• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian

Program Studi Meteorologi

© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

PENERBITAN ONLINE AWAL

Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada

Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah

diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan

penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi

Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat

diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin

dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon

diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan

kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan

versi publikasi akhir.

(2)

1

Prediksi Sebaran Abu Vulkanik Di Udara

Dengan Menggunakan Model PUFF

MUHAMMAD RAIS ABDILLAH

Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangan prediksi cepat sebaran abu vulkanik di Indonesia. Uji coba prediksi (hindcast) dilakukan dengan menggunakan model dispersi abu vulkanik PUFF pada kasus letusan G. Merapi tanggal 5 dan 10 November 2010. PUFF merupakan model trayektori partikel yang memakai formulasi Lagrangian dan digunakan oleh berbagai stasiun Volcanic Ash Advisory Center (VAAC). PUFF membutuhkan masukan data prediksi medan angin u (zonal) dan v (meridional) 4-dimensi. Dalam penelitian ini digunakan data inisial berupa medan angin dari model global National Center for Environmental Prediction-Global Forecast System (NCEP-GFS) beresolusi 0.5° (~55 km) dan model regional Weather Research and Forecasting (WRF) beresolusi 9 km. Hasil sebaran diverifikasi dengan deteksi abu dari citra satelit Multifunctional Transport Satellites (MTSAT). Model PUFF berhasil memprediksi sebaran abu vulkanik di udara dengan akurat seperti pada kasus 10 November 2010. Namun prediksi pada kasus 5 November 2010 agak menyimpang dari citra satelit. Hal ini terjadi akibat pada tanggal 5 prediksi medan angin kurang akurat dan banyak gangguan cuaca. PUFF hanya memperhitungkan inisial medan angin horizontal dalam mendispersi partikel. Penggunaan data medan angin hasil downscaling dengan WRF tidak menunjukkan peningkatan keakuratan prediksi yang signifikan. Waktu running model dari persiapan data hingga pemrosesan gambar dengan data WRF membutuhkan sekitar 2.5 jam dan GFS hanya 45 menit. Untuk prediksi cepat dengan PUFF lebih cocok mengunakan data medan angin GFS karena hasil sebarannya cukup akurat dan waktu running-nya cepat. Hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu langkah awal dalam pengembangan sistem peringatan dini sebaran abu vulkanik bagi penerbangan di Indonesia.

Kata kunci : sebaran, abu vulkanik, model PUFF, medan angin, GFS, WRF.

1. Pendahuluan

Awan abu (ash cloud) hasil letusan gunung api sangat berbahaya bagi lalu lintas penerbangan di udara. Ancaman yang paling besar saat adanya abu vulkanik di udara adalah kegagalan mesin pesawat. Contoh pada tahun 1982, keempat mesin jet pesawat Boing 747 mati saat terbang melintasi abu vulkanik letusan Gunung Galunggung (Casadevall, 1993) dan pada April 2010 seluruh penerbangan di Eropa ditutup akibat abu letusan Gunung Eyjafjallajökull, Islandia (Palsson, 2010). Dalam 30 tahun terakhir, lebih dari 100 pesawat yang terbang melewati awan abu vulkanik dan mengakibatkan kerugian jutaan dollar serta mengancam puluhan ribu nyawa manusia (Webley dan Mastin, 2009).

Untuk menanggulangi bencana akibat sebaran abu vulkanik didirikan Volcanic Ash Advisory Center (VAAC; ICAO, 2004). Saat ini terdapat enam VAAC yang bertugas untuk monitoring dan prediksi suatu sebaran abu vulkanik agar tercipta sistem peringatan dini bagi penerbangan. Indonesia belum mempunyai sitem peringatan dini lokal padahal Indonesia adalah negara dengan gunung api aktif terbanyak di dunia. Akhir-akhir ini beberapa gunung api di Indonesia

aktivitasnya meningkat serta tejadi beberapa letusan gunung api yang cukup kuat, seperti Gunung Merapi (2010) dan Gunung Lokon (2011). Penerbangan domestik dan internasional di Indonesia juga semakin padat. Sehingga dibutuhkan sistem peringatan dini lokal untuk sebaran abu vulkanik di Indonesia.

Salah satu komponen dalam sistem peringatan dini sebaran abu vulkanik adalah prediksi sebarannya. Sehingga penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini bertujuan untuk mengembangkan model prediksi cepat sebaran abu vulkanik di Indonesia. Dengan adanya prediksi ini, diharapkan pengendalian lalu lintas penerbangan wilayah Indonesia menjadi lebih aman dan cepat. Model yang digunakan adalah model PUFF. Saat ini PUFF digunakan oleh banyak instansi nasional dan VAAC di berbagai tempat di dunia (UAF, 2011).

PUFF adalah model trayektori partikel yang membutuhkan data inisial berupa medan angin horizontal u dan v 4-dimensi dengan formulasi Lagrangian. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hasil dan kinerja model dengan membandingkan dua data inisial medan angin yang berbeda. Dalam hal ini adalah data medan angin dari

(3)

2

model global National Center for Environmental Prediction – Global Forecast System (NCEP-GFS) dan model regional Weather Researh and Forecast (WRF).

2. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian ini dibagi menjadi tiga langkah utama yaitu prediksi medan angin, prediksi sebaran abu dengan PUFF, dan verifikasi. Uji coba prediksi (hind cast) dilakukan pada dua kasus letusan Gunung Merapi yang terletak di Pulau Jawa. Data yang digunakan dijelaskan dalam poin-poin metodologi.

2.1. Prediksi Medan Angin

PUFF tidak dapat menghasilkan data prediksi medan angin sendiri. Dalam penelitian ini data medan angin diperoleh dari model prediksi cuaca numerik global GFS dan regional WRF. GFS merupakan model spectral beresolusi T574 yang dijalankan secara real-time empat kali sehari oleh NCEP-NOAA1 untuk prediksi 8 hari ke depan dengan keluaran tiap 3 jam. Model GFS mempunyai waktu inisial (cycle) 00, 06, 12, dan 18 UTC. Ketersediaan data hasil model GFS adalah tiga jam setelah waktu cycle. Kemampuan prediksi global dari NCEP-NOAA ini telah meningkat secara signifikan dalam dua dekade terakhir, meskipun kualitasnya di daerah tropis agak kurang baik akibat sedikitnya pengamatan (Kalnay, 2003). Yu dan Gerald (2003) juga menambahkan bahwa dalam GFS terdapat peningkatan kualitas prediksi yang tinggi pada medan angin dan tekanan dekat permukaan laut. Penelitian Searcy, dkk. (1998) berhasil memprediksi sebaran abu vulkanik dengan model PUFF menggunakan data inisial dari model GFS.

Gambar 2.1. Domain 1 (induk) dan 2 model WRF yang digunakan oleh WCPL-ITB. Data medan angin yang diambil hanya berasal dari domain 2. (Sumber: WCPL, 2011)

Data prediksi cuaca hasil dari model GFS memiliki resolusi yang rendah (0.5°x0.5°). Untuk memperoleh kualitas prediksi cuaca yang lebih detail,

1

National Center for Environmental Prediction - National Oceanic and Atmospheric Administration adalah lembaga dibawah naungan U.S. Department of Commerce

resolusi spasial ditingkatkan (downscaling) dengan menggunakan model prediksi cuaca regional (skala meso) WRF. Jadi data luaran model global digunakan sebagai background (syarat awal dan syarat batas) untuk menjalankan prediksi dalam skala yang lebih kecil (Junnaedhi, 2008). Folch dan Viramonte (2008) berhasil memprediksi sebaran abu vulkanik dengan model WRF yang memakai background data model GFS beresolusi spasial 0.5°x0.5°. Model WRF yang digunakan memakai konfigurasi yang sama dengan model WRF untuk operasional Weather and Climate Prediction Laboratory – Institut Teknologi Bandung (WCPL-ITB) yang mempunyai dua domain (lihat Gambar 2.1). Penelitian dilakukan di domain 2 yang beresolusi 9x9 km. Beberapa parameterisasi yang digunakan oleh WCPL-ITB ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Parameterisasi model WRF yang digunakan

Jenis Parameterisasi Nama Parameterisasi

Kumulus Skema Kain-Fritsch Mikrofisis Skema WSM 3-simple ice

Planetary Boundary Layer Skema MRF

Data GFS yang digunakan adalah prediksi hingga dua hari ke depan (48 jam) pada tanggal 4 November 2010 cycle 18 dan 10 November 2010 cycle 00 beresolusi spasial 0.5°x0.5° (~55 km). Kemudian data WRF diperoleh dengan downscaling atau meningkatkan resolusi hingga 9x9 km untuk dua hari ke depan menggunakan inisial (syarat awal) dan syarat batas dengan data GFS di kedua tanggal tersebut. Proses untuk mendapatkan data hasil model WRF memakan waktu karena running model yang lama, sedangkan data GFS cukup diperoleh dengan men-download data tersebut di website NOMADS-NOAA2.

2.2. Prediksi Sebaran Abu dengan PUFF

PUFF adalah model tracking abu vulkanik yang dikembangkan untuk simulasi pergerakan abu di udara secara cepat saat erupsi suatu gunung api terjadi. Model memakai formulasi Lagrangian 3-dimensi untuk adveksi, difusi turbulen, dan endapan menggunakan teknik random walk (Searcy dkk, 1998). Dalam bentuk Lagrangian dan langkah waktu Dt, vektor posisi dari setiap partikel dilacak dari waktu t hingga t+Dt oleh persamaan berikut

ܴ௜ሺݐ ൅ ܦݐሻ ൌ ܴ௜ሺݐሻ ൅ ܹሺݐሻܦݐ ൅ ܼሺݐሻܦݐ ൅ ܵ௜ሺݐሻܦݐ (2.1) dengan ܴ adalah vektor posisi partikel ݅௧௛, ܹ kecepatan angin lokal (vektor adveksi), ܼ vektor yang merepresentasikan dispersi turbulen, dan ܵ vektor jatuh akibat pengaruh gravitasi (vektor sedimentasi), tergantung dari ukuran partikel ݅௧௛.

2

National Operational Model Archive and Distribution System - NOAA: http://nomads.ncdc.noaa.gov/

(4)

3

PUFF juga membutuhkan data inisial letusan yang penting seperti lokasi letusan, waktu letusan, serta tinggi letusan atau tinggi plume. Kesalahan dalam penentuan tinggi plume dapat mengakibatkan kesalahan prediksi akibat angin di tiap level berbeda-beda. Peterson dan Dean (2003) menyatakan tinggi plume adalah parameter yang paling berpengaruh terhadap hasil prediksi PUFF. Informasi data letusan tersebut diperoleh dari VAAC atau sumber informasi lain seperti Badang Geologi dan SIGMET3.

Data inisial medan angin hasil model prediksi cuaca harus dikonversi terlebih dahulu agar bisa dibaca oleh PUFF. PUFF hanya bisa membaca inputan berupa data medan angin netCDF (network common data form) time series dalam satu file dengan attribut tambahan berupa waktu eksplisit “valtime”.

Dibutuhkan waktu sekitar 30-40 menit untuk konversi data medan angin tersebut.

Parameter tambahan dalam inisialisasi plume abu di dalam model PUFF diatur terlebih dahulu. PUFF memprediksi gerak partikel dengan jumlah tertentu. Semakin banyak jumlah partikel, maka distribusi sebarannya akan semakin baik pula. Tapi jumlah partikel yang sangat banyak dapat memperlama waktu perhitungan. Menurut Searcy dkk, (1998) untuk prediksi cepat jumlah partikel cukup berkisar 2000-5000 partikel. Dengan memperhitungkan kondisi sumber daya komputasi yang ada saat ini, ditentukan jumlah partikel yang akan disimulasikan dalam penelitian adalah sebanyak 20000 partikel.

Gambar 2.2. (a) Pengaruh distribusi jari-jari partikel terhadap waktu hidup partikel di udara. (b) Tiga jenis distribusi jumlah abu vertikal dalam model PUFF. (Sumber: Searcy dkk, 1998)

Setiap partikel yang disimulasikan mempunyai ukuran tersendiri yang tidak homogen. Ukuran partikel menentukan waktu hidupnya di udara karena PUFF menghitung fallout (pengendapan) berdasarkan berat partikel. Sebaran jari-jari partikel ditentukan dengan distribusi normal yang mempunyai rataan dan standar deviasi tertentu. Menurut Peterson dan Dean (2003), rataan jari-jari partikel yang cocok berada di

3

Significant Meteorological Information. Laporan cuaca yang berfokus untuk keselamatan penerbangan di udara.

rentang 10-5 - 10-4 m sedangkan standar deviasinya berada pada rentang 1 - 2. Untuk penelitian ini dipilih rataan sebesar 10-5 m dan standar deviasi sebesar 2. Grafik batang pada Gambar 2.2a menggambarkan pengaruh jari-jari partikel terhadap waktu hidup partikel abu vulkanik di udara.

Setelah jumlah dan nilai jari-jari partikel ditentukan, partikel disebar secara vertikal dengan tipe distribusi tertentu. Ada tiga jenis distribusi sebaran partikel yang tersedia dalam PUFF, yaitu linear, poisson, dan exponential (lihat Gambar 2.2b). Untuk prediksi 24 jam ke depan atau lebih, perbedaan tipe distribusi abu vertikal tidak terlalu berpengaruh (Peterson dan Dean, 2003). Dalam penelitian ini, tipe distribusi abu vertikal yang dipilih menggunakan konfigurasi bawaan (default) dari model yaitu linear. 2.3. Verifikasi

Sebelum verifikasi sebaran abu vulkanik, dilakukan verifikasi medan angin. Keakuratan prediksi sebaran abu vulkanik sangat tergantung oleh seberapa tepat prediksi medan angin di wilayah sebaran.

Verifikasi medan angin dilakukan secara vertikal dengan radiosonde dan spasial dengan data Final Analysis (FNL). Pola medan angin hasil model GFS dan WRF akan dibandingkan pada tanggal kejadian letusan yang berbeda.

Data radiosonde berasal dari observasi di Stasiun Soekarno-Hatta (Kode Stasiun: 96749) yang terletak sekitar 450 km dari puncak Gunung Merapi. Observasi harian dilakukan pada pukul 00.00 dan 12.00 UTC. Data ini diperoleh melalu website UWYO4. Sedangkan data FNL berasal dari NCEP yang merupakan data analisis prediksi cuaca global operasional dengan resolusi spasial 1°x1°. Data tersebut keluar setiap enam jam. Data ini dihasilkan dari Global Data Assimilation System (GDAS) yang secara kontinu mengumpulkan data observasi dari Global Telecommunications System (GTS). FNL mempunyai 26 level dari 1000 mb hingga 10 mb. Data FNL ini tersedia secara gratis di website arsip data NCAR5.

