• Tidak ada hasil yang ditemukan

Validasi penetapan kadar campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik...[abstrak tidak bisa diupload] - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Validasi penetapan kadar campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik...[abstrak tidak bisa diupload] - USD Repository"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

VALIDASI PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL,

PROPIFENAZON, DAN KAFEIN DENGAN METODE KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Adrian Rendy Irmanto

NIM : 058114010

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

VALIDASI PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL,

PROPIFENAZON, DAN KAFEIN DENGAN METODE KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Adrian Rendy Irmanto

NIM : 058114010

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

Halaman Persembahan

You still are blind if you see a winding road

Because there is always a straight way to the point you

see

Don’t try to looked so wise

Don’t cry ‘cause you’re so right

Don’t try with fakes or fears

Because you will hate yourself in the end

(Akeboshi)

Kupersembahkan karyaku ini untuk :

Tuhan Yang Maha Kuasa

Papa dan Mamaku tercinta

Adik

adikku

Sahabat

sahabatku

(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai dan

melimpahkan kasih karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul VALIDASI PENETAPAN KADAR

CAMPURAN PARASETAMOL, PROPIFENAZON, DAN KAFEIN

DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE

TERBALIK, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

(S.Farm) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Keberhasilan penulis dalam menyusun skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan dan

dukungan dari banyak pihak, baik berupa material, moral, maupun spiritual.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Rita Suhadi,M.Si.,Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

2. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt, selaku dosen pembimbing dan dosen

penguji. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, waktu, kesabaran

dan perhatiannya yang besar selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Lucia Wiwid Wijayanti, M.Si. dan Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku

dosen penguji atas segala masukan berupa kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini.

4. Papa, Mama, Vania, Nana, dan Juan atas doa dan dukungannya.

5. Mas Thomas Arian Adrianto, S.Farm. atas bantuan, masukan, dan

(7)

vii

6. Mas Bimo, Mas Kunto, Mas Parlan, Mas Wagiran, serta Mas Ottok atas

bantuan dan dukungan selama pelaksanaan penelitian ini

7. My best partner Happy yang sekuat tenaga membantu penelitian ini dari awal sampai selesai.

8. Sahabat –sahabatku yang terbaik, Dewi ”Sutok”, Mia, Aster, Tyas `Ndut,

dan Widdy terima kasih atas doa dan dukungannya.

9. Rio atas pinjaman scannernya yang sangat membantu penyusunan skripsi ini.

10.Teman-teman angkatan 2005, terutama kelas FST; Yoyok, Fian, Feli, Lina

Chang, Ong, Totok, Made, Berto, dan Reni, terima kasih atas kebersamaan

selama ini serta doa dan dukungannya.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu.

Semoga Tuhan melimpahkan berkat dan rahmatNya atas segala kebaikan dan

ketulusan yang telah diberikan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi

ini. Akhirnya besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang banyak.

Yogyakarta, Desember2008

(8)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, Desember 2008

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Adrian Rendy Irmanto

Nomor Mahasiswa : 058114010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

VALIDASI PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL,

PROPIFENAZON, DAN KAFEIN DENGAN METODE KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 16 Februari 2009

Yang menyatakan

(10)

ix

INTISARI

Salah satu kombinasi zat aktif yang umum digunakan dalam obat analgesik – antipiretik adalah parasetamol, propifenazon, dan kafein yang memiliki kelarutan dalam etanol yang hampir sama dan serapan maksimum pada daerah UV yang berdekatan. Metode yang dapat digunakan untuk memisahkan sekaligus menetapkan kadar ketiga komponen tersebut yaitu metode KCKT fase terbalik dengan detektor UV.

Kondisi KCKT fase terbalik yang optimal untuk menetapkan kadar ketiga komponen tersebut yaitu kolom DuPont Instruments Zorbax ODS 4,6mm x 25cm; fase gerak metanol : aquabidest (40 : 60) pada flow rate 2 ml/menit serta detektor UV pada panjang gelombang 272 nm. Parameter validitas yang diuji meliputi akurasi, presisi, spesifisitas, linearitas, dan range.

Akurasi ditunjukkan oleh nilai rentang recovery sebesar95,741 – 98,759% untuk parasetamol; 97,760 – 101,220% untuk propifenazon; dan 105,556 – 109,397% untuk kafein. Presisi ditunjukkan oleh nilai CV sebesar 0,978% untuk parasetamol; 1,132% untuk propifenazon; dan 1,128% untuk kafein. Spesifisitas ditunjukkan oleh profil pemisahan ketiga analit dalam campuran. Linearitas ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9999 untuk parasetamol; 0,9991 untuk propifenazon; dan 0,9991 untuk kafein. Range untuk parasetamol antara 239,3998 – 246,6509 ppm; untuk propifenazon antara 148,3515 – 151,6788 ppm; dan untuk kafein antara 50,0863 – 83,9953 ppm.

(11)

x

ABSTRACT

One of active ingredients combination commonly used in analgesic– antipiretic drug is paracetamol, propyphenazone, and caffeine which are have almost similar solubility in ethanol and maximum absorbance at nearly UV range. The method which can be used to separate and quantify those three active ingredients is Reversed Phase High Performance Liquid Chromatography with UV detector.

The optimum condition of RP-HPLC for quantifying those three active ingredients were DuPont Instruments Zorbax ODS 4,6mm x 25cm column; methanol : aquabidest (40 : 60) mobile phase at 2 ml/minute flow rate and UV detector at the wavelength of 272 nm. Validity parameters which were tested including accuracy, precision, specificity, linearity, and range.

Accuracy was proved by recovery range of 95.741 – 98.759% for paracetamol, 97.760 – 101.220% for propyphenazone, and 105.556 – 109.397% for caffeine. Precision was proved by CV of 0.978% for paracetamol; 1.132% for propyphenazone; and 1.128% for caffeine. Specificity was showed by separation profile of those three analytes in mixture. Linearity was proved by correlation coefficient (r) of 0.9999 for paracetamol; 0.9991 for propyphenazone; and 0.9991 for caffeine. Range for paracetamol were between 239.3998 – 246.6509 ppm; for propyphenazone were between 148.3515 – 151.6788 ppm; and for caffeine were between 50.0863 – 83.9953 ppm.

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... . i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

1. Permasalahan... 2

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 5

A. Parasetamol... 5

(13)

xii

C. Kafein ... 6

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi... 7

1. Peralatan KCKT... 7

2. Pembagian Jenis Kromatografi... 12

3. Kromatografi Partisi Fase Balik... 14

4. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif... 16

E. Spektrofotemetri Ultraviolet... 24

F. Kesahihan Metode Analisis Instrumental... 25

1. Akurasi... 26

2. Presisi... 26

3. Limit of Detection... 27

4. Limit of Quantitation... 27

5. Linieritas... 28

6. Spesifisitas... 28

7. Range…………. 28

G. Kesalahan Metode Analisis Instrumental……….…………... 30

1. Kesalahan Sistematik... 30

2. Kesalahan Tidak Sistematik... 31

H. Keterangan Empiris …... 31

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis Rancangan Penelitian ... 33

B. Variabel Penelitian ... 33

(14)

xiii

2. Variabel Pengacau Terkendali... 34

C. Definisi Operasional... 34

D. Bahan Penelitian... 34

E. Alat Penelitian ... 35

F. Tata Cara Penelitian ... 36

1. Pembuatan Larutan Baku Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein... 36

2. Pembuatan Fase Gerak... 37

3. Pengamatan Panjang Gelombang Pengamatan antara Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein dengan Spektrofotometer UV... 38

4. Pengamatan Waktu Retensi Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein... 38

5. Optimasi Pemisahan Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein dengan KCKT... 39

6. Validasi Metode Analisis... 39

F. Analisis Hasil... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Penyiapan Fase Gerak... 42

B. Pembuatan Larutan Baku... 43

C. Optimasi Metode KCKT... 44

1. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Dengan Spektofotometri UV... 44

(15)

xiv

D. Penetapan Kadar Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein dalam Sampel

Simulasi... 60

1. Pembuatan Kurva Baku... 60

2. Penetapan Kadar Parasetamol, Propifenazon, dan Kafein dalam Campuran Sampel Simulasi dan Validasi Metode... 63

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 76

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Nilai indeks polaritas pelarut... 11

Tabel II. Parameter analitik...……… 29

Tabel III. Pengamatan waktu retensi parasetamol, propifenazon, dan kafein pada berbagai perbandingan fase gerak dan flow rate tertentu... 47

Tabel IV. Data kurva baku parasetamol………... 60

Tabel V. Data kurva baku propifenazon………... 61

Tabel VI. Data kurva baku kafein…………... 62

Tabel VII. Hasil penetapan kadar parasetamol dalam sampel simulasi kadar rendah………... 64

Tabel VIII. Hasil penetapan kadar propifenazon dalam sampel simulasi kadar rendah ………... 64

Tabel IX. Hasil penetapan kadar kafein dalam sampel simulasi kadar rendah...………... 64

Tabel X. Hasil penetapan kadar parasetamol dalam sampel simulasi kadar sedang...………... 66

Tabel XI. Hasil penetapan kadar propifenazon dalam sampel simulasi kadar sedang...………... 66

Tabel XII. Hasil penetapan kadar kafein dalam sampel simulasi kadar sedang...………... 67

(17)

xvi

Tabel XIV. Hasil penetapan kadar propifenazon dalam sampel simulasi

kadar tinggi...………... 68

Tabel XV. Hasil penetapan kadar kafein dalam sampel simulasi kadar

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rumus struktur parasetamol... 5

Gambar 2. Rumus struktur propifenazon... 6

Gambar 3. Rumus struktur kafein... 6

Gambar 4. Skema peralatan KCKT... 7

Gambar 5. Skema pemilihan kolom... 10

Gambar 6. Pemilihan jenis KCKT... 13

Gambar 7. Reaksi antara gugus silanol dan gugus klorosilan... 15

Gambar 8. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan... 15

Gambar 9. Resolusi antara dua peak yang berdekatan... 17

Gambar 10. Difusi Eddy... 20

Gambar 11. Transfer massa fase diam dan fase gerak... 21

Gambar 12. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam... 22

Gambar 13. Pengukuran peak asymmetry factor dan peak tailing factor... 23

Gambar14. Spektra panjang gelombang maksimum parasetamol, propifenazon, dan kafein... 44

(19)

xviii

Gambar 17. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (60 : 40) flow

rate 0,5 ml/menit... 50

Gambar 18. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (50 : 50) flow

rate 0,5 ml/menit ………... 51

Gambar 19. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (50 : 50) flow

rate 1,0 ml/menit... 52

Gambar 20. Penggaraman kafein oleh asam asetat glasial ………... 53

Gambar 21. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest : asam asetat

glasial (70 : 28,5 : 1,5) flow rate 0,5 ml/menit ………. 53

Gambar 22. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest : asam asetat

glasial (60 : 37 : 3) flow rate 0,5 ml/menit ………... 54

Gambar 23. Penggaraman propifenazon oleh asam asetat glasial ……… 55

Gambar 24. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest : asam asetat

glasial (50 : 49 : 1) flow rate 0,5 ml/menit ………... 56

Gambar 25. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (40 : 60) flow

(20)

xix

Gambar 26. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan

kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (40 : 60) flow

rate 1,5 ml/menit ………... 58

Gambar 27. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan kafein dengan fase gerak metanol : aquabidest (40 : 60) flow rate 2,0 ml/menit ………... 59

Gambar 28. Kurva baku parasetamol………...……… 61

Gambar 29. Kurva baku propifenazon………...………... 61

(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis parasetamol... 76

Lampiran 2. Sertifikat analisis propifenazon... 77

Lampiran 3. Sertifikat analisis kafein... 79

Lampiran 4. Skema pembuatan larutan baku parasetamol dan contoh perhitungan kadar larutan baku yang digunakan ... 80

Lampiran 5. Skema pembuatan larutan baku propifenazon dan contoh perhitungan kadar larutan baku yang digunakan ... 81

Lampiran 6. Skema pembuatan larutan baku kafein dan contoh perhitungan kadar larutan baku yang digunakan ... 82

Lampiran 7. Kromatogram larutan kurva baku parasetamol……... 83

Lampiran 8. Kromatogram larutan kurva baku propifenazon... 87

Lampiran 9. Kromatogram larutan kurva baku kafein... 91

lampiran 10. Skema pembuatan sampel simulasi dan contoh perhitungan kadar parasetamol, propifenazon, dan kafein dalam sampel simulasi... 95

(22)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dewasa ini, obat seolah – olah sudah menjadi suatu kebutuhan penting

dalam hidup sehari – hari. Hal ini didukung oleh kecenderungan masyarakat untuk

melakukan self medication terutama untuk penyakit pada tingkat keparahan yang tidak serius (Azizahwati, 2000). Salah satu penyakit yang sering menjadi objek

self medication oleh masyarakat adalah influenza, yang umumnya diobati dengan obat analgesik – antipiretik.

Salah satu kombinasi zat aktif dalam obat analgesik – antipiretik yang

umum digunakan adalah kombinasi parasetamol, propifenazon, dan kafein.

Kombinasi ini berfungsi untuk mengoptimalkan efek terapi obat serta

meminimalisasi efek merugikan (adverse effect) yang mungkin terjadi bila zat aktif tersebut dipejankan dalam bentuk tunggal dengan dosis besar untuk

mencapai intensitas efek terapi yang diinginkan (Raffa, 2006).

Kini, banyak obat analgesik – antipiretik yang berupa kombinasi

parasetamol, propifenazon, dan kafein diproduksi dalam berbagai merek dagang,

di antaranya Bodrex migra, Paramex, dan Saridon yang berbentuk tablet. Banyaknya produksi obat – obat ini perlu diimbangi dengan peningkatan

pengawasan mutu, agar obat yang beredar tersebut dapat dijamin keamanan dan

khasiatnya. Belum adanya suatu metode yang sederhana, cepat, dan tepat yang

(23)

simultan, mendasari perlunya dilakukan suatu penelitian untuk mendapatkan

kondisi yang optimal untuk menetapkan kadar ketiga komponen tersebut secara

simultan.

Metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik dipilih karena dengan

metode ini dapat dilakukan pemisahan zat aktif parasetamol, propifenazon, dan

kafein sekaligus penetapan kadar tiap zat aktif tersebut dalam campuran. Ketiga

komponen zat aktif tersebut memiliki sifat fisika – kimia yang mirip, antara lain

kelarutan dalam etanol yang hampir sama dan serapan maksimum pada daerah

UV yang berdekatan (Clarke, 1986).

Hasil yang diperoleh dari optimasi yang dilakukan merupakan suatu

metode analisa yang baru sehingga perlu dilakukan validasi agar metode ini

memiliki hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam USP 28, parameter

yang diuji pada validasi metode meliputi akurasi, presisi, spesifisitas, linieritas,

dan range (Anonim, 2005). Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai metode analisis multikomponen dari campuran parasetamol,

propifenazon, dan kafein menggunakan kondisi KCKT yang teruji validitasnya.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat disusun permasalahan

sebagai berikut :

a. Bagaimanakah kondisi yang optimal untuk memisahkan dan menetapkan kadar

parasetamol, propifenazon, dan kafein secara simultan dengan metode KCKT

(24)

b. Apakah metode KCKT fase terbalik yang digunakan untuk penetapan kadar

parasetamol, propifenazon, dan kafein secara simultan memiliki akurasi,

presisi, spesifisitas, linieritas, dan range yang baik?

2. Keaslian Penelitian

Analisis multikomponen dari campuran parasetamol, propifenazon, dan

kafein dalam tablet sediaan obat pernah dilakukan oleh Dimitrovska,

Trajkovic-Jolevska, Nancovska, dan Ilievska (1995) dengan metode KLT dan spektrofometri

UV. Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah Program Komputer Analisis

Multikomponen Untuk Obat Flu dan Analgesik – Antiinflamasi (Yanuar, Hayun,

Suryadi, Henry, dan Wulandari, 2003) yang menggabungkan teknik

spektrofotometri UV dan matriks matematika, serta Optimasi Penetapan Kadar

Obat Analgesik Multikomponen dengan Metode KCKT Fase Balik (Ivanovic,

Medenica, Malenovic, Jancic, dan Misljenovic, 2003) yang menggunakan fase

gerak metanol : aquabidest pada berbagai rasio berkisar dari (30 : 70 v/v) hingga

(65 : 35 v/v) pada detektor UV 265 nm dan kolom Beckman Ultrasphere ODS

4,6 mm x 150 mm dengan ukuran partikel 5 µm. Namun tidak diketahui kondisi

yang optimal untuk penelitian tersebut karena tidak dipublikasikan secara bebas.

Metode KCKT banyak digunakan untuk menganalisis sediaan obat

multikomponen. Namun validasi penetapan kadar campuran parasetamol,

propifenazon, dan kafein dengan metode KCKT dengan fase gerak, flow rate, dan kolom DuPont Instruments Zorbax ODS 4,6 mm x 25 cm P.N 880952-702 yang

(25)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat metodologis

Manfaat metodologis dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan

ilmiah mengenai metode penetapan kadar parasetamol, propifenazon, dan

kafein secara simultan yang teruji validitasnya.

b. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai metode

untuk analisis multikomponen dari campuran parasetamol, propifenazon, dan

kafein.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka dapat

disusun tujuan penelitian ini, yaitu :

1. Mengetahui kondisi yang optimal untuk memisahkan dan menetapkan kadar

parasetamol, propifenazon, dan kafein secara simultan dengan metode KCKT

fase terbalik menggunakan kolom C18.

2. Mengetahui akurasi, presisi, spesifisitas, linieritas, dan range metode KCKT fase terbalik yang digunakan untuk penetapan kadar parasetamol,

(26)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Parasetamol

Parasetamol mempunyai sinonim asetaminofen dan p-asetamidifenol,

dengan rumus molekul C8H9NO2 dan berat molekul 151,6 (Anonim,1995).

O

N H

OH

Gambar 1. Rumus struktur parasetamol (Anonim,1995)

Menurut Clarke (1986) 1 gram parasetamol larut dalam 70 ml air, 20 ml

air mendidih, 7 ml etanol, dan 50 ml kloroform. Parasetamol larut dalam

dimetilforfamid, metanol, etilendiklorida, aseton, etil asetat, dan natrium

hidroksida 1 N. Parasetamol tidak larut dalam eter, petroleum eter, pentana, dan

benzen (Anonim, 1995). Parasetamol memberikan serapan maksimum dalam

etanol pada panjang gelombang 250 nm dengan nilai A % 1

1cmsebesar 913.

Parasetamol memberikan serapan maksimum dalam metanol pada panjang

gelombang 250 nm dengan nilai A % 1

1cm sebesar 900 (Autherhoff,1987).

B. Propifenazon

Propifenazon mempunyai sinonim 4-isopropilantipirin, isopropilfenazon,

Baukal, dan Causyth, dengan rumus molekul C14H18N2O dan berat molekul

(27)

O

N

N

Gambar 2. Rumus struktur propifenazon (Anonim,1989)

Propifenazon berbentuk kristal dengan rasa agak pahit. Titik didih

propifenazon pada 1030C. Propifenazon mudah larut dalam alkohol dan eter.

Kelarutan propifenazon dalam air sebesar 0,24 g / 100 ml pada 16,50C (Anonim,

1989). Propifenazon memberikan serapan maksimum dalam etanol pada panjang

gelombang 248 nm dengan nilai A % 1

1cmsebesar 483; dan pada panjang gelombang

277 nm dengan nilai A % 1

1cm sebesar 493 (Clarke, 1986).

C. Kafein

Kafein mempunyai sinonim 1,3,7-trimetilxantin atau

1,3,7-trimetil-2,6-dioksopurin, dengan rumus molekul C8H10N4O2. Pemeriannya berupa serbuk

putih atau bentuk jarum mengkilat, biasanya menggumpal, tidak berbau, dan

berasa pahit (Anonim,1995).

Gambar 3. Rumus struktur kafein (Anonim,1995)

Menurut Clarke (1986) 1 gram kafein larut dalam 60 ml air, 75 ml etanol,

50 ml aseton, 900 ml eter, dan 8 ml kloroform. Kafein agak sukar larut dalam air

(28)

(Anonim, 1995). Kafein memberikan serapan maksimum dalam HCl 0,1 N pada

panjang gelombang 272 nm dengan nilai A % 1

1cmsebesar 470. Kafein memberikan

serapan maksimum dalam etanol pada panjang gelombang 273 nm dengan nilai

A % 1

1cmsebesar 519 (Clarke, 1986).

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

1. Peralatan KCKT

KCKT merupakan kondisi kromatografi yang fase geraknya dialirkan

menuju kolom secara cepat dengan bantuan tekanan dari pompa dan hasilnya

dapat dideteksi dengan detektor (Hendayana, 2006). Tujuan dari KCKT adalah

memperoleh hasil pemisahan yang baik dalam waktu relatif singkat (Mulja dan

Suharman, 1995). Peralatan KCKT biasanya terdiri dari beberapa komponen

seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(29)

Menurut Gritter, Bobbit, dan Schwarting (1991), ada tiga variabel utama

pada kondisi KCKT yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Detektor

Detektor diperlukan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan yang

terdapat dalam kolom dan untuk mengukur jumlah komponen yang ada dalam

cuplikan (Johnson dan Stevenson, 1978). Beberapa persyaratan detektor

menurut Mulja dan Suharman ialah sensitivitas yang sangat tinggi dengan

rentang sensitivitas 10-8 hingga 10-15 gram solut per detik, kestabilan dan

reprodusibilitas yang sangat baik, memberikan respon yang linier terhadap

konsentrasi solut, dapat bekerja dari temperatur kamar hingga 400 0C, tidak

dipengaruhi perubahan temperatur dan kecepatan pelarut pengembang, mudah

didapat dan mudah dipakai oleh operator, selektif terhadap macam – macam

linarut dalam pelarut pengembang dan tidak merusak sampel. Detektor untuk

KCKT dibagi dalam dua kategori, yaitu :

1)Bulk Property Detector

Detektor ini merupakan jenis detektor yang mengukur sifat solut dan fase

gerak. Contohnya adalah detektor indeks bias. Detektor indeks bias adalah

suatu jenis detektor universal yang menangkap sinyal pada setiap solut yang

memiliki indeks bias berbeda dengan indeks bias fase gerak. Kelemahannya

adalah indeks bias sangat dipengaruhi oleh suhu. Selain itu, detektor indeks

bias juga kurang sensitif dan tidak cocok untuk kondisi elusi landaian

(30)

2)Solute Property Detector

Detektor ini merupakan detektor yang selektif mengukur sifat solut.

Detektor ini lebih sensitif dibanding bulk property detector. Contohnya : detektor UV-Vis dan detektor fluoresensi. Detektor pada KCKT yang sering

digunakan dalam analisis farmasi ialah detektor UV-Vis. Hal ini disebabkan

kebanyakan senyawa obat memiliki struktur yang dapat menyerap sinar

UV-Vis. Detektor UV digunakan untuk mendeteksi senyawa – senyawa

yang memiliki gugus kromofor dengan atau tanpa adanya gugus auksokrom,

sedangkan detektor visibel digunakan untul mendeteksi senyawa berwarna

yaitu senyawa yang memiliki gugus kromofor yang sangat panjang maupun

merupakan senyawa kompleks (Settle, 1997).

b. Kolom

Kolom pada kondisi KCKT merupakan bagian yang sangat penting karena

pemisahan komponen – komponen sampel akan terjadi di dalam kolom.

Keberhasilan pemisahan komponen – komponen sampel akan sangat

bergantung pada keadaan kolom (Mulja dan Suharman, 1995). Pemilihan

kolom yang tepat sangat menentukan keberhasilan pemisahan. Berikut ini

(31)

Gambar 5. Skema Pemilihan Kolom (Johnson dan Stevenson, 1978)

c. Fase gerak

KCKT dapat dikembangkan dengan pelarut tunggal, campuran pelarut atau

lebih sering dengan campuran pelarut yang terus – menerus berubah

susunannya, biasanya terdiri dari dua atau tiga pelarut dan disebut elusi gradien

(Gritter dkk, 1991). Pada KCKT, fase gerak harus mempunyai sifat : murni dan

tanpa cemaran, tidak bereaksi dengan kemasan, sesuai dengan detektor, dapat

melarutkan sampel, viskositas rendah, memungkinkan memperoleh kembali

sampel dengan mudah (jika diperlukan), dan harganya wajar (Johnson dan

(32)

campuran pelarut yang digunakan yang bersifat linier dengan kepolaran pelarut

murninya. Nilai kepolaran antara dua campuran sembarang pelarut dapat

dihitung dengan persamaan di bawah ini :

P’ = Φa P’a + Φb P’b

dengan Φa dan Φb adalah fraksi volume pelarut a dan b dalam campuran,

sedangkan P’a dan P’b adalah angka P’ pelarut murni (Gritter dkk, 1991).

Berikut adalah beberapa nilai indeks polaritas dari beberapa pelarut yang sering

digunakan :

Tabel 1. Nilai indeks polaritas pelarut

Pelarut Indeks

polaritas

Nilai Eluotropik UV Cut-off (nm)

Alumina C18 Silika

(Snyder, Kirkland, dan Glajch,1997)

Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin besar eluotropic values dari pelarut menunjukkan semakin mudah untuk mengelusi sampel. Semakin besar indeks

polaritas yang dimiliki oleh pelarut maka semakin bersifat polar pelarut yang

(33)

2. Pembagian jenis kromatografi

Menurut Harris (1999), KCKT dibagi menjadi 5 jenis, yaitu :

a. Kromatografi partisi

Pada kromatografi partisi, fase diam dapat polar atau non polar. Bila fase diam

polar dan fase gerak non polar disebut kromatografi partisi fase normal,

sedangkan bila fase diam non polar dan fase gerak polar dinamakan

kromatografi partisi fase terbalik. Solut berkeseimbangan di antara fase diam

dan fase gerak.

b. Kromatografi adsorpsi

Kromatografi ini menggunakan fase diam padat dan fase gerak cair atau gas.

Solut dapat diadsorpsi pada permukaan partikel padat.

c. Kromatografi pertukaran ion

Anion atau kation diikatkan secara kovalen pada fase diam padat, biasanya

disebut resin. Ion – ion solut muatan berlawanan menyerang fase diam dengan

kekuatan elektrostatik dan fase geraknya berupa zat cair.

d. Kromatografi eksklusi

Pada kromatografi ini tidak ada interaksi tarik – menarik antara fase diam dan

solut. Fase gerak cair atau gas melalui gel berpori. Ukuran pori cukup kecil

untuk mengeluarkan solut yang besar. Molekul solut yang kecil akan masuk ke

dalam pori gel, sedangkan molekul yang besar akan mengalir tanpa memasuki

(34)

e. Kromatografi afinitas

Digunakan untuk interaksi yang spesifik antara suatu jenis molekul solut dan

sebuah molekul yang lain yang secara kovalen terikat pada fase diam. Misalnya

untuk pemisahan komponen protein.

Pemilihan jenis KCKT yang tepat dan sesuai dengan sampel yang

dipisahkan akan menghasilkan pemisahan yang baik. Gambar berikut merupakan

bagan pendekatan umum dalam memilih jenis KCKT :

(35)

3. Kromatografi partisi fase balik

Istilah fase normal dan fase terbalik digunakan dalam kromatografi partisi

untuk menggambarkan polaritas efektif antara fase diam dan fase gerak (Settle,

1997). Kromatografi dengan fase diam polar dan fase gerak kurang polar atau non

polar disebut kromatografi fase normal. Sebaliknya, kromatografi yang

menggunakan fase diam relatif non polar seperti hidrokarbon dan fase gerak polar

seperti air atau metanol disebut kromatografi fase terbalik (Gritter dkk, 1991).

Menurut Gritter dkk. (1991), konsep pada pengembangan kromatografi

cair partisi yaitu perlakuan sampel dalam kondisi cair – cair tergantung pada

kelarutannya di dalam kedua cairan yang terlibat. Jika solut ditambahkan ke

dalam kondisi yang terdiri atas dua pelarut yang tidak bercampur dan keseluruhan

kondisi dibiarkan seimbang, solut akan tersebar antara kedua fase itu menurut

persamaan :

Cm Cs

K

K adalah koefisien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase diam dan

Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Skoog, West, dan Holler,1994).

Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan metode kromatografi

partisi fase balik adalah :

a. Kolom

Kolom yang digunakan pada jenis kromatografi ini ialah kemasan fase terikat.

Penyanga pada kemasan fase terikat terbuat dari silika (Gritter dkk, 1991).

Kemasan fase terikat bersifat stabil karena fase diamnya terikat secara kimia

(36)

terikat mempunyai tipe ikatan siloksan (Si-O-Si-C), dibuat dari reaksi antara

gugus klorosilan dengan gugus silanol yang terdapat pada permukaan silika

gel, seperti pada gambar berikut :

Si OH + ClSi(CH3)2R Si O Si(CH3)2R + HCl

Gambar 7. Reaksi antara gugus silanol dan gugus klorosilan

Tertambatnya sampel pada fase diam dipengaruhi oleh panjang pendeknya

rantai karbon. Kelebihan kolom dengan rantai karbon yang lebih panjang

adalah sifatnya yang lebih retensif, sehingga sampel yang mempunyai sifat

mirip dengan kolom akan tertambat lebih lama (Skoog dkk, 1994). Menurut

Willard, Merritt, Dean, dan Settle (1988), kolom oktadesilsilan digunakan pada

aplikasi yang membutuhkan retensi yang maksimal, sehingga pemisahan

komponen sampel dapat lebih optimal. Oktadesilsilan dapat dibuat dari reaksi

berikut :

Si OH + Cl Si (CH2)17CH3 Si O Si (CH2)17CH3 + HCl

Gambar 8. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan (Gritter dkk, 1991)

Fase diam yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase balik adalah

oktadesilsilan (ODS). Selain ODS, dikenal pula silika dengan substitusi oktil

(C8) (Munson, 1991). Interaksi antara senyawa dengan sisa silanol dapat

mengganggu penggunaan kolom fase terbalik. Akibatnya waktu retensi dari

senyawa standar menjadi lebih sulit untuk ditafsirkan. Dalam beberapa kasus,

(37)

senyawa ditahan akan tergantung pada lipofilisitas dalam kasus kolom fase

terbalik seperti ODS silika gel. Fase gerak yang lebih hidrofil akan lebih cepat

mengelusi suatu senyawa dari kolom fase terbalik (Watson, 1999). Ukuran

kinerja kolom dilihat dari kemampuan kolom untuk memisahkan komponen

senyawa yang akan dianalisis. Batasan yang banyak digunakan adalah sebagai

berikut yaitu jumlah lempeng teoritik (N), dan nilai H atau HETP (Height Equivalent to a Theoritical Plate) yang merupakan penentu ukuran efisiensi kolom, faktor resolusi, serta bentuk peak. Kolom yang efisien dapat mencegah pelebaran peak yang sempit.

b. Fase gerak

Kemampuan KCKT dalam memisahkan banyak senyawa terutama bergantung

pada tambatan sampel dan pemisahan komponen dalam campuran. Pada fase

balik, kandungan utama fase geraknya adalah air. Pelarut yang dapat campur

dengan air seperti metanol, etanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran ditambahkan

untuk mengatur kepolaran fase gerak. Menurut Munson (1991), pemodifikasi

fase gerak yang paling banyak digunakan ialah metanol, asetonitril, dan

tetrahidrofuran. Metanol sering digunakan karena merupakan pelarut yang

sangat murni, mudah didapat, dan berhasil baik pada banyak pemisahan

(Johnson dan Stevenson, 1978).

4. Analisis kualitatif dan analisis kuantitatif

Waktu retensi adalah selang waktu yang diperlukan oleh linarut (solut)

(38)

dan dinyatakan sebagai tr ( Mulja dan Suharman, 1995). Waktu retensi ini bersifat

sangat khas untuk senyawa tertentu pada kondisi tertentu (kolom, suhu, laju

aliran, dan sebagainya). Beberapa senyawa mungkin mempunyai waktu retensi

berdekatan tetapi tiap senyawa hanya mempunyai satu waktu retensi saja. Waktu

retensi tidak terpengaruh oleh adanya komponen lain (Nair dan Bonelli, 1988).

Di dalam setiap pemisahan yang dipentingkan adalah kemampuan suatu

kondisi untuk memisahkan dua komponen dalam campuran. Kemampuan tersebut

dinamakan resolusi (Rs) yang didefinisikan sebagai jarak antara dua puncak

dibagi dengan rata – rata lebar dasar puncak, seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 9. Resolusi antara dua peak yang berdekatan (Johnson dan Stevenson, 1991)

Berdasarkan definisi di atas, maka persamaan resolusi adalah sebagai

berikut :

telah mencapai 99,7% (Sastrohamidjojo, 2002). Resolusi juga dipengaruhi oleh

(39)

Rs =

dioptimasi. Optimasi efisiensi kolom (a) dilakukan dengan menambah jumlah

lempeng teoritis (N), yaitu dengan memperpanjang kolom (N=L/H) dengan L

adalah panjang kolom yang digunakan, dan N adalah jumlah pelat teoritis dari

suatu kolom sehingga diperoleh puncak yang kecil dan resolusi yang baik.

Optimasi faktor selektivitas (b) dilakukan dengan mengganti pelarut atau

mengubah komposisi pelarut sehingga efisiensi pelarut bertambah dan resolusi

juga meningkat. Optimasi faktor kapasitas (c) dilakukan dengan memvariasi

kekuatan pelarut sehingga fase gerak dapat memberikan harga k’ suatu komponen

sampel menjadi lebih besar atau lebih kecil. Dengan meningkatkan harga k’ maka

akan memperbaiki resolusi (Noegrohati, 1994).

Ada dua teori yang dapat menerangkan tentang efisiensi kolom yaitu :

a. Teori pelat

Teori ini menyatakan bahwa pelat (atau lebih baik disebut HETP) merupakan

tinggi atau panjang dari kolom yang cukup dapat mencapai kesetimbangan

antara solut dalam fase gerak dan fase diam. Semakin banyak pelat yang

dimiliki kolom maka akan memberikan puncak yang lebih sempit atau dapat

dikatakan efisiensi kolom menjadi lebih baik.

HETP =

N L

(40)

HETP adalah ketinggian ekivalen terhadap jumlah pelat teoritis, L adalah

panjang kolom yang digunakan, dan N adalah jumlah pelat teoritis dari suatu

kolom (Sastrohamidjojo, 2002). Menurut Mulja dan Suharman (1995), dapat

dikatakan bahwa makin kecil harga L/N atau makin kecil harga HETP maka

makin baik efisiensi kolom yang digunakan. Konsekuensi dari penambahan

lempeng teoritis yaitu semakin lama sampel untuk terelusi yang berakibat

waktu retensi semakin lama (Skoog dkk, 1994). Daya pisah dapat diperbaiki

apabila efisiensi kolom rendah yang dapat diukur secara kuantitatif seperti pada

persamaan berikut :

sedangkan W1/2 adalah lebar peak pada setengah tinggi peak (Anonim, 1995).

b. Teori laju

Teori ini didasarkan pada parameter – parameter transfer massa antara fase

diam dan fase gerak, laju difusi solut di sepanjang kolom, laju alir fase gerak,

dan dinamika fase gerak. Ada 3 faktor yang sangat menentukan berdasarkan

teori laju ini yaitu :

1)Difusi Eddy

Difusi ini disebabkan karena banyaknya kemungkinan celah dalam partikel

terpacking yang dapat dilewati oleh molekul solut. Dengan demikian molekul solut ada yang melewati bagian kolom yang dekat dengan dinding

(41)

tersebut dapat lebih cepat keluar dari kolom. Sedangkan untuk molekul yang

melalui bagian tengah kolom yang merupakan suatu daerah packing lebih tinggi akan keluar kolom dengan kecepatan yang lebih rendah. Hal ini

menyebabkan elusi untuk tiap solut menjadi kurang efisien (Hendayana,

2006).

Gambar 10. Difusi Eddy

2)Difusi longitudinal

Difusi ini merupakan gerakan molekul solut yang cenderung untuk berdifusi

ke segala arah secara acak karena adanya perbedaan konsentrasi

(Noegrohati, 1994). Semakin lama solut berada dalam kolom maka semakin

besar pula kecenderungan untuk berdifusi yang dapat mengakibatkan

melebarnya peak kromatogram. 3)Transfer massa non ekuilibrium

Terjadi karena aliran fase gerak yang terlalu cepat sementara sebagian

molekul solut tidak dapat keluar dari fase diam secara cepat sehingga

sebagian solut akan terlambat meninggalkan kolom sehingga dapat terjadi

(42)

A B

Gambar 11. Transfer massa fase diam (A) dan fase gerak (B)

Demikian pula yang terjadi pada cekungan kolom, solut dalam fase diam

bertemu dengan fase gerak yang masih baru, karena laju transfer solut tidak

terjadi dengan segera, masih ada solut yang tertinggal dalam fase diam. Efek

netto yang terjadi dari kedua keadaan ini adalah pelebaran peak solut pada kedua ujungnya.

Hubungan antara difusi, kesetimbangan dan kecepatan dinyatakan dalam

persamaan Van Deemter yaitu :

HETP = A + B + C ...………. (5)

HETP adalah tinggi lempeng teoritis. Suku A adalah difusi Eddy. Untuk

mendapatkan harga A yang kecil maka diameter dalam packing kolom harus dibuat kecil dan kerapatannya seragam. Suku B adalah difusi longitudinal.

Peran difusi ini tidak terlalu penting dalam kromatografi cair tetapi sangat

berperan terutama dalam kromatografi gas. Pelebaran peak dapat dikurangi dengan meningkatkan flow rate fase gerak dan menjadi penting bila flow rate

fase gerak sangat lambat (Watson, 1999). Tanda berarti kecepatan rata-rata

dari fase gerak. Suku C adalah transfer massa yang merupakan hasil

penjumlahan dari nilai transfer massa fase gerak dan fase diam (Noegrohati,

(43)

fase gerak, di samping pelebaran peak yang tergantung pada keadaan aliran dalam kolom, difusi longitudinal dan laju transfer massa.

Bentuk peak yang dihasilkan dari hasil pemisahan merupakan ukuran efisiensi kolom. Kolom yang menghasilkan pemisahan dengan peak yang simetris selalu lebih disukai. Peak yang kurang simetris dapat mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran resolusi, ketidaktelitian hasil pengukuran kuantitatif,

memperkecil resolusi, dan tidak dapat mendeteksi sinyal yang kecil, dan waktu

retensi tidak reprodusibel (Noegrohati, 1994). Bentuk peak yang tidak simetris dengan front di belakang turun dengan landai disebut tailing. Sedangkan pada keadaan sebaliknya di mana pada bagian depan naik dengan landai disebut

fronting atau leading (Kuwana, 1980). Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing dan leading dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 12. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam

Terjadinya peak yang asimetri dapat disebabkan oleh jumlah solut yang terlalu besar dalam kolom, dekomposisi solut, analit teradsorpsi kuat dalam sisi

(44)

Salah satu cara untuk menilai bentuk peak adalah dengan peak asymmetry factor (As). Nilai As diukur pada 10% dari tinggi peak. Kolom yang baik akan menghasilkan nilai As sebesar 0,9 – 1,1 (Snyder dkk, 1997). Harga As > 1 berarti

kromatogram tersebut mengekor. Semakin besar harga As maka makin tidak

efisien kolom yang dipakai (Mulja dan Suharman, 1995). Cara lain untuk menilai

bentuk peak adalah dengan peak tailing factor (PTF). Pengukuran dengan menggunakan peak tailing factor lebih disukai. Pengukuran dengan PTF diukur pada 5% dari tinggi peak. Peak asymmetry factor dan peak tailing factor dapat dihitung seperti disajikan pada gambar di bawah ini. Kedua hal tersebut dapat

disebabkan karena kolom yang buruk, sampel overload, pemilihan pelarut yang tidak tepat, efek kimia, dan efek tambatan sekunder dari silanol (Snyder dkk,

1997).

