• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan PP No 72 Tahun 1991 (Mohammad Amin, 1995: 22) anak. tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai IQ antara 50-70,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan PP No 72 Tahun 1991 (Mohammad Amin, 1995: 22) anak. tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai IQ antara 50-70,"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian tentang Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan

Menurut American Association of Mentally Defticiency (AAMD) dan PP No 72 Tahun 1991 (Mohammad Amin, 1995: 22) anak tunagrahita ringan adalah “anak yang mempunyai IQ antara 50-70, sehingga mengalami hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosialnya, namun mereka mempunyai kemampuan berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial kemampuan belajar”. Menurut Leokanner (Mohammad Amin, 1995: 29) ”anak hambatan mental yang dalam masyarakat tertentu dianggap hambatan mental tetapi di tempat masyarakat lain tidak dipandang tunagrahita”. Tunagrahita tipe ini pada umumnya adalah penyandang tunagrahita ringan.

Menurut Mulyono Abdurahman (1994: 26-27) anak tunagrahita ringan adalah “anak yang mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar, tetapi masih memiliki potensi untuk menguasai mata ajaran akademik di sekolah dasar”. Selain itu anak tunagrahita ringan mampu dididik untuk melakukan penyesuaian sosial yang dalam jangka panjang dapat berdiri sendiri dalam masyarakat dan mampu bekerja untuk menopang sebagian atau seluruh kehidupan orang dewasa. “Berbagai istilah untuk menyebut anak tunagrahita ringan misalnya: mild educable, moron, marginally dependent, debil, feable minded (pikiran lemah)” (Mumpuniarti, 2007: 12).

(2)

9

Sutjihati Soemantri (2006: 105) mengemukakan bahwa ”tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasan mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal”. Selain itu Rusli Ibrahim (2005: 37) mengemukakan bahwa ”anak tunagrahita/terbelakang mental adalah yang anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak seusia pada umumnya, dan juga terganggu penyesuaian perilaku untuk mengurus dirinya sendiri”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak tunagrahita ringan anak yang mempunyai intelegensi, intelektual atau kecerdasan mental antara 50/55 – 70/75 dan mengalami hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosialnya, tetapi masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang akademik yang sederhana membaca, menulis dan berhitung.

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan

Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya tetapi secara khusus ketrampilan motoriknya lebih rendah dari anak normal. “Karakter fisik mengalami sedikit hambatan dalam kemampuan motorik” (Mumpuniarti, 2007: 15). “Karakteristik anak tunagrahita tampak pada aspek perhatian, ingatan yang lemah, menyimpulkan pesan, fungsi eksekutif dan bahasanya berkembang lambat (Mumpuniarti 2007: 25)”. Pengalaman di lapangan dalam segi fisik anak

(3)

10

tunagrahita ringan tidak tampak kecacatanya, apabila mereka diberikan suatu tugas akan tampak keragu-raguan untuk mengerjakan, hal ini akibat dari keterbatasanya dalam ingatan dan menyimpulkan pesan yang lambat.

Karakteristik sosial kadang-kadang mereka dapat bergaul dengan lingkungan bukan hanya anggota keluarganya saja, tampak mampu mandiri dalam masyarakat secara penuh sebagai orang dewasa. Sutjihati Soemantri (2006: 112) menyatakan bahwa “anak tunagrahita ringan mengalami fleksibilitas mental yang kurang, akibatnya kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Anak tunagrahita ringan mempunyai hambatan dalam koordinasi gerak yang komplek dan yang memerlukan pemahaman”.

Choirul Anam (1995: 88-89) menyebutkan bahwa ciri-ciri anak tunagrahita ringan sebagai berikut:

a. Penampilan fisik tidak banyak berbeda dengan anak normal lainnya. b. Daya pikir cukup mampu menyertai tingkah lakunya.

c. Mampu memecahkan berbagai masalah sehari-hari dengan kemampuan berpikirnya.

d. Daya fantasi, kemampuan abstraksi yang masih mampu mendukung diperolehnya kecakapan tertentu.

Tin Suharmini (2009: 46) menyatakan bahwa “anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam menerima stimulus dari luar dirinya, untuk dapat mengingat stimulus diberikan setahap demi setahap”. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai karakteristik anak tunagrahita ringan

(4)

11

seperti di atas dapat ditegaskan bahwa, karakeristik anak tunagrahita ringan dapat dikelompokkan dengan beberapa segi yang antara lain:

a. Segi fisik, dalam perkembangan masa kanak-kanak tidak ada perbedaan dengan anak-anak normal pada umumnya, sampai dewasa pun tidak tampak perbedaan yang nyata dibandingkan dengan mereka yang normal.

b. Segi akademik, mereka mengalami kemiskinan mengingat akan diikuti dengan kemiskinan dalam kemampuan berbahasa yaitu dalam: Fonologi (mengucapkan kata-kata), Sintaksis (susunan kata-kata), Sematik (arti bahasa), dan perhatian (penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan lingkungan sosial). Kondisi yang demikian ini, mereka sangat memerlukan bimbingan dan layanan secara khusus agar kemampuanya dapat dikembangkan secara maksimal sesuai dengan kondisi yang mereka alami.

c. Segi sosial kepribadian anak tunagrahita ringan menunjukkan sifat egois, mengalami gangguan emosi yang ditunjukkan dengan rasa takut, cemas, dan ketergantungan dengan orang lain. Sikap tersebut akan mengakibatkan reaksi negatif dari lingkungan, selanjutnya mereka tidak dapat melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Meskipun secara fisik mereka mampu bergaul dengan lingkungan sekitarnya, sebatas dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

d. Keterbatasan intelegensi mengakibatkan kelambatan dalam merespon rangsangan yang memerlukan dari penalaran luar dirinya, sehingga pembicaraan menjadi tidak sambung. Keadaan yang demikian

(5)

12

memerlukan perhatian baik dari keluarga maupun masyarakat sekitar tempat dimana mereka bertempat tinggal.

Mohammad Amin (1995: 37) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan, sebagai berikut:

a. Lancar dalam berbicara, tetapi kurang perbendaharaan kata-katanya. b. Sulit berpikir abstrak.

c. Pada usia 16 tahun, anak mencapai kecerdasan setara dengan anak normal usia 12 tahun.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum anak tunagrahita ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Karakteristik fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

b. Karakteristik psikis anak tunagrahita ringan meliputi: kemampuan berfikir rendah, perhatian dan ingatannya lemah, sehingga mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya, kurang memiliki perbendaharaan kata, serta kurang mampu berfikir abstrak.

c. Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja. Namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.

(6)

13

B. Kajian tentang Operasi Hitung Penjumlahan 1. Pengertian Operasi Hitung Penjumlahan

Pengertian operasi hitung adalah “suatu cara untuk menghubungkan suatu bilangan tertentu dengan suatu pasang bilangan” (Depdikbud, 1993: 13). Abdul Halim Fathoni (2009: 65) menjelaskan bahwa “operasi hitung aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang dibutuhkan”. Penjumlahan adalah menghubungkan, menyatukan atau menghitung dua bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan.

Dengan pengertian di atas bahwa pendekatan yang signifikan untuk mengembangkan pemahaman mengenai arti dari operasi adalah mengajak atau melibatkan siswa untuk menyelesaikan soal kontekstual atau soal cerita yang dalam penelitian ini dikhususkan, difokuskan soal-soal penambahan atau penjumlahan. Dalam operasi hitung penjumlahan dapat dijelaskan dalam struktur penjumlahan.

Gambar 1. Struktur Dasar dari Penjumlahan Soal-soal Cerita (Abdul Halim Fathoni, 2009: 65)

Penggabungan Perubahan

(7)

14

Untuk langkah penggabungan ada 3 kuantitas yang terlibat, jumlah awal, jumlah perubahan (bagian yang ditambahkan atau digabungkan) dan jumlah hasil (jumlah terakhir setelah melakukan penggabungan).

2. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator Pembelajaran Matematika Kelas X SLB

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran SLB pembelajaran matematika kelas X semester I tahun ajaran 2011/2012 sebagai berikut :

a. Standar Kompetensi

Menggunakan perhitungan dalam pemecahan masalah. b. Kompetensi Dasar

Melakukan penjumlahan sampai 10.000. c. Indikator

1) Melakukan belanja di toko koperasi sekolah. 2) Menyebutkan benda atau barang yang dibeli. 3) Menuliskan harga barang yang dibeli.

4) Menjumlah harga barang yang dibeli.

5) Mengerjakan soal matematika yang berbentuk cerita tentang penjumlahan.

(8)

15

C. Tinjauan tentang Pendekatan Realistik 1. Pengertian Pendekatan Realistik

Pendekatan pendidikan matematika atau dikenal dengan Realistic Mathematic Education (RME) merupakan teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda pada tahun 1970-an. Teori ini berangkat dari pendapat Fruedental bahwa matematika merupakan aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas. “Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran” (Supinah, 2008: 14).

Mulai tahun 1990-an RME merupakan pendekatan dalam matematika, diadaptasi di beberapa sekolah di Amerika Serikat. Menururt Romberg (Daitin Tarigan, 2006: 3) “pendekatan ini muncul dengan nama kurikulum Mathematics in Contex”, sedangkan untuk Indonesia sendiri RME yang dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) ini diperkenalkan pada tahun 2001 di beberapa perguruan tinggi secara kolaboratif melalui Proyek Pendidikan Matematika Realistik di tingkat SD RME merupakan pendekatan yang orientasinya menuju kepada penalaran siswa yang bersifat relistik sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi yang ditujukan kepada pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah. Ada empat pilar dasar yang perlu diperdayakan agar siswa nantinya mampu berbuat untuk

(9)

16

memperkaya pengalam belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia sekitarnya (learning to know). Dengan demikian siswa dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan untuk berinteraksi dengan individu ataupun kelompok yang bervariasi (learning to live together) (Daitin Tarigan, 2006: 4).

Dalam RME dimulai dari masalah yang real sehingga siswa dapat terlihat dalam proses rekontruksi ide dan konsep matematika. De Lange (Daitin Tarigan, 2006: 5) menggambarkannya sebagai “the art of unteching”, sedangkan Gravemeijer (Daitin Tarigan, 2006: 5) menjelaskan bahwa “peran guru harus berubah dari seorang validator (menyalahkan/membenarkan) menjadi pembimbing yang menghargai setiap kontribusi (pekerjaan dan jawaban) siswa”. Secara garis besar RME adalah suatu teori pembelajaran yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. “Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar” (Supinah, 2008: 15-16).

RME merupakan metode yang dapat memberikan pengertian mengenai proses pendidikan matematika sebagai proses menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal

(10)

17

berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi), namun “pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri (Ifada Nofikasari, 2007: 6).

Pendekatan realistik adalah salah satu pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan matematika kepada siswa, masalah-masalah yang nyata dari kehidupan sehari-hari digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika untuk menunjukkan bahwa matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Benda-benda nyata yang akrab dengan kehidupan keseharian siswa dijadikan sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika (Akhnay, 2012).

Oleh sebab itu, perlu digunakan suatu cara yang dapat membantu anak tunagrahita agar lebih mudah untuk mempelajari dan memahami materi pelajaran di sekolah, khususnya pelajaran matematika penjumlahan yang berbentuk soal cerita. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan realistik yakni usaha guru untuk memperlihatkan suatu proses kejadian atau kerja suatu alat, dengan cara diajak terlibat langsung atau melakukan praktek sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Penggunaan pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika penjumlahan diharapkan dapat menimbulkan pengalaman yang menyenangkan bagi anak tunagrahita. Untuk itu, pembelajaran matematika penjumlahan dengan pendekatan realistik akan memberikan banyak

(11)

18

kesempatan kepada anak tunagrahita untuk menemukan, memeriksa menggunakan berbagai pola dan hubungan antara konsep yang satu dengan konsep yang lain.

Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa RME adalah metode/pendekatan/model pembelajaran yang menjadikan kedaan nyata (real) sebagai acuan dalam penyajian pembelajaran materi pelajaran matematika yang pada dasarnya bersifat abstrak. Penggunaan pendekatan realistik dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. Bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan pendekatan realistik pada tahap orientasi pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dari isi pelajaran pada saat itu. Berdasarkan pengertian di atas pendekatan realistik menumbuhkan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal murid dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh murid sendiri.

2. Pemahaman Konsep Pendekatan Realistik

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Ini berati bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Pada pandangan ini, bahwa konsep pembelajaran matematika tidak dapat

(12)

19

ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar (Sri Subarinah, 2006: 1).

Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kerja guru dalam mengajarkan matematika kepada para siswanya. Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi (Abdus Sakir, 2011).

Treffers (Ifada Novikasari, 2007: 5-8) mengklasifikasikan pembelajaran matematika berdasarkan horisontal dan vertikal dalam matematisasi ke empat tipe. Adapun ke empat tipe tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mechanistic, atau pendekatan tradisional, yang didasarkan pada drill-practice dan pola atau pattern, prosedural serta menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih pengerjaan soal seperti komputer

(13)

20

atau mekanik(mesin). Pada pendekatan tradisional, baik horisontal maupun vertikal matematisasi tidak digunakan.

b. Empiristic, dunia adalah realitas, di mana siswa dihadapkan dengan situasi dimana mereka harus menggunakan aktivitas horisontal matematisasi. Pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam pendidikan matematika karena terdapat pemisahan antara konsep dengan realitas yang ada di sekitar siswa.

c. Structuralist, atau ‘matematika modern’, didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan ke horisontal matematisasi, tetapi pada dasarnya bentuk ini ditetapkan atau dibuat dari dunia yang dibuat secara ‘ad hoc’, yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa. Pada aplikasinya ilmu matematika yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.

d. Realistic, yaitu pendekatan yang menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang memuat dua macam matematisasi. Di mana, pembelajaran berawal dari tahap informal, yang kemudian siswa diajak untuk melakukan matematisasi pada dunia nyata yang direpresentasikan ke dalam dunia simbol. Setelah itu, siswa dapat melakukan matematisasi vertikal, yakni proses menggunakan model-model guna mencapai kesimpulan yang lebih umum. Pendekatan ini mulai digunakan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia yang diwujudkan dalam suatu pendekatan yakni

(14)

21

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang disadur dari Realistic Mathematics Education (RME).

Dalam mengonstruksi konsep-konsep matematika hendaknya tidak terpisah dengan kehidupan atau pengalaman siswa sehari-hari, sehingga konsep matematika dapat terserap dengan baik dan siswa tidak akan cepat lupa serta dapat mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan empat tipe pembelajaran matematika di atas, salah satu pembelajaran matematika yang dimulai dari pengalaman siswa sehari-hari adalah pembelajaran realistik.

Pembelajaran RME ini dilandasi oleh konsep Freudenthal (Dyana Wijayanti, 2012) yaitu matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan peserta didik, relevan dengan kehidupan masyarakat dan materi-materi harus dapat ditransmisikan sebagai aktivitas manusia. Ini berarti materi-materi matematika harus dapat menjadi aktivitas siswa dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan matematika melalui praktek yang dilakukan sendiri dan sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator yang bertugas mengawasi dan mengarahkan kerja siswa. Setelah itu membantu siswa menggeneralisasikan temuan yang diperoleh siswa.

Proses pembelajarannya dimulai dengan masalah nyata, menggunakan aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal. Pada aktivitas matematisasi horizontal siswa menggunakan matematika sehingga dapat membantu mereka mengorganisasikan dan menyelesaikan

(15)

22

suatu masalah yang terdapat pada situasi nyata. Aktivitas ini termasuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memvisualisasikan masalah dengan cara-cara yang berbeda, mentransformasikan masalah dunia nyata ke masalah matematika. Pada matematisasi vertikal proses pengorganisasian kembali menggunakan matematika itu sendiri. Misalnya mempresentasikan hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, merumuskan model matematika dan menggeneralisasikan.

Sutarto Hadi (Supinah, 2008: 20-21) mengemukakan bahwa “teori RME sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (CTL)”. Namun baik kontruktivisme maupun pembelajaran kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan RME merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

Lebih lanjut berkaitan dengan konsep RME Sutarto Hadi (Supinah, 2008: 21) mengemukakan beberapa konsepsi RME di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia), yaitu konsepsi PMRI tentang siswa, konsepsi PMRI tentang guru dan konsepsi PMRI tentang pembelajaran matematika, yang mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan,

(16)

23

sehingga PMRI pantas untuk dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, konsepsi siswa dalam pendekatan ini menurut Hadi (Akhnay, 2012), sebagai berikut:

a. Konsepsi PMRI tentang siswa sebagai berikut:

1) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.

2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk untuk dirinya sendiri.21

3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.

4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.

5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

b. Konsepsi PMRI tentang guru adalah sebagai berikut: 1) Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran.

2) Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif. 3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara

aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.

4) Guru tidak terpancang pada materi yang ada di dalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan lingkungan riil, baik lingkungan fisik maupun sosial.

c. Konsepsi PMRI tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek berikut.

1) Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’ bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.

2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.

3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan. 4) Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan

memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.

(17)

24

Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) itu diharapkan siswa dapat menemukan sendiri konsep matematika yang dipelajari. Pembelajaran diawali dengan hal-hal yang konkrit berupa permasalahan yang dapat dibayangkan oleh siswa, selanjutnya dengan hal-hal semi konkrit berupa gambar-gambar, denah ataupun grafik, dan pada akhirnya menuju pada konsep pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa berupa lambang-lambang (Salmani, 2012).

Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya, dalam pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika.

3. Model Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)

RME merupakan model pembelajaran matematika di sekolah yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi kehidupan siswa. RME menekankan pada keterampilan berdiskusi, berkolaborasi, berargumentasi dan menarik kesimpulan. Jadi model pembelajaran RME adalah model pembelajaran yang dilaksanakan melalui proses belajar mandiri (Ari

(18)

25

Munarsih, 2008: 7). RME adalah pendekatan pembelajaran yang memiliki ciri sebagai berikut:

a. Menggunakan masalah kontekstual, yaitu matematika dipandang sebagai kegiatan sehari-hari manusia, sehingga memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi atau dialami oleh siswa (masalah kontekstual yang realistik bagi siswa) merupakan bagian yang sangat penting. b. Menggunakan model, yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan

matematika (alat matematis, hasil matematisasi horisontal).

c. Menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, yaitu siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematis, di bawah bimbingan guru.

d. Pembelajaran terfokus pada siswa.

Terjadi interaksi antara murid dan guru, yaitu aktivitas belajar meliputi kegiatan memecahkan masalah kontekstual yang realistik, mengorganisasikan pengalaman matematis, dan mendiskusikan hasil-hasil pemecahan masalah tersebut (Supinah, 2008 :16). Selain ciri-ciri di atas terdapat prinsip kunci RME menurut Gravemeijer, yaitu sebagai berikut: a. Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang

Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa denganbantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak

(19)

26

dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat atau definisi atau teorema atau aturan oleh siswa sendiri.

b. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik

Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.

Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah ke arah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya

(20)

27

(matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan: proses matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya.

Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Ini suatu fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada di dalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran

(21)

28

matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah.

c. Self-Delevoped Models atau Model Dibangun Sendiri oleh Siswa Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik diharapkan terjadi urutan ”situasi nyata” → ”model dari situasi itu” → ”model kearah formal” → ”pengetahuan formal”. Menurutnya, inilah yang disebut ”buttom up” dan merupakan prinsip RME yang disebut ”Self-delevoped Models” (Supinah, 2008: 18)

Van den Heuvel–Panhuizen (Supinah, 2008: 19-20) merumuskan karakteristik RME sebagai berikut:

a. Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.

b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa. c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati

berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.

d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah,

(22)

29

tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik.

e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.

f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan terbimbing untuk menemukan (re-invent) pengetahuan matematika.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah penerapan pembelajaran dengan penggunaan prinsip dan karakteristik PMR dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan model pembelajaran yang di dalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar) yang dimuat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang bertujuan agar siswa mencapai kompetensi dasar yang telah di rencanakan.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik (Sofa, 2008), sebagai berikut:

a. Langkah Pertama

Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.

(23)

30

b. Langkah Kedua

menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

c. Langkah Ketiga

Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. d. Langkah Keempat

Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

e. Langkah Kelima

Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

(24)

31

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik, agar berjalan secara efektif maka banyak langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:

a. Persiapan

Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi.

b. Pembukaan

Memperkenalkan strategi pembelajaran yang akan dipakai dan masalah dari dunianya kepada siswa.

c. Proses Pembelajaran

Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya dilakukan individu atau kelompok.

d. Penutup

Siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu.

5. Karakteristik Pendekatan Realistik

Karakteristik Pendekatan Realistik menurut Sunaryo (2007: 46-47), sebagai berikut:

a. Masalah kontekstual yang realistik digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.

b. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip atau model matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru dan temannya.

c. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka temukan.

d. Siswa merefleksikan apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan baik hasil kerja mandiri atau kerja diskusi.

e. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubungannya.

(25)

32

f. Siswa diajak mengembangkan, memperluas atau meningkatkan hasil-hasil dari kerjanya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.

g. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing.

Untuk mengetahui hasil pembelajaran melalui pendekatan realistik pada akhir pertemuan dapat diberi tugas-tugas yang sesuai dengan kegiatan yang telah dilaksanakan. Apabila dilihat dari anak tunagrahita mengalami hambatan intelegensi rendah, kondisi ini akan mempengaruhi dalam proses belajar di sekolah akibatnya prestasi belajar rendah.

D. Kerangka Berpikir

Pembelajaran matematika akan menjadi lebih bermakna bagi siswa anak tunagrahita apabila siswa dapat mengetahui tentang obyek yang dipelajari. Penjumlahan bilangan cacah sebagai salah satu pokok bahasan dalam matematika masih bersifat abstrak untuk itu perlu mengkonkritkan pembelajaran tersebut, agar siswa dapat memahami dan menerima konsep-konsep yang sederhana, karena dalam penjumlahan bilangan cacah suatu konsep menyatukan dua bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan. Penerapan pendekatan realistik sebagai upaya meningkatkan kemampuan penjumlahan bilangan cacah dalam pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

Berdasarkan karakteristik anak tunagrahita yang mengalami hambatan intelegensinya dan daya ingat yang rendah, maka mengakibatkan prestasi belajar matematika penjumlahan anak tunagrahita untuk menyelesaikan soal

(26)

33

matematika yang berbentuk cerita rendah. Untuk membantu anak tunagrahita di SLB PGRI Minggir agar lebih mudah mempelajari, memahami dan menyelesaikan soal matematika yang berbentuk cerita, dibutuhkan penggunaan pendekatan pembelajaran yang tepat. Untuk itu digunakan pendekatan realistik, dengan harapan setelah digunakan pendekatan realistik prestasi belajar siswa dapat meningkat, sebab pendekatan realistik hal-hal yang sifatnya abstrak, sulit dipahami oleh anak tunagrahita dapat dikonkritkan.

E. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bagi anak tunagrahita ringan kelas X di SLB PGRI Minggir.

Gambar

Gambar  1.    Struktur  Dasar  dari  Penjumlahan  Soal-soal  Cerita  (Abdul  Halim Fathoni, 2009: 65)

Referensi

Dokumen terkait

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman keudara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapat

Pada penelitian Hariyati (2008), fase lag terjadi selama satu hari, kepadatan populasi yang digunakan pada awal kultur Spirulina sp.. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA)

1 PLDV 4.1 Membuat dan menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linear dua variable Peserta didik dapat menyelesaikan masalah dalam

[r]

Untuk itu, penelitian ini dilakukan guna mencari tahu risiko tinggi terjadinya OSA berdasarkan IMT, lingkar leher dan usia pada sopir angkutan umum.. Metode : Penelitian

Berkenaan warna-warna ini al-Zamakhshari(t.th) mentafsirkan kepelbagaian ton tersebut hanyalah seperti warna-warna merah dan putih, adapun hitam ianya dikecualikan

Beranjak dari uraian di atas maka saya tertarik untuk membuat suatu alat peraga yang berupa penggaris yang isinya berupa satuan panjang, satuan berat, dan satuan volume, ataupun

elvileg bárki fejleszthet, a nagy áruházakba való bekerülés az Apple Store esetében sokkal nehezebb, mint a Google Playbe, ugyanis előbbi esetében szigorú biztonsági