurunan kalium, penurunan kalsium dan peningkatan glukosa darah (Gray, et al., 2011).

(6)

2.3 Injeksi Kalsium Glukonat

2.3.1 Uraian umum injeksi kalsium glukonat

Injeksi kalsium glukonat adalah larutan steril kalsium glukonat dalam air untuk injeksi. Mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah kalsium yang tertera pada etiket. pH injeksi kalsium glukonat antara 6,0 dan 8,2 (Ditjen POM, 1995). Kompatibilitas injeksi kalsium glukonat dengan larutan infus dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Solution compatibility chart calcium gluconate

(7)

kekurangan kalsium akut parah atau tetani dan untuk menstabilkan miokardium parah dengan peningkatan kalium (Gray, et al., 2011; FDA, 2015).

Dapat diberikan tanpa diencerkan atau dapat diencerkan hingga 1.000 ml normal salin untuk infus. Larutan harus jernih dan bebas dari kristal. Kristal dapat dilarutkan dengan pemanasan sampai 80° C (146° F) dalam oven panas kering kurang lebih 1 jam. Kocok kuat, diamkan pada suhu kamar. Buang jika kristal masih ada. Garam kalsium umumnya tidak dicampur dengan karbonat, fosfat, sulfat, atau tartar (Gahart dan Nazareno, 2014).

2.3.2 Dosis umum

Dosis injeksi kalsium glukonat berupa larutan 10% yaitu 10 g/100 mL atau 100 mg/mL. Dosis untuk pemeliharaan 2 sampai 15 g/24 jam dalam dosis terbagi setiap 6 jam (0,5-3,75 g setiap 6 jam). Jumlah lebih besar dapat diberikan sebagai infus intravena terus-menerus. Injeksi kalsium glukonat 10 mL (1 g dalam larutan 10%) mengandung 4,65 mEq (93 mg) kalsium (Gahart dan Nazareno, 2014). 2.3.3 Farmakologi

Kalsium merupakan elemen dasar yang lazim dalam tubuh manusia yang mempengaruhi tulang, saraf, kelenjar, jantung dan pembuluh darah, dan koagulasi darah normal. Kalsium glukonat disekresi dalam air susu dan diekskresikan dalam urin dan feses. Setelah pemberian secara intravena kadar kalsium dalam darah akan meningkat segera dan dapat kembali normal dalam 30-120 menit (Gahart dan Nazareno, 2014; Gray, et al., 2011).

2.3.4 Indikasi dan kontraindikasi

(8)

malabsorpsi usus, osteomalasia. Garam kalsium kontraindikasi terhadap pasien dengan fibrilasi ventrikel atau hiperkalsemia. Kadar serum kalsium di atas normal merupakan kontraindikasi dari pemberian kalsium secara intravena (Gahart dan Nazareno, 2014; FDA, 2015).

2.3.5 Efek samping

Jarang diberikan sebagai rekomendasi pada bradikardia, aritmia jantung, serangan jantung, hipotensi dan vasodilatasi. Overdosis berupa koma, mual dan muntah, lesu, kadar kalsium plasma meningkat, merasa lemas, dan kematian mendadak. Hanya memiliki sepertiga dari potensi kalsium klorida. Hanya digunakan untuk intravena. Penggunaan intramuskular diizinkan pada orang dewasa jika pemberian intravena tidak dapat dicapai. Dalam monitor perlu dipilih vena yang besar dan mengggunakan jarum kecil untuk mengurangi iritasi vena (Gahart dan Nazareno, 2014).

2.4. Larutan Ringer

Pada label produk larutan Ringer (PT. Widatra Bhakti) tertulis bahwa setiap 500 ml mengandung 4,3 gram natrium klorida (NaCl), 0,15 gram kalium klorida (KCl), 0,165 gram kalsium klorida (CaCl2.H2O) serta air untuk injeksi sampai 500

ml dengan osmolaritas 311 mOsm/L yang setara dengan ion natrium (Na+) 147,1 mEq/L, kalium (K+) 4 mEq/L, kalsium (Ca2+) 4,5 mEq/L dan klorida (Cl-) 155,6 mEq/L.

(9)

ion natrium dalam konsentrasi yang setara dengan yang terdapat dalam plasma (Philips dan Gorski, 2014).

Jangkauan kalium normal adalah 3.5 sampai 5 mEq/L. Kalium adalah kation utama pada cairan intraseluler. Fungsi fisiologisnya meliputi pengaturan volume cairan pada sel; menyebabkan transmisi impuls saraf; kontraksi otot rangka, polos dan jantung; mengontrol konsentrasi H+, keseimbangan asam-basa; ketika kalium berpindah keluar dari sel, H+ berpindah ke dalam dan sebaliknya; peranan dalam aksi enzim untuk produksi energi seluler. Kalium adalah elektrolit intraseluler sebanyak 98% dan 2% pada cairan ekstraseluler. Perubahan kalium di dalam darah dapat menyebabkan aritmia (Akpan, et al., 2013; Phillips dan Gorski, 2014).

Kadar kalsium normal berada dalam kisaran 4.5 sampai 5.5 mEq/L atau 9 sampai 11 mg/dL. Fungsi fisiologis kalsium adalah mempertahankan elemen tulang terutama dalam menguatkan gigi dan tulang; mengatur aktivitas neuromuskular; memastikan otot dan saraf untuk berfungsi baik; mempengaruhi aktivitas enzim; mengubah protrombin menjadi trombin (membantu dalam pembekuan darah). Kekurangan kalsium yang tidak diobati dapat menyebabkan osteoporosis, hipertensi dan aritmia jantung (Philips dan Gorski, 2014; Pravina, et al., 2013).

(10)

2.5 Inkompatibilitas

Inkompatibilitas adalah reaksi yang tidak diinginkan yang terjadi antara obat dengan larutan, wadah atau obat lainnya. Dua jenis inkompatibilitas yang dihubungkan dengan jalur intravena adalah fisika dan kimia (Josephson, 2006; Douglas dan Hedrick, 2001). Inkompatibilitas terjadi ketika dua atau lebih obat diberikan dalam jalur intravena yang sama, menghasilkan reaksi yang tidak diinginkan. Terdapat tiga tipe inkompatibilitas yaitu inkompatibilitas fisika, kimia dan terapetik (Scoville, 2013; Evans dan Dixon, 2006; Philips dan Gorski, 2014). 2.5.1 Inkompatibilitas fisika

Inkompatibilitas fisika mengacu pada reaksi yang terlihat, seperti perubahan warna, kekeruhan, pembentukan endapan, dan pembentukan gas. Jenis yang paling umum dari inkompatibilitas fisika yaitu pembentukan endapan (Philips dan Gorski, 2014).

Inkompatibilitas fisika terjadi ketika kombinasi obat menyebabkan perubahan visual yang dapat diamati (perubahan warna, pembentukan endapan dan pembentukan gas) dan yang tidak dapat diamati (pembentukan partikel-partikel yang tidak dapat diamati secara visual dan variasi pH). Jika pH dari obat-obat diturunkan (karena pencampuran dengan obat-obat injeksi), maka kelarutan obat-obat dalam pH akhir kemungkinan terlewati sehingga akan dihasilkan endapan. Pengendapan dapat pula terjadi akibat pembentukan garam yang relatif tidak larut. Contoh dalam kasus ini adalah hasil campuran antara garam kalsium dengan senyawa fosfat (Agoes, 2009).

(11)

dalam plasma: (1) terionisasi (50% dari total kalsium); (2) terikat (<50% dari total kalsium); dan (3) kompleks (presentase kecil yang berkombinasi dengan fosfat). Hanya kalsium yang terionisasi (contoh, kalsium yang dipengaruhi oleh pH plasma, fosfat dan kadar albumin) yang merupakan fisiologik penting. Hubungan antara ionisasi kalsium dan pH plasma adalah timbal balik. Meningkatnya pH dapat menurunkan persentase kalsium yang terionisasi (Philips dan Gorski, 2014).

Inkompatibilitas secara fisika dapat diamati dengan mengetahui sifat kimia dari bahan yang dicampurkan. Contoh inkompatibilitas secara fisika adalah garam natrium dari asam lemah, seperti fenitoin natrium atau fenobarbital natrium mengendap dalam bentuk asam bebas ketika diberikan bersamaan dengan cairan yang bersifat asam, garam kalsium mengendap ketika ditambahkan medium basa dan obat yang membutuhkan pelarut khusus seperti diazepam mengendap apabila dicampurkan dengan larutan berair karena diazepam kurang larut di dalam air. Kehadiran kalsium dalam obat atau larutan meningkatkan risiko pengendapan jika dicampur dengan obat lain. Sediaan larutan ringer mengandung kalsium, oleh karena itu perlu hati-hati sebelum menambahkan obat untuk larutan ringer (Philips dan Gorski, 2014; Nagaraju, et al., 2015; Gikic, et al., 2000; Foinard, et al., 2013; Felton, 2013).

2.5.2 Inkompatibilitas kimia

(12)

pembentukan kompleks. Penyebab paling umum dari inkompatibilitas kimia adalah reaksi antara obat asam dan basa atau larutan yang menghasilkan tingkat pH yang stabil untuk salah satu obat. Nilai pH yang spesifik atau kisaran nilai pH yang sempit diperlukan untuk pemeliharaan stabilitas obat setelah telah dicampur. Inkompatibilitas kimia yang tidak dapat diamati dapat dideteksi dengan metode analisis (Felton, 2013; Nagaraju, et al., 2015; Foinard, et al., 2013; Philips dan Gorski, 2014).

2.5.3 Inkompatibilitas terapetik

Inkompatibilitas terapi adalah efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada pasien hasil dari dua atau lebih obat yang diberikan bersamaan yang dapat menyebabkan peningkatan terapi atau penurunan respon terapi. Inkompatibilitas terapetik adalah pencampuran yang sulit untuk diamati sebab menghasilkan aktivitas terapetik yang antagonis atau sinergis. Inkompatibilitas ini sering terjadi pada terapi penggunaan dua antibiotik. Misalnya, dengan penggunaan kloramfenikol dan penisilin, kloramfenikol telah dilaporkan antagonis terhadap aktivitas bakteri penisilin. Penisilin atau kortison juga mempunyai efek antagonis terhadap heparin dan menyebabkan heparin tidak bekerja sebagai antikoagulan (Gahart dan Nazareno, 2014; Felton, 2013).

2.6 Kalsium Fosfat

Ada 5 fase kristal kalsium fosfat yang telah diketahui, yaitu Tribasic Calcium Phosphate (TCP), Dwibasic Calcium Phosphate Anhydrate (DCPA),

Dwibasic Calcium Phosphate Dihydrate (DCPD), Octacalcium Phosphate (OCP),

Hydroxyapatite (HAp). Pembentukan fase ini tergantung pada kondisi

(13)

kekuatan ionik konstan (Recillas, et al., 2012). Pada umumnya kelarutan dan keasaman kalsium fosfat meningkat dengan menurunnya rasio Ca/P (Leon, 2009). Pengaruh rasio Ca/P terhadap kelarutan kalsium fosfat dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penurunan kelarutan kalsium fosfat dengan meningkatnya rasio Ca/P (Leon, 2009)

2.7 Kekeruhan

(14)

Gambar 2.3 Ilustrasi efek dari kekeruhan bagaimana cahaya dapat melewati air (Wilson, 2013)

2.7.1 Non-rasiometrik, cahaya putih (Nephelometric Turbidity Units, NTUs) Jenis yang paling umum dari instrumen nefelometrik adalah turbidimeter cahaya putih, yang memiliki detektor tunggal berpusat 90° dari jalur cahaya. Penentuan kekeruhan dengan nefelometrik, mensyaratkan bahwa sumber cahaya nefelometer berupa lampu tungsten (cahaya putih) dioperasikan pada suhu warna 2200-3000° K dan detektor berpusat 90° dari jalur cahaya dan tidak melebihi ± 30° dari 90°. Kisaran yang diterima dari pengukuran dengan alat ini adalah 0-40 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Borok, 2014). Teknik pengukuran kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Teknik pengukuran kekeruhan

(15)

melintasi cahaya untuk merekam cahaya yang tersebar. Nefelometrik biasanya memberikan presisi dan sensitivitas yang lebih besar dari turbidimetri dan biasanya digunakan untuk sampel dengan kekeruhan rendah yang mengandung partikel-partikel kecil (Borok, 2014).

2.7.2 Rasiometrik, cahaya putih (Nephelometric Ratiometric Turbidity Units, NTRUs)

Perbedaan antara instrumen rasiometrik dan non-rasiometrik adalah adanya fotodetektor tambahan yang terletak di sudut lain dari 90° dari datangnya cahaya. Turbidimeter rasiometrik menggabungkan sinyal dari masing-masing detektor secara matematis untuk menghitung kekeruhan sampel. Nefelometer rasio memberikan hasil lebih baik utnuk sampel berwarna (Borok, 2014).

2.7.3 Backscatter/turbidimeters rasiometrik, cahaya putih atau mendekati cahaya IR (Backscatter Unit/BU or Formazin Backscatter Unit/FBU)

Turbidimeter Backscattter menggunakan detektor pada sudut 30° ± 15° untuk sampel dengan kekeruhan tingkat tinggi sedangkan detektor nefelometrik pada sudut 90° untuk kekeruhan tingkat rendah. Perangkat tersebut menentukan kekeruhan dengan menghamburkan cahaya dari atau dekat permukaan sampel. Tipe ini merupakan alat pengukur kekeruhan yang paling tepat untuk kekeruhan tingkat tinggi (hingga 10.000 Unit) (Borok, 2014).

2.8 Pengujian Partikel

(16)

inkompatibilitas yaitu pengendapan yang membentuk partikulat (Josephson, 2006; Douglas dan Hedrick, 2001).

Partikel dalam sediaan parenteral dapat berasal dari berbagai sumber seperti berasal dari larutan itu sendiri dan bahan kimia yang terdapat di dalamnya, proses manufaktur dan variabelnya, seperti lingkungan, peralatan, personalia, komponen kemasan yang berkontak dengan larutan larutan parenteral volume besar, unit dan alat yang digunakan untuk pemberian larutan parenteral volume besar (Agoes, 2008).

Partikel yang terdapat dalam injeksi dianggap dapat menimbulkan bahaya secara klinik. Partikel dapat berdampak menimbulkan granulomasa pada berbagai organ intestinal kelinci, juga embolisme dan flebitis pada manusia. Kapiler pulmonal (kapiler terkecil/terhalus pada tubuh manusia) berukuran 7 µm (Agoes, 2009).

2.8.1 Ukuran partikel

Partikel terdiri dari berbagai ukuran dalam larutan parenteral, untuk yang dapat dideteksi secara visual (umumnya berukuran ≥ 50 μm) atau sub-visibel dengan kisaran 2-50 μm secara umum. Khusus ukuran partikel sub-visibel perlu dilakukan tes analisis spesifik untuk mendeteksinya (Melsungen, 2011).

2.8.2 Interaksi partikel

Interaksi antarpartikel disusun oleh molekul, atom, ion atau agregat dan melibatkan ikatan tarik-menarik dan tolak menolak. Ikatan ini bergantung pada sifat, ukuran, dan orientasi spesies dan jarak pisah di antara partikel fase terdispersi dan medium dispersi (Agoes, 2008).

(17)

dan bergantung pada muatan ionik dan ukuran partikel. Jika jarak antarpartikel satu dengan lain cukup dekat, awan elektron dari molekul atau atom akan tumpang tindih dan sebagai hasilnya, ikatan tolak-menolak terbentuk dan meningkat sangat cepat disertai penurunan jarak. Ikatan ini menunjukkan bahwa ikatan elektrostatik akan lebih dominan apabila jarak partikel relatif jauh (Agoes, 2008).

2.8.3 Particle size analyzer

Ukuran partikel mempengaruhi sifat partikel. Sekarang ini, metode yang paling cepat dan paling banyak digunakan untuk menentukan ukuran partikel adalah dengan photon correlation spectroscopy atau dynamic light scattering. Photon correlation spectroscopy menyediakan pengukuran viskositas medium

dan menentukan diameter pada partikel melalui gerakan Brownian dan sifat penghamburan cahaya (Swarbrick dan Boylan, 2002).

Penetapan metode Dynamic Light Scattering (DLS) didasarkan pada gerak Brown yang berasal dari partikel. Gerak Brown adalah gerakan acak partikel akibat tabrakan dengan molekul pelarut yang mengelilinginya. Kecepatan gerak Brown dipengaruhi oleh ukuran partikel dan suhu. Semakin kecil ukuran partikel semakin cepat gerak Brown partikel tersebut, sedangkan semakin besar ukuran partikel semakin lambat gerak Brown yang terjadi dan semakin tinggi suhu semakin lebih cepat terjadi gerak Brown (Malvern, 2015).

(18)

mengacu pada cara partikel berdifusi dalam cairan (Malvern, 2015). Komponen instrumen metode Dynamic Light Scattering dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Komponen instrumen Dynamic Light Scattering

Gambar

Gambar 2.1 Rumus bangun deksametason natrium fosfat
Tabel 2.1 Solution compatibility chart dexamethasone
Tabel 2.2 Solution compatibility chart calcium gluconate
Gambar 2.3 Ilustrasi efek dari kekeruhan bagaimana cahaya dapat melewati air                     (Wilson, 2013)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Masalah terkait obat sendiri memiliki pengertian kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang berkaitan dengan terapi obat yang dimana hal

Apabila dosis yang diberikan lebih rendah dari dosis standar dapat menyebabkan tidak tercapainya efek terapi obat yang diinginkan sehingga tujuan pengobatan tidak

Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya seperti meningkatkan efek

terapi dapson, pedoman dosis dan cara pemberian obat, interaksi dengan obat lain, dan efek samping yang terjadi pada pasien

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua atau lebih.. obat

 Reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat potensial mengganggu keberhasilan terapi

Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya seperti meningkatkan efek

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tentang profil inkompatibilitas sediaan intravena yang diberikan secara bersamaan pada pasien yang dirawat di ruang ICU RS di Semarang bulan Januari –