• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan

Hutan merupakan sumberdaya alam yang penting bagi masyarakat di sekitarnya. Hutan menyediakan pangan, bahan bakar, tempat tinggal, dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Tetapi seringkali hak-hak masyarakat penghuni hutan yang hidupnya bergantung pada hutan tidak diakui keberadaannya. Masyakat juga tidak diberi kesempatan untuk ikut menentukan dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan dan peraturan nasional mengenai hutan.

Kebijakan pengelolaan hutan lebih menguntungkan kalangan elit sementara banyak penduduk penduduk di sekitar hutan tersisihkan. Terdapat pandangan yang menyesatkan dan menyudutkan penduduk di sekitar hutan dengan anggapan : (1) jumlah penduduk yang hidup di sekitar hutan hanya sedikit, (2) masyarakat penghuni hutan melakukan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum secara liar atau ilegal (3) masyarakat senantiasa merusak hutan terutama dengan sistem perladangan tebas bakar. Sementara banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat penghuni hutan dapat melindungi keanekaragaman hayati dan mengelola ekosistem setempat secara lestari (Lynch & Talbott, 2001).

Sejak awal, peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan hutan mengandung banyak permasalahan. Peraturan yang pertama dikeluarkan pada tahun 1865 yaitu Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865). Kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah.

Setelah Indonesia merdeka, hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1964, pemerintah membentuk Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang

(2)

2 diberi wewenang mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu tugas Departemen Kehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, dan melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan, terutama produksi dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untuk meninggikan derajat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dan negara secara kekal.

Saat Orde Baru, orientasi pembangunan ekonomi nasional adalah mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan: (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal (2) pemerintah secara sadar mengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dan devisa negara untuk membiayai pembangunan nasional.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi ini, pemerintah membuat instrumen hukum yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Selain minyak dan gas bumi, sumber daya hutan menjadi andalan utama pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi instrumen untuk mendukung peningkatan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya hutan. Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan, dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pemberian konsesi HPH dan HPHH diberikan kepada pemilik modal asing dan modal dalam negeri baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada swasta dan BUMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi dampak dari segi

(3)

3 ekologi cukup serius, degradasi hutan tropis terjadi di berbagai kawasan di Indonesia. Hutan Indonesia mengalami degradasi yang terus berkelanjutan. Sebaliknya rakyat yang berada di sekitar hutan merasakan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat. Kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan tinggal di sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan, yang tergusur dan terabaikan serta tertutupnya akses dan hak-hak rakyat atas sumber daya hutan.

Kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, atau BUMN tidak dilandasi dengan kebijakan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan yang terstruktur. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasional HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Oleh karena itu, dapat diprediksi jika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH. Sebagai konsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi dari tahun ke tahun.

Secara ideologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yang berbentuk undang-undang mencerminkan ideologi pengelolaan hutan yang berbasis negara. Instrumen hukum pengelolaan hutan yang dikeluarkan pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah. Hukum yang berlaku cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, bahkan pembekuan akses dan hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan.

Konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan terus terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan. Menurut (Moniaga 2010), konflik-konflik yang terjadi dalam pengelolaan hutan setidaknya disebabkan hal-hal sebagai berikut: pertama: penetapan secara sepihak atas kawasan hutan oleh negara tanpa adanya sosialisasi. Padahal, dalam undang-undang No.41 tahun 1999 Kehutanan dalam pasal 15 disebutkan bahwa untuk menetapkan kawasan hutan pemerintah harus melakukan (1) penunjukan kawasan hutan , (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, (4) penetapan kawasan hutan. Penetapan sepihak oleh pemerintah ini mengakibatkan konflik tenurial menjadi semakin terbuka.

Kedua: adanya tumpang tindih undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya daya alam menjadi salah satu faktor penyebab konflik

(4)

4 kehutanan masih berkelanjutan. Penetapan batas-batas wilayah hutan didasarkan pada peta Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) dan baru 30 persen yang diukur batas-batas wilayahnya dengan jelas oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan Peraturan Presiden no.10 tahun 2006 menyebutkan bahwa hal-hal yang menyangkut persoalan tanah akan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Sampai dengan awal 2005, proses penatabatasan baru berhasil mencakup 12 juta hektar, atau sekitar 10% dari 120 juta hektar kawasan hutan, sisanya seluas 108 juta hektar statusnya tidak pasti dengan ketiadaan informasi atas hak-hak yang melekat pada kawasan tersebut. Luas kawasan hutan Indonesia yang resmi saat ini hanyalah 12 juta hektar, bukan 120 juta hektar seperti anggapan yang umum dipakai selama ini. Kawasan hutan yang tersisa 108 juta hektar dapat dianggap sebagai kawasan hutan nonnegara dan merupakan tanah yang dipertimbangkan oleh BPN dikuasai oleh negara, tetapi bukan tanah negara, karena pemerintah harus menentukan adanya hak-hak atas tanah. Sebagai konsekuensinya, negara tidak dapat memberikan hak pengelolaan, pengusahaan atau hak pakai atas kawasan bersangkutan hingga ditentukan apakah terdapat hak privat di atasnya. Setelah itu, Kementerian Kehutanan dapat mengeluarkan izin pemanfaatan pada kasus hutan hak, hanya kepada mereka yang memiliki hak atas tanah yang bersangkutan (Harsono 1997).

Ketiga: tertutupnya ruang partisipasi atau akses masyarakat untuk ikut memanfaatkan hasil hutan. Keempat: masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi penderita ketika pemerintah melalui aparatnya memakai cara-cara represif terhadap mereka yang berusaha memanfaatkan hasil hutan. Kelima: kegagalan pemerintah memberdayakan masyarakat desa hutan secara menyeluruh dalam sistem pengelolaan hutan, sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial masyarakat.

Keenam: keterbukaan akses informasi oleh Perhutani mengenai informasi publik seperti batas tenurial antara wilayah hutan dengan tanah milik masyarakat, kondisi ini juga sering menimbulkan konflik panjang. Perhutani mempunyai mekanisme penyelesaiannya, tetapi belum dilakukan secara bertanggung jawab.

Jika kebijakan akan terus mempertahankan pengelolaan hutan yang bercorak sentralistik, dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka kawasan hutan tropis Indonesia akan terdegradasi secara keseluruhan. Sudah saatnya pemerintah dengan mengkaji ulang dan mengganti paradigma

(5)

5 pembangunan yang berbasis negara menuju ke pembangunan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat (community-based forest management).

1.1.2 Perhutani sebagai “Penguasa” Hutan di Jawa

Sejak Indonesia mengambil alih hutan Jawa dari perusahaan kolonial Belanda, Bosch Wezen, Perum Perhutani mengelola hampir seluruh hutan di Jawa. Lebih dari 90 persen hutan negara di Jawa dikelola Perhutani, dan lebih dari 70 persen diantaranya dikelola sebagai hutan produksi.

Melalui PP 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara, negara menetapkan Perhutani sebagai pengelola wilayah hutan di Jawa. Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sifat usaha dari Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan.

Perum Perhutani ditetapkan sebagai perusahaan yang mempunyai misi: 1). Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan; 2). Menyelenggarakan pengelolaan hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional dengan berpedoman kepada rencana pengelolaan hutan yang disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; 3). Tujuan Perusahaan adalah turut serta membangun ekonomi nasional khususnya dalam rangka pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang kehutanan. Perhutani harus melayani kepentingan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dan memberikan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi kepada masyarakat di sekitar hutan sebagai bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Antara misi dengan kenyataan yang terjadi di lapangan ternyata berbeda jauh. Kerusakan hutan di Jawa yang dikelola PT Perhutani, tahun 2001 mencapai 350.000 ha. Lahan kritis di Jawa diperkirakan mencapai 2.481.208 ha terdiri dari 2.057.903 ha berada di luar kawasan hutan negara dan 423.305 ha

(6)

6 berada dalam kawasan hutan negara. Jawa Barat merupakan wilayah yang paling banyak memiliki lahan dengan kondisi kritis (1,3 juta ha) yang berada di kawasan hutan negara seluas 300.000 ha (Perhutani 2007).

Total luas hutan di hutan Provinsi Jawa Barat hanya tinggal 816.603 hektar atau sekitar 22,3 persen dari luas Jawa Barat. Idealnya luas hutan yang ada ini mencapai 30% dari luas daerah Jabar. Lebih dari 100 ribu hektar luas hutan di Jawa Barat yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jabar dan Baten, kondisinya rusak. Sebanyak 75.000 dari 758.000 hektare luas lahan milik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kritis. Sebanyak 20.000 hektare diantaranya bahkan kondisi ekologinya rusak parah. Menurut data dari (Perhutani 2007), kerusakan hutan akibat penjarahan hutan pada awal masa reformasi telah menyebabkan gundulnya 160.000 hektar lahan di Jawa Barat dan Banten. Sebagain kerusakan telah bisa dipulihkan.

Melihat kondisi hutan di Jawa yang kritis sangat wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana sebenarnya pengelolaan hutan di Jawa selama ini. Keberadaan Perum Perhutani sebagai pengelola sebagian besar hutan negara di Jawa dipertanyakan. Perhutani dianggap belum berhasil mengelola sumberdaya hutan baik dari sisi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Terjadinya degradasi hutan dan lahan kritis di Jawa menjadi tanggung jawab Perhutani.

Hubungan antara masyarakat dengan Perhutani dalam pengelolaan hutan di Jawa mengalami gejolak yang dinamis. Sejak tahun 1970 – 1998 para aktivis terus melakukan kritik atas hegemoni para elit, kolaborasi elit politik telah membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaan terhadap kepentingan masyarakat banyak. Beragam usaha bisnis yang dikuasai oleh pemerintah digunakan untuk kemakmuran pemerintah bukan kemakmuran rakyat. Pengalihan aset sumberdaya alam menjadi milik pemerintah.

Konflik tenurial terus berlangsung di berbagai wilayah. Konflik mencapai puncaknya pada saat reformasi politik 1997 – 1999 sehingga menghancurkan sistem pengelolaan hutan Perhutani di banyak wilayah. Pengelolaan hutan di Jawa dalam kondisi kritis karena tekanan masyarakat terhadap hutan dan keterbatasan kemampuan Perhutani baik lembaga maupun personalnya. Ketika wibawa pemerintah melemah, penyerobotan tanah, penjarahan, pendudukan, pembalakan liar terjadi tanpa mampu dicegah (Affianto, 2005).

(7)

7 Penebangan ribuan pohon yang terjadi pada era reformasi merupakan ”bom waktu” yang dibuat karena adanya penindasan dan larangan Perhutani terhadap masyarakat untuk mengakses hutan. Pada Tahun 2001 Perhutani mengalami kerugian milyaran rupiah dalam waktu singkat akibat hilangnya ribuan pohon jati dan kerusakan hutan di kawasan yang melimpah sumber daya hutannnya. Menghadapi kondisi kritis ini Perhutani masih bekerja seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa (business as usual) (Peluso, 2006).

Persoalan akses menjadi awal munculnya gerakan masyarakat hutan desa, karena hutan masih dianggap sebagai warisan leluhur mereka yang harus mereka kelola dan manfaatkan untuk kepentingan anak cucu mereka. Keberadaan hukum formal dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hutan menjadi tidak berguna lagi. Tindakan-tindakan untuk melawan dominasi perhutani terus berlangsung di beberapa daerah di pulau Jawa, meskipun dari bentuk yang paling kecil seperti mengirim surat penolakan sampai menganggap bahwa perhutani merupakan perpanjangan kepentingan kolonial. Perlawanan Serikat Petani Pasundan (SPP) di kawasan selatan Jawa Barat dengan pengelolaan hutan oleh rakyat dan ternyata hutan di kawasan itu lebih baik dibandingkan dengan hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai bentuk perlawananan masyarakat tidak menjadi koreksi ataupun kritik terhadap pemerintah malah mereka dianggap sebagai ancaman kedaulatan, dan dikrimiminalkan.

1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Perlunya Pelibatan Masyarakat

Era reformasi membawa perubahan sistem sosial politik perubahan pembangunan sumberdaya hutan diantaranya: (1). Semangat sentralistik menjadi desentralistik, (2) Melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata masyarakat, (3) Munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat kepemilikan sumberdaya alam yang dikuasai negara, (4) Munculnya pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dari state based menuju community based, (5) munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang tersingkirkan melalui gerakan penjarahan hutan secara massif (Awang,2009).

Maraknya konflik tenurial sumberdaya hutan di era reformasi, mendorong lahirnya kesadaran baru tentang pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Semua orang sepakat mengelola hutan tanpa kebersamaan dengan masyarakat sekitar hutan tidak mungkin lagi dilakukan.