Verifikasi sebaran abu vulkanik dilakukan secara komposit di seluruh level secara kualitatif dengan citra satelit Multi-Functional Transport Satellite (MTSAT) hasil identifikasi abu vulkanik oleh Susilawati (2012) yang menyatakan bahwa sensor satelit tersebut dapat mendeteksi abu vulkanik di seluruh ketinggian di udara. MTSAT merupakan tipe satelit geostationary yang mempunyai lima kanal (band) beresolusi 1 jam dan 5.5 km.

4

University of Wyoming – Department of Atmospheric Science

website. Halaman Atmospheric Soundings (link:

http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html )

5

National Center for Atmospheric Research – CISL Reserch Data Archive website. Halaman ds083.2: NCEP FNL Operational Model Global Tropospheric Analyses, continuing from July 1999 (link: http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/)

(a)

(5)

4

2.4. Uji Coba Prediksi (hindcast)

Dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba prediksi atau hindcast pada letusan Gunung Merapi tahun 2010. Gunung Merapi sempat meletus beberapa kali pada bulan Oktober – November 2010 (PVMBG, 2010). Letusan yang dipilih adalah letusan Gunung Merapi pada tanggal 5 dan 10 November 2010. Perbedaan antara dua kasus yang berbeda tanggal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Perbedaan kasus pada tanggal 5 dan 10 Nov 2010

5 Nov 2010 10 Nov 2010 Tinggi letusan

(MSL*) 16 km 7.6 km Waktu letusan 04.00 WIB 08.00 WIB

Kondisi cuaca harian**

Banyak terbentuk

awan tinggi Cenderung cerah

* Mean Sea Level

** Berdasarkan citra satelit MTSAT IR 1 di sekitar Gunung Merapi

3. Hasil dan Pembahasan

Verifikasi dan analisis dilakukan dengan membagi level ketinggian menjadi tiga rentang flight level (FL): FL0-200 (level A), FL200-350 (level B), dan FL350-500 (level C). Flight level adalah Standar ketinggian dalam penerbangan. Satuan dalam kaki (feet) dengan datum berdasarkan MSL. FL200-350 artinya dari ketinggian 20000 hingga 35000 kaki. 3.1. Verifikasi Angin

Verifikasi vertikal medan angin dengan data radiosonde dilakukan dengan mencari koefisien korelasi dan Root Mean Square Vector Error (RMSVE) di tiap level (Gambar 3.1a). Sedangkan

verifikasi spasial dengan data FNL dilakukan dengan komposit gambar vektor angin dan menghitung RMSVE (Gambar 3.1b). Korelasi bertujuan untuk melihat kesamaan fasa kecepatan angin sedangkan RMSVE melihat besarnya error nilai angin u dan v. Nilai korelasi yang baik adalah yang mendekati satu sedangkan RMSVE yang mendekati nol.

Data medan angin yang dibutuhkan untuk menjalankan model PUFF pada letusan tanggal 10 November 2010 sudah cukup merepresentasikan keadaan sebenarnya di seluruh level (korelasi ~ 0.75 dan RMSVE < 5m/s; Gambar 3.1a dan Gambar 3.1b bawah). Pola vektor angin spasialnya juga lebih seragam dibandingkan pada tanggal 5 November 2010 (Gambar 3.1b atas). Data medan angin pada tanggal 5 November 2010 kurang akurat karena korelasinya cukup rendah pada level A dan C (~ 0.25) serta RMSVE yang berlebih pada level C (~ 10 m/s atau berkisar lebih dari 30 % kecepatan maksimum). Data angin yang kurang baik pada level atas akan berpengaruh buruk terhadap prediksi dengan letusan tinggi.

Perbandingan antara kualitas data angin GFS dan WRF tidak terlalu signifikan. Berdasarkan verifikasi vertikal, data angin WRF cenderung lebih akurat karena korelasi yang lebih tinggi dan RMSVE yang lebih rendah sedangkan pada verifikasi spasial data angin GFS yang mempunyai RMSVE lebih kecil.

Perbedaan kualitas data angin pada kedua tanggal dapat diakibatkan oleh lead time yang berbeda. Lead time adalah beda waktu hasil prediksi berdasarkan waktu inisialnya. Semakin besar lead time, maka hasil prediksi cenderung tidak akurat. Prediksi pada tanggal 5 November 2010 mempunyai lead time tiga jam, sedangkan pada tanggal 10 November 2010 hanya satu jam.

