• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kura-kura

Secara taksonomi, kura-kura termasuk Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub filum Vertebrata, Kelas Reptilia dan Ordo Testudines (Testudinata). Kura-kura dibagi ke dalam dua sub ordo yaitu Cryptodira dan Pleurodira. Sub ordo Cryptodira terdiri dari sembilan famili yaitu Chelydridae, Emydidae, Testudinidae, Dermatemydidae, Kinosternidae, Carettochelyidae, Trionychidae, Cheloniidae, dan Dermochelyidae. Sub ordo Pleurodira terdiri dari dua famili yaitu Pelomedusidae dan Chelidae (Goin et al. 1978). Sub ordo Cryptodira biasanya memasukkan kepalanya ke dalam perisai, sedangkan sub ordo Pleurodira bagian kepala dan lehernya hanya dibelokkan ke samping (Iskandar 2000).

Bagian tubuh kura-kura dilindungi tempurung yang terdiri dari karapas (bagian punggung) dan plastron (bagian perut) (Goin et al. 1978). Pada bagian tubuh lainnya yaitu bagian tungkai, kepala dan ekornya menonjol keluar (Hoeve 2003). Menurut Wyneken (1996), bagian tengah karapas dinamakan keping vertebral, bagian sebelah keping marginal disebut keping kostal dan bagian sekeliling tepi karapas yang berukuran kecil dikenal dengan nama keping marjinal. Pada bagian plastron terdapat bagian tubuh yang dinamai keping gular, humeral, pektoral, abdominal, femoral dan anal (Gambar 1).

Sumber : Boyer TH dan Boyer DM (2006)

(2)

Ciri umum kura-kura yaitu ketiadaan gigi, sebagai gantinya tepi rahangnya tertutup zat tanduk yang tajam (Hoeve 2003). Menurut Morris (1959), bagian ini sangat baik untuk memotong dan menyobek makanannya sampai ukuran yang kecil sehingga mudah ditelan. Berdasarkan jenis makanannya, kura-kura dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) dan pemakan keduanya (omnivora). Kura-kura memakan jenis makanan yang tersedia di sekitarnya sehingga tidak tergantung pada jenis makanan tertentu (Graham 1979).

Jenis kelamin pada reptil sering dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, bentuk tubuh dan warna. Perbedaan warna tubuh biasanya akibat aktivitas seksual yang berhubungan dengan prilaku reproduksi dan modifikasi struktur organ reproduksi. Kura-kura jantan biasanya memiliki ukuran tubuh lebih kecil dari betina. Besarnya tubuh betina termasuk adaptasi untuk menyimpan telur (Goin et al. 1978). Sedangkan menurut Boyer TH dan Boyer DM (2006), perbedaan dapat dilihat dari ekor dan panjang kuku. Perbedaan jenis kelamin umum ditemukan pada kura-kura Emydid dan Geomydid. Jantan dan betina dibedakan dari warna kepala, iris, dagu atau tanda di kepala.

Secara umum, kura-kura darat memiliki tempat istirahat sendiri dengan cara menggali liang, berada di celah-celah batu, atau tempat istirahat di bawah tumbuhan yang rindang untuk berlindung selama siang hari akibat cuaca panas dan malam karena cuaca yang dingin. Biasanya kura-kura kawin di air, tetapi jenis lain kawin di darat. Pada kura-kura darat, jantan akan mendatangi betina dari belakang dan menaiki karapas, memegang kuat bagian depan tempurung betina dengan kaki depannya dan terkadang mengigit kapala dan leher betina. Bagian belakang tubuh jantan didorong ke bagian bawah karapas betina. Posisi ini terkadang menyebabkan jantan kehilangan keseimbangan dan terjatuh (Goin et al. 1978).