(8)

8 Siapa pun pengelola hutan tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari organisasi masyarakat.

Banyaknya gangguan sistem pengelolaan hutan Perhutani di berbagai wilayah menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) meskipun kebanyakan staf Perhutani seperti ”terpaksa” mengembangkan PHBM (Affianto, 2005). Program PHBM merupakan bentuk kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani bersama dengan masyarakat yang dirancang untuk bisa menampung dinamika dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan mereka. Sebagai sebuah pranata sosial yang baru dibentuk, PHBM disangsikan dapat mengakomodasi nilai-nilai lokal, tradisi, kepemimpinan yang sebenarnya suda ada pada masyarakat.

Dari segi landasan filosofinya dapat dicermati bahwa PHBM merupakan penyempurnaan dari ideologi pembangunan yang bersumber dari pendekatan karitatif (charity) kapitalisme. PHBM masih dipahami sebagai projek dan belum menunjukkan dimensi pemihakan terhadap masyarakat sendiri, belum menjadi transformasi kehutanan yang konkrit, tetapi baru melakukan perubahan pada tingkat pengelolaan dan teknis. Dengan pendekatan yang belum jelas karena ketidakjelasan filosofi dan prinsip dasarnya, maka harapan agar PHBM dapat memberdayakan masyarakat akan sulit direalisasikan. Program ini belum menjadi emanasi dari suprastruktur, ideologi, politik kebijakan pengelolaan hutan

yang berpihak kepada masyarakat. Diperlukan pergeseran konseptual dalam Pengelolaan kehutanan

masyarakat. Pengelolaan yang mengutamakan akses masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumberdaya hutan berkaitan erat dengan keberadaan institusi lokal. Pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu dukungan pengembangan institusi lokal sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Membangun kelembagaan hutan kemasyarakatan di tingkat internal melalui simpul belajar untuk mengubah pola pikir aparat kehutanan (pusat dan daerah) dari paradigma konvensional yang berorientasi ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat berbasis kemitraan, berdasarkan pengalaman lapangan. Campbell 1997 mengusulkan adanya perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional, dan manajemen dalam (tabel 1).

Kajian tentang program kehutanan masyarakat telah banyak dilakukan. Peluso (2006) meneliti tentang kebijakan pengelolaan hutan di Jawa dengan

(9)

9 mengambil lokasi di beberapa desa pinggiran hutan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa mempunyai hubungan yang rumit dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sejak masa kolonial hingga sekarang masyarakat dan hutan justru menjadi korban, penguasaan sumber daya berdampak pada pemiskinan rakyat di sekitarnya. Program-program sosial yang dikembangkan oleh pengelola hutan sejak awal telah gagal memberi solusi yang mendasar, yakni menjadikan hutan sebagai basis material penopang kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar adalah petani tak bertanah. Penelitian ini merupakan telaah ekologi politik dengan melihat berbagai fenomena ekonomi politik, kekuasaan, kewenangan dan institusi dalam pengelolaan hutan di Jawa.

Kusdamayanti (2008) menekuni tentang pengelolaan hutan kolaboratif di Kabupaten Malang dalam bentuk Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) sebagai sebuah kebijakan yang dimulai sejak 2004. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peran negara dan partisipan lainnya dalam proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan belum setara. Berbagai bentuk dominasi negara yang direpresentasikan oleh Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah terjadi. Dialog otentik yang diperlukan untuk berlangsungnya kebijakan deliberatif belum berjalan. Adanya perlawanan rakyat secara tertutup karena kebutuhan ekonomi, perlawanan terbuka berupa demonstrasi sebagai bentuk respon dari penyelesaian konflik yang tidak memuaskan. Dialog akibat adanya kebuntuan komunikasi. Upaya untuk menjadikan PKPH sebagai kebijakan yang lebih demokratis dan adil mengalami kegagalan karena masih kuatnya dominasi yang dilakukan oleh negara dan belum siapnya para partisipan untuk menjalankan kebijakan PKPH sebagai kebijakan yang deliberatif.

Purwita (2009) mengkaji tentang Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di wilayah Pengalengan, KPH Bandung Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PHBM belum sepenuhnya mampu mengentaskan masyarakat sekitar hutan dari belenggu kemiskinan, tetapi cukup berhasil mengatasi perambahan kawasan hutan lindung melalui program alih komoditas dari bertanam sayur menjadi bertanam kopi yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan ekonomi dan kelembagaan terbukti belum mampu sepenuhnya mengatasi masalah kemiskinan diperlukan dukungan penguatan kelembagaan sebagai prasyarat yang diharapkan mampu memperbaiki keragaan implementasi PHBM di level mikro.

(10)

10

Tabel 1, Pergeseran Konseptual yang Diperlukan

(

Sumber : Campbell, 1997)

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumah tangga petani PHBM adalah luas lahan garapan, harga faktor input (pupuk, obat, bibit), harga output, upah tenaga-kerja, pendapatan, serta total biaya produksi usahatani. Faktor lahan, harga input dan upah dapat menjadi instrumen kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dan Perhutani untuk memberdayakan petani keluar dari belenggu kemiskinan.

Suhardjito (1992) menelaah dinamika komunitas pedesaan sekitar hutan KPH Saradan. Penelitian ditujukan untuk memahami proses sosial dan proses teknis dalam penerapan program perhutanan sosial serta pengaruhnya terhadap produktivitas usaha tani tumpangsari, pendapatan rumah tangga, pemerataan sosial ekonomi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh

No. Dari Kondisi Menuju Kondisi A Sikap dan orientasi

1 Pengendalian Fasilitasi

2 Penerima Manfaat Mitra

3 Pengguna Pengelola

4 Keputusan unilateral Partisipatif

5 Orientasi penerimaan Orientasi sumberdaya 6 Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 7 Diarahkan oleh perencanaan Proses belajar / evolusi B Institusional dan Administratif

8 Sentralisasi Desentralisasi

9 Manajemen oleh pemerintah Kemitraan

10 Top down Partisipatif / negosiatif 11 Orientasi target Orientasi proses 12 Anggaran kaku untuk rencana

makro

Anggaran fleksibel dengan rencana mikro

13 Peraturan untuk menghukum Penyelesaian konflik C Metode Manajemen

14 Kaku Fleksibel

15 Tujuan Tunggal Tujuan beragam

16 Keseragaman Keanekaragaman

17 Produk tunggal Produk beragam 18 Menu manajemen tetap dengan

aturan silvikultur tunggal

Beragam pilihan aturan silvikultur untuk bspesifikasi lokasi

19 Tanaman Regenerasi alam

20 Tenaga kerja/buruh/Pengumpul Manajer/

(11)

11 usaha tani tumpangsari memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan, petani berlahan sempit dan buruh tani mempunyai ketergantungan besar terhadap usaha tani tumpangsari. Kondisi ekologis berpengaruh terhadap besarnya manfaat dari program perhutanan sosial. Petugas lapangan Perhutani masih mendominasi dalam hubungan sosial dengan pesanggem. Perhutani menggunakan kelompok tani hutan yang ada untuk menyampaikan informasi.

Dalam penelitian Ichwandi dan Saleh (2000), pola kemitraan dalam pengelolaan hutan memberikan manfaat dari segi sosial, yaitu: (1) untuk mengatasi konflik tanah (2) membantu pembangunan lembaga sosial ekonomi, (3) membantu pembangunan sumber daya manusia masyarakat. Dari segi ekologi, membantu penurunan tingkat degradasi dan kerusakan lahan melalui kegiatan penanaman sehingga kondisi hutan menjadi lebih baik.

Terkait dengan partisipasi masyarakat, Pujo (2003) mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam program kehutanan sosial di Perhutani unit III Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa program PHBM mampu meningkatkan pemerataan pendapatan dibanding program PMDH. Keberhasilan program perhutanan sosial berkaitan dengan peserta partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat perlu dilakukan pada proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pemanfaatan hasil. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah faktor intrinsik dan faktor lingkungan.

Siswiyanti (2006) juga melakukan kajian hubungan karakteristik anggota masyarakat sekitar hutan dan beberapa faktor pendukung dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan tergolong rendah. Penyebab rendahnya partisipasi adalah : (1) Pengambilan keputusan dalam PHBM didominasi Perum Perhutani (2) Tanaman pohon merupakan investasi jangka panjang (3) kegiatan PHBM belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pemilihan lokasi penelitian di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, dengan pertimbangan bahwa kegiatan PHBM di BKPH Parung Panjang mempunyai kompleksitas masalah yang rumit dengan tingkat keberhasilan sangat beragam dari masing-masing kelompok tani hutan (KTH) dan Lembaga

(12)

12 masyarakat Desa hutan (LMDH). Oleh karena itu pengkajian secara holistik implementasi PHBM di BKPH Parung Panjang, dapat menjadi contoh kasus untuk mengkaji lebih mendalam persoalan hutan kemasyarakatan. Fokus penelitian ini bertolak dari pengkajian yang bersifat mikro berupa aktivitas dan dinamika kelompok tani hutan (KTH), dan LMDH di lokasi penelitian.

1.2 Permasalahan Penelitian

Sebagai salah satu bentuk kemitraan dalam pengelolaan hutan, PHBM dirancang untuk bisa menampung dinamika dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkannya dalam pengelolaan hutan. Yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah program PHBM selama ini benar-benar dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya atau hanya sekedar untuk meredam rakyat agar tidak melakukan pencurian atau penjarahan. Apa sebenarnya latar belakang yang mendasari kebijakan PHBM dari Perhutani dan bagaimana komitmen Perhutani dalam menerapkan kebijakan ini?

Bagaimana persepsi masyarakat tentang PHBM, apakah masyarakat sebagai mitra dapat meningkat kesejahteraannya dan diuntungkan dari sistem bagi hasil dalam program PHBM. Bagaimana kesetaraan kedudukan antara masyarakat dan Perhutani dalam pelaksanaan PHBM? Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut diperlukan penelitian untuk mengkaji pranata sosial PHBM dalam memberdayakan masyarakat dan bagaimana masyarakat dilibatkan pada pola kemitraan dalam program PHBM.

Adapun permasalahan penelitian yang dijadikan fokus riset ini dirumuskan menjadi empat pertanyaan sebagai berikut

1. Bagaimanakah persepsi masyarakat tentang program Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat desa hutan?

2. Bagaimana kelembagaan yang bekerja dalam program PHBM untuk mendukung pembeedayaan masyarakat di Perhutani BKPH Parung Panjang?

3. Bagaimana kesetaraan kedudukan antara petani berhadapan dengan Perhutani BKPH Parung Panjang termasuk dalam sistem bagi hasil?

(13)

13 4. Rumusan kebijakan dan skenario seperti apakah yang mampu

mendukung terwujudnya pengelolaan hutan kemasyarakatan yang berkelanjutan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian dan analisis terhadap pengelolaan hutan kemitraan pola PHBM yang dilaksanakan di Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang dan dampaknya dalam memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat desa hutan.

2. Mengkaji kelembagaan dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang yang mendukung pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

3. Mengkaji kesetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani BKPH Parung Panjang termasuk dalam sistem bagi hasil.

4. Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan kondisi lokal menuju terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak, sedikitnya sebagai upaya:

1. Agar digunakan sebagai dasar pijak dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) sehingga dapat meningkatkan keberhasilan program.

2. Memberi kontribusi keilmuan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yang mengutamakan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat.

3. Meningkatkan peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) di KPH Bogor.

(14)

14 4. Mengembangkan dasar pijak bagi kebijakan pengelolaan hutan

kemasyarakatan yang berkelanjutan berbasis penguatan masyarakat.

1.5 Kebaruan ( Novelty)

Kebaruan penelitian tentang pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan kasus PHBM, adalah memberikan kritik terhadap pelaksanaan program PHBM. Analisis dilakukan dengan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Program PHBM dikaji secara menyeluruh, kontekstual, dan multiaras dengan membuka selubung di balik jawaban, pola, struktur, gejala yang ada. Dalam dialog kritis ditelaah apakah PHBM memang benar-benar mampu menjadi pranata sosial yang mampu menampung dinamika kebutuhan masyarakat, mampu memberdayakan masyarakat atau hanya sekedar sebagai peredam konflik demi kepentingan Perhutani saja. Dari aspek kelembagaan, ditelaah seberapa kuat ”daya” lembaga lokal ketika berhadapan dengan Perhutani. Penelitian ini juga merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan kondisi lokal menuju terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN. JL Sulaw

Selain daripada cita-cita untuk mewujudkan “port” untuk kami sendiri, kami sedar pendekatan ini akan memberikan nilai tambah kepada ekonomi setempat kerana ianya berupaya untuk

Jika kita menyukai seeorang maka kita cenderung melihat segala sesuatu dari diri orang tersebut dengan positif sebaliknya jika kita tidak menyuaki seseorang maka kita akan

Yang dimaksud dengan “The most unique way to spend your tea time” adalah menggambarkan kepada khalayak sasaran bahwa Café Hare and Hatter menawarkan produk menu

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni, beladiri, cara menyulam.

Dengan mengetahui bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal dapat membantu perusahaan makanan dan minuman dalam menentukan bagaimana seharusnya

Variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi variabel independen (eksogen, bebas) yaitu gaya kepemimpinan (X1), motivasi (X2), disiplin (X3), dan variabel