Gambar 3.1. Verifikasi medan angin GFS dan WRF pada tanggal 5 dan 10 November 2010. (a) Verifikasi vertikal dengan membandingkan korelasi (atas) dan RMSVE (bawah) dari data radiosonde Soekarno-Hatta. (b) Verifikasi spasial dengan data FNL yang dikompositkan dalam satu gambar (atas) serta perhitungan RMSVE (bawah).

(6)

5

\\

Gambar 3.2. Verifikasi prediksi sebaran abu yang telah direduksi dengan sebaran densitas. (kiri) Plot prediksi sebaran (shaded) dan deteksi satelit (kontur) time series. (kanan) Verfikasi arah sebaran. Vektor hitam satelit, biru model. α adalah beda sudut arah sebaran dan AR adalah area ratio sebaran. (a) 5 November 2010. (b) 10 November 2010.

3.2. Verifikasi Sebaran Abu Vulkanik

Verifikasi gambar komposit abu masih bersifat kualitatif (subjektif). Agar lebih objektif, verifikasi secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung

perbedaan sudut sebaran (α) dan perbandingan luasan

sebaran (area ratio atau AR). Prediksi yang akurat bernilai α rendah dan AR mendekati satu.

Awalnya telah dilakukan verifikasi langsung sebaran abu model PUFF dalam bentuk partikel dengan citra satelit MTSAT. Tetapi hasil sebarannya cenderung melebar (overforecast), baik dengan data medan angin WRF maupun GFS.

Menurut Pavolonis (2006), sensor satelit MTSAT tidak bisa mendeteksi abu yang berdensitas rendah. Verifikasi prediksi sebaran abu kurang valid jika membandingkan sebaran dalam bentuk partikel

langsung dengan citra satelit, sehingga dicari cara untuk mereduksi sebaran abu. Metodenya adalah menggambarkan sebaran densitas atau konsentrasi partikel dengan menghitung jumlah partikel yang berada pada kotak yang telah dibuat sebelumnya. Dengan memakai threshold tertentu, nilai densitas yang berada di bawah threshold dianggap tidak ada sebaran abu. Verifikasi sebaran abu vulkanik yang telah dikurangi densitas ditunjukkan pada Gambar 3.2. 3.3. Analisis Sebaran

Kasus tanggal 5 dan 10 November 2010

PUFF berhasil memprediksi sebaran abu secara akurat pada kasus tanggal 10 November 2010. Dapat dilihat pada Gambar 3.2b arah sebaran abu sangat

mirip (α ~ 1.5°) dan luasan sebarannya juga tidak

α1 α2 α1 = 24.30° α2 = 37.85° AR1 = 1.03 AR2 = 0.46 α1 α2 α1 = 21.87° α2 = 41.77° AR1 = 0.92 AR2 = 0.27 AR = 1.45 α = 1.62° α AR = 2.78 α = 1.78° α (a) (b)

(7)

6

terlalu melebar terutama dengan data medan angin WRF (ARGFS = 2.78; ARWRF = 1.45).

Prediksi sebaran abu pada tanggal 5 November 2010 kurang baik. PUFF memprediksi ada dua awan abu yang tersebar ke arah yang berbeda, padahal dari citra satelit hanya terdapat satu awan abu (Gambar 3.2a). Untuk selanjutnya prediksi sebaran abu yang menuju ke arah timur disebut awan abu I dan sebaran abu yang mendekati arah selatan disebut awan abu II. Dari kedua awan abu tersebut, tidak satupun yang benar-benar akurat dengan citra satelit. Setidaknya awan abu I lebih baik dengan nilai AR yang mendekati satu dan α sekitar 20°, walaupun nilai AR cukup baik penyebaran abu menjadi tidak akurat

akibat nilai α yang besar. Awan abu II cukup jauh menyimpang dari sebaran abu yang ditunjukkan satelit.

Ada beberapa dugaan kenapa prediksi pada tanggal 5 November 2010 kurang akurat:

• Berdasarkan verifikasi medan angin, data prediksi medan angin pada tanggal tersebut kurang baik. Terutama pada level terbawah (level A) dan teratas (level C). Sehingga arah sebaran awan abu juga kurang akurat.

• Sensor satelit MTSAT tidak bisa mendeteksi abu yang berdensitas rendah dan banyak hambatan seperti awan, terutama awan dingin (Susilawati, 2012; Pavolonis, 2006). Pada tanggal 5 November 2010 banyak terjadi pertumbuhan awan. Verifikasi dengan hasil model menjadi kurang valid karena banyak sebaran abu yang tidak terdeteksi oleh MTSAT. Perhatikan perbandingan citra satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan MTSAT pada Gambar 3.3. Terlihat wilayah sebaran yang terdeteksi oleh MODIS jangkauannya lebih lebar. Kondisi cuaca saat itu juga terdapat banyak awan. Sehingga ada kemungkinan awan abu II yang berada di ketinggian rendah tidak terdeteksi karena terhalangi oleh awan.