Gambar 13. Pengukuran peak asymmetry factor dan peak tailing factor

Analisis kualitatif bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya senyawa

tertentu dalam sampel dengan cara membandingkan waktu retensi senyawa murni

(45)

Respon yang berupa tinggi peak maupun luas area peak dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Analisis berdasarkan tinggi peak dapat memberikan ketelitian yang tinggi jika keadaan kolom tidak menyebabkan pelebaran peak. Pada kromatogram yang memiliki bentuk peak relatif lebar, analisis berdasarkan luas area peak lebih disukai dibanding analisis berdasarkan tinggi peak

(Noegrohati,1994).

E. Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri UV-Vis merupakan bagian dari teknik analisis

spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat

(190 – 380 nm) dan sinar tampak (380 – 780 nm) dengan menggunakan instrumen

spektrofotometer. Spektrum UV-Vis merupakan korelasi serapan (sebagai ordinat)

dan panjang gelombang (sebagai absis) berupa pita spektrum. Terbentuknya pita

tersebut disebabkan transisi energi yang tidak sejenis dan terjadi eksitasi

elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang kompleks.

Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan pembacaan

serapan radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang

diteruskan. Keduanya dikenal sebagai serapan (A) tanpa satuan dan transmitan

dengan satuan persen (%T).

Bouguer Lambert dan Beer membuat rumus hubungan antara transmitan

atau serapan terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis dan

(46)

T =

Dengan T adalah persen transmitan, I0 dan It adalah intensitas radiasi yang datang

dan yang diteruskan. A adalah serapan, ε adalah koefisien ekstingsi molar atau

daya serap molar (L mol-1cm-1), yaitu serapan suatu larutan dibagi dengan tebal

larutan b dalam cm dan konsentrasi molar c dalam mol. L-1. a adalah daya serap

dengan satuan L g-1cm-1, yang merupakan hasil bagi serapan (A) dibagi dengan

hasil perkalian kadar c yang dinyatakan dalam gram per liter zat dan panjang sel

dalam cm (b). Nilai daya serap molar dapat dihitung dengan persamaan sebagai

F. Kesahihan Metode Analisis Instrumental

Persoalan analisis terkait dengan kecilnya kadar senyawa yang dianalisis

dan kompleksnya kandungan sampel yang dianalisis. Untuk mengatasi hal

tersebut, metode analisis instrumental yang dipilih harus dapat menyelesaikan

(47)

kecermatan dan ketelitian alat. Untuk itu, diperlukan suatu pedoman mengenai

kesahihan metode analisis. Parameter – parameter yang digunakan sebagai

pedoman kesahihan metode analisis antara lain :

1. Akurasi

Akurasi adalah ukuran kedekatan nilai hasil percobaan dengan nilai yang

sesungguhnya, dinyatakan dengan persen recovery (Anonim, 2005). Akurasi untuk bahan obat dengan kadar kecil disepakati 90 – 110%, akurasi untuk kadar

obat yang lebih besar disepakati 95 – 105%, sedangkan akurasi untuk bahan baku

disepakati 98 – 102%. Sedangkan untuk bioanalisis rentang akurasi 80 – 120%

masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).

2. Presisi

Presisi adalah suatu ukuran kedekatan nilai data satu dengan data lainnya

dalam suatu pengukuran pada kondisi analisis yang sama. Menurut United State Pharmacopeia (USP) 28, presisi didefinisikan sebagai tingkat kesesuaian di antara masing – masing hasil analisis yang dihasilkan dengan menggunakan metode

analitik secara berulang – ulang untuk pengambilan sampel homogen yang

berulang kali. Presisi seringkali diukur sebagai persen Relative Standard Deviation (RSD) atau Coefficient of Variation (CV) untuk sejumlah sampel yang berbeda bermakna secara statistik. Kriteria presisi diberikan jika metode

memberikan nilai CV 2% atau kurang. Akan tetapi nilai ini fleksibel tergantung

(48)

deviasi relatif antara laboratorium ialah sekitar 2,5%. Pada kadar satu per sejuta,

RSD-nya adalah 16% (Harmita ,2004)

3. Limit of Detection (LOD)

LOD adalah konsentrasi terrendah dari analit yang dapat diukur pada

kondisi percobaan tertentu tetapi tidak perlu secara kuantitatif. LOD merupakan

parameter uji batas pengukuran dan menentukan apakah analit berada di atas atau

di bawah suatu nilai tertentu. Menurut USP 28, untuk metode instrumental, signal to noise ratio ditentukan dengan membandingkan hasil uji dari sampel yang telah diketahui konsentrasinya dengan hasil uji blanko dan menetapkan konsentrasi

analit terrendah yang dapat dideteksi. Konsentrasi analit yang mampu

memberikan respon 2-3 kali respon blanko inilah yang kemudian ditetapkan

sebagai LOD.

4. Limit of Quantification (LOQ)

LOQ adalah konsentrasi terrendah dari analit dalam sampel yang dapat

ditentukan dengan presisi dan akurasi yang baik pada kondisi percobaan tertentu

dari suatu metode. LOQ ditentukan dengan membandingkan sinyal terukur dari

sampel dengan konsentrasi analit yang rendah dengan sinyal dari blankonya.

(49)

5. Linieritas

Linieritas suatu metode analitik adalah kemampuannya untuk memperoleh

hasil uji yang proporsional dengan konsentrasi analit pada sampel yang

dinyatakan dengan koefisien korelasi (r). Linieritas yang baik ialah nilai r yang

lebih besar dari nilai r tabel (Snyder dkk,1997). Persyaratan data linieritas yang

bisa diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0.999 (Harmita, 2004).

6. Spesifitas

Spesifitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur dengan

akurat respon analit di antara seluruh komponen sampel yang mungkin ada dalam

matriks sampel (Mulja dan Hanwar,2003).

7. Range

Range adalah interval antara kadar terrendah sampai kadar tertinggi dari

suatu analit yang masih dapat diukur secara kuantitatif menggunakan metode

tertentu yang masih dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang mencukupi.

Biasanya range memiliki satuan yang sama dengan satuan yang digunakan pada

(50)

USP 28 mencantumkan beberapa kategori uji umum yang harus memenuhi

validitas data, yaitu :

a. Kategori I

Meliputi metode analitik yang digunakan untuk mengukur secara kuantitatif

sejumlah besar komponen dari serbuk obat atau senyawa aktif (termasuk

preservatif) dalam sediaan obat jadi.

b. Kategori II

Meliputi metode analitik yang digunakan untuk penentuan kemurnian dalam

serbuk obat atau penentuan senyawa degradasi dalam sediaan obat jadi.

c. Kategori III

Meliputi metode analitik yang digunakan untuk penentuan sifat – sifat khusus

seperti kecepatan disolusi dan pelepasan obat.

d. Kategori IV

Meliputi metode analitik yang digunakan untuk mengidentifikasi sediaan

farmasi.

*Mungkin diperlukan, tergantung sifat uji spesifik yang dilakukan

(51)

G. Kesalahan Metode Analisis Instrumental

Kesalahan atau galat pada metode pada umumnya dapat disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu metode dan prosedur analisis zat yang ditentukan, instrumen

yang dipakai, dan faktor individu yang mengerjakan. Kesalahan pada analisis

kimia dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Kesalahan sistematik

Kesalahan ini disebut juga kesalahan prosedur yakni kesalahan yang

menyimpang secara tetap dari harga kadar yang sebenarnya karena proses

pelaksanaan prosedur analisis. Kesalahan sistematik ini dibagi lagi menjadi dua

macam berdasarkan sumber kesalahan, yaitu :

a. Kesalahan pada metode analisis

Kesalahan ini agak sulit dideteksi karena kesalahan pada metode analisis ini

antara lain disebabkan sifat fisika dan kimia dari reagen yang dipakai tidak

memadai secara ideal. Demikian juga dapat disebabkan oleh reaksi yang tidak

sempurna.

b. Kesalahan individual

Kesalahan ini timbul karena kesalahan individu dalam mengamati dan

(52)

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan sistematik ini ada

beberapa hal yang harus diperhatkan, yaitu :

1)Kalibrasi instrumen secara berkala

2)Pemilihan metode dan prosedur standar dari badan resmi

3)Pemakaian bahan kimia yang memiliki derajat pro analysis

4)Peningkatan pengetahuan dan kemampuan dari individu yang bekerja di

laboratorium analisis.

2. Kesalahan tidak sistematik

Kesalahan ini disebut juga kesalahan acak yaitu penyimpangan yang tidak

tetap dari hasil penentuan kadar dengan instrumen yang disebabkan oleh fluktuasi

dari instrumen yang digunakan. Kesalahan acak yang disebabkan oleh derau

instrumen tidak dapat diketahui penyebabnya dan juga tidak dikontrol. Pemakaian

instrumen dengan kualitas baik akan dapat menekan harga galat tidak sistematik

ini. Demikian juga pemakaian ilmu statistik untuk perhitungan hasil analisis

diharapkan dapat memperkecil perbedaan dalam menentukan kadar dengan harga

yang sebenarnya (Mulja dan Suharman, 1995).

H. Keterangan Empiris

Salah satu kombinasi obat yang banyak beredar adalah campuran dari

parasetamol, propifenazon, dan kafein yang memiliki kelarutan dalam etanol yang

mirip dan serapan maksimum pada panjang gelombang yang berdekatan sehingga

(53)

memisahkan sekaligus menetapkan kadar dari tiap komponen yang sudah

dipisahkan. Campuran ketiganya tersebut akan ditetapkan dengan menggunakan

kondisi KCKT yang optimal. Parameter validitas metode yang diuji meliputi

akurasi (ditinjau dari nilai recovery), presisi (ditinjau dari nilai CV), spesifisitas (ditinjau dari profil pemisahan pada kromatogram yang menunjukkan pemisahan

hingga baseline untuk ketiga analit), linieritas (ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari penentuan persamaan kurva baku dengan analisis

(54)

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental

deskriptif dengan dua variabel bebas dalam perlakuan pada subyek uji.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas

1) Jenis dan perbandingan fase gerak yaitu metanol : aquabidest dan

metanol : aquabidest : asam asetat glasial.

2) Flow rate fase gerak yang digunakan. b. Variabel tergantung

1) Pemisahan peak dari parasetamol, propifenazon, dan kafein yang dapat dilihat dari waktu retensi masing – masing.

2) Validitas metode yang ditinjau dari akurasi, presisi, spesifisitas, linieritas,

(55)

2. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali pada percobaan ialah kemurnian pelarut dan

kemurnian senyawa baku yang digunakan. Untuk mengatasinya digunakan pelarut

pro analysi dan bahan kualitas working standard.

C. Definisi Operasional

1. Larutan induk sampel simulasi adalah campuran 50 mg parasetamol, 30 mg

propifenazon, dan 10 mg kafein yang dilarutkan dalam metanol hingga 10 ml.

2. Sampel simulasi kadar rendah adalah campuran parasetamol, propifenazon, dan

kafein yang dibuat dari larutan induk sampel simulasi yang dipipet sebanyak

125 µl dan diencerkan dengan metanol hingga 10 ml.

3. Sampel simulasi kadar sedang adalah campuran parasetamol, propifenazon,

dan kafein yang dibuat dari larutan induk sampel simulasi yang dipipet

sebanyak 500 µl dan diencerkan dengan metanol hingga 10 ml.

4. Sampel simulasi kadar tinggi adalah campuran parasetamol, propifenazon, dan

kafein yang dibuat dari larutan induk sampel simulasi yang dipipet sebanyak

750 µl dan diencerkan dengan metanol hingga 10 ml.

5. Parameter validitas metode analisis yang digunakan yaitu akurasi, presisi,

spesifisitas, linieritas, dan range.

D. Bahan – bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah parasetamol kualitas

(56)

working standard (Vani Chemicals & Intermediates Limited), kafein kualitas

working standard (Brataco Chemika), metanol p.a. (E. Merck), asam asetat glasial

p.a (E.Merck), dan aquabidest (Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma).

E. Alat – Alat Penelitian

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Spektrofotometer UV/Vis merek Perkin Elmer Lambda 20

2. Kuvet.

3. Seperangkat sistem KCKT yang terdiri dari :

a. Pompa merek Shimadzu LC-10 AD No. C20293309457 J2.

b. Detektor UV/Vis merek Shimadzu SPD-10 AV No. C20343503697 KG. c. CBM 101 merek Shimadzu No. C50363502311.

d. Seperangkat komputer merek ACER.

e. Printer merek Hewlett Packard Deskjet 670 C. f. Injektor jenis katup suntik model 77251.

g. Kolom ODS merek DuPont Instruments Zorbax berdimensi 4,6 mm x 25 cm P.N 880952-702.

4. Syringe merek Hamilton Part. No. 2933087.

5. Alat degasing ultrasonik merek RetschT640 No. 935922012 EY. 6. Penyaring Whatmann anorganik dan organik.

(57)

9. Vakum merek GastDOA-P104-BN. 10.Penyaring Milipore.

11.Mikropipet 100 – 1000 µl merek Biohit. 12.Seperangkat alat gelas.

F. Tatacara Penelitian

1. Pembuatan larutan baku parasetamol, propifenazon, dan kafein

a. Larutan baku parasetamol

1) Pembuatan larutan baku induk parasetamol

Lebih kurang 50 mg baku parasetamol yang ditimbang seksama

dilarutkan dalam metanol hingga 10 ml.

2) Pembuatan seri larutan baku parasetamol

Larutan baku induk parasetamol dari langkah di atas dipipet 125 µl;

250 µl; 375 µl; 500 µl; 625 µl; dan 750 µl lalu dimasukkan dalam labu

ukur 10 ml dan diencerkan dengan metanol hingga tanda sehingga

didapatkan kadar 62,5 ppm; 125,0 ppm; 187,5 ppm; 250,0 ppm; 312,5

ppm; dan 375,0 ppm.

b. Larutan baku propifenazon

1) Pembuatan larutan baku induk propifenazon

Lebih kurang 30 mg baku propifenazon yang ditimbang seksama

(58)

2) Pembuatan seri larutan baku propifenazon

Larutan baku induk propifenazon dari langkah di atas dipipet 125 µl;

250 µl; 375 µl; 500 µl; 625 µl; dan 750 µl lalu dimasukkan dalam labu

ukur 10 ml dan diencerkan dengan metanol hingga tanda sehingga

didapatkan kadar 37,5 ppm; 75,0 ppm; 112,5 ppm; 150,0 ppm; 187,5

ppm; dan 225,0 ppm.

c. Larutan baku kafein

1) Pembuatan larutan baku induk kafein

Lebih kurang 10 mg baku kafein yang ditimbang seksama dilarutkan

dalam metanol hingga 10 ml.

2) Pembuatan seri larutan baku kafein

Larutan baku induk kafein dari langkah di atas dipipet 125 µl; 250 µl;

375 µl; 500 µl; 625 µl; dan 750 µl lalu dimasukkan dalam labu ukur 10

ml dan diencerkan dengan metanol hingga tanda sehingga didapatkan

kadar 12,5 ppm; 25,0 ppm; 37,5 ppm; 50,0 ppm; 62,5 ppm; dan 75,0

ppm.