2.2 Kura-kura Indonesia

Kura-kura air tawar dan kura-kura darat merupakan komponen penting dalam keanekaragaman Indonesia. Indonesia memiliki 6 famili kura-kura air tawar dan kura-kura darat yang terdiri dari famili Testudinidae, famili

(3)

Bataguridae, famili Trionychidae, famili Carettochelyidae, famili Emydidae dan famili Chelidae (Samedi dan Iskandar 2000). Kura-kura yang ditemukan di Indonesia sekitar 39 spesies dari 260 spesies yang ada di dunia (Iskandar 2000). 1. Famili Testudinidae

Kura-kura yang termasuk famili Testudinidae merupakan kura-kura darat. Kura-kura ini memiliki sepuluh atau sebelas keping marginal di setiap sisinya. Bagian tempurungnya tinggi dan berbentuk kubah. Biasanya jenis ini akan berlindung di bawah tumbuhan atau batu untuk melindungi diri dari kondisi lingkungannya. Kura-kura darat memakan tumbuhan (Goin et al. 1978).

Baning emas (Indotestudo elongate), baning sulawesi (Indotestudo forsteni) dan baning coklat (Manourya emys) tergolong ke dalam famili Testudinidae yang ditemukan di Indonesia (Samedi dan Iskandar 2000). Baning coklat merupakan salah satu jenis kura-kura darat terbesar di Asia karena dapat mencapai ukuran sekitar 600 mm dengan berat hampir 40 kg. Makanan utama baning coklat terdiri dari daun (kangkung dan talas), buah-buahan dan akar-akaran. Jenis ini hidup di daerah hutan dan dataran pada daerah ketinggian sedang (Iskandar 2000). Menurut Riyanto dan Mumpuni (2003), spesies ini tersebar di Sumatra dan Kalimantan.

2. Famili Bataguridae

Indonesia memiliki tiga belas spesies yang termasuk ke dalam famili Bataguridae yaitu tuntong (Batagur baska), beluku (Callagur borneoensis), kura-kura ambon (Cuora amboinensis), kura-kura bergerigi (Cyclemys dentata), Cyclemys oldhami, Geoemyda spengleri, kura-kura duri bukit (Heosemys spinosa), Heosemys yuwonoi, Malayemys subtrijuga, Notochelys platynota, Orlitia borneensis dan Siebenrockiella crassicollis (Samedi dan Iskandar 2000). Selain itu, Geoclemys hamiltonii juga termasuk famili Bataguridae yang ditemukan di Indonesia (Dijk 2000).

Famili Bataguridae terbagi menjadi dua yaitu kura-kura semi akuatik dan terestrial. Mauremys, Geoclemys, Cyclemys dan Callopsis termasuk kura-kura terestrial. Tuntong ditemukan di daerah peralihan dan sungai berarus lambat. Tuntong termasuk herbivora pada usia dewasa, tetapi pada saat masih muda memakan serangga dan invertebrata lain (Goin et al. 1978). Famili Bataguridae

(4)

tersebar di daerah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan Sumbawa (Samedi dan Iskandar 2000).

3. Famili Trionychidae

Karapas kura-kura yang termasuk famili Trionychidae biasanya merata dan tidak ada tulang di sekelilingnya. Famili Trionychidae tergolong kura-kura air yang pandai berenang tetapi sebagian waktunya digunakan untuk menggubur diri di bagian dasar sungai, danau dan rawa. Kebanyakan spesies menunggu mangsanya di bawah pasir. Jenis kura-kura dari famili Trionychidae tergolong karnivora (Goin et al. 1978). Famili ini diwakili oleh enam spesies di Indonesia yaitu bulus (Amyda cartilaginea), labi-labi bintang (Chitra chitra), labi-labi hutan (Dogania subplana), labi-labi irian (Pelochelys bibroni), labi-labi raksasa (Pelochelys cantorii) dan Pelodiscus sinensis. Spesiesnya tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan bagian selatan Irian (Samedi dan Iskandar 2000). 4. Famili Carettochelyidae

Menurut Pritchard (1979), famili Carettochelyidae hanya memiliki satu spesies yaitu kura-kura irian (Carettochelys insculpta). Pada bagian tempurungnya dilapisi kulit halus dan bagian lehernya tidak panjang seperti Trionychidae. Spesies ini tidak memiliki keping tetapi ditutupi oleh kulit tipis. Pada individu muda karapas dan plastronnya lunak serta terdapat lingkaran berwarna putih pada karapasnya. Bagian kakinya berbentuk seperti kayuh dan memiliki dua cakar (Auliya 2007).

Menurut Grzimek’s (1975), famili ini ditemukan hanya di bagian kecil New Guinea dan utara Australia.Kura-kura irian hanya ditemukan di Irian bagian selatan, mulai dari Danau Jamur hingga ke daerah Merauke dan meluas ke daerah Papua Nugini sebelah selatan. Habitatnya berupa sungai, rawa, danau dan lubang air. Sumber makanan penting bagi spesies ini buah dan daun dari Ficus racemosa. Spesies ini adalah jenis omnivora tetapi cenderung lebih herbivora dari pada omnivora. Spesies ini memakan buah dari Xylocarpus sp., Nypa fruticans, Canorium indicum, Antrocarpus incisor dan Sachhorum robistus. Selain itu memakan kerang-kerangan Batissa violocea, Nerita sp. dan Centhidea sp, serta udang-udangan seperti Siyellu serrata (Georges dan Rose 1993).

(5)

5. Famili Emydidae

Kebanyakan spesies yang termasuk famili Emydidae adalah kura-kura air, tetapi ada sebagian yang termasuk semi akuatik dan sedikit kura-kura darat. Spesies dari famili ini memiliki ciri tubuh berupa ukuran kepala yang besar, ekor yang pendek dan berkembangan karapas yang baik (Goin et al. 1978). Menurut Samedi dan Iskandar (2000), famili Emydidae diwakili oleh dua spesies yaitu Trachemys scripta elegans dan Trachemys terrapin. Jenis ini terdapat di daerah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.

6. Famili Chelidae

Suku kura-kura leher ular dapat mudah dikenali dari lehernya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam perisainya dan bagian perisai perut yang mempunyai keping intergular. Indonesia memiliki tiga marga yaitu Chelodina, Elseya dan Emydura. Marga Chelodina dapat dikenali dari kaki depannya yang mempunyai empat kuku, keping intergularnya tidak berhubungan dengan tepi perisai dan leher yang relatif panjang. Marga Elseya mamiliki bagian leher dan tepi kepala yang berbintil. Sedangkan marga Emydura dicirikan oleh tepi kepala yang licin (Iskandar 2000).

Indonesia memiliki sebelas spesies dari famili Chelidae yaitu kura-kura rote (Chelodina mccordi), kura-kura papua (Chelodina novaeguineae), kura-kura aramia (Chelodina parkeri), kura-kura pesisir (Chelodina siebenrocki), kura-kura digul (Chelodina reimanni), kura-kura perut putih (Elseya branderhorstii), kura irian leher pendek (Elseya novaeguineae), Elseya new spesies 1, Elseya new spesies 2, Elseya new spesies 3 dan Emydura subglobosa (Samedi dan Iskandar 2000).

2.3 Pemanfaatan Kura-kura

Satwaliar mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra 2002). Pemanfaatan spesimen tumbuhan dan satwaliar dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, pemanfaatan non-komersial untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, peragaan non-komersial, pertukaran, perburuan dan pemeliharaan

(6)

untuk kesenangan. Kedua, pemanfaatan komersial untuk tujuan penangkaran, perdagangan, peragaan komersial dan budidaya tumbuhan obat (SK Menteri Kehutanan RI Nomor 447/kpts-11/2003).

Reptil dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi yang bernilai penting bagi manusia. Daging, darah dan kulit reptil memberikan keuntungan bagi pengusaha di bidang ini, oleh karena itu perburuan reptil di alam meningkat dan menjadi mata pencaharian tambahan beberapa orang di perdesaan (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Berdasarkan Panduan Identifikasi kura Air dan Kura-kura Darat CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), bentuk perdagangan spesies kura-kura terbagi menjadi tujuh bentuk yaitu berupa produk makanan (daging), barang-barang dari kulit (sepatu, dompet dan ikat pinggang), karapas (alat musik dan sisir rambut), telur, perhiasan (kalung dan anting), minyak dan produk lain (obat tradisional, lampu dan spesimen).

Kura-kura air tawar dan kura-kura darat banyak dimanfaatkan dan diperdagangkan untuk konsumsi manusia. Sulit membedakan antara kura-kura untuk konsumsi atau obat karena masyarakat Cina percaya efek obat dari produk Chelonian seperti darah, usus, lemak, telur dan karapas. Konsumsi produk Chelonian sering meningkat pada musim dingin (Samedi dan Iskandar 2000). Menurut Goin et al. (1978), kura-kura memberikan keuntungan langsung bagi manusia, tidak hanya dimakan dan telurnya digunakan sebagai sumber protein, tetapi juga dijadikan perhiasan dan benda seni. Kura-kura darat dan kura-kura air dipelihara sebagai hewan kesayangan di kebun, terrarium atau akuarium (Grzimek’s 1975).

2.4 Ancaman Kelestarian Kura-kura

Eksploitasi satwaliar oleh manusia sudah berlangsung sejak lama, mengikuti sejarah kehidupan manusia (PHPA dan IPB 1985). Kura-kura dibunuh, baik individu maupun populasinya oleh bermacam-macam aktivitas manusia. Paling nyata adalah konsumsi daging dan telur kura. Beberapa spesies kura-kura dibunuh untuk produks non-makanan. Perdagangan hewan peliharaan dapat menghilangkan beberapa spesies kura-kura dari populasi dan dalam beberapa

(7)

tahun belakangan ini semakin hebat. Spesies eksotik telah dieksploitasi untuk tujuan perdagangan. Selain itu, kura-kura dibunuh untuk pengetahuan, koleksi museum, kelas pembedahan dan pembelajaran ilmu syaraf (Pritchard 1979a).

Perburuan untuk perdagangan merupakan ancaman paling signifikan kura-kura air tawar dan kura-kura-kura-kura darat Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, perdagangan spesies meningkat tajam. Beberapa pusat perdagangan domestik, tetapi lebih banyak perdagangan ekspor untuk pemenuhan peningkatan permintaan dari negara pelanggan di Asia Utara, terutama Cina (Samedi dan Iskandar 2000). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), permintaan pasar di luar negeri akan hewan peliharaan yang berasal dari Indonesia dimulai pada akhir tahun 1980-an. Skala pedagangan hewan peliharaan lebih rendah dibandingkan volume perdagangan kulit. Walaupun volume perdagangan hewan peliharaan lebih rendah tetapi tingkat keragaman spesiesnya lebih tinggi. Para pedagang dan pembeli hewan peliharaan memilih satwa yang unik bahkan langka.

Ancaman utama keanekaragaman hayati disebabkan oleh manusia yaitu perusakan habitat, fragmentasi habitat, gangguan pada habitat, pengunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, introduksi spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Ancaman keanekaragaman hayati tersebut, disebabkan oleh penggunaan kekayaan alam yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya populasi manusia di muka bumi (Primack et al. 1998). Menurut Wibowo (1999), kerusakan lahan basah sebagai habitat kelompok kura-kura mempengaruhi keberadaan kura-kura di alam. Sebagian habitat terancam oleh deforestasi dan konversi menjadi pertanian, perkampungan, area transmigrasi dan penebangan. Sedikit habitat yang termasuk area dilindungi. Kerusakan lain disebabkan oleh kebakaran hutan yang sebagian besar terjadi di hutan dataran rendah (Samedi dan Iskandar 2000). Hilang dan rusaknya habitat kura-kura juga disebabkan oleh berkembangnya populasi manusia (Boyer TH dan Boyer DM 2006).

2.5 Status Kura-kura

Status spesies kura-kura yang dicatat dalam Wetland Database didasarkan pada IUCN (International Union on Conservation Nation), CITES (Convention on

(8)

International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) dan undang-undang di Indonesia. Berdasarkan penelitian Wibowo (1999), terdapat lima spesies yang telah mendapat status dilindungi di Indonesia yaitu Carretochelys insculpta, Chelodina novaeguineae, Elseya novaeguineae, Batagur baska dan Chirta indica. Banyak spesies yang telah dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah IUCN (terutama dengan status Endangered, Vulnerable dan Lower Risk) belum mendapatkan spesies yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia.

Peningkatan perlindungan legal mungkin meningkatkan penolakan permintaan dan efektifnya perubahan perilaku konsumen. Spesies spesifik program konservasi mempengaruhi penangkapan dan upaya perkawinan di negara asal atau dimana pun serta usaha konservasi habitat yang mempengaruhi pengembangan. Perbaikan area dilindungi di Asia yang merupakan komponen penting dalam strategi yang harus dilaksanakan agar kura-kura tetap hidup di masa yang akan datang (Dijk 2000).

2.6 Penangkaran

Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakan jenis satwaliar, yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya, sehingga kelestarian dan keberadaan jenis yang ditangkarkan tersebut dapat dipertahankan di habitat alaminya (Hardjanto et al. 1991). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui perkembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Program penangkaran yang diupayakan berorentasi pada perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan (Indrawan et al. 2007).

Kebun binatang, akuarium dan peternakan satwa buruan, serta berbagai program penangkaran merupakan fasilitas ex-situ untuk melestarikan satwa (Indrawan et al. 2007). Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengelolaan jenis satwa di luar habitat (ex situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan pemeliharaan, perkembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa dan penyelamatan jenis satwa. Pemeliharaan

(9)

jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat standar kesehatan satwa, menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, serta mempunyai dan memperkerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Perkembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat menjaga kemurnian jenis, menjaga keanekaragaman genetik, melakukan penandaan dan sertifikasi serta pembuatan buku daftar silsilah (studbook).

Sarana dasar dalam penangkaran satwaliar, dibedakan atas perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak meliputi perundang-udangan, permodalan dan ketenagakerjaan. Perangkat keras meliputi semua sarana fisik yang digunakan mulai tahap pengumpulan, pemeliharaan sampai dengan pemanfaatan satwa (PHPA dan IPB 1985).

Menurut Hardjanto et al. 1991, aspek teknis penangkaran meliputi aspek berikut ini :

1. Penyediaan makanan

Makanan merupakan salah satu komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar, dapat mencapai 65-70 % dari seluruh biaya produksi dalam usaha penangkaran (Hardjanto et al. 1991). Menurut Donoghue (2006), makanan diperlukan tubuh untuk menghasilkan energi. Energi dibutuhkan untuk proses penting dan dalam sistem tubuh seperti bernafas, sirkulasi darah pada jaringan dan sel, mengatur temperatur tubuh, zat untuk memperbaiki, tumbuh dan berkembangbiak serta kesehatan secara umum. Enam kelompok utama zat yang ada di dalam makanan yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Menurut Alikodra (2002), penggunaan makanan oleh satwaliar ditentukan oleh perubahan ketersediaan dan kualitas jenis makanan di dalam lingkungannya. 2. Kandang

Kandang yang baik harus memiliki sisi atau tepi yang tidak tajam, permukaan yang tidak kasar, mudah diperbaiki, mudah dibersihkan, luasan yang cukup untuk bebas bergerak dan beraktivitas, ventilasi yang baik, mengikuti perubahan suhu lingkungan, persediaan listrik, tidak terkena cahaya matahari langsung dan tidak memiliki temperatur yang ekstrim (Dallas 2006). Bermacam luasan kandang yang dapat digunakan untuk memelihara kura-kura air (Pritchard 1979b). Menurut Rossi (2006) dalam Mader (2006) terdapat ukuran minimum

(10)

kandang untuk kura-kura (Tabel 1). Kontruksi kandang yang dapat digunakan adalah kaca, plastik, flexiglass dan stainless steel. Biasanya substrat yang digunakan adalah kertas koran dan potongan kertas karena tersedia dan murah. Tabel 1 Ukuran minimum kandang kura-kura untuk usia dewasa

Jenis kura-kura Contoh spesies Ukuran (GL)

Ukuran (Liter)

Musk, Mud dan Sideneck Sternothernus spp.,

Kinosternon spp. dan

Phrynops spp.

20 75,700

Spotted, Bog dan Box Terrepene spp., Clemmys muhlenbergii dan Cuora spp.

40 151,400

Sliders, Painted Turtle, Sawbacks

Callugar borneoensis 40 151,400

Snapping turtle Chelydra serpentina 75 283,875 Aligator snapper Macrochelys temminckii 100 378,500 keterangan GL : Gallon-long aquarium

3. Pengembangbiakan

Pengembangbiakan memegang peranan yang penting dalam usaha penangkaran, sebab pada dasarnya keberhasilan usaha penangkaran sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksinya (Hardjanto et al. 1991). Kura-kura meletakkan telur dalam penangkaran, satu demi satu di atas permukaan tanah atau menguburnya seperti di alam. Area sarang dikelilingi oleh kain untuk mencegah jalan keluar dan kehilangan anakan ketika telur menetas. Jika kondisi dibawah ideal, telur-telur disimpan dalam inkubator. Telur kura-kura darat dipelihara di tempat kering dan hangat (Pritchard 1979).

4. Perawatan kesehatan dan penyakit

Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini ketika ada gejala penyakit merupakan tindakan penting yang perlu dilakukan untuk menghindari kematian dan meluasnya penyakit (Hardjanto et al. 1991). Penyebab kematian sangat penting karena dapat disebabkan oleh predator, banjir atau faktor dalam (Doody et al. 2004). Menurut Dallas (2006), tanda satwa sehat yaitu matanya bersih dan bercahaya, bulu dalam kondisi baik, berat tubuh yang tepat, merespon tanda dan rangsangan, kuantitas makan dan minum normal, tidak

(11)

kesulitan buang air kecil dan buang air besar serta menikmati aktivitasnya. Perawatan satwa dilakukan dengan alasan pemeriksaan harian dan mingguan, pemeliharaan, transportasi, bantuan pertama, pemeriksaan pertama setelah terluka dan pengobatan. Menurut Pritchard (1979a), satu penyakit yang umum dijumpai pada kura-kura di penangkaran adalah pneumonia. Ciri kura-kura yang menderita penyakit ini adalah menolak diberi makan, hidung mengelembung dan sering mengeluarkan cairan dari hidung saat bernapas. Penyakit pneumonia dapat berakibat kematiaan jika tidak diobati. Bermacam penyakit kekurangan vitamin, umum ditemukan pada satwa yang ditangkarkan. Pengeraman kura-kura di penangkaran sering mengalami kerusakan bentuk dan melunaknya tempurung meskipun makan dan tumbuh dengan baik. Kondisi ini disebabkan kekurangan vitamin D (Pritchard 1979).

5. Pembibitan dan pembesaran

Pembibitan dilakukan untuk menyiapkan bibit yang ada untuk dipilih menjadi induk yang baik. Hal ini diperlukan untuk menghasilkan bibit yang baik. Pembesaran merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai jual. Pembesaran memakan waktu tertentu dalam penangkaran. Pembesaran di penangkaran dapat dilakukan karena kondisi lingkungan dibuat lebih optimum untuk pertumbuhannya.

6. Pengangkutan

Kura-kura dapat dibawa dalam tas yang tertutup ristsleting, dengan kertas koran diatasnya atau kotak kardus. Ukuran kotak kardus harus cukup luas agar mereka dapat bergerak, tetapi tidak terlalu luas yang dapat mendorong kura-kura dari satu sisi ke sisi lainnya selama transportasi. Jika spesies kura-kura tergantung pada air, maka wadah yang digunakan harus tetap basah. Sering kali sulit membawa dengan cukup air. Jika kura-kura dalam tangki atau ember dengan banyak air, sangat berbahaya dibandingkan dengan membasahi lap di bawah atau di atas wadah (Anderson dan Edney 1991).

7. Adaptasi

Adaptasi dilakukan terutama pada saat setelah pengangkutan. Adaptasi dilakukan agar satwa tidak stress dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.

(12)

2.7 Kesejahteraan Satwa

Kesejahteraan satwa adalah perhatian untuk penderitaan satwa dan usaha kepuasan satwa. Rendahnya kesejahteraan satwa dapat menurunkan kualitas produk serta resiko hilangnya bentuk pasar untuk produk yang mendapatkan kesejateraan kurang (Gregory 1998). Kesejahteraan satwa memiliki banyak aspek, satu cara yang mengambarkan perbedaan ini dikenal dengan “Lima Prinsip Kebebasan” satwa (Dallas 2006).

Menurut Gregory (1998), kesejahteraan mencakup : 1. Bebas dari rasa haus, lapar dan kekurangan nutrisi. 2. Perlengkapan yang tepat untuk kenyamanan dan shelter.

3. Pencegahan atau diagnosa yang cepat dan bebas luka, penyakit atau parasit.

4. Bebas dari rasa stress.

5. Mampu menunjukkan pola prilaku alami.

Kesejahteraan satwa berhubungan dengan kualitas hidup, kondisi dan perlakuan satwa. Konservasi berhubungan dengan pertimbangan kebutuhan suatu spesies berupa satwa di daerah liar, mendorong manusia untuk mengerti dan mempelajari habitat satwa, daya tarik tertentu dari spesies dan efek langsung aktivitas manusia terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya (Dallas 2006).

2.8Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu. Pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat pembelahan secara mitosis, jika terjadi kelebihan energi dan asam amino yang berasal dari makanan. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam biasanya sulit dipantau seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu makanan, suhu, oksigen terlarut dan faktor kualitas air. Makanan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan karena biasanya jika makanan berlebih maka akan tumbuh lebih pesat (Effendie 1997).

(13)

Anakan reptil memiliki pertumbuhan yang cepat pada awalnya, tetapi selanjutnya akan melambat (Goin et al. 1978). Laju pertumbuhan tidak seragam dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tahun pertama lebih cepat dibandingkan tahun kedua dan pertumbuhan tahun kedua lebih cepat dibandingkan tahun ketiga. Setiap organisme memiliki laju pertumbuhan yang berbeda (Tanner dan Taylor 1981). Pertambahan ukuran panjang dan berat biasanya diukur dalam satuan waktu sistem koordinat yang menghasilkan kurva pertumbuhan (Effendie 1997).

Kura-kura tumbuh sangat lambat, diperkirakan ukuran dewasa biasanya baru dicapai lebih dari empat sampai sepuluh tahun (Iskandar 2000). Pendugaan pertumbuhan kura-kura dapat dilakukan melalui pengukuran panjang total karapas dan plastron menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm. Metode ini telah dilakukan oleh Breckenridge tahun 1955 (Trionyx ferox), Calge tahun 1946 (Pseudemys scripta), Hildebrand tahun 1932 (Malaclemys terrapin), Pearse tahun 1923 (Chrysemys picta) dan Risley tahun 1933 (Sternotherus odoratus). Pengukuran pertumbuhan dapat dilakukan di penangkaran seperti satwa liar melalui data umur tetapi kondisi perlu pertimbangan karena kondisi yang dibuat (Graham 1979).

2.9 Morfometri Kura-kura

Data morfologi dapat digunakan untuk mengambarkan kisaran ukuran dan nilai tengah suatu spesies. Perbandingan data terdahulu dan yang akan datang sangat berguna dalam penentuan perubahan ukuran akibat ekspoitasi. Penelitian morfometri telah dilakukan pada beberapa spesies kura-kura (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis dan parameter morfometris kura-kura

No. Jenis Bagian Tubuh Peneliti Tahun Sumber Pustaka 1. Heosemys leytensis, Dogania subplana, Cuora amboinensis dan Cyclemys dentata

Panjang karapas, lebar karapas, panjang plastron, lebar plastron, berat badan, panjang ekor dan tinggi badan. Florabel Magdaug Lopez dan Sabine Schoppe 2003 Lopez dan Schoppe (2004) 2. Indotestudo forstenii

Panjang karapas, lebar karapas, panjang plastron, dan lebar plastron

Steven G. Platt, Robert J. Lee dan 1998 Platt et al. (1998)

(14)

Lanjutan (Tabel 2)

No. Jenis Bagian Tubuh Peneliti Tahun Sumber Pustaka

3. Elusor macrurus Panjang karapas, lebar

karapas, tinggi karapas, lebar plastron, pektoral, femoral dan anal.

John Cann dan John M. Legler 1980-1990 Cann dan Legler (2004) 4. Chelodina mcorrdi

Panjang karapas, lebar karapas, tinggi karapas, panjang plastron, lebar plastron, dan lebar kepala.

Gerald Kuchling, Anders G. J. Rhodin, Bonggi R. Ibarrondo, dan Colin R. Trainor. 2003-2006 Kuchling et al. (2007) 5. Chelodina gunaleni sp. Nov

Panjang karapas, lebar karapas, tinggi karapas, panjang keping vertebral, lebar keping vertebral, panjang plastron, lebar humeral/pektoral, lebar femoral/anal, panjang intergular, panjang pektoral, panjang gular, panjang abdominal, panjang femoral, panjang anal, panjang kepala, lebar kepala, dan tinggi kepala.

William P. McCord dan Mehdi Joseph-Ouni 2007 McCord dan Joseph-Ouni (2007)

Gambar

Gambar 1  Bagian pastron dan karapas kura-kura.
Tabel 1  Ukuran minimum kandang kura-kura untuk usia dewasa  Jenis kura-kura  Contoh spesies  Ukuran
Tabel 2  Jenis dan parameter morfometris kura-kura

Referensi

Dokumen terkait

Jamur F.oxysporum termasuk kedalam fungi yang bereproduksi secara aseksual dengan menghasilkan tiga macam spora antara lain mikrokonidia yang merupakan jenis spora

Spesies Hylobatidae bertubuh kecil memiliki distribusi yang lebih luas (dari Cina hingga Jawa) dari siamang dan memungkin hidup dalam tempat yang sama (simpatrik)

Varietas dapat didefinisikan sebagai sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies tanaman yang memiliki karakteristik tertentu seperti bentuk, pertumbuhan

Nama umum : Spodoptera exigua (Hubner), termasuk dalam kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, sub famili Amphipyrinae. Ciri-ciri hama : Rentangan sayap ngengat

1) Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui dan dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisonal;.. 2) Tumbuhan

Pada famili Alydidae diperoleh satu spesies, yakni leptocorta acuts serangga ini memiliki ciri-ciri bertubuh rampng dengan warna tubuh hijau kecoklatan, kepala

Setiap bangsa memiliki sejarahnya masing-masing di mana keberadaan suatu bangsa tidak lepas dari masa lalunya, termasuk bangsa Indonesia. Namun arti penting sejarah

Kelebihan karakteristik dari buah pisang ambon yaitu rasa buahnya yang sangat manis jika sudah matang dan memiliki aroma harum khas karena mengandung komponen senyawa ester seperti