• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. semakin mendapat perhatian dewasa ini adalah penyakit stroke, karena menduduki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. semakin mendapat perhatian dewasa ini adalah penyakit stroke, karena menduduki"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Dalam era pembangunan di segala bidang yang kini sedang digalakkan pemerintah, dituntut sosok manusia yang sehat jasmani maupun rohani, namun yang terjadi adalah terdapat banyak masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Masalah kesehatan tersebut mengakibatkan angka kematian yang masih tinggi, cacat jasmani maupun rohani yang tentunya merupakan suatu keadaan yang dapat menjadi faktor penghambat derap pembangunan yang telah digalakkan oleh pemerintah saat ini (Misbach, 1997).

Salah satu masalah kesehatan di negara maju dan negara berkembang yang semakin mendapat perhatian dewasa ini adalah penyakit stroke, karena menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker (Adam, 1993). Kejadian stroke yang terjadi di negara maju seperti negara Amerika Serikat mengakibatkan hampir sekitar 750.000 penderita stroke setiap tahunnya dan menyebabkan sekitar 160.000 orang yang mengalami kematian (Bond, 2006). Ahmad (2000) sebagai salah satu konsultan saraf di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengungkapkan bahwa di negara Indonesia, stroke merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian hampir di seluruh rumah sakit di Indonesia.

(2)

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Sarafino (2006) menambahkan bahwa stroke merupakan salah satu penyakit kronis utama yang menyebabkan kelumpuhan.

Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah (aterosklerosis), sedangkan pada stroke haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah menjadi tidak normal, karena darah merembes masuk ke otak dan merusaknya (Junaidi, 2004). Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian (Sarafino, 2006).

Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stress, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat.

Peningkatan kejadian stroke terlihat jelas dari data Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan bagian neurologi. Pada tahun 1994 dirawat 170 penderita, tahun 1998 dirawat 197 penderita, tahun 1999 dirawat 216 penderita dan tahun 2000 sebanyak

(3)

308 orang menjadi pasien rawat inap dan rawat jalan. Pada tahun yang sama di Rumah Sakit Herna Medan, jumlah penderita stroke non haemoragik sebesar 90 orang, sedangkan stroke haemoragik sebesar 12 orang (Siregar, 2002).

Tugasworo (2007) sebagai staf bagian neurologi Rumah Sakit Umum (RSU) Dr. Kariadi dalam seminar “Stroke dan Rehabilitasi” di Wisma Katarina R.S. Elizabeth Semarang mengungkapkan bahwa penderita pascastroke umumnya mereka yang dianggap golongan eksekutif, selebritis dan mereka yang tergolong ekonomi kuat. Ekonomi yang kuat dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melakukan pola hidup yang tidak sehat, seperti sering memakan makanan yang berlemak dan berkolesterol tinggi, merokok dan meminum alkohol yang berlebihan dan pola hidup yang tidak sehat lainnya.

Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002). Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada wanita adalah 1,3:1 kecuali pada lanjut usia, perbandingan tersebut hampir tidak ada (Junaidi, 2004). Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007). Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih (Shaffer, 2002).

Idris (2007) sebagai salah satu tokoh pemerhati sosial mengungkapkan bahwa setelah individu mengalami serangan stroke (pascastroke), maka individu tersebut

(4)

akan menjalani proses pemulihan dan pengobatan yang biasanya dilakukan dengan penanganan rehabilitasi. Hal tersebut sejalan dengan penyataan Peurala, Airaksinen & Jakala (2007) yang melakukan penelitian longitudinal terhadap penderita stroke, mengungkapkan bahwa individu yang terserang stroke harus dengan segera di tangani, khususnya penderita yang mengalami stroke akut. Jika tidak memungkinkan dilakukannya penanganan yang intensif di rumah penderita, maka rehabilitasi adalah salah satu cara yang efektif, karena penanganan yang tepat dan cepat sangatlah berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologis penderita yang lebih baik.

Penderita pascastroke mengalami gangguan fisik yang bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penderita pascastroke memiliki kemungkinan yang sangat besar mengalami kelumpuhan, seperti mengalami mati rasa sebelah badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain, mulut mencong (facial drop), lengan yang lemah, kaki lemah (arm drift), gangguan koordinasi tubuh dan penderita pascastroke yang parah biasanya hanya bisa di tempat tidur maupun di kursi roda (Junaidi, 2004).

Sarafino (2006) mengungkapkan bahwa selain mengalami kelumpuhan, individu penderita stroke juga mengalami penurunan fungsi yang mencakup penurunan fungsi kognitif, memori dan persepsi. Keadaan ini mengakibatkan penderita tidak dapat bekerja, seperti sebelum terserang stroke. Banyak penderita kelumpuhan pascastroke diberhentikan dari pekerjaan, karena stroke yang parah dan proses pemulihan yang cukup lama. Peneliti juga melakukan wawancara pra penelitian dengan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke yang bernama Ibu

(5)

N. (inisial) tentang gangguan fisik yang dialaminya, berikut kutipan wawancara tersebut:

“….udah 1,5 tahun saya menderita seperti ini, beberapa bulan yang lalu saya hanya bisa berbaring di tempat tidur tapi sekarang sudah bisa didudukkan di kursi, tapi nggak bisa berdiri lagi harus dipapah, tapi dengan kaki yang sebelah kiri tidak bisa digerakkan lagi, jadi seperti bukan tangan dan kakiku saja, bahuku nggak bebas bergerak.. aku nggak dapat melakukan apa-apa lagi dan rasanya seperti sudah mati saja…”

(Komunikasi Personal, 14 Oktober 2007)

Angka kelumpuhan stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan antara kelumpuhan dan kematian yang diakibatkan stroke adalah 4 : 1 (Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan gangguan fisik, seperti kelumpuhan yang permanen dan hanya menunjukkan sedikit peningkatan dalam waktu yang lama (Sarafino, 2006).

Pengalaman peneliti sebagai salah satu anggota keluarga penderita kelumpuhan pascastroke menyaksikan bahwa sering sekali penderita kelumpuhan pascastroke mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Penderita juga sering menangis tanpa sebab dan menganggap dirinya tidak berguna karena tidak dapat bekerja kembali setelah serangan stroke berlalu.

Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal illness) (Sarafino, 1998).

(6)

Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang di deritanya (Sarafino, 1998). Kondisi ini terlihat juga pada hasil wawancara pra penelitian berikut ini:

“… Pertama kali di bilang stroke, bou (sebutan tante dalam keluarga Batak Toba) bingung harus gimana..., sering marah kalau melihat orang lain berjalan, mereka bisa melihat keramaian sementara bou enggak! bou ingin seperti mereka, tapi udahlah, aku juga sakit hati kalau mereka berbisik-bisik, dan tertawa di depanku. Makanya bou lebih suka di rumah daripada bertemu dengan orang-orang. Kalau aku nyanyi air mataku jