• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. atau informasi satu sama lain sebagai makhluk sosial (Kooij, 1994:5). Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. atau informasi satu sama lain sebagai makhluk sosial (Kooij, 1994:5). Dalam"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sistem lambang baik berupa lisan maupun tulisan yang

dimiliki oleh manusia, berfungsi sebagai sarana menyampaikan pesan secara utuh

atau informasi satu sama lain sebagai makhluk sosial (Kooij, 1994:5). Dalam

pandangan linguistik, satuan bahasa yang dapat dijadikan sarana penyampaian

pesan secara utuh ini disebut kalimat. Untuk pembagian peran secara lebih

spesifik dalam linguistik, maka muncullah sintaksis sebagai sub-bidang linguistik

yang bertugas menganalisis kalimat ini sebagai bidang kajiannya (Parera, 2009 :

5). Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan ataupun tulisan,

tersusun dari kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap dan utuh

(Chaer, 2003: 240).

Dalam sintaksis kemudian muncul analisis bahasa atau kalimat yang

dikenal dengan struktur sintaksis. Struktur sintaksis mengkaji kalimat dari segi

fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis, yang dibicarakan dan

dianalisis (Chaer, 2003: 207). Dari aspek struktur sintaksis ini kemudian

setidaknya muncul susunan atau rumusan fungsi : subjek (S), predikat (P), objek

(O), dan keterangan (K). Istilah-istilah tersebut dikenal dengan fungsi sintaksis,

yang masing-masing diisi oleh satuan bahasa berupa kata atau frase, sebagai

konstituen, yang berbeda-beda sesuai dengan bagiannya masing-masing. Subjek

misalnya, diisi oleh kategori nomina (isim), predikat diisi oleh verba (fi’il) atau

(2)

kata sifat, objek diisi oleh nomina dan keterangan biasanya di dahului oleh kata

depan (Verhaar, 1981: 70-71). Misalnya kalimat :

(1) Ari(S) mempelajari (P) bahasa Arab (O) di KTT-UGM (K).

Formulasi kalimat semacam ini (S-P-O-K) dalam sintaksis dikenal dengan

kalimat tunggal (simple sentence), yaitu kalimat yang hanya terdiri dari satu

klausa (Putrayasa, 2009: 1), atau kalimat yang hanya memiliki satu subjek dan

satu predikat (Arifin dan Junaiyah, 2008: 56). Konsepsi kalimat ini kemudian

dipakai untuk menganalisis realitas kebahasaan terutama dalam penggunaan

kalimat, atau juga dipakai sebagai kerangka struktural untuk penyusunan kalimat.

Dalam bahasa Arab, misalnya :

(2)

ﻞﺼﻔﻟا ﻲﻓ ﺔﻟﺎﺳر ﺪﻤﺤﻣ ﺐﺘﻛ

Kataba

muchammadun

risālah

fi

al-fashli

Menulis

Muhamad

surat

di dalam

kelas

V.perf.P

N.nom.S

N.ak.O

prep

N.def.gen

P (fi’il)

S (fā’il)

O (maf’ūl bih)

Ket.

‘Muhamad menulis surat di dalam kelas’

Kalimat (2) di atas juga merupakan kalimat tunggal, terdiri dari satu klausa

atau terdiri dari satu unsur predikasi. Namun kenyataannya, manusia sebagai

pengguna dan pemilik bahasa tidak selalu merasa cukup dalam menyampaikan

pesannya hanya dengan sarana kalimat tunggal atau satu klausa dengan

unsur-unsur pengisinya sebagaimana tersebut Struktur kalimat tunggal kemudian tidak

selalu cukup mewakili semua pesan-pesan yang ingin disampaikan yang menuntut

dengan cara lebih dari satu klausa. Pada aspek lain, rumusan kalimat tunggal ini

belum cukup untuk dipakai sebagai alat pandang guna melihat realitas

kebahasaan, yaitu pemakaian kalimat yang komponennya atau polanya melebihi

(3)

susunan satu klausa (kalimat tunggal). Maka, dalam Sintaksis, muncul lah konsep

bentuk kalimat yang lebih kompleks dari sekedar kalimat tunggal yaitu dikenal

dengan kalimat majemuk. Menurut Markhamah (2009: 56) kalimat majemuk

meupakan kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih.

Dalam bahasa Arab pun, sebagai sebuah realitas kebahasaan universal

yang pasti ada di semua bahasa, konsepsi dan sistematisasi kalimat majemuk

dengan sendirinya juga harus ada. Adanya entitas kalimat majemuk dalam bahasa

Arab tidak dapat dipungkiri. Contoh :

(3)

ﻢﯿﻘﯾ ﺎﮭﺟوز نﺎﻛ ﻦﯾأ ﺔﺟوﺰﻟا ﺖﻓﺮﻋ

‘Arafat

az-zaujah

aina

kāna zauju

yuqīmu (RJLAM : 261)

Mengetahui

istri

di mana

suami

nya

tinggal

V.III.fem.P

N.def.nom.S N.inf

V.inc N.nom.S Pron.gen V.III.mask.P

P (fi’il)

S (fā’il)

O (maf’ūl bih)

‘Istri itu mengetahui di mana suaminya tinggal’.

Kalimat (3) di atas, terdiri dari dua klausa, yaitu (1) ‘Arafat

az-zaujah

‘istri

mengetahui

’ dan (2) aina kāna

zaujuhā yuqīmu

‘di mana suaminya tinggal’.

(4)

ﻞﯿﻔﻟا بﺎﺤﺻﺄﺑ ﻚﺑر ﻞﻌﻓ ﻒﯿﻛ ﺮﺗ ﻢﻟأ

Alam

tara

kaifa

fa’ala

rabbuka

Apakah tidak

memperhatikan bagaimana bertindak

tuhan kamu

part.int.part.neg V.imp.II.tg.P

N.int

V.perf.tg.P N.def.nom.S.pron .gen.

