• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERANGKA TEORI Kemiskinan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KERANGKA TEORI

Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral dalam pembangunan terutama setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997. Peningkatan jumlah penduduk miskin dengan tajam dan pengaruh krisis ekonomi masih terasa sampai sekarang. Akibat krisis ekonomi ada kecenderungan semakin banyak penduduk yang bekerja di sektor informal bahkan para wanita turut serta ambil bagian dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Ihromi (1995), bekerja di sektor informal, seperti : menjadi pembantu rumah tangga, namun demikian kelompok seperti ini berada dalam kondisi miskin dan rentan

Dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, kemiskinan dianggap sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kebutuhan dasar meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka seseorang berada dalam kondisi miskin. Menurut David Cox (dalam Suharto, 2005 :132) bahwa kemiskinan dapat dibagi beberapa dimensi, yaitu :

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi.

Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.

Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial.

Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak dan kelompok minoritas. 4. Kemiskinan konsekuensial.

(2)

Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut Suharto (2005 : 135), kemiskinan bisa diakibat oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri si miskin, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan diakibatkan pula oleh sumber daya alam, artinya ketersediaan sumber daya semakin langka dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, sehingga mengakibatkan seseorang menjadi miskin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya alam tersebut. Kualitas sumber daya alam merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kemiskinan karena kualitas sumber daya alam mempengaruhi kegiatan produksi yang menghasilkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini mengakibatkan produksi yang dihasilkan tidak bisa dijadikan sumber mata pencaharian yang secara tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsep kemiskinan menurut Sen (dalam Sari 2003 : 94) bahwa kemiskinan sebagai suatu keadaan yang individunya mengalami keterbatasan pilihan dan kemampuan atau ”lack of choice and capability”. Dalam konsep tersebut, kemiskinan dikaitkan dengan suatu keadaan atau kondisi hilangnya hak serta peluang seseorang atau sekelompok orang terhadap penguasaan, pemilikan, dan peraturan atau kontrol terhadap sumber daya yang diperlukan bagi terjaminnya kehidupan seseorang. Dalam dimensi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai adanya perbedaan kemampuan di dalam :

1. Pengambilan keputusan sehingga kelompok miskin tidak masuk dalam agenda pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya.

2. Menjangkau sumber-sumber ekonomi dan kesempatan-kesempatan yang tidak sama untuk bertindak.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan tetapi upaya tersebut sampai saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan bahkan banyak kegiatan/program penanggulangan kemiskinan

(3)

mengalami kegagalan. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan perlu mendapat tanggapan serius, seperti memacu pertumbuhan ekonomi, menyediakan fasilitas kredit bagi lapisan miskin, membangun infrastruktur pedesaan dalam hal ini pembangunan pertanian. Ketidakberhasilan penanggulangan kemiskinan disebabkan dari cara pemahaman kemiskinan berdasarkan kondisi ekonomi semata (Sukmana , 2005 : 138).

Di dalam perspektif gender, konsep kemiskinan dianggap lebih tepat jika dilihat dari sisi ketidakadilan gender, yaitu kurang akses dan kontrol wanita dalam pengambilan keputusan yang penting dan mempengaruhi kehidupannya. Pandangan ini menjadi titik tolak melihat wanita tidak hanya di wilayah domestik tetapi juga di wilayah publik, dimana wanita mengalami hal yang sama yaitu opresi dan subordinasi, yang memberi implikasi pada banyaknya keputusan penting menyangkut hidup wanita ditentukan oleh laki-laki (Sari, 2003 : 94).

Wanita mengalami kemiskinan yang lebih parah dibandingkan laki-laki yang berpenghasilan rendah dalam komunitasnya, khususnya wanita yang mengepalai rumah tangganya sendiri. Mereka tidak mempunyai akses terhadap sumber pembangunan, misalnya akses terhadap kredit. Ketika terjadi resesi ekonomi dan pemerintah melakukan penghematan anggaran dalam pelayanan kesejahteraan, maka wanita harus menanggung beban kerja lebih banyak karena wanita harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan mengerjakan peran domestik. Tugas mempertahankan keluarga tetap menjadi tanggung jawab wanita, kaum wanita akan terus memikul beban yang tidak seimbang akibat gagalnya pembangunan (Mosse, 1996 : 26-27 ).

Wanita miskin biasanya terlalu banyak pekerjaan dan sering mengejar beberapa sumber pendapatan demi menjamin kelangsungan hidup mereka dan keluarganya. Mereka melakukan peran ganda yaitu melakukan pekerjaan produktif sebagaimana lelaki tetapi juga melakukan pekerjaan reproduktif di dalam rumah tangganya. Kegiatan/program penciptaan pendapatan jarang untuk mengurangi beban kerja wanita, bahkan tak ada jaminan bahwa wanita juga mempunyai kontrol terhadap pendapatan yang mereka. Hal ini terjadi karena di kebanyakan negara, wanita tersubordinasi, apabila rumah tangga dikontrol lelaki

(4)

sangat tidak mungkin bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan terhadap pendapatan mereka (Saptari R & Holzner B, 1997 : 178).

Wanita dan Pembangunan

Wanita dalam kegiatan pembangunan khususnya wanita miskin masih tetap dilibatkan dalam program-program yang bertujuan peningkatan kesejahteraan keluarga. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk memanfaatkan wanita sebagai ”alat” untuk meningkatkan kesehatan anak dan menurunkan pertumbuhan penduduk (Ihromi T O,1995 : 187). Artinya sementara ini program-program pembangunan yang ditujukan kepada wanita miskin hanya untuk mengurangi jumlah penduduk dan meningkatkan kesehatan keluarga. Keadaan ini memperlihatkan bahwa wanita hanya djadikan objek dari kegiatan pembangunan, mereka jarang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan pembangunan.

Nilai dan norma budaya pembagian peran pria dan wanita mempunyai dampak besar terhadap kedudukan wanita dan merupakan variabel penting yang mendukung dan memperkuat perbedaan mendasar dalam kedudukan ekonomi wanita yang lebih rendah daripada pria. Krisis ekonomi yang melanda dunia telah mengakibatkan pengaruh yang lebih mempersulit dan merendahkan kedudukan wanita terutama wanita miskin di pedesaan dan perkotaan yang gajinya menjadi semakin kurang tapi beban kerjanya semakin meningkat (Tjandraningsih I, 2003 : 39 ).

Saat ini program pembangunan untuk wanita telah diarahkan pada kegiatan untuk peningkatan pendapatan keluarga, namun pada pelaksanaannya banyak mengalami kesulitan karena pengetahuan dan keterampilan wanita rata-rata rendah, tidak mempunyai akses dalam pemasaran, produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan selera masyarakat. Seperti yang dikemukakan Ihromi (1995 : 194) bahwa kegagalan program untuk wanita umumnya karena tidak ada komitmen yang serius dalam pelaksana proyek untuk menjadikan kegiatan peningkatan pendapatan sebagai kelompok usaha ekonomi yang serius. Dalam pengadaan modal usaha tidak menampilkan bagaimana jika program nanti berakhir dan

(5)

adanya stereotip bahwa wanita miskin mempunyai banyak waktu luang dan hanya membutuhkan penghasilan sampingan.

Pemberdayaan wanita dalam wacana ekonomi secara khusus ditujukan untuk meningkatkan independensi wanita. Pendekatan yang digunakan dalam program-program pemberdayaan ini ditujukan untuk meningkatkan akses dan kontrol wanita terhadap sumber daya ekonomi. Pemberdayaan wanita dalam wacana politik yaitu melibatkan wanita dalam pengambilan keputusan di ruang publik. Hal ini ditempuh dengan membuka ruang bagi wanita untuk masuk kedalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan baik eksekutif maupun legislatif. Dalam pengambilan keputusan hanya terjadi pada tataran formal dan wanita yang dilibatkan dalam politik masih terbatas pada wanita yang berada di kelas menengah (Dewayanti R et al. 2003 : 6).

Beberapa pendekatan pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan yang berwawasan gender di tingkat Internasional (Saptari R & Holtzner B, 1997 : 158-160) adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Kesejahteraan (Welfare Approach)

Pendekatan ini meletakkan wanita sebagai penerima pasif program pembangunan. Peran keibuan merupakan peranan yang paling penting bagi wanita di dalam masyarakat dan mengasuh anak merupakan peranan wanita yang efektif dalam semua aspek pembangunan ekonomi. Tujuan dari pendekatan ini untuk mendukung peran keibuan sebagai peranan paling penting bagi wanita dalam masyarakat dan pembangunan. Program-program yang dilaksanakan dititikberatkan pada program untuk memenuhi kebutuhan fisik keluarga, seperti menyediakan perumahan, sandang dan pangan, kebersihan, kesehatan dan gizi keluarga, nutrisi anak, cara memasak, menyiapkan makanan dan lain-lain.

2. Pendekatan Kesamaan (Equity Approach)

Pendekatan ini mengakui bahwa wanita merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan dan mengakui bahwa wanita mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi tersebut yaitu melalui kerja produktif dan reproduktif walaupun kontribusi tersebut seringkali tidak diakui. Tujuan pendekatan ini menuntut kesamaan wanita dalam

(6)

pembangunan dengan menerapkan wawasan gender dalam pembangunan. Program yang dilaksanakan diarahkan langsung pada hak yuridis : hak cerai, hak atas anak, hak waris, hak milik harta, hak untuk mendapatkan kredit, dan hak sebagai warga negara seperti hak suara serta hak ekonomi wanita berubah : tuntutan akan persamaan upah untuk pekerjaan yang sama.

3. Pendekatan Anti Kemiskinan (Poverty Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa asal mula kemiskinan wanita dan ketimpangannya dengan laki-laki diakibatkan oleh kesenjangan peluang untuk memiliki tanah dan modal serta diskriminasi seksual dalam pasar tenaga kerja. Tujuan pendekatan ini untuk meningkatkan produktivitas wanita dan mengintegrasikan wanita dalam pembangunan. Hal ini karena kemiskinan wanita diyakini sebagai masalah pembangunan bukan masalah subordinasi. Program yang dilaksanakan adalah usaha ekonomi skala kecil bagi wanita untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

4. Pendekatan Efisiensi (Efficiency Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa peningkatan partisipasi ekonomi wanita di negara dunia ketiga secara otomatis berkaitan dengan peningkatan kesamaan. Tujuan pendekatan ini untuk menjamin pembangunan lebih efisien dan lebih efektif, karena partisipasi ekonomi wanita dianggap menyatu dengan prinsip kesamaan.

5. Pendekatan Pemberdayaan (Empowerment Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa memperbaiki posisi wanita tidak akan berhasil dilakukan melalui intervensi dari atas jika tidak disertai upaya untuk meningkatkan kekuasaan wanita dalam melakukan negosiasi dan tawar menawar untuk mengubah situasinya. Tujuan pendekatan ini untuk memberdayakan wanita melalui peningkatan kepercayaan diri untuk membangun politik, ekonomi, dan struktur sosial yang baru agar keluar dari struktur yang ekspolitatif. Program yang dilaksanakan tidak selalu menyibukkan diri dalam program-program pembangunan tetapi melalui kegiatan-kegiatan gerakan wanita di dunia ketiga.

Berdasarkan pendekatan pembangunan yang berwawasan gender, maka Program P2WKSS cenderung menggunakan ”Pendekatan Anti Kemiskinan dan

(7)

Pemberdayaan”. Hal ini sesuai dengan tujuan Program P2WKSS yaitu merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan dengan memberdayakan wanita. Salah satu bentuk kegiatan Program P2WKSS yaitu dibentuknya KBUW dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pinjaman modal usaha. Hal ini bermakna bahwa pinjaman modal yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan usaha masyarakat dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga. Kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan dalam Program tersebut juga merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita serta memberi kesempatan kepada wanita untuk turut serta dalam setiap program pembangunan.

Budaya Patriarki

Pada mulanya kata ”patriarki” memiliki pengertian sempit, yaitu kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki dan wanita yang menjadi tanggungannya. Dalam perkembangannya istilah ”patriarki” mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas wanita dan anak-anak di dalam keluarga. Hal ini berlanjut kepada dominasi laki-laki atas semua lingkup kehidupan masyarakat lainnya (Mosse, 1996 : 64).

Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan dan militer. Pada dasarnya wanita tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan itu. Pandangan ini berpengaruh dalam mengubah peran gender tradisional yang sukar berubah. Hal ini merupakan masalah pokok di masyarakat yang terorganisir sepanjang garis patriarkal, dimana ada ketidaksetaraan hubungan gender antara laki-laki dan wanita dan merembes ke semua aspek masyarakat dan sistem sosial (Mosse, 1996 : 65). Selain itu, hukum hegemoni patriarki, ketidakseimbangan gender juga disebabkan karena sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang mempunyai modal besar itulah yang menang. Hal ini mengakibatkan laki-laki dilambangkan lebih kuat daripada wanita dan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar (Muniarti , 2004 : 120).

(8)

Dalam budaya patriarki, perbedaan peran antara laki-laki dan wanita dipandang sebagai akibat perbedaan jenis kelamin. Tugas wanita seperti memasak di dapur, berhias untuk suami, mengasuh anak dan pekerjaan domestik lainnya merupakan konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas domestik wanita tersebut bersifat abadi sebagaimana keabadian identitas jenis kelamin yang melekat pada dirinya. Secara sosiologis, budaya patriarkal terbentuk dari pergeseran relasi gender tersebut. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki diposisikan berkuasa atau superior terhadap wanita dalam berbagai sektor kehidupan baik domestik maupun publik. Hegemoni laki-laki dalam masyarakat tampaknya menjadi fenomena universal dalam sejarah manusia di masyarakat di manapun di dunia ini (Kadarusman, 2005 :21).

Ketidakadilan Gender

Gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan wanita yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya wanita dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat yang lain maupun dari kelas ke kelas lain yang ada di masyarakat (Fakih, 1996 : 8).

Perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai ”kodrat laki-laki maupun kaum wanita”,namun perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun kaum wanita. Perbedaan gender antara laki-laki dan wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan(violence), beban

(9)

kerja lebih panjang dan lebih banyak(burden)serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1996 : 10-12).

Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di berbagai tingkatan, yaitu :

1. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di tingkat negara, baik pada satu negara maupun organisasi antar negara seperti PBB.

Banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari ketidakadilan gender.

2. Manifestasi terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender.

3. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi dalam adat istiadat masyarakat pada berbagai kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidakadilan gender.

4. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Ketidakadilan gender telah mengakar mulai dalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum wanita dan laki-laki. Dengan demikian bahwa manifestasi ketidakadilan gender telah mengakar mulai dari keyakinan di masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global (Fakih, 1996 : 22-23).

Marginalisasi

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan sesungguhnya banyak terjadi dalam masyarakat dan negara baik yang menimpa kaum laki-laki dan wanita dan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya penggusuran, bencana alam dan proses eksploitasi. Marginalisasi terhadap kaum wanita dilihat dari sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih, 1996 : 13-14). Misalnya program swasembada pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum wanita dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka.

(10)

Akibatnya banyak kaum wanita miskin di desa termaginalisasi yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Hal ini berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.

Marginalisasi terhadap wanita yang terjadi di dalam rumah tangga berbentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan wanita. Hal ini diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir agama. Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum wanita untuk mendapatkan warisan sama sekali, sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap wanita.

Subordinasi

Subordinasi yaitu memposisikan wanita lebih rendah daripada laki-laki, dipandang kurang mampu sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah (Muniarti, 2004 : 78). Bentuk subordinasi terhadap wanita yang menonjol adalah semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan wanita itu sendiri menganggap bahwa pekerjaan reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan. Subordinasi terhadap jenis pekerjaan wanita tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga tetapi juga terproyeksi di tingkat masyarakat dan tempat pekerjaan. Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi buruh wanita dalam struktur perusahaan dan pabrik-pabrik (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 17).

Anggapan bahwa wanita irasional atau emosional mengakibatkan wanita tidak bisa tampil memimpin dan munculnya sikap yang menempatkan wanita pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas utama. Praktik tersebut berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

(11)

Stereotip

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang bersumber dari pandangan gender, banyak sekali ketidakadilan terhadap wanita yang bersumber dari penandaan yang dilekatkan pada kaum wanita (Fakih, 1996 : 16). Contohnya wanita bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya, maka setiap kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Stereotip terhadap kaum wanita terjadi dalam berbagai aspek. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotip tersebut.

Pelabelan memunculkan banyak stereotip, maka wanita identik dengan pekerjaan di dalam rumah, sehinga peluang wanita untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas. Akibat adanya pelabelan banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan kodrat wanita. Misalnya: karena secara sosial budaya laki-laki dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat maka laki-laki-laki-laki mulai kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi yang kuat, sementara wanita mempunyai label yang lembut maka perlakuan orang tua mendidik anak seolah-olah mengarah untuk terbentuknya wanita yang lemah lembut (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 18).

Kekerasan

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut ”gender-related violence”. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada di masyarakat (Fakih, 1996 : 18).

Kekerasan terhadap wanita sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap wanita. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat untuk menyatakan rasa tidak puas dan seringkali hanya untuk

(12)

menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas wanita. Pada dasarnya kekerasan terhadap wanita yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patiarkhi yang berkembang di masyarakat (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 19).

Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa wanita memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga berakibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum wanita. Konsekuensinya banyak wanita yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat harus ditanggung oleh wanita itu sendiri terlebih lagi jika wanita tersebut harus bekerja, maka ia harus memikul beban kerja ganda (Fakih, 1996 : 21).

Bias gender yang mengakibatkan beban kerja seringkali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa ”jenis pekerjaan perempuan (pekerjaan domestik)” dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki dan dikategorikan sebagai ”bukan produktif”, sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum wanita karena anggapan gender, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Hal ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum wanita (Fakih, 1996 : 21).

Pekerjaan yang diberikan kepada wanita lebih lama pengerjaannya jika dibandingkan dengan pekerjaan untuk laki-laki. Wanita yang bekerja di sektor publik masih diberi tugas rumah tangga di dalam keluarga dan masyarakat. Padahal secara ekonomis mereka tidak mampu menyerahkan tugas-tugas tersebut kepada pembantu rumah tangga yang juga perempuan. (Muniarti, 2004 : 97)

Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender

Analisis kebutuhan praktis dan strategis gender berguna untuk menyusun suatu perencanaan atau evaluasi suatu kegiatan pembangunan. Hal ini diperlukan

(13)

untuk melihat apakah suatu kegiatan pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki maupun wanita (Moser, 1993).

Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan yang meringankan beban kehidupan wanita tetapi tidak menyinggung ketaksejajaran(inequality)pembagian kerja secara seksual ataupun kesejajaran antara-gender. Misalnya : tempat-tempat penitipan anak, dapur-dapur umum, alat-alat kontrasepsi dan tempat perlindungan wanita yang dianiaya. Kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan jangka panjang yang menghilangkan ketidakseimbangan gender di dalam dan di luar rumah tangga serta menjamin hak dan peluang wanita untuk mengungkapkan kebutuhan mereka, seperti undang-undang persamaan hak dan persamaan upah untuk pekerjaan yang sama. (Saptari R & Holzner B, 1997 : 158).

Menurut Handayani dan Sugiarti (2002), pemenuhan kebutuhan praktis gender melalui kegiatan pembangunan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek, meringankan beban kerja wanita dan lebih mudah dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan strategis gender lebih berjangka panjang, mengacu pada peran ideal wanita, merubah hubungan gender dan memerlukan strategi tertentu dalam proses pemenuhannya.

Kepentingan strategis gender adalah kepentingan yang berasal dari suatu analisis mengenai subordinasi wanita. Identifikasi kepentingan strategis gender merupakan bagian dari strategi feminis yang ditujukan untuk mengubah hubungan kekuasaan yang ada antara laki-laki dan wanita dalam menyusun semua kawasan kehidupan keluarga, pendidikan, kesejahteraan, dunia kerja, politik, kultural dan hiburan (Mosse, 1996 : 216).

Analisis Gender Dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan

Pengakuan terhadap pentingnya peranan wanita dalam proses pembangunan semakin meningkat dan secara khusus mengakui pentingnya peranan wanita dalam pembangunan sosial ekonomi nasional. Sejalan dengan itu telah meningkat kesadaran dan pengakuan terhadap kelemahan perencanaan pembangunan dalam memperhatikan dan memperhitungkan secara tepat dan sistematis sumbangan wanita terhadap proses pembangunan maupun dampak pembangunan terhadap aspirasi dan kepentingan wanita. Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan

(14)

strategi perencanaan pembangunan yang dapat mengintegrasikan aspirasi, kepentingan, peranan wanita dan laki-laki dalam arus utama pembangunan. Wanita dan laki-laki secara bersama-sama menjadi pelaku sekaligus pemanfaat pembangunan (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 169).

Pendekatan analisis gender dalam penanggulangan masalah kemiskinan berkembang pada tahun 1990-an dan mendapat perhatian serius dengan dimasukkanya analisis gender dalam World Development Report 1990 (World Bank, 1990) dan Bank’s Poverty Assesments juga ”The Beijing Platform for Action” yang diadopsi oleh Fourth World Cinference on Women ( Andrijani R, 2003 : 130).

Menurut Razavi (dalam Andrijani R 2003:131), analisis gender dalam kemiskinan diperlukan karena alasan metodologis dan politis. Hal ini berimplikasi terhadap pengukuran dan analisis kemiskinan di masa yang akan datang, perumusan kebijakan yang sensitif gender dan ditujukan untuk pemberantasan kemiskinan. Selama ini pengukuran yang digunakan untuk keberhasilan pembangunan hanya berdasarkan ekonomi yaitu tingkat pendapatan. Pengukuran beralih kepada pengukuran non-ekonomi yang lebih menekankan pada kualitas kehidupan dengan pendekatan ke arah analisis ekonomi mikro dan pengukuran pada tingkat individu. Dengan perubahan tersebut terlihat adanya ketidaksetaraan gender. Sementara itu menurut Sen (dalam Andrijani R 2003:132), bahwa berdasarkan perspektif gender, konsep kemiskinan tidak hanya terfokus pada tingkat pendapatan rumah tangga tetapi memungkinkan pemahaman lebih baik pada aspek multidimensi dari ketidaksetaraan gender, seperti kurangnya kontrol atas keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan seseorang.

Analisis gender adalah analisis sosial (mencakup ekonomi dan budaya) yang melihat perbedaan wanita dan laki-laki dari segi (a) kondisi (situasi) dan kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja/peran (2) akses dan kontrol (peluang) dan penguasaan terhadap sumber daya serta manfaat program pembangunan (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 169).

(15)

Dengan teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan akan dapat teridentifikasi. Ketidakpahaman isu gender sangat mempengaruhi kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang berdampak merugikan aspirasi dan kepentingan wanita. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan teknik analisis gender bagi peneliti dan perencana program dan proyek pembangunan. Teknik ini digunakan sebagai dasar dalam meneliti, merencanakan dan menyusun program maupun pemantauan dan evaluasi program pembangunan, sehingga dapat mengintegrasikan semua aspirasi, kepentingan laki-laki dan wanita serta keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat dapat terwujud.

Sebagai suatu alat analisis, analisis gender tidak hanya melihat ”peran, aktivitas tetapi juga hubungan”. Secara garis besar terdapat tiga teknik analisis gender yang dapat menganalisa situasi dan posisi gender dalam masyarakat dan keluarga, yaitu :

1. Kerangka Harvard

Kerangka Harvard merupakan suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan. Ada tiga komponen yang diperlukan dan berinterelasi satu sama lain, yaitu profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt et al. 1985 dalam Handayani T & Sugiarti, 2002 : 170).

Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk menggali data (umum dan rinci) yang berguna pada tahap analisis situasi, mudah adaptasi untuk beragam situasi, merupakan alat bantu untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis hubungan gender dalam masyarakat atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama, yaitu :

a. Profil aktivitas berdasarkan pada pembagian kerja gender (siapa yang mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masyarakat yang memuat daftar tugas laki-laki dan wanita).

b. Profil akses dan kontrol (siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya produktif termasuk sumber daya alam, seperti tanah, hutan, peralatan, pekerja, kapital atau kredit, pendidikan atau pelatihan). Profil kontrol

(16)

berkaitan dalam pengambilan keputusan, artinya wanita dilibatkan dalam mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumber daya).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya, manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk melihat bagaimana peran antara wanita dan laki-laki di dalam suatu proyek pembangunan, apakah wanita dapat mengakses dan mempunyai kontrol terhadap kegiatan pembangunan tersebut. 2. Kerangka Moser

Kerangka analisis Moser berguna untuk menyusun perencanaan atau mengevaluasi, apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan atau ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun wanita. Kebutuhan spesifik gender yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis. Kebutuhan praktis bersifat jangka pendek, meringankan beban kerja wanita dan berkaitan dengan kondisi, misalnya; hidup yang tidak memadai, kurangnya sumber daya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak dan pendapatan. Kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi dan memperhatikan sejauh mana kendala-kendala dan permasalahan yang dihadapi wanita, misalnya : posisi yang tersubordinasi dalam masyarakat atau keluarga (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 170).

Kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya ditujukan untuk menanggulangi kebutuhan praktis wanita dan bersifat jangka pendek, seperti bantuan modal usaha, pemberian pelatihan keterampilan. Wanita kurang dilibatkan dalam kegiatan pembangunan termasuk dalam pengambilan keputusan, sehingga tetap terjadi ketidaksetaraan antara wanita dengan laki-laki dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

3. Kerangka Pemberdayaan Longwe

Pemberdayaan mensyaratkan suatu transformasi struktur-struktur yang mensubordinasi dan telah menindas wanita. Perubahan hukum/aturan, institusi sosial dan legal yang melindungi kontrol dan privilege laki-laki merupakan hal yang sangat penting jika wanita ingin memperoleh keadilan dalam

(17)

masyarakat. Selain itu pemberdayaan diberi batasan luas sebagai penguasaan atas aset material, sumber-sumber intelektual dan ideologi.

Pendekatan pemberdayaan mengandung makna bahwa model perubahan harus dihasilkan oleh wanita sendiri, ketidakberhasilan mempertimbangkan penemuan sebagai individu dengan kebutuhan, hak dan kemampuan khusus hanya akan mengakibatkan peningkatan beban kerja dan tingkat ketegangan wanita dan bukannya perbaikan status dan pilihan mereka (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 183).

Pemberdayaan menurut Longwe S (dalam Smyth I.,C. March & M Mukhopapay, 1998) yaitu :

“Empowerment in this context is intended to mean the achievement of equal participation in and control of the development process and its benefits by men and women. It means enabling women to take greater control of their own lives. It encourages gender awareness in development projects, and helps develop the ability to recognize women’s issues, whether in projects that involve only women or those that involve both women and men”.

Teknik analisis Pemberdayaan Longwe digunakan dalam setiap siklus proyek untuk memahami isu wanita dalam implementasi program, mulai kebutuhan sampai dengan evaluasi program. Dalam teknik Analisis Pemberdayaan Longwe terdapat lima dimensi analisis, yaitu ”kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Kelima dimensi tersebut saling berkaitan dan melengkapi di dalam pelaksanaan setiap kegiatan.

Adapun lima dimensi teknik analisis Pemberdayaan Longwe adalah sebagai berikut :

1. Dimensi Kesejahteraan

Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar, seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Dalam menganalisis suatu kegiatan pembangunan, dimensi kesejahteraan diukur dengan cara melihat tingkat kesejahteraan antara wanita dan laki-laki, artinya apakah program pembangunan telah memberikan kesejahteraan baik wanita maupun laki-laki.

2. Dimensi Akses

Kesenjangan gender terlihat dari adanya perbedaaan akses antara wanita dan laki-laki terhadap sumber daya dan rendahnya akses terhadap sumber daya.

(18)

Hal ini menyebabkan produktivitas wanita cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu wanita lebih banyak diberi tanggung jawab untuk melaksanakan semua pekerjaan domestik, sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Dimensi ini untuk menganalisis bagaimana wanita dan laki-laki dapat mengakses suatu program pembangunan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi dalam pelaksanaan suatu program pembangunan.

3. Dimensi Kesadaran Kritis

Kesenjangan terjadi karena adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi wanita lebih rendah daripada laki-laki dan pembagian kerja gender adalah bagian tatanan abadi. Dimensi ini untuk melihat sejauh mana peran-peran wanita yang terlibat dalam kegiatan pembangunan, sehingga terjadi kesetaraan antara wanita dan laki-laki dalam mengikuti kegiatan pembangunan.

4. Dimensi Partisipasi

Aspek partisipasi adalah keterlibatan atau keikutsertaan aktif wanita mulai dari penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi, monitoring dan evaluasi. Dimensi ini untuk melihat bagaimana keterlibatan wanita dalam suatu kegiatan pembangunan karena di dalam suatu proyek pembangunan, wanita hanya dilibatkan dalam keanggotaan atau pemanfaat/objek pembangunan, sedangkan dalam penentuan kebutuhan sampai dengan evaluasi kurang dilibatkan.

5. Dimensi Kontrol

Kesenjangan gender terjadi dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara wanita dan laki-laki baik di tingkat rumah tangga maupun komunitas. Dimensi ini untuk melihat sejauh mana wanita mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan, artinya wanita mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan.

Kelima dimensi alat Analisis Pemberdayaan Longwe dapat disusun dalam bentuk piramida sebagai berikut :

(19)

5

1

Piramida analisa Pemberdayaan Longwe menunjukkan setiap dimensi bergerak meningkat dari setiap tahap ke tahap berikutnya. Hal tersebut menunjukkan pencapaian aspek pemberdayaan wanita di dalam mengikuti suatu program pembangunan. Analisis Pemberdayaan Longwe digunakan pula pada setiap tahap siklus proyek dan evaluasi program pembangunan serta melihat derajat sensitivitas terhadap isu-isu wanita, yaitu dengan menilai negatif, netral atau positif. Negatif berarti tujuan proyek tanpa mengaitkan isu wanita. Netral berarti isu wanita sudah dilihat tetapi tidak diangkat dan ditangani serta intervensi proyek tidak berakibat buruk pada wanita. Positif berarti tujuan proyek betul-betul positif, memperhatikan isu wanita dan menanganinya, sehingga hasilnya meningkatkan kedudukan wanita relatif terhadap laki-laki (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 184).

Dengan menggunakan analisis Pemberdayaan Longwe dapat dianalisis sejauh mana pencapaian aspek pemberdayaan wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW pada kelima dimensi dan apakah hasilnya bersifat negatif, netral atau positif. Artinya apakah program tersebut telah memperhatikan isu gender dan sejauh mana isu gender tersebut telah dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi program. Sebelum digunakan analisis Pemberdayaan Longwe terlebih dahulu digunakan analisis Harvard untuk melihat bagaimana

Kontrol

Partisipasi

Akses

Kesejahteran Kesadaran Kritis

(20)

pembagian peran antara laki-laki dan wanita di dalam rumah tangga maupun di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan kaum wanita masih banyak mengalami kendala karena dibatasi oleh norma/nilai, stereotip masyarakat yang menempatkan peran wanita hanya dalam peran domestik dan juga rendahnya pengetahuan/keterampilan yang dimiliki wanita. Pemberdayaan wanita melalui Program P2WKSS dengan kegiatan penyuluhan, pelatihan keterampilan, dan pembentukan KBUW bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita serta memberi pinjaman modal usaha kepada wanita yang mempunyai kemampuan berusaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

KBUW saat ini menghadapi masalah, yaitu usaha anggota belum menujukkan perkembangan, kurangnya tanggung jawab anggota dalam pengembalian pinjaman maupun iuran anggota, kepengurusan KBUW tidak komplit, pinjaman modal usaha digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, kurangnya pelatihan bagi pengurus koperasi, adanya anggapan dana hibah, wanita kurang aktif dalam kegiatan KBUW dan pengambilan keputusan penggunaan pinjaman di tangan suami. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mencoba melakukan analisis dengan analisis Pemberdayaan Longwe menggunakan kelima dimensi, yaitu ”kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Sebelum dilakukan analisis Pemberdayaan Longwe terlebih dahulu dilakukan analisis Harvard untuk menganalisis bagaimana ”pembagian kerja/peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga dan di dalam mengikuti kegiatan KBUW”. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pembagian kerja/peran antara wanita dan laki-laki dalam rumah tangga akan mempengaruhi wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW. Dengan menganalisa kegiatan KBUW, maka diharapkan dapat disusun suatu rencana untuk mencapai keberdayaan wanita dalam kegiatan KBUW.

Berdasarkan hal tersebut, maka alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian sebagaimana terdapat dalam Gambar 2.

(21)

KK

Images.exe Images.exe

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Gender Terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW)

Keterangan :

Garis Pengaruh

Garis tidak Pengaruh

1. Analisis Harvard

Pembagian Peran di dalam rumah tangga

Pembagian Peran di dalam organisasi KBUW 2. Analisis Pemberdayaan Longwe Kesejahteraan Akses Kesadaran Kritis Partisipasi

Kontrol PenguatanStrategi

Organisasi KBUW dan Penguatan sasaran program (wanita)

Koperasi Wanita Bina Usaha / KBUW Program

P2WKSS

Eksternal : Budaya Patriarki Nilai Budaya Lokal

Kondisi KBUW :

Pengambilan keputusan penggunaan pinjaman ditangan suami

Kurangnya pelatihan koperasi bagi pengurus

Wanita kurang aktif dalam kegiatan KBUW

Kurangnya tanggung jawab angggota dalam pembayaran iuran anggota dan pinjaman

Anggapan dana hibah

Kepengurusan KBUW tidak komplit

Pinjaman digunakan untuk

Keberdayaan wanita dalam kegiatan KBUW Wanita (Internal): Pengetahuan Keterampilan Usaha Peran Reproduktif Kemiskinan 2 7

Gambar

Gambar 1. Piramida Analisa Pemberdayaan Longwe
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Gender Terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW)

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan perikanan dalam kerangka pengembangan ekonomi wilayah dapat difokuskan pada empat daerah tertinggal yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi

Metode GAP adalah metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, peran, manfaat dan kontrol yang diperoleh laki-Iaki dan perempuan

Tuti jelas sebagai sosok yang aktif dalam organisasi, ingin merubah dunia, mempunyai pandangan yang luas dan tidak mau melihat kaum wanita yang selalu tertindas oleh laki-laki.

alam melakukan pembangunan perumahan "ormal di 3ndonesia, Perum Perumnas selaku penyelenggara proyek pembangunan mempunyai prosedur atau tahapan dalam mewu!udkan kawasan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap

Dalam penelitian ini memiliki relevansi bahwa peran perempuan dalam gerakan penyelamatan lingkungan dapat berpotensi dalam menyejajarkan posisi antara laki-laki

Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan, salah satu kegunaan diantaranya teori tersebut berguna

Dengan demikian, maka setiap fungsi atau proses kerja mempunyai perbedaan dalam cara bekerjanya, yang mengakibatkan berbedanya pula nilai-nilai yang sesuai untuk diambil