• Cuaca pada tanggal 5 November 2010 cukup kompleks. Banyak terjadi pertumbuhan awan tinggi. Presipitasi juga tercatat mulai pukul 15.00 di Sleman, Yogyakarta (Susilawati, 2012). Hujan dapat mempercepat proses endapan abu dalam bentuk deposisi basah. Sehingga konsentrasi abu di udara menjadi berkurang. Kondisi ini merupakan kelemahan dari model PUFF karena proses konveksi yang melibatkan kecepatan vertikal dan presipitasi tidak diperhitungkan dalam model.

Gambar 3.3. (kiri) Citra satelit MODIS Terra pada sekitar pukul 10.00 WIB (Sumber : NASA, 2010). (kanan) Analisis batas sebaran deteksi abu vulkanik dari satelit MTSAT (garis biru) dan MODIS (garis putus-putus hitam).

Prediksi data angin pada tanggal 10 November 2010 jauh lebih baik daripada tanggal 5 November 2010 (sub Bab 4.1). Cuaca pada saat itu di wilayah sekitar Gunung Merapi cukup cerah. Tidak ada pembentukan awan-awan tinggi dan kondisi angin yang cenderung uniform. Sehingga prediksi pada tanggal 10 November 2010 menghasilkan sebaran yang jauh lebih akurat.

GFS dan WRF

Prediksi sebaran abu vulkanik model PUFF dengan data WRF menghasilkan prediksi yang lebih akurat daripada menggunakan data GFS, tetapi perbedaan diantara keduanya tidak terlalu signifikan. Hasil prediksi sebaran abu dengan data GFS cenderung lebih melebar daripada dengan data WRF (ARGFS > ARWRF). Hal ini terjadi karena PUFF

memakai formulasi gerak brownian (random walk) sebagai penggambaran dispersi turbulen. Partikel digerakkan secara acak dalam satu kotak grid 3-dimensi. Semakin luas kotak atau grid data angin, maka peluang partikel untuk tersebar lebih jauh semakin besar. Data angin GFS yang beresolusi spasial 0.5° (~55 km) menyebabkan dispersi partikel menjadi lebih luas dibandingkan dengan menggunakan data WRF yang hanya beresolusi 9 km. Trayektori Partikel

Perilaku partikel dianalisis dengan mengambil tiga sampel partikel di tiap letusan. Tiga sampel tersebut tersebar di beberapa ketinggian dengan jari-jari sekitar 10-5 m. Hasilnya gerak partikel tersebut tidak seragam. Ada yang bergerak naik-turun di setiap waktu dan ada pula yang tersedimentasi secara cepat (gambar tidak terlampir).

PUFF tidak memasukkan parameter angin vertikal dalam proses dispersinya. Proses pengangkatan dipengaruhi oleh gerak turbulen yang acak (gerak brownian) sedangkan sedimentasi partikel dipengaruhi oleh kecepatan terminal akibat fungsi dari jari-jari partikel. Arah sebaran horizontal tiap partikel berbeda karena partikel-partikel tersebut berada di ketinggian yang berbeda-beda (medan angin berpengaruh).

Dispersi Tiap Lapisan

Untuk analisis dan interpretasi sebaran lebih lanjut, prediksi sebaran abu dapat dilihat dalam flight level (FL) yang berbeda. Peta kecenderungan sebaran partikel di tiap lapisan tersebut dapat memudahkan interpretasi pengamat terutama pilot dalam menjalankan pesawat terbang yang terbang di flight level yang berbeda-beda. Berikut adalah contoh prediksi sebaran abu di FL0-200, FL200-350, dan FL350-500 pada tanggal 5 dan 10 November 2010 untuk prediksi +6, +12, dan +24 jam.

Letusan pada tanggal 5 November 2010 terlihat di seluruh lapisan (karena tinggi plume mencapai level C). Sedangkan pada tanggal 10 November 2010, sebaran abu tidak terlihat pada level C karena tinggi

(8)

7

plume hanya mencapai level B. Sebaran abu pada level A juga menggambarkan abu yang telah mengalami sedimentasi di permukaan tanah.

Lama running model

Untuk menjalankan model prediksi sebaran abu vulkanik dengan menggunakan model PUFF sebanyak 20000 partikel selama 24 jam dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan data GFS dan 153 menit dengan data WRF (GFS/WRF = 1/3.4). Proses yang memakan waktu paling lama adalah pada tahap inisialisasi. Tahap running inti model PUFF hanya berkisar sekitar satu menit dan pemrosesan output hingga menjadi gambar yang dapat diinterpretasi membutuhkan waktu lima menit (lihat Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Perbedaan lama running model PUFF dengan data GFS dan WRF dari tahap inisialisasi hingga pemrosesan gambar.

