7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Pantai Munduk Asem
Kabupaten Jembrana merupakan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali berdasrkan PerBub No. 33 Tahun 2016 kabupaten ini memiliki wilayah pasisir dengan panjang garis pantai ±76 km. Wilayah pesisir pantai memiliki tanah dengan tekstur kasar (pasir dan lempung berpasir) merupakan tekstur tanah yang terdapat disepanjang pantai dari wilayah Kabupaten Jembrana. Pantai Munduk Asem merupakan salah satu pantai yeng terletak di Kecamatan Negara, Desa Cupel. Pantai ini berlokasi di daerah selatan Kabupaten Jembrana, sehingga Pantai Munduk Asem berhadapan langsung dengan laut selatan Bali. Wilayah pesisir ini memiliki sumberdaya yang cukup luas dan berpotensi untuk penangkapan ikan dan wisata pantai. Perairan Pantai Munduk Asem dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat mencari biota laut dengan mata pencaharian utama masyarakat sekitar sebagai nelayan.
Secara geografis Pantai Munduk Asem terletak pada posisi antara 114°33’19.2” - 114°33’25.8” Bujur Timur dan 8°21’45.0” - 8°21’58.9” Lintang Selatan dengan luas area sekitar pantai 3 ha 40 m2. Rona lingkungan pada Pantai Munduk Asem sebagian besar memiliki substrat pantai yang berbatu karang, berlumpur dan sedikit berpasir, di daerah sekitar pantai tidak ditemukan adanya sungai yang langsung menuju laut.
2.2 Tinjauan Umum Keanekaragaman Hayati
Istilah keanekaragaman hayati atau biodiversitas memiliki definisi yaitu ciri dari suatu area yang menyangkut keragaman di antara organisme hidup, kumpulan organisme, proses biotik dan komunitas biotik yang bersifat alamiah ataupun yang telah diubah oleh manusia (Leksono, 2011). Pengertian keanekaragaman hayati menurut Behera & Das (2008) merupakan keseluruhan gen, spesies dan ekosistem di suatu kawasan atau daerah. Keanekaragaman hayati merupakan bidang kajian dengan banyak aspek yang dibahas menyangkut bentuk kehidupan, peran ekologi yang dimiliki dan keanekaragaman plasma nutfah yang berada di
dalamnya. Peran keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan dalam keperluan hidup manusia seperti dalam kebutuhan sandang, pangan, papan, obat-obatan ataupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan (Rokhmin, 2003). Selain itu, peran dari keanekaragaman hayati seperti mengatur proses ekologi sebagai sistem penyangga kehidupan seperti menghasilkan oksigen, dapat mencegah pencemaran udara dan air, menunjang keseimbangan hubungan antara mangsa dan pemangsa dalam bentuk pengendalian hama (Sutarno & Setyawan, 2015).
Penentu kestabilan ekosistem juga dapat dilihat dari keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati (biodiversity) di Indonesia sangat tinggi, termasuk juga keanekaragaman hayati lautnya seperti salah satunya dalam keanekaragaman makroalga di laut (Marianingsih et al., 2013). Makroalga merupakan salah satu organisme laut yang banyak dijumpai hampir di seluruh pantai yang ada di Indonesia. Makroalga di daerah tropis khususnya seperti di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, tetapi alga akan sangat rentan dengan perubahan lingkungan atau tekanan ekologis yang dapat mempengaruhi pertumbuhan alga (Dwimayasanti & Kurnianto, 2018). Sebagian besar makroalga memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai makanan dan secara tradisional dijadikan sebagai obat-obatan (Palallo, 2013).
2.3 Tinjauan Umum Makroalga
Makroalga merupakan alga yang memiliki ukuran dapat dilihat dengan mata langsung tanpa bantuan mikroskop dengan struktur tubuh yang besar mulai dari beberapa centimeter (cm) sampai berukuran meter (Oryza et al., 2016). Alga termasuk bagian dari kingdom protista mirip tumbuhan (Thallophyta) yang memiliki struktur tubuh berupa talus dan mengandung pigmen klorofil yang berguna untuk melakukan fotosintesis (Tega et al., 2020). Struktur tubuh makroalga pada umumnya terdiri dari tiga bagian utama yaitu struktur yang menyerupai daun disebut blade, struktur tubuh yang menyerupai batang disebut stipe, dan struktur yang menyerupai akar dengan fungsinya untuk melekat pada substrat disebut holdfast (Ira et al., 2018).
Bentuk sekilas dari makroalga yang menyerupai dengan tumbuhan tingkat tinggi, tetapi memiliki struktur dan fungsi yang berbeda (Castro & Huber, 2003).
Makroalga merupakan kelompok tumbuhan berklorofil yang mengandung bahan organic seperti vitamin, mineral, polisakarida, hormone, dan juga senyawa bioaktif (Masduqi et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian Pakidi & Suwoyo (2016) dikatakan bahwa rumput laut mengandung beberapa vitamin seperti vitamin D, K, B kompleks, Karotenoid (precursor vitamin A) dan tokoferol.
Selain itu ada beberapa makroalga juga menghasilkan metabolit yang memiliki aktivitas antioksidan seperti pada Polysiphonia ulceolate yang termasuk ke dalam Rhodophyta.
Makroalga atau seaweed termasuk dalam tanaman tingkat rendah sehingga dalam pertumbuhannya akan melekat atau menancap pada substrat tertentu seperti mangrove, lamun, lumpur, batu, pasir, karang, serpihan karang, dan benda keras lainnya. Selain pada benda mati, makroalga dapat tumbuh melekat pada tumbuhan lain di dalam laut secara epifit (Dwimayasanti & Kurnianto, 2018). Penyebaran dari makroalga di suatu daerah dapat dilihat dari tempat melekat atau substrat, musim dan jenis. Kebanyakan makroalga tumbuh melekat dengan tipe substrat seperti berpasir, substrat berlumpur, dan substrat keras (karang dan pecahan karang) (Ayhuan et al., 2017). Sebaran makroalga di perairan laut kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) dan pada daerah yang terendam air (subtidal) dengan melekat pada substrat yang berada di dasar perairan.
Menurut Odum (1994), mengemukakan bahwa kedalaman dapat memperlihatkan distribusi dan penyebaran makroalga, dimana daerah pasang surut (intertidal) lebih dominan ditemukannya alga hijau, pada bagian tengah, bawah daerah intertidal dan subtidal dominan alga yang ditemukan adalah alga coklat, sedangkan pada daerah batas bawah dan zona fotik didominasi oleh alga merah. Menurut Ayhuan et al. (2017), pembagian dari ketiga divisi makroalga tersebut memiliki nilai ekonomis karena banyak mengandung agar, caraginan, dan alginate.
2.4 Morfologi Makroalga
Makroalga merupakan tumbuhan laut tingkat rendah dimana bagian-bagian tubuh makroalga berupa akar, batang dan daun belum dapat dikenali dengan jelas (belum sejati). Makroalga merupakan tumbuhan bertalus sehingga dikelompokkan ke dalam thallophyta (Tega et al., 2020). Secara keseluruhan memiliki morfologi yang mirip dengan tumbuhan, tetapi sebenarnya berbeda atau secara morfologi tidak mempunyai akar, batang, dan daun sejati keseluruhan tubuhnya disebut thalus (Lokollo, 2013).
Gambar 2. 1 Struktur tubuh talus (Sumber: Castro & Huber, 2003)
Struktur tubuh makroalga terdiri dari tiga bagian utama seperti blade yaitu bagian makroalga yang menyerupai daun pipih dengan ukuran lebar, selanjutnya ada stipe yaitu bagian yang menyerupai batang yang lentur dan memiliki fungsi sebagai penahan goncangan ombak dan bagian yang terakhir ada holdfast yaitu bagian dari makroalga yang menyerupai akar dan memiliki fungsi sebagai melekatnya makroalga pada substrat (Meriam et al., 2016).
Blade pada makroalga berfungsi sebagai daerah fotosintesis utama dan tempat penyerapan nutrisi, tetapi seluruh bagian talus yang terdapat klorofil dapat pula berfotosintesis. Terdapat beberapa makroalga yang memiliki kantong yang berisi gas disebut pneumatokista (pneumatocysts) atau bladder, ini berfungsi agar blade tetap berada dekat dengan permukaan laut sehingga blade tetap terkena cahaya matahari dan dapat melakukan fotosintesis (Castro & Huber, 2003). Fungsi
holdfast pada makroalga hanya sebagai tempat melekat pada substrat bukan sebagai tempat penyerapan nutrisi dan air, hal ini yang membedakan holdfast dengan akar sejati (Castro & Huber, 2003).
Pengenalan jenis spesies makroalga dapat juga dilihat dari sifat substansi talus yang bermacam-macam, yaitu: lunak seperti gelatin (gellatinous), keras karena mengandung zat kapur (calcareous), ada yang lunak seperti tulang rawan (cartilaginous), dan ada yang berserabut (spongious). Selain itu, terdapat macam- macam percabangan talus mulai dari bercabang dua terus menerus (dichotomous), berjajar searah pada sisi talus utama (pectinate), bercabang dua pada sepanjang talus utama secara berselang-seling (pinnate), cabang berpusat dengan melingkari sumbu utama (verticillate), lalu terdapat pula talus sederhana tanpa percabangan (Aslan, 1998).
Tempat hidup utama dari makroalga adalah di daerah pantai antara pasang naik dan pasang rendah, di wilayah pasang surut hingga kedalaman mencapai 0,01% cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis tersedia (Dhargalkar &
Kaflekar, 2004). Makroalga tersebar pada daerah intertidal dan subtidal, daerah tersebut dapat memperoleh cahaya yang cukup, sehingga dapat digunakan dalam proses fotosintesis. Makroalga juga dapat menyerap nutrisi berupa fosfor dan nitrogen dari lingkungan sekitar perairan, dengan begitu makroalga dapat dijadikan sebagai bioindikator dan sebagai filter kondisi perairan (Kasim, 2016).
Pengaruh faktor lingkungan yang dinamis dapat menjadikan penyebab stress pada jenis makroalga, sehingga mengakibatkan pertumbuhan makroalga terhambat dan jika berlanjut akan mengakibatkan kematian (Pradana et al., 2020). Karakteristik pantai seperti paparan cahaya, kedalaman, suhu, pasang surut air laut akan menciptakan lingkungan yang berbeda bagi pertumbuhan dan persebaran distribusi makroalga (Irawan & Luthfi, 2017).
2.5 Klasifikasi Makroalga
Umumnya makroalga secara taksonomi terdiri dari 3 divisi berdasarkan pigmen fotosintesis, komposisi dinding sel, siklus hidup, pola reproduksi, bentuk morfologi, sistem perakaran dan bentuk thalus yang dimilikinya yaitu
Chlorophyta (alga hijau), Rhodophyta (alga merah), dan Phaeophyta (alga coklat)
(Setiawati & Sari, 2017) dan (Maududi & Luthfi, 2018).
2.4.1 Divisi Chlorophyta
Pada divisi Chlorophyta memiliki pigmen dominan hijau yang berasal dari klorofil yang terkandung pada alga (Marianingsih et al., 2013). Mempunyai pigmen klorofil a dan klorofil b yang lebih dominan untuk melakukan fotosintesis, serta terdapat pigmen alfa dan beta karoten, lutein, zeaxanthin dan xantofil (Ayhuan et al., 2017). Ganggang ini juga dapat melakukan fotosintesis. 90%
hidup di air tawar dan 10% hidup di laut (Fauziah & Laily, 2015). Hidup menancap atau menempel pada substrat dasar perairan laut seperti karang mati, fragment karang, pasir dan pasir lumpuran. (Pradana et al., 2020) menyatakan bahwa Chlorophyta banyak dijumpai di daerah dengan substrat yang berlumpur dan berpasir dapat dilihat dari bentuk holdfast berupa kumpulan serabut dan mampu menarik substrat kasar maupun partikel berpasir. Menurut penelitian Srimariana et al. (2020a) menyatakan bahwa, makroalga yang berasal dari Chlorophyta memiliki kelimpahan makroalga yang tinggi jika dibandingkan dengan makroalga lainnya, dikarenakan sebaran habitat yang lebih luas dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik dengan kondisi lingkungannya.
Ciri-ciri umum alga hijau adalah :
Berwarna hijau karena mengandung pigmen yang berasal dari klorofil a dan b yang dikandung alga.
Talus berbentuk lembaran (Ulva lactuca), batangan (Caulerpa corynephora) atau bulatan (Caulerpa sertulariodes) yang bersifat lunak, keras atau siphonous terdiri dari uniseluler atau multiseluler.
Mempunyai pigmen klorofil a dan klorofil b untuk melakukan fotosintesis, serta terdapat pigmen alfa dan beta karoten, lutein, zeaxanthin dan xantofil (Webber & Thurman, 1991).
2.4.2 Divisi Rhodophyta
Makroalga dari divisi Rhodophyta berwarna merah dikarenakan adanya cadangan fikoeritrin yang lebih dominan dibanding dengan pigmen lainnya.
(Marianingsih et al., 2013). Umumnya hidup di laut dan beberapa jenis di air tawar, mengandung pigmen klorofil a, klorofil d, karoten, fikoeritrin, fikosianin, dan xantofil. Rhodophyta mempunyai produk cadangan yang penting yaitu polisakarida seperti floideant starch atau kanji floideant (Ayhuan et al., 2017).
Pigmen tambahan berupa phycoerythrin (fikoeritrin) akan memungkinkan alga ini untuk menggunakan energy dan hidup pada kedalaman laut (Odum, 1994). Alga merah merupakan golongan alga yang lebih banyak mempunyai aktivitas biologi seperti antibakteri dibandingkan dengan jenis alga lainnya (Amaranggana &
Wathoni, 2017). Pada daerah yang bersuhu dingin ukuran dari alga merah dapat mencapai ukuran yang paling besar jika dibandingkan dengan ukuran di daerah yang tropis. Kebanyakan makroalga dari divisi ini paling bermanfaat bagi keperluan manusia seperti digunakan dalam industri, obat-obatan dan makanan (Sukiman, 2011). Sedangkan pemanfaatan alga merah bagi lingkungan yaitu sebagai penyuplai bahan organik dan menjaga kekokohan karang yang berada di sekitarnya.
Ciri-ciri umum alga merah adalah :
Rhodophyta kebanyakan hidup di kedalaman laut karena alga merah akan tumbuh dengan baik dengan intensitas cahaya matahari yang lebih rendah.
Bentuk talus ada yang berbentuk filament, bercabang, berbentuk bulu, dan lembaran.
Warna talus bervariasi ada yang merah (Dictyopteris sp.), pirang (Eucheuma spinosum), coklat (Acanthophora muscoides) dan hijau (Gracilaria gigas).
Sistem percabangan talus ada yang sederhana, kompleks, dan juga ada yang berselang – seling.
Mengandung pigmen klorofil a, klorofil d, dengan pigmen fotosintetik berupa karoten, fikoeritrin, fikosianin, dan xantofil menyebabkan talus berwarna merah (Webber & Thurman, 1991).
Di perairan tropik, alga merah umumnya terdapat di daerah bawah littoral di mana cahaya sangat kurang. Sekelompok alga ini ada yang disebut koralin (coralline), yang menyadap kapur dari air laut dan menjadi sangat keras seperti
batu. Mereka terdapat di terumbu karang dan membentuk kerak merah muda pada batu karang dan batu cadas (Nybakken, 1992).
2.4.3 Divisi Phaeophyta
Makroalga pada divisi Phaeophyta mengandung pigmen fucoxanthin yang dominan sehingga menjadikan warna alga ini menjadi coklat dan alga ini memiliki ukuran lebih besar jika dibandingkan dengan Chlorophyta dan Rhodophyta (Marianingsih et al., 2013). Secara umum makroalga dari divisi ini memiliki bentuk morfologi dan anatomi yang diferensiasinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan makroalga lainnya. Pada struktur tubuh talus alga ini memiliki tambahan berupa gelembung udara pneumatocysts atau (bladder) yang terdapat di pangkal daun (blade) (Nybakken, 1992).
Sebagian besar dari alga coklat hidup melekat pada substrat karang dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian dari Marianingsih et al. (2013) mengatakan bahwa jenis makroalga dari jenis Phaeophyta memiliki toleransi yang baik terhadap ombak laut yang berada di daerah pasang surut. Beberapa diantaranya hidup sebagai epifit. Habitat dari Phaeophyta tumbuh dengan baik di perairan mulai dari kedalaman 0,5-10 m dengan memiliki arus dan ombak (Pakidi &
Suwoyo, 2016). Hidup di pantai dengan perairan yang jernih dengan memiliki substrat dasar seperti pecahan karang dan berbatu. Menurut Pradana et al. (2020) mengatakan bahwa divisi ini memiliki holdfast yang berbentuk cakram yang berguna untuk menempel pada substrat dan mampu untuk melindungi dari hempasan arus yang kuat. Tubuh berbentuk seperti benang atau lembaran yang dapat mencapai puluhan meter. Cadangan makanan dapat berupa laminarin, manitol atau berbentuk tetes-tetes lemak.
Ciri-ciri umum Phaeophyta adalah :
Berwarna pirang atau coklat.
Bentuk talus pada umumnya berbentuk silindris atau gepeng dengan percabangan yang rimbun, blade berbentuk lebar, oval atau seperti pedang.
Talus berbentuk benang kecil halus dan bercabang (Ectocarpus sp.), talus berbentuk lembaran (Padina australis), bertalus lebar dan bertangkai
pendek (Laminaria sp. dan Alaria sp.), talus berbentuk silindris dan memiliki gelembung udara bladder (Sargassum duplicatum) (Webber &
Thurman, 1991).
Mengandung pigmen flukoxantin (flavoxantin dan violaxantin) yang lebih dominan, pigmen lainnya seperti klorofil a dan c, alfa karoten, serta xantofil yang memberikan warna coklat pada alga (Bold & Wynne, 1985).
2.6 Faktor Lingkungan Perairan Makroalga 2.5.1 Suhu
Suhu air atau temperatur merupakan sifat fisik dalam lingkungan yang paling penting karena akan memberikan pengaruh pada peristiwa fisik, kimia, dan biologis (Hutagalung, 1988). Makroalga sangat mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh suhu air yang memegang peran penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya karena sangat berpengaruh bagi metabolisme makroalga (Ayhuan et al., 2017). Perubahan suhu yang ekstrim mengakibatkan kematian pada makroalga atau dapat mengganggu tarap reproduksi, serta terhambatnya pertumbuhan. Secara fisiologis, suhu rendah akan mengakibatkan aktivitas biokimia dalam tubuh talus terhenti, sedangkan pada suhu tinggi akan menyebabkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimiawi dalam thalus alga (Kasim, 2016).
Menurut Nybakken (1992), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru.
2.5.2 Kekeruhan
Kekeruhan perairan atau yang dikenal sebagai turbiditas perairan merupakan keadaan perairan yang terdapat zat padat berupa pasir, lumpur dan tanah atau partikel tersuspensi dalam air (Maturbongs, 2015). Faktor kekeruhan dapat sangat mempengaruhi kemampuan daya tembus cahaya matahari ke dalam perairan sangat ditentukan oleh kandungan pada perairan seperti bahan organic
maupun bahan anorganik yang tersuspensi di perairan, warna dari perairan, jasad renik dan kepadatan plankton (Ayhuan et al., 2017). Kekeruhan pada perairan pantai akan berdampak proses biologi di dalam laut seperti kurangnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air sehingga akan mempersulit makroalga dalam melakukan fotosintesis (Maturbongs, 2015). Kebutuhan turbiditas bagi pertumbuhan makroalga berkisar pada 5-6 NTU, sedangkan kekeruhan yang tinggi akan berpengaruh dengan pertumbuhan semua jenis makroalga karena kebutuhan yang diperlukan makroalga terhadap intensitas cahaya matahari antara 6500-7500 Lux (Kadi, 2017).
2.5.3 Kedalaman Air
Kedalaman air juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran makroalga. Menurut penelitian (Lapu, 2014), pada saat surut terendah makroalga sudah dapat ditemukan pada kedalaman air 30-50 cm dari permukaan laut.
Pertambahan kedalaman air laut dapat mempengaruhi suhu dari air tersebut, sehingga semakin bertambah kedalaman laut makan akan semakin menurun suhu pada air laut. Suhu air laut pada kedalaman 1000 m akan relatif lebih konstan dan berkisar 2° - 4° C (Hutagalung, 1988). Selain mempengaruhi suhu air, kedalaman air juga sangat mempengaruhi kecerahan air laut atau intensitas cahaya yang masuk ke dalam air (Ayhuan et al., 2017). Bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Sanusi, 2009).
2.5.4 Salinitas
Pada perairan distribusi salinitas dipengaruhi oleh banyak faktor seperti penguapan, pola sirkulasi air, curah hujan dan kandungan air tawar yang masuk ke dalam air laut (Sanusi, 2009). Aliran permukaan, curah hujan dan aliran air sungai merupakan asal dari air tawar yang masuk ke laut. Pengaruh perubahan salinitas akan mempengaruhi tekanan osmotic pada makroalga, tekanan ion makroalga dan perubahan rasio ionik akibat permeabilitas membrane makroalga (Isnadia, 2013).
Kisaran nilai salinitas yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan makroalga berkisar antara 15 ‰ – 38 ‰ (Ayhuan et al., 2017). Pertumbuhan makroalga
yang baik tergantung pada toleransi dan adaptasinya terhadap perubahan lingkungan dengan kisaran salinitas tertentu. Pada daerah salinitas yang rendah atau daerah estuari sangat jarang ditemukan adanya makroalga karena adanya percampuran air tawar dengan air laut (Atmanisa et al., 2020).
2.5.5 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman sangat penting bagi parameter kualitas air karena mengontrol laju kecepatan reaksi dan tipe beberapa bahan yang berada di dalam air. Nilai pH biasanya disebabkan oleh proses biologis dan kimia yang akan menghasilkan senyawa dengan sifat yang asam maupun alkalis. Variasi nilai pH di dalam air juga dipengaruhi masuknya limbah yang memiliki sifat asam maupun alkalis dari daratan (Sanusi, 2009).
Nilai pH yang berubah akan sangat mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon dioksida (CO2) yang akan membahayakan kehidupan biota laut mulai dari tingkat prduktivitas primer perairan sampai tingkat yang paling tinggi di kehidupan laut. Kisaran nilai pH yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan makroalga berkisar pada nilai 7.5 - 8.0 (Ayhuan et al., 2017).
Sedangkan menurut Luning (1990), kisaran toleransi nilai pH (intensitas keasaman) untuk pertumbuhan makroalga yang baik berkisar mulai 6,8-9,6.
2.5.6 DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen yang terlarut dalam air laut dapat berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton (mikroalga), tumbuhan laut (makroalga) dan hasil dari difusi udara (aerasi). Oksigen terlarut sangat penting dan sangat diperlukan ketika melakukan proses respirasi dan penguraian zat organik oleh mikroorganisme (Atmanisa et al., 2020). Berdasarkan kisaran DO yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan makroalga kurang dari 6 ppm. Jumlah ukuran oksigen terlarut yang dibutuhkan dalam pertumbuhan makroalga 2-4 ppm. Nilai pengukuran oksigen terlarut dalam air laut akan dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari suhu, respirasi, salinitas dan fotosintesis (Ayhuan et al., 2017).
2.5.7 Substrat
Makroalga umumnya hidup di dasar laut dan substratnya berupa pasir, pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut (Yudasmara, 2011). Adanya makroalga di daerah pantai sangat ditentukan berdasarkan habitatnya, terutama pada tipe substrat tempat menempel atau melekatnya makroalga (Marianingsih et al., 2013). Alga laut tumbuh dan melekat pada beberapa tipe substrat seperti batu, tempat yang perairan dangkal, berpasir, berlumpur, atau substrat keras seperti karang dan batu. Kondisi substrat yang ideal bagi makroalga akan memberikan pengaruh baik bagi pertumbuhan dan perkembangan makroalga (Diansyah et al., 2018). Beberapa spesies makroalga seperti Padina australis yang mampu hidup pada kondisi dimana ombak relatif kecil dan akan meningkatkan kecepatan sedimentasi karena adanya lumpur dan pasir halus, akibatnya substrat padat akan tertutupi oleh material endapan (Lokollo, 2019).
Pantai yang memiliki pecahan karang dan berkarang merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi kebanyakan spesies makroalga dan hanya beberapa makroalga yang dapat tumbuh di pantai yang berpasir dan berlumpur (Pradana et al., 2020). Jenis substrat dapat dijadikan sebagai indikator gerakan air laut. Dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gerakan air yang besar sebaliknya bila substratnya lumpur menunjukkan gerakan air yang kurang. Kondisi substrat yang dibutuhkan oleh makroalga seperti menempati tipe sedimen pasir kasar, dengan pertukaran air posi dengan kolom air yang tinggi dengan arus yang membawa nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan bagi makroalga (Ayhuan et al., 2017).
2.7 Peran dan Manfaat Makroalga
Makroalga memiliki fungsi dari segi ekologi, biologis dan ekonomis. Secara ekologi, makroalga memiliki manfaat dan peran terhadap lingkungan di sekitarnya seperti sebagai tempat perlindungan bagi spesies ikan tertentu (nursery grounds), dapat juga sebagai tempat pemijahan (spawning grounds), dan sebagai tempat mencari makanan alami bagi ikan-ikan dan hewan herbivora di dalam laut
(feeding grounds) (Dwimayasanti & Kurnianto, 2018). Secara biologis makroalga memiliki peran yang besar dalam meningkatkan produktivitas primer, penyerap bahan polutan, penghasil bahan organic dan sebagai sumber produksi dari oksigen bagi organisme perairan bawah laut (Dwimayasanti & Kurnianto, 2018). Manfaat yang di dapat bagi lingkungan sekitar yaitu makroalga mampu memproduksi zat- zat organic melalui proses fotosintesis seperti menghasilkan bahan alginat, karagenan dan furcelaran. Selain itu manfaat yang dimiliki makroalga bagi manusia seperti bahan pembuatan obat, bahan pangan, makroalga juga dapat digunakan sebagai sumber bahan kimia untuk industri dan sebagai pupuk pertanian (Irwandi et al., 2017). Makroalga juga sangat berpotensi pada produk kosmetik karena alga menghasilkan banyak komponen seperti polisakarida, lipid, protein, pigmen dan fenol. Alga dijadikan sebagai zat tambahan pada formulasi kosmetik dan zat aktif yang berfungsi sebagai penunda penuaan, pemutih, pelembab dan antioksidan (Oktarina, 2017).
Secara ekonomi makroalga dapat digunakan secara langsung oleh masyarakat pesisir yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti, dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan dan obat-obatan karena memiliki komponen yang digunakan dalam mengobati masalah pencernaan dan beberapa penyakit, selain itu dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber energi baru, misalnya bahan pembuatan biodiesel dan bioetanol (Oryza et al., 2016). Makroalga yang mempunyai nilai ekonomis kebanyakan berasal dari jenis rhodophyta, khususnya Eucheuma sp.
dan Gracilaria sp. jenis ini bagi masyarakat pesisir memiliki banyak manfaat sehingga dibudidayakan (Kasim, 2016). Manfaat lain dari makroalga yaitu dalam bidang pendidikan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar dengan mengamati obyek biologi secara langsung (Budi Setyawan et al., 2015).
2.8 Tinjauan Sumber Belajar
Sumber belajar merupakan seluruh jenis sumber yang berada di sekitar yang menjadikan kemudahan dalam terjadinya proses pembelajaran (Asyhar, 2010).
Melihat banyaknya makhluk hidup, objek dan persoalan yang terjadi pada lingkungan sekitar dapat dijadikan sebagai sumber belajar Biologi, sehingga
penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan lebih mempermudah dalam proses pembelajaran (Darmawan et al., 2021). Sumber belajar yang berada di lingkungan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar dari peserta didik, selain itu dapat pula meningkatkan motivasi dan kreativitas peserta didik dengan menjadikan pembelajaran materi yang mudah dipahami karena dekat dengan lingkungan sekitar, seperti benda, manusia, peristiwa dan lingkungan peserta didik (Akbar, 2013) dan (Halimah, 2008). Fungsi yang dimiliki sumber belajar dapat dijadikan sebagai saluran komunikasi yang dapat berinteraksi langsung dengan peserta didik dalam suatu kegiatan pembelajaran.
Menurut Budi Setyawan et al. (2015) menyatakan bahwa sebaiknya sumber belajar memiliki unsur yang inovatif dalam penyajiannya sehingga dapat menarik minat dari peserta didik dalam mempelajari materi yang berada di dalamnya.
Menurut Sundari et al. (2017) menyatakan bahwa penting bagi seorang guru untuk menentukan sumber belajar yang tepat berdasarkan yang dibutuhkan dari setiap materi. Cakupan dari sumber belajar dapat membantu seorang guru untuk menyampaikan materi mengajar dengan menampilkan kompetensinya.
Meningkatkan kualitas pembelajaran pada peserta didik dapat menggunakan bahan ajar yang disiapkan dari sumber belajar yang berasal dari lingkungan (Oryza et al., 2017). Menurut Suhardi (2012), objek yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar memiliki beberapa syarat, yaitu: ketersediaan objek dan permasalahan yang diangkat memiliki kejelasan potensi, memiliki kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, kejelasan sasaran materi dan peruntukannya, informasi yang diungkapkan dengan jelas, serta memiliki kejelasan pedoman eksplorasi.
Sumber belajar yang berasal dari makroalga dapat dijadikan dan dimanfaatkan sebagai bahan ajar dalam lingkungan pesisir pantai (Oryza et al., 2017).
Makroalga mulai diajarkan di sekolah pada tingkat Sekolah Menengah Pertama sampai perguruan tinggi pada jurusan tertentu terutama Jurusan Biologi. Pada Sekolah Menengah Atas pengajaran Makroalga atau biasa disebut Protista mirip tumbuhan berdasarkan lampiran Permendikbud No.59 tahun 2013 tentang Kurikulum SMA-MA, tercantum dalam Kompetensi Dasar : 3.5 Menerapkan
prinsip klasifikasi untuk menggolongkan protista berdasarkan ciri umum kelas dan peranannya dalam kehidupan melalui pengamatan secara teliti dan 4.5 Merencanakan dan melaksanakan pengamatan tentang ciri-ciri dan peranan Protista dalam kehidupan dan menyajikan hasil pengamatan dalam bentuk model/chart/gambar (Budi Setyawan et al., 2015).
Referensi dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peserta didik dalam mempelajari dan memahami tentang keanekaragaman makroalga dengan disajikan dalam bentuk buku saku dan awetan basah. Buku saku dapat dijadikan sebagai sumber belajar dengan disusun secara ringkas agar memudahkan pembaca atau peserta didik untuk memahami isi buku tersebut (Putri & Listiyadi, 2011). Isi dari buku saku berupa informasi dasar tetapi juga mendalam dengan hanya membahas satu objek tertentu yang digunakan sebagai acuan buku. Buku saku ini berisi gambar sekaligus berisi penjelasan atau deskripsi dari gambar tersebut dengan mengarahkan atau memberi petunjuk mengenai objek tertentu yang sedang dibahas.
2.9 Kerangka Konseptual
Keanekaragaman Makroalga
Kondisi Ekologi Pantai
Biotik Abiotik/Faktor Lingkungan
Makroalga &
Hewan Laut
Indeks Ekologi Makroalga
Suhu air laut, Kekeruhan, DO air laut, Salinitas air laut,
pH air laut, Substrat
Identifikasi Spesies Makroalga
Sumber Belajar Biologi
Gambar 2. 2 Kerangka Konseptual Ciri Morfologi
Makroalga