2. Pembuatan fase gerak

Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ialah campuran :

a. Metanol : aquabidest dengan perbandingan 40 : 60; 50 : 50; 60 : 40; dan

70 : 30.

b. Metanol : aquabidest : asam asetat glasial dengan perbandingan 50 : 49 : 1;

(59)

Masing – masing perbandingan fase gerak dibuat sesuai dengan volume yang

dibutuhkan kemudian digojog dan disaring dengan penyaring Whatman anorganik

dengan bantuan pompa vakum. Fase gerak kemudian dihilangkan gelembungnya

dengan degassing selama 15 menit.

3. Penentuan panjang gelombang pengamatan antara parasetamol,

propifenazon, dan kafein dengan spektrofotometer UV

Lebih kurang 10 mg baku parasetamol, propifenazon, dan kafein yang

ditimbang seksama dilarutkan dalam metanol hingga 10 ml. Larutan tersebut

diencerkan hingga kadar 10 ppm untuk tiap zat dan dibaca absorbansinya pada

panjang gelombang 200 – 300 nm dengan spektrofotometer UV. Berdasarkan

kurva panjang gelombang vs absorbansi parasetamol, propifenazon, dan kafein

yang diperoleh, diamati dan ditentukan panjang gelombang overlapping.

4. Pengamatan waktu retensi parasetamol. propifenazon, dan kafein

Larutan baku induk parasetamol, propifenazon, dan kafein masing –

masing dipipet 500 µl lalu diencerkan dengan metanol hingga 10 ml. Larutan

hasil pengenceran tiap zat tersebut disaring dengan millipore dan dihilangkan gelembungnya dengan degassing selama 15 menit. Kemudian sebanyak 40 μl

larutan tersebut disuntikkan ke dalam KCKT dengan kolom ODS

(4,6 mm x 25 cm); fase gerak yang telah dibuat pada langkah no.2 dan flow rate

tertentu pada panjang gelombang pengamatan yaitu 272 nm. Waktu retensi tiap

(60)

5. Optimasi pemisahan parasetamol, propifenazon, dan kafein

Lebih kurang 50 mg parasetamol, 30 mg propifenazon, dan 10 mg kafein

ditimbang seksama, lalu dicampur dan dilarutkan dalam metanol hingga 10 ml.

Larutan tersebut dipipet 500 μl dan diencerkan dengan metanol hingga 10 ml,

sehingga didapatkan larutan campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein

dengan perbandingan kadar masing – masing ialah 250 ppm : 150 ppm : 50 ppm.

Kemudian larutan tersebut disaring dengan millipore dan dihilangkan gelembungnya dengan degassing selama 15 menit. Sebanyak 40 μl larutan campuran disuntikkan ke dalam KCKT dengan kolom ODS (4,6 mm x 25 cm);

fase gerak yang telah dibuat pada langkah no.2 dan flow rate tertentu pada panjang gelombang pengamatan yaitu 272 nm. Dari hasil kromatogram diamati

waktu retensi masing – masing senyawa pada berbagai perbandingan fase gerak

serta flow rate yang digunakan.

6. Validasi metode analisis

a. Pembuatan kurva baku

Seri kadar larutan baku parasetamol, propifenazon, dan kafein dari langkah

no. 1 yang telah disaring dengan penyaring milipore dan dihilangkan gelembungnya dengan degassing selama 15 menit diinjeksikan pada sistem KCKT dengan fase gerak metanol : aquabidest dengan rasio 40 : 60 dan

flow rate 2 ml/menit. AUC (Area Under Curve) untuk tiap peak yang muncul diamati dari kromatogram yang didapat. Lalu, ditentukan persamaan

(61)

b. Pembuatan larutan induk campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein

Lebih kurang 50 mg parasetamol, 30 mg propifenazon, dan 10 mg kafein

ditimbang seksama, dicampur, dan dilarutkan dalam metanol hingga 10 ml.

c. Penetapan kadar parasetamol, propifenazon, dan kafein dalam campuran

Larutan campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein dari langkah

no.6b. dipipet 125 μl; 500 μl; dan 750 μl dan diencerkan dengan metanol

hingga 10 ml. Larutan tersebut disaring dengan milipore dan dihilangkan gelembungnya dengan degassing selama 15 menit, lalu diinjeksikan pada sistem KCKT dengan fase gerak metanol : aquabidest dengan rasio 40 : 60

dan flow rate 2 ml/menit. AUC (Area Under Curve) tiap peak yang muncul diamati dari kromatogram yang didapat. Kemudian kadar analit dihitung

dengan memasukkan nilai AUC yang diperoleh dari tiap analit ke dalam

persamaan kurva baku yang telah diperoleh dari analisis regresi linear.

G. Analisis Hasil

Kondisi KCKT yang optimal untuk mendapatkan pemisahan yang baik

dari parasetamol, propifenazon, dan kafein dalam campuran dapat dilihat dari

profil pemisahan dari kromatogram yang diperoleh dan perhitungan resolusi

(jarak antara dua puncak dibagi dengan rata – rata lebar dasar puncak) dengan

rumus sebagai berikut :

(62)

Hasil optimasi ini lalu digunakan untuk menentukan kesahihan metode,

yang dinyatakan dengan parameter berikut :

1. Akurasi ditentukan dengan nilai recovery

Recovery = x 100%

diketahui kadar

kur kadar teru

2. Presisi diukur dengan Coefficient of variance (CV)

CV = x 100%

rata -rata

baku simpangan

recovery

3. Spesifisitas ditentukan dari profil pemisahan pada kromatogram yang

menunjukkan pemisahan hingga baseline untuk ketiga analit.

4. Linieritas ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari

penentuan persamaan kurva baku dengan analisis regresi linear.

(63)

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyiapan Fase Gerak

Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ialah campuran dari metanol :

aquabidest dan metanol : aquabidest : asam asetat glasial yang bersifat polar.

Pemilihan fase gerak tersebut didasarkan pada kondisi kromatografi yang dipilih

yaitu kromatografi partisi fase terbalik, karena ketiga senyawa analit bersifat polar

sehingga untuk mengelusinya dengan cepat digunakan fase gerak yang polar

sesuai dengan kepolaran ketiga senyawa analit, serta menggunakan kolom C-18

yang bersifat non polar agar ketiga analit dapat terpisah akibat perbedaaan

interaksi tiap analit dengan fase diam. Pemilihan fase gerak ini sangat penting

karena dapat mempengaruhi waktu retensi dan pemisahan dari komponen –

komponen yang akan dianalisis. Kedua jenis fase gerak yang digunakan pada

penelitian ini mengandung metanol yang termasuk golongan alkohol karena

ketiga analit mudah larut dalam etanol yang juga termasuk golongan alkohol.

Fase gerak sebelum digunakan harus disaring untuk menghilangkan

partikel yang dapat menyebabkan kerusakan pada pompa serta menyumbat kolom.

Selanjutnya, fase gerak didegas untuk menghilangkan gelembung – gelembung gas yang terlarut dalam fase gerak, agar tidak terjadi sinyal palsu pada detektor.

Fase gerak yang digunakan ini mengacu pada studi pustaka terhadap jurnal

Gambar

Tabel XV. Hasil penetapan kadar kafein dalam sampel simulasi kadar
Gambar 25. Kromatogram pemisahan parasetamol, propifenazon, dan
Gambar 28.  Kurva baku parasetamol……………………………...……… 61
Gambar 4. Skema Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair, 1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim

Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini...

Kandou Manado untuk melaksanakan penelitian serta mengurus surat ethical clearance , setelah mendapatkan izin dari direktur, kepala instalasi dan kepala ruangan triase,

Kabupaten/Kota Sehat adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan

Berdasarkan data dari Puskesmas Pagaden Barat pemberian ASI Eksklusif yang paling rendah yaitu Di Desa Cidadap sebanyak 51% dari 110 bayi.Tujuan dari penelitian

dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua

Gambar 5 Diagram alur kerja aplikasi SCADA Dari gambar diagram alur kerja aplikasi SCADA diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi SCADA ini dapat menerima