Early warning system

Agar tercipta sistem peringatan dini (early warning system) sebaran abu vulkanik gunung api yang baik, dibutuhkan model dengan prediksi yang akurat dan cepat. Berdasarkan hasil verifikasi dan analisis di atas dapat dilihat model PUFF cukup akurat (jika data medan anginnya baik), waktu running juga tidak terlalu lama. Model PUFF dengan menggunakan data WRF lebih menunjukkan keakuratan dibandingkan dengan data GFS. Tapi untuk memperoleh informasi tersebut dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, sekitar 2.5 jam.

Dalam dua jam pertama setelah letusan, hasil prediksi dengan data GFS cukup baik dan belum melebar (Gambar 3.2). Reduksi densitas sebaran abu juga berhasil mengurangi cakupan abu yang terlalu luas akibat penggunaan data GFS. Untuk keperluan early warning system, penggunaan model PUFF dengan data GFS (lama running 45 menit) lebih layak digunakan daripada data WRF.

Untuk perbaikan kualitas hasil prediksi, model PUFF dengan data WRF dapat digunakan setelah menunggu tiga jam prediksi pertama dengan data GFS.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uji coba hindcast sebaran abu vulkanik Gunung Merapi pada tanggal 5 dan 10 November 2010, model dispersi abu vulkanik PUFF berhasil memprediksi sebaran abu vulkanik hingga satu hari ke depan. Hasil sebaran dapat ditampilkan dalam bentuk sebaran partikel atau densitas di tiap level. Kualitas prediksi sebaran abu bergantung pada kualitas prediksi data medan angin dan kondisi cuaca pada saat letusan berlangsung. Verifikasi pada tanggal 10 November 2010 lebih akurat karena data medan angin pada tanggal tersebut cukup merepresentasikan keadaan sebenarnya dan kondisi cuacanya cerah, tidak ada proses pembentukan awan tinggi.

Secara keseluruhan hasil model PUFF dengan data hasil model regional WRF menghasilkan kualitas sebaran yang lebih akurat daripada data model GFS. Tapi running model PUFF dengan data WRF lebih lama daripada data GFS.

Model PUFF dapat diterapkan untuk keperluan EWS (early warning system) prediksi abu vulkanik yang cepat dan akurat di Indonesia. Model PUFF dengan data GFS cocok untuk dijalankan di beberapa jam pertama erupsi karena hasilnya cepat diperoleh. Sedangkan prediksi dengan data WRF dapat dimasukkan untuk perbaikan kualitas prediksi setelah tiga jam pertama letusan.

5. Saran dan Diskusi

Penelitian tentang prediksi sebaran abu vulkanik di Indonesia masih sangat sedikit. Penelitian tugas akhir ini masih banyak kekurangan. Masih banyak teknik verifikasi yang bisa dilakukan untuk analisis yang lebih baik. Peningkatan efisiensi metode konversi data medan angin hasil model prediksi cuaca menjadi format model PUFF juga sangat diharapkan karena konversi data dengan metode yang ada saat ini cukup memakan waktu. Akibatnya inisialisasi data medan angin di awal cukup lama.

Dalam penelitian ini hanya sedikit parameter model PUFF yang diuji-coba. Masih terdapat banyak parameter yang bisa diubah konfigurasinya. Berbagai macam parameter yang bisa diatur dijelaskan dalam

buku User’s Manual PUFF (Peterson, 2006).

Penelitian tentang parameter-parameter yang cukup sensitif dilakukan oleh Peterson dan Dean (2003). Penentuan parameter yang lebih baik dapat menghasilkan prediksi yang lebih akurat.

Model PUFF masih terus dikembangkan. Penambahan proses perhitungan numerik dalam model memungkinkan performa model PUFF menjadi lebih baik. PUFF hanya memperhitungkan medan angin horizontal. Penambahan perhitungan gerak partikel dengan tambahan inisial medan angin vertikal dapat memperbaiki kinerja model PUFF. Proses deposisi dengan presipitasi juga memungkinkan untuk ditambah di dalam model walaupun perlu kajian yang mendalam karena abu vulkanik tidak termasuk partikel higroskopis.

(9)

8

Verifikasi sebaran abu hanya dilakukan dengan menggunakan satelit MTSAT. MTSAT memiliki kelemahan dalam hal resolusi spasial dan sensitivitas terhadap densitas abu. Pemakaian citra satelit yang lebih baik dapat digunakan agar diperoleh verifikasi yang lebih valid. Banyak penelitian prediksi abu vulkanik menggunakan citra satelit beresolusi lebih tinggi seperti MODIS (Folch dkk, 2008) dan AVHRR (Webley dkk, 2008).

Studi kasus yang diuji-coba hanya letusan Gunung Merapi pada tahun 2010, masih ada beberapa letusan lain di Indonesia yang belum dianalisis. Seperti letusan Gunung Soputan (2011) di Sulawesi Utara yang letusannya berskala lebih kecil.

REFERENSI

Casadevall, T. J. (1993). Volcanic Hazards and Aviation Safety: Lessons of the Past Decade. FAA Aviation Safety Journal, 2(3).

Folch, A., Jorba, O., & Viramonte, J. (2008). Volcanic ash forecast – application to the May 2008 Chaiten eruption. Natural Hazards and Earth System Sciences, 927-940.

ICAO. (2004). Handbook on the International Airways Volcano Watch (IAVW). International Civil Aviation Organization.

Junnaedhi, I. D. (2008). Pengaruh Asimilasi Data dengan Metode 3DVAR terhadap Hasil Prediksi Cuaca Numerik di Indonesia. Bandung: Program Studi Sanis Kebumian - Institut Teknologi Bandung. Kalnay, E. (2003). Atmospheric Modeling, Data

Assimilation and Predictability. Cambridge UK: Cambridge University Press.

NCEP. (2011). Model Changes Since 1991. Diakses Juni 2012, dari National Center of Environmental Prediction: http://www.emc.ncep.noaa.gov/gmb/ STATS/html/model_changes.html

NOMADS. (2011, Oktober 3). NOAA National Operational Model Archive & Distribution System-Home Page. Diakses Juni 2012, dari NOAA National Operational Model Archive & Distribution System: http://nomads.ncdc.noaa.gov/

Palsson, T. (2010). The Eyjafjallajökull Eruption A Systemic Perspective. IASCC Conference.

Pavolonis, M. J. (2006). Improved Satellite-based Volcanic Ash Detection and Height Estimates. American Meteorological Society.

Peterson, R. (2006). PUFF UAF User's Manual. Alaska: Geophysical Institute, University of Alaska Fairbanks.

Peterson, R. A., & Dean, K. (2003). Sensitivity of Puff: a Volcanic Ash Particle Tracking Model. Alaska: University of Alaska, Fairbanks.

PVMBG. (2010). Informasi Gunung Merapi. Diambil kembali dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi: http://pvmbg.bgl.esdm.go.id/ Searcy, C., Dean, K., & Stringer, W. (1998). Puff: A

high-resolution volcanic ash tracking model. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 1-16. Susilawati, A. (2012). Identifikasi Debu Vulkanik

Menggunakan Satelit MTSAT-2. Bandung: Program Studi Meteorologi - Institut Teknologi Bandung.

UAF. (2011, July). History of Puff. Dipetik December 28, 2011, dari Puff Volcanic Ash Tracking Model - Geophysical Institute, University of Alaska Fairbanks:

http://puff.images.alaska.edu/history.shtml

WCPL. (2011). WCPL - Weather Forecast (3.0): http://weather.meteo.itb.ac.id

Webley, P. W., Atkinson, D., Collins, R. L., Dean, K., Fochesatto, J., Sassen, K., et al. (2008). Predicting and Validating the Tracking of a Volcanic Ash Cloud during the 2006 Eruption of Mt. Augustine Volcano. American Meteorological Society, 1647-1658.

Webley, P., & Mastin, L. (2009). Improved prediction and tracking of volcanic ash clouds. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 186, 1-9. Yu, T. W., & Gerald, V. M. (2003). Evaluation of NCEP

Operational Model Forecast of Surface Wind and Pressure Field over the Oceans. Washington: NCEP.

Gambar

Tabel 2.1. Parameterisasi model WRF yang digunakan
Gambar 3.1. Verifikasi  medan angin GFS dan WRF pada tanggal 5 dan 10 November 2010.  (a) Verifikasi  vertikal dengan  membandingkan korelasi (atas) dan RMSVE (bawah) dari data radiosonde Soekarno-Hatta
Gambar  3.2.  Verifikasi  prediksi  sebaran  abu  yang  telah  direduksi  dengan  sebaran  densitas
Gambar  3.4.  Perbedaan  lama  running  model  PUFF  dengan  data  GFS  dan  WRF  dari  tahap  inisialisasi  hingga  pemrosesan gambar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2010) pada uji efektivitas daun biji alpukat terhadap pertumbuhan bakteri,

Kabupaten Lampung Barat memiliki potensi besar pada sektor pertanian. Komoditas yang banyak diusahakan antara lain: kopi, lada, cengkeh, kelapa sawit dan kelapa. Nilai

[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara

Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada Nomor 12/SK/MWA/2015 tentang Penetapan Rektor Universitas Gadjah * Mada Pengganti Antar Waktu Periode 2012-2017;..

Berbeda dengan Magendie, Claude Bernard Claude Bernard menjelaskan fenomena menjelaskan fenomena fisiologi dengan cara baru, ia menunjukkan bahwa banyak fungsi vital fisiologi

Menurut Goldstone (2009, p14), Unity3D membuat produksi game menjadi lebih mudah dengan memberikan beberapa logika untuk membangun skenario game yang sudah

Antropologi forensik yang berbasis pada osteologi dan anatomi manusia merupakan terapan menuju identifikasi individu dari data populasi yang dipelajari dalam antropologi

Yang manakah di antara kesalahan berikut ini yang akan menyebabkan penaksiran yang terlalu rendah pada ukuran minimmum populasi yang dapat bertahan hidup dari suatu