P (fi’il)

O (maf’ūl bih)

bi

ashchābi

al-fīli

terhadap teman-teman gajah

(4)

‘Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana tuhanmu bertindak terhadap

tentara bergajah?’(QS: Al-Fil [105]: 1)

Kalimat (4) di atas, terdiri dari dua klausa, yaitu (1) alam tara

‘apakah

kamu tidak memperhatikan

’ dan (2) kaifa fa’ala rabbuka biashchābi al-fīli

‘bagaimana tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah?’

Dalam linguistik, kedua kalimat majemuk tersebut dikenal dengan kalimat

majemuk bertingkat atau kalimat majemuk subordinatif, yaitu kalimat majemuk

yang antar klausanya dihubungkan secara fungsional, berarti klausa yang satu

yaitu klausa bawahan (klausa subordinatif) merupakan bagian fungsional bagi

klausa yang lainnya, yaitu klausa atasannya (klausa supraordinatif) (Kridalaksana,

2008: 105).

Pada kalimat (3) di atas diketahui bahwa klausa (2) aina kāna zaujuhā

yuqīmu

‘di mana suaminya tinggal’ sebagai klausa subordinatif, mengisi fungsi

objek (maf’ūl bih) bagi klausa (1), sebagai klausa supraordinatifnya. Demikian

juga, pada kalimat (4) di atas terlihat bahwa klausa (2) kaifa fa’ala rabbuka

biashchābi al-fīli

‘bagaimana tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah?’

sebagai klausa subordinatif menduduki fungsi sintaksis sebagai objek atau dalam

bahasa Arab dikenal maf’ūl bih bagi klausa (1) sebagai klausa supraordinatif.

Dengan demikian, kalimat majemuk subordinatif ini mengisyaratkan

bahwa fungsi-fungsi sintaksis tidak hanya diisi oleh kata atau frase, tetapi juga

bisa jadi diisi oleh klausa. Konsekuensinya, sebagai pengsisi suatu fungsi, suatu

klausa yaitu klausa subordinatif akan berhubungan erat dengan kategori klausa

tersebut untuk bisa mengisi fungsi-fungsi sintaksis, sebagaimana kata atau frase

(5)

yang terdiri dari kategori tertentu untuk mengisi fungsi tertentu, sebagaimana

dikonsepsikan oleh Verhar di atas.

Selain itu, satu klausa dengan klausa yang lainnya dalam kalimat majemuk

subordinatif dihubungkan oleh konjungsi (penyambung) yang dikenal dengan

konjungsi subordinatif, yang menurut Kridalaksana (2008: 131), merupakan

konjungsi yang dipakai untuk mengawali klausa terikat (klausa subordinatif)

untuk menyambungkannya dengan klausa utamanya (klasua supraordianatif).

Hanya saja, pada kalimat (3) di atas tidak nampak konjungsi (formal) subordinatif

yang menyambungkan antara klausa bawahan dengan klausa atasan. Kasus seperti

kalimat (3) kalau dalam konsepsi Al-Aziz (2003: 257) antar klausanya yaitu

klausa (1) dan klausa (2) dihubungkan secara konteks kalimat (siyāqu al-kalām),

yaitu bahwa klausa (1) sebagai klausa yang mengandung verba

ﺮﺗ/tar

ā

‘mengetahui/memperhatikan’ butuh pada objek, bisa jadi objeknya adalah berupa

klausa, dan keduanya dihubungkan dengan tanpa konjungtor formal melainkan

hanya dengan konteks kalimat. Ini menjadi menarik, di saat Kridalaksana (2008:

131), mendefinisikan kon

jungsi sebagai ‘partikel’ yang dipergunakan untuk

menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa,

kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf. Dengan kata lain,

konjungsi yang menghungkan atar klausa dalam kalimat majemuk subordinatif

bahasa Arab tidak hanya berupa ‘partikel’.

Melihat fenomena-fenomena di atas, penulis memandang perlu untuk

mengkaji kalimat majemuk dalam bahasa Arab. Hanya saja, karena cakupan

kalimat majemuk cukup luas, maka penulis akan fokus pada kalimat majemuk

(6)

subordinatif, yaitu hubungan antar klausa dalam kalimat majemuk subordinatif

dengan memakai tinjauan Sintaksis.

Dalam Sintaksis Arab, penulis belum menemukan istilah kalimat majemuk

subordinatif yang baku, sehingga dalam penulisan tesis ini hanya digunakan

istilah kalimat majemuk subordinatif, sebagaimana digunakan dalam istilah

linguistik.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini berkisar pada kajian kalimat majemuk subordinatif bahasa

Arab, yaitu analisis tentang hubungan antar klausa pembentuknya. Di dalam

kalimat majemuk subordinatif tersebut terdapat klausa subordinatif yang

diasumsikan akan mengisi fungsi-fungsi sintaksis, dengan kategori klausa

tertentu, serta dihubungkan dengan klausa utamanya oleh suatu konjungsi

subordinatif yang memiliki perilaku sintaksis, dan antara klausa subordinatif

dengan klausa utamanya akan terdapat pola urutan tertentu dalam susunan kalimat

majemuk subordinaatif .

Untuk mengarahkan pada pembahasan,

penulis dapat rumuskan

permasalahan-permasalahan penelitian sebagaimana berikut :

1.

Apa saja fungsi sintaksis yang diduduki oleh klausa subordinatif dalam

kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab ?

2.

Apa saja kategori klausa dari pada klausa subordinatif bahasa Arab yang

mengisi fungsi sintaksis tersebut?

(7)

3.

Apa saja konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa subordinatif

dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa

Arab?

4.

Bagaimana perilaku sintaksis konjungsi subordinatif tersebut?

5.

Bagaimana pola urutan klausa subordinatif dengan klausa utamanya dalam

susunan kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah dapat menjawab

permasalah-permasalahan sebagaimana pada rumusan masalah. Dengan demikian

rincian dari tujuan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Memetakan fungsi sintaksis yang diduduki oleh klausa subordinatif

dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab.

2. Memahami kategori klausa dari pada klausa subordinatif bahasa Arab

yang mengisi fungsi sintaksis tersebut.

3. Mengungkap konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa

subordinatif dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk

subordinatif bahasa Arab

4. Memahami perilaku sintaksis konjungsi subordinatif tersebut

5. Mengklasifikasi pola urutan klausa subordinatif dengan klausa

utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghadirkan, secara garis besar, dua manfaat

yaitu manfaat teoritis-konseptual dan praktis-operasional. Secara teoritis,

(8)

penelitian ini diharapkan menambah khazanah keilmuan dalam bidang Sintaksis

khususnya tentang kalimat majemuk dalam bahasa Arab.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat,

khususnya bagi non-Arab, yaitu : 1) menghadirkan sistematisasi baru dalam

memahami kalimat-kalimat dalam bahasa Arab khususnya kalimat majemuk,

khususnya kalimat majemuk subordinatif, 2) memberikan informasi dan

pemahaman baru dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Arab khusunya

dalam aspek kalimat majemuk bahasa Arab, dan 3) Menjadi sumber inspirasi bagi

peneliti yang lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kalimat

majemuk dalam bahasa Arab.

1.5 Kajian Pustaka

Kajian tentang kalimat majemuk pernah dibahas oleh Sarifuddin (2009)

dalam tesisnya “ Konstruksi Penggabungan Klausa dalam kalimat pengandaian

bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia”. Ia membandingkan kedua konstruksi

kalimat tersebut. Dalam kesimpulannya kemudian ditemukan lima persamaan dan

dua perbedaan, yang ditinjau dari sudut sintaksis kedua bahasa tersebut.

Lima persamaan tersebut adalah : 1) dalam kedua bahasa tersebut

sama-sama menggunakan kata hubung atau konjungsi dalam menggabungkan klausa

utama dengan klausa kondisional, 2) klausa kalimat pengandaian dalam kedua

bahasa tersebut pada proses pemisahannya sama-sama menggunakan tanda koma

(,) sebagai pemisah antar klausa meskipun ada klausa yang tidak menggunakan

tanda koma, 3) kata penghubung atau konjungsinya sama-sama bisa diletakkan di

awal dan di tengah kalimat, 4) kalimat pada keduanya sama-sama dimungkinkan

(9)

memiliki beberapa klausa bawahan, dan 5) keduanya sama-sama mempunyai

konjungsi kondisional yang bervariasi.

Kedua perbedaanya adalah : 1) dalam bahasa Inggris, konjungsi kalimat

yang biasa dipakai bisa dihilangkan, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak

mungkin dihilangkan karena akan menjadi rancu, dan 2) kalimat pengndaian

dalam bahasa Inggris mempunyai tipe yang lebih banyak dari pada bahasa

Indonesia.

Sedangkan kalimat majemuk dalam bahasa Arab sebenarnya sudah pernah

dibahas oleh beberapa linguis Arab ketika mereka membicarakan tentang

pembahasan-pembahasan sintaksis bahasa Arab (nahw), namun pada umunya,

menurut hemat penulis, pembicaraan mereka tentang kalimat majemuk masih

global.

Di antara mereka misalnya

Ibādah (2007: 134-145), dalam bukunya

Al-jumlah Al-‘Arabiyah, Mukawwinātuhā- Anwā’uhā-Tachlīluhā, ia membagi

kalimat menjadi enam, yaitu 1) jumlah basīthah (kalimat tunggal), 2) jumlah

mumtaddah (kalimat tunggal), 3) jumlah muzdawijah (kalimat majemuk), 4)

jumlah murakkabah (kalimat majemuk), 5) jumlah mutadākhilah (kalimat

majemuk), dan 6) jumla mutasyābikah (kalimat majemuk).

Kalimat majemuk juga disinggung oleh Chasan (tt.a: 16) dalam An-Nahwu

Al-Wāfi ketika membagi kalimat menjadi jumlah ashliyyah (kalimat tunggal),

jumlah kubrā (kalimat majemuk), dan jumlah shughrā (anak kalimat). Ia

mengistilahkan kalimat yang memiliki klausa lebih dari satu (kalimat majemuk)

dengan jumlah kubrā.

(10)

Holes (1995: 216-243) dalam bukunya Modern Arabic; Structure Function

and Varieties, mulai membagi kalimat majemuk dalam bahasa Arab mirip dengan

pembagian kalimat majemuk dalam linguistik umum. Ia membagi kalimat bahasa

Arab yang memiliki lebih dari satu klausa menjadi coordinat sentense (kalimat

majemuk setara) dan complex sentense (kalimat majemuk bertingkat). Uraiannya

masih sederhana, bahkan contoh-contohnya sangat sedikit.

Qab

āwah (1989 : 26) dalam bukunya I’rab al-Jumal wa Asybah al-Jumal

juga menyinggung tentang kalimat majemuk. Ia membagi kalimat dalam bahasa

Arab menjadi jumla sughra (kalimat sederhana) dan jumla kubra (kalimat

majemuk). Penyematan istilah terhadap kalimat majemuk oleh Qabawah ini sama

dengan Chasan, namun jumla kubra yang dimaksud oleh Qabawah lebih luas dari

pada konsepsi Chasan.

Dekripsi yang lebih terperinci dilakukan oleh Al-Aziz dalam bukunya

Ar-Rabthu baina al-Jumal. Ia mulai menyinggung konjungsi-konjungsi yang dipakai

untuk menghubungkan klausa-klausa dalam bahasa Arab. Ia mulai membagi

konjungsi yang menghubungkan antar klausa dalam kalimat majemuk yang setara

dan yang tidak setara. Hanya saja deskrepsi tentang fungsi-fungsi mungkin diisi

oleh klausa subordinatif masih belum tuntas, sehingga keterkaitan antara

fungsi-fungsi tertentu yang diisi oleh klausa subordinatif dengan jenis klausa serta jenis

konjungsinya, menurut hemat penulis, belum menggambarkan klasifikasi yang

lengkap.

Kemudian, tesis yang ditulis oleh Muhamad Ridwan (2011) dengan judul

‘Bentuk konjungsi penghubung waktu’. Namun ia hanya fokus pada konjungsi

(11)

waktu. Pembahasannya meliputi : subkategori konjungsi penghubung waktu, pola

urutan klausa berkonjungsi penghubung makna waktu , klausa penyusun

konjungsi penghubung makna waktu, dan variasi makna waktu dan ketergantian

konjungsi yang memiliki kesamaan makna.

Secara garis besar kajian-kajian tersebut sudah menyinggung dan

membahas kalimat majemuk subordinatif, namun menurut hemat penulis belum

begitu rinci membahas pada fungsi-fungsi yang mungkin diisi oleh klausa

subordinatif,

kategori

klausa

subordinatifnya,

dan

konjungsi

yang

menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatifnya, perilaku

konjungsi-konjungsi tersebut, serta pola urutan antara klausa subordinatif dengan

klausa supraordinatif dalam menyusun konstruksi kalimat majemuk. Namun

demikian, kajian-kajian tersebut memberikan gambaran kepada penulis untuk

menelaah kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab dan menjadi fokus

dalam kajian tesis ini, yaitu bagaimana fungsi-fungsi yang mungkin diisi oleh

klausa subordinatif, kategori klausa subordinatifnya, dan konjungsi yang

menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatifnya, perilaku

konjungsi-konjungsi tersebut, serta pola urutan antara klausa subordinatif dengan

klausa supraordinatif dalam menyusun konstruksi kalimat majemuk.

1.6 Landasan Teori

Teori yang digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir untuk

memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini ialah teori-teori sintaksis

sebagaimana berikut.

(12)

1.6.1

Kalimat dan Klausa

Kalimat dikonsepsikan oleh Bloomfield (1995: 165) sebagai sebuah

bentuk ketatabahasaan yang maksimal dan bebas yang tidak merupakan bagian

dari sebuah konstrkusi kebahasaan yang lebih besar dalam konstruksi gramatikal.

Mengenai unsur-unsur pembentuk kalimat, Parera (2004: 90) mengklasifikasikan

dengan menjelaskan bahwa kalimat merupakan satu satuan bahasa dalam

runtunan satuan bahasa, bermula dari fonem, morfem, kata, frase, klausa, dan

kalimat, memuat makna yang lengkap. Bagi Robins (1992: 224), kalimat adalah

struktur terpanjang yang di dalamnya bisa diadakan analisis gramatikal.

Dari konsepsi di atas jelas bahwa kalimat merupakan klausa yang

bermakna. Dengan kata lain klausa merupakan unsur dari kalimat. Kalimat

dibangun dengan klausa. Ini sesuai dengan konsep Parera (2009: 48) bahwa

kalusa merupakan pembentuk kalimat yang paling tinggi dalam tata tingkat unit

bahasa. Untuk lebih rinci, Chaer (2003: 231-232) mengurai bahwa klausa

merupakan satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif.

Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frase, yang

berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek,

dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat (P), menurutnya yang harus ada

dalam konstruksi klausa adalah fungsi subjek (S), sedangkan yang lainnya bersifat

tidak wajib. Kalau kita bandingkan konstruksi kamar mandi dan adik mandi,

maka dapat dikatakan konstruksi kamar mandi bukanlah sebuah klausa karena

hubungan komponen kamar dan komponen mandi tidaklah bersifat predikatif.

(13)

1.6.2

Kalimat Majemuk Subordinatif

Kategori kalimat dilihat dari jumlah klausa pengisinya, menurut Lyons

(1995: 175), dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat

tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu klausa atau memiliki satu subjek

dan satu predikat. Kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri dari lebih

dari satu klausa, atau terdiri dari dua atau lebih susunan predikatif yang

dihubungkan dan digabungkan sebagai konstituen-konstituen kalimat. Parera

(2004: 45) mempertegas bahwa kalimat dapat dibangun oleh beberapa klausa. Ini

sesuai dengan konsep Arifin dan Junaiyah (2008: 24) bahwa kalimat bisa terdiri

dari hubungan antara klausa dengan klausa yang lain.

Hubungan sintaksis antar klausa dalam suatu kalimat menurut Chaer

(2003: 243-244) dapat bersifat setara (koordinatif) dan tidak setara (subordinatif).

Kalimat majemuk yang hubungan antar klausanya bersifat setara kemudian

dikenal dengan kalimat majemuk koordinatif, sedangkan kalimat majemuk yang

hubungan antar klausanya tidak setara dikenal dengan kalimat majemuk

subordinatif. Klausa yang satu dengan yang lain dapat dikatakan memiliki

hubungan yang setara apabila klausa yang satu tidak merupakan bagian dari

klausa yang lain. Artinya, dalam hubungan antar klausa yang setara tidak ada

klausa yang menduduki sebuah fungsi sintaksis. Lihat contoh berikut :

(5)

ﺎﮭﺗﻮﻣ ﺪﻌﺑ ضرﻷا ﮫﺑ ﺎﯿﺣﺄﻓ ءﺎﻣ ءﺎﻤﺴﻟا ﻦﻣ لﺰﻧأ ﷲاو

Wall

āhu

anzala

mina

as-samā`i

mā`an

Allah

menurunkan

dari

langit

air

N.nom.S

V.perf.III.tg.P

prep. N.gen.

N.ak.O

S (mubtada)

P (khabar)

(14)

dan menghidupkan dengannya

bumi

setelah matinya

konj. V.perf.III.tg.P prep.pron.III.tg. N.ak.O

adv.time N.gen.pron.gen.

P (khabar)

‘Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan), dan dengan air itu ia hidupkan

bumi setelah matinya’ (QS: An-nahl[16]: 65)’.

Kalimat (5) terdiri dari dua klausa yang sejajar, yaitu klausa Wall

āhu

anzala mina as-samā`i mā`an

‘Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan)’ dan

klausa achy

ā bihi al-ardha ba’da mautihā ‘dengan air itu ia hidupkan bumi

setelah matinya’. Kedua klausa itu dihubungkan oleh konjungsi koordinatif fa

‘dan’.

Klausa yang satu memiliki hubungan tidak setara dengan klausa yang lain

apabila kalusa yang satu merupakan bagian dari klausa yang lain. Artinya, dalam

hubungan yang tidak setara terdapat klausa yang menduduki fungsi sintaksis bagi

klausa lainnya. Klausa yang menduduki sintaksis bagi klausa yang lainnya disebut

dengan klausa bawahan (klausa subordinatif), sedangkan klausa diatasnya disebut

klausa utama. Klausa subordinatif dan klausa atasan inilah yang menjadi

konstituen kalimat majemuk subordinatif.

Perhatikan contoh berikut :

(6)

ﷲا ﻰﻟإ ﮫﯿﻓ نﻮﻌﺟﺮﺗ ﺎﻣﻮﯾ اﻮﻘﺗاو

Wattaqū

yauman

turja’ūna

fīhi

Peliharalah

hari

dikembalikan

padanya

V.II.pl.P

N.ak.O.

V.imp.pas.II.pl.

prep.pron.III.tg.

P (fi’il)

O (maf’ūl bih)

Ket. Sifat

Ila

Allāhi

kepada Allah

prep. N.gen.

‘Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu

kamu semua dikembalikan kepada Allah

’ (QS: Al-Baqarah [2]: 281).

(15)

Kalimat (6) terdiri dari dua klausa, yaitu (1) Wattaqū yauman

‘Dan

peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari

’ dan (2) turja’ūna fīhi ilallāhi

‘dikembalikan pada waktu itu kepada Allah’. Klausa (1) merupakan klausa atasan

(klausa supraordinatif). Ia terdiri dari jumlah fi’liyyah. Predikat (verba/fi’il)-nya

terdiri dari verba imperatif (fi’lu al-amr) yaitu ittaqū

‘peliharalah dirimu’, di

dalamnya terdapat pronomina yang tersimpan (dhamīr mustatīr) yang

perkiraannya adalah

ﻢﺘﻧأ/antum ‘kamu’(plural-maskulin), ia berfungsi sebagai

subjek (fā’il)-nya. Dilanjutkan oleh objek (maf’ūl bih)-nya yaitu nomina yauman

‘hari’. Klausa (2) merupakan klausa bawahan (klausa subordinatif). Ia terdiri dari

jumlahfi’liyyah. Predikat (verba/fi’il)-nya terdiri dari verba pasif (fi’il bina

majhūl) yaitu turja’ūna

dikembalikan’, di dalamnya terdapat pronomina yang

tersimpan (dhamīr mustatīr) yang perkiraannya adalah

ﻢﺘﻧأ/antum

‘kamu’(plural-maskulin), ia berfungsi sebagai subjek (nāibu al-fā’il/pro-agent). Dilanjutkan oleh

keterangan fīhi ilallāhi

‘pada waktu, kepada Allah’. Sebagai klausa bawahan,

klasua (2) berfungsi sebagai keterangan yang menyatakan sifat (na’at) bagi klausa

utama sebelumnya.

1.6.3

Konjungsi

Sebagaimana

dijelaskan

bahwa

klausa

bawahan

(subordinatif)

berhubungan secara tidak setara dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk

subordinatif. Klausa utama dan klausa subordiatif dihubungkan oleh konjungsi

subordinatif. Menurut Chaer (2009:82), konjungsi subordinatif adalah konjungsi

yang menghubungkan dua buah konstituen, dalam konteks ini adalah klausa, yang

kedudukannya tidak sederajat

.

(16)

Menurut Al-Azis (2003: 111) konjungsi yang menghubungkan klausa

utama dan klausa subordiatif dalam kalimat bahasa Arab terdapat tiga jenis, yatu :

1) partikel (ādāh), pronomina (dhamīr), dan konteks kalimat (as-siyāq).

Partikel (ādāh), Menurut Chas

ān (1994: 123), sebagai konjungsi tidak

hanya terdiri dari partikel asli (ādāh ashliyyah), tapi juga bisa berupa partikel

transformatif (ādāh muchāwwalah), yaitu non partikel seperti nomina yang

berfungsi sebagaimana partikel. Pronomina (dhamīr) dalam kalimat, menurut

Chasan (tt: 219), bisa dalam dua bentuk yaitu : 1) tampak (zhāhir), memiliki

bentuk yang nyata dalam kalimat baik tulisan maupun ucapan dan 2) tersimpan

(mustatīr), tidak memiliki bentuk yang nyata dalam kalimat baik tulisan maupun

ucapan namun hanya diperkirakan. Seperti pada kalimat (5) di atas, pada klasusa

subordinatif (klausa bawahan) terdapat pronomina yang tersimpan (dhamīr

mustatīr)

ﻢﺘﻧأ/antum ‘kamu’ yang merujuk pada orang kedua (plural-maskulin)

sebagi lawan bicaranya, sebagaimana pada klausa utamanya.

Konteks kalimat (as-siyāq), menurut Al-Azis (2003: 125) terlihat sebagai

konjungsi ketika klausa subordinatif membutuhkan suatu unsur pada klausa

utama, dengan tanpa perantaraan konjungtor formal, yang berwujud.

1.6.4

Fungsi dan Kategori Klausa

Fungsi-fungsi dalam kalimat menurut kerangka teori Verhaar (2006:

170-175) harus diisi oleh pengisi, satuan unsur-unsur kalimat yang bersifat kategorial.

Secara fungsional kemungkinan unsur-unsur itu adalah berfungsi sebagai subjek

(S) , predikat (P), objek (O), atau keterangan (K). fungsi-fungsi akan diisi oleh

kategori-kategori tertentu. Konsep semacam ini dalam istilah

Khalīl (2010:

(17)

195-197) adalah

ﺔﯿﻌﯾزﻮﺘﻟا ﺔﯾﺮﻈﻨﻟا/an-nazhariyyah at-tauzī’iyyah atau distribution theory.

Ia menegaskan bahwa tiap satuan bahasa akan berdistribusi pada tempat yang

menjadi fungsinya sendiri-sendiri dalam kalimat sehingga membentuk suatu

kalimat yang berterima.

Dengan demikian, klausa-klausa subordinatif yang kategorinya

berbeda-beda dalam bahasa Arab tentu akan berdistribusi pada fungsi-fungsi yang bisa jadi

tidak sama antara satu jenis klausa dengan klausa yang lainnya. Fungsi-fungsi

dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab akan diisi oleh klausa yang

kategorinya bervariasi. Juga, dalam konteks distribusi klausa dalam kalimat,

klausa subordinatif yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis tersebut akan menempati

tempat-tempat yang berterima dalam kalimat, apakah di awal ataukah di belakang

klausa supraordinatifnya.

Terkait dengan jenis klausa (jumlah) dalam bahasa Arab, banyak

kategorisasi yang coba diklasikasikan oleh gramatikalis Arab. Namun secara

umum, klasifikasi tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek struktur

(tarkībiy) dan aspek fungsi atau makna (wazhīfiy). Dari aspek struktur (tarkībiy),

sebagaimana klasifikasi Ar-R

ājichī, 1999: 85), pada intinya klausa bahasa Arab

dapat dibagi menjadi jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Disebut jumlah

ismiyyah ketika klausa itu diawali oleh nomina (isim) atau berupa struktur

mubtada (subjek) dan khabar (predikat). Disebut jumlah fi’liyyah ketika ia

diawali oleh verba (fi’il) atau terdiri dari struktur fi’il (predikat) dan fā’il (atau

nāibu al-fā’il) (subjek). Qabawah, (1989 : 19) memasukkan jumlah syarthiyyah,

(18)

klausa yang diawali oleh partikel syarat, termasuk bagian dari jenis klausa secara

bentuk.

Mengenai fungsi dalam kalimat yang terdiri dari subjek (S), predikat (P),

objek (O) dan Keterangan (Ket), terdapat kekhasan tersendiri dalam bahasa Arab

pada fungsi subjek (S) dan predikat (P). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa

secara struktur bahasa Arab mengenal dua jenis klausa atau kalimat (karena

fungsi-fungsi yang ada pada klausa dan kalimat sama), yaitu jumlah ismiyyah dan

jumlah fi’liyyah. Disebut jumlah ismiyyah ketika kalimat itu diawali oleh nomina

(isim) atau berupa struktur mubtada (subjek) dan khabar (predikat). Disebut

jumlah fi’liyyah ketika ia diawali oleh verba (fi’il) atau terdiri dari struktur fi’il

(predikat) dan fā’il (atau nāibu al-fā’il) (subjek).

Dengan demikian, fungsi subjek (S) dalam bahasa Arab dapat berupa

mubtada yang ada pada struktur jumlah ismiyyah dan fā’il atau nāibu al-fā’il yang

ada pada jumlah fi’liyyah. Fungsi predikat (P) juga ada dua jenis, yaitu khabar

yang ada pada struktur jumlah ismiyyah dan fi’il yang ada pada jumlah fi’liyyah.

Objek (O) dalam bahasa Arab disebut dengan maf’ul bih, sebagaimana diutarakan

juga oleh Asrori (2004: 74). Keterangan (K) merupakan bagian dari kalimat yang

berfungsi memberikan informasi tambahan dalam kalimat, selain daripada

mubtada, fā’il atau nāibu al-fā’il, khabar, fi’il tersebut.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian bahasa adalah metode penelitian

bahasa, yaitu cara kerja yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan

fenomena objek ilmu bahasa, atau cara mendekati, mengamati, menganalisa dan

(19)

menjelaskan masalah dalam objek ilmu bahasa (Kridalaksana, 2001: 106). Karena

sifat metode yang abstrak maka dibutuhkan teknik dan prosedur untuk

mengetahuinya. Teknik berkaitan dengan penjabaran metode yang sesuai dengan

alat beserta sifat alat yang dipakai, sedangkan prosedur berkaitan dengan tahapan

atau urutan penggunaan teknik (Kesuma, 2007: 2)

Penelitian ini menjadikan kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa

Arab dalam tinjauan Sintaksis sebagai kajian utamanya, secara sinkronis. Dalam

penelitian ini terdapat tiga tahap pelaksanaan penelitian, yaitu penyediaan data,

analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Setiap tahapan tersebut memiliki

metode dan teknik tersendiri yang berbeda satu sama lain, (Mahsun, 2006: 84).

1.7.1 Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data ini merupakan tahapan awal dan menjadi dasar

bagi pelaksanaan tahapan analisis data. Tahapan analisis data hanya

dimungkinkan untuk dilakukan jika data yang akan dianalisis sudah tersedia

(Mahsun, 2006: 84-85). Dengan demikian peneliti mengumpulkan dan

menyediakan data-data yang berhubungan dengan kalimat majemuk subordinatif

dalam bahasa Arab, dengan metode dan teknik berikut.

Penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.

Menurut Mahsun (2006: 90-91), istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan

dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa yang

tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar yang dipakai dalam penelitian ini yaitu

teknik sadap. Dengan teknik ini, peneliti menyadap data-data yang bersumber dari

bahasa tulisan, berupa teks deskriptif dari buku-buku dan ayat-ayat Al-

Qur’an.

(20)

Sebagai lanjutan dari teknik sadap, peneliti kemudian menggunakan teknik catat

yang dimaksudkan untuk mencatat data-data kalimat majemuk subordinatif dalam

bahasa Arab serta klausa dan konjungsi yang membangunnya yang sudah

dikumpulkan dengan metode sadap.

Data dalam penelitian ini diambil dari sumber berupa buku-buku yang

membahas seputar kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab antara lain:

1. Ar-Rabthu Baina al-Jumal Fī al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’āshirah

(Al-

‘Azīz, 2003).

2. An-Nachwu Al-‘Arabiy

(Barakāt, 2007i, ii, iii, iv, dan v).

3. Jāmi’u ad-Durūsi Al-`Arabiyyah (al-

Ghulāyaini, 2008).

4. Al-Jumlah Al-‘Arabiyyah; Dirāsah fī Mafhūmihā wa Taqsīmātihā

al-Nachwiyyah (As-Syaikh : t.t.).

5. Al-jumlah Al-‘Arabiyah, Mukawwinātuhā-Anwā’uhā-Tachlīluhā

(‘Ibādah :

2007).

6. At-Tathbīqu an-Nachwī (Ar-

Rājichī : 1999).

7. Al-Nachwu al-Wāfī (Hasan : t.t.).

8.

Modern Arabic, Structure, Functions And Varieties (Holes : 1995)

9. I’rābu al-Jumal wa Asybāhu al-Jumal (Qabawah, 1989).

10. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

1.7.2. Analisis Data

Setelah data tersedia tahap selanjutnya yang peniliti lakukan adalah

analisis data. Analisis ini dilakukan untuk menjawab masalah-masalah penelitian

(21)

(Chaer, 2007: 46). Metode yang dipakai dalam analisis ini adalah metode

distribusional (Djajasudarma, 1993: 60) atau agih, sebagaimana yang diistilahkan

oleh Sudaryanto (1993: 15), yaitu metode yang menjadikan unsur bahasa yang

bersangkutan sebagai penentunya. Dalam penelitian ini satuan kebahasaan yang

diteliti adalah satuan kebahasaan dalam bahasa Arab maka yang menjadi unsur

penentu dalam analisa adalah unsur dalam bahasa Arab khusunya

unsur-unsur dalam kalimat majemuk.

Selajutnya, sesuai dengan konsepsi Sudaryanto (1993: 31-35), ada

beberapa teknik analisis yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran data-data

yang kemudian akan disajikan. Teknik-teknik itu diantaranya adalah teknik bagi

unsur langsung (selanjutnya disebut BUL), teknik pemarkahan, baca markah,

teknik lesap, teknik ganti, dan teknik perluas.

Teknik BUL adalah teknik analisis data dengan cara membagi suatu

konstruksi menjadi beberapa bagian atau unsur, dan bagian-bagian atau

unsur-unsur itu dipandang sebagai bagian atau unsur-unsur yang langsung membentuk

konstruksi yang dimaksud dengan fungsi menentukan bagian-bagian fungsional

Sudaryanto (1993: 31) dan (Kesuma, 2007 : 55-56).

Cara yang dilakukan dalam BUL pada awal analisis adalah membagi

kalimat yang teridentifikasi sebagai kalimat majemuk menjadi dua bagian

sehingga dapat diketahui klausa-klausa yang membentuknya. Unsur-unsur yang

bersangkutan dipandang sebagai unsur-unsur fungsional dalam relasi sintaksis

yang langsung membentuk konstruksi kalimat majemuk subordiatif bahasa Arab.

Dengan teknik ini juga, fungsi dari klausa subordinatif dalam kalimat dapat

(22)

terdeteksi. Sebagaimana pada contoh kalimat (5) di atas, klausa (2) turja’ūna fīhi

ilallāhi

‘kamu semua dikembalikan pada waktu itu kepada Allah’ berfungsi

sebagai keterangan sifat (na’at) bagi (1) Wattaqū yauman

‘Dan peliharalah dirimu

dari (azab yang terjadi pada) hari

’, dan keduanya membentuk kalimat majemuk

(5) tersebut, yaitu kalimat majemuk subordinatif. Perhatikan juga contoh berikut :

(7)

ﺎﺘﯿﻣ ةﺪﻠﺑ ﮫﺑ ﻲﯿﺤﻨﻟ ارﻮﮭﻃ ءﺎﻣ ءﺎﻤﺴﻟا ﻦﻣ ﺎﻨﻟﺰﻧأ

Anzal

mina as-smā`i

mā`an

thahūran

Menurunkan kami

dari

langit

air

suci

V.perf.I.pl.P. pron.I.pl.S prep. N.def.gen

N.tg.ak.O

N.ak.

P (fi’il)

S (fā’il)

Ket.

O (maf’ūl bih) Ket.

linuchyiya

bihī

baldah

maitan

agar menghidupkan

dengannya

negeri

mati

konj. V.imp.I.pl.P. prep.pron.III.tg.gen.

N.ak.O.

N.ak.

Ket. Tujuan

‘kami turunkan dari langit air yang sangat bersih agar kami menghidupkan dengan

air itu negeri (tanah) yang mati’ (Q.S: al-Furqan [25]: 48-49)

Kalimat (7

) terdiri dari dua klausa’ yaitu (1)

anzalnā mina s-smā`i mā`an

thahūran

‘kami turunkan dari langit air yang sangat bersih ‘dan (2) linuchyiya bihī

baldah maitan

‘agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati’.

Klausa (2), sebagai klausa bawahan berfungsi sebagai keterangan tujuan bagi

klausa (1), dan keduanya membentuk kalimat (4) tersebut, yang barupa kalimat

majemuk subordinatif.

Teknik pemarkahan digunakan untuk memberikan simbol, tanda, atau

singkatan dalam transliterasi linear pada setiap contoh.

Teknik

baca

markah

yang

pelaksanaannya

dilakukan

dengan

memperhatikan adanya konjungsi subordinatif antar klausa dalam kalimat

majemuk digunakan untuk mengidentifikasi batas klausa yang satu dengan klausa

(23)

yang lain, dan sekaligus mengidentifikasikan bentuk dan makna yang terkandung

pada suatu konjungsi, misalnya kita perhatikan kalimat (6) di atas, terdapat

konjungsi berupa

ـﻟ/li ‘agar’ sebagai konjungsi subordinatif yang menghubungkan

klausa (1) dan (2). Ia menyatakan tujuan, shingga darinya diketahui bahwa klausa

tersbut berfungsi sbagai keterangan yang menyatakan tujuan.

Teknik lesap dalam analisis data dilakukan dengan cara melesapkan satuan

kebahasaan yang dianalisis. Teknik lesap ini berguna untuk menentukan kadar

keintian satuan kebahasaan dalam suatu konstruksi. Dengan teknik ini, dapat

ditentukan apakah satuan kebahasaan merupakan satuan kebahasaan inti ataukah

satuan kebahasaan bukan inti. Disebut satuan kebahasaan inti jika pelesapannya

mengakibatkan konstruksi bagian sisanya tidak berterima. Sebaliknya, jika

konstruksi bagian sisanya tetap gramatikal maka satuan kebahasaan tersebut

merupakan satuan kebahasaan bukan inti (Kesuma, 2007: 57). Teknik ganti adalah

teknik analisis data dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam

suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang

bersangkutan (Kesuma, 2007: 58). Kemudian, teknik perluas dilakukan dengan

cara memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan

kebahasaan tertentu. Teknik perluas ini dapat digunakan untuk membuktikan

hubungan antarklausa yang tidak berkonjungsi secara nampak (konjungsi formal)

dalam kalimat majemuk subordinatif (Kesuma, 2007: 59).

1.7.3. Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data akan disusun menjadi laporan tertulis berupa

deskripsi mengenai temuan seputar kalimat majemuk Subordinatif (jumla

(24)

murakkaba) dalam bahasa Arab sebagai jawaban dari rumusan masalah.

Penyajiannya menggunakan metode informal dan formal (Sudaryanto, 1993: 145).

Pada metode informal, penyajian dilakukan dengan perumusan dan

pendeskripsian melalui kata-kata biasa dan terminologi yang teknis sifatnya. Pada

metode formal, penyajian dengan tanda dan lambang-lambang.

Pada dasarnya penyajian hasil analisis data di sini diusahakan dapat

memenuhi prinsip-prinsip penyajian data yang meliputi tiga aspek (Hadi, 2003:

76), yaitu: descriptive adequacy (kepadaan deskripsi) yang berupa upaya deskripsi

dan gambaran semua rincian permasalahan penelitian, explanatory adequacy

(kepadaan penjelasan) sebagai bentuk bukti bahwasannya penelitian dapat

menjelaskan semua permasalahan, exhaustic adequacy (kepadaan ketuntasan)

yang menunjukkan analisis data yang komprehensif dalam mengkaji dan

menyajikan data dengan teliti.

1.8. Sistematika Penyajian

Penulisan penelitian tentang kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa

Arab ini disajikan dalam lima bab. Kelima bab tersebut dikembangkan melalui

beberapa sub bab yang jumlahnya disesuaikan dengan luasnya tema pada setiap

pokok bahasan. Bab III dan bab IV serta sub-subnya sebagai pembahasan yang

menjawab dan menganalisa bagi lima rumusan masalah di atas.

Bab I Pendahuluan, berisi : latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian

(pengumpulan data, analisis data, penyajiaan hasil analisis data), dan sistematika

penulisan.

(25)

Bab II tentang konsep kalimat majemuk subordinatif, bicara mengenai :

definisi kalimat majemuk, relasi sintaksis antar klausa dalam kalimat majemuk,

kalimat majemuk setara (koordinatif), kalimat majemuk bertingkat (subordinatif),

konjungsi dalam kalimat majemuk bertingkat (subordinatif), kalimat majemuk

campuran (kompleks), kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab, dan jenis-jenis

klausa pembentuk kalimat majemuk bahasa Arab.

Bab III tentang hubungan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif

bahasa Arab ; klausa subordinatif berfungsi subjek, predikat, dan objek,

membahas : fungsi subjek, predikat, dan objek yang ditempati klausa subordinatif

bagi klausa supraordinatifnya, macam-macam klausa subordinatif yang mengisi

masing-masing fungsi tersebut, konjungsi subordinatif yang menghubungkan

klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif, perilaku sintaksis

masing-masing konjungsi, serta pola urutan pada susunan klausa subordinatif dengan

klausa supraordinatif dalam kalimat.

Bab IV tentang hubungan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif

bahasa Arab ; klausa subordinatif berfungsi keterangn atau adverbia (al-fudhlah),

membahas : fungsi keterangan-keterangan yang ditempati klausa subordinatif bagi

klausa supraordinatifnya, macam-macam klausa subordinatif yang mengisi

masing-masing fungsi tersebut, konjungsi subordinatif yang menghubungkan

klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif, perilaku sintaksis

masing-masing konjungsi, serta pola urutan pada susunan klausa subordinatif dengan

klausa supraordinatif dalam kalimat.

Referensi

Dokumen terkait

- Tempat : Ruang Panitia Badan Perencanaan Pembangunan Daaerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Demikian di umumkan untuk dapat di ketahui

e syllabus h ur teaching.

Apabila saya melanggar hal-hal yang telah saya nyatakan dalam PAKTA INTEGRITAS ini, saya bersedia dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi serta dituntut ganti rugi dan pidana

Anhar Fauzan Priyono,

Sedangkan, Centroid Linkage adalah metode klaster hierarki yang dapat digunakan pada data yang mengandung outlier, dimana outlier bisa membuat data yang diolah

Many reviews show the proposed isoniazid metabolism pathway (Huang, 2014; Metushi et al, 2011; Roy et al, 2008); however, there is no review about the pharmacological mechanisms of

Berdasarkan Hasil Evaluasi Prakualifikasi Pokja BLPBJ Provinsi Papua, Perusahaan Saudara diminta untuk menghadiri Pembuktian Kualifikasi (dengan membawa “print out”

Izin Peruntukan Penggunaan Tanah atau disingkat IPPT menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah produk tata ruang ditinjau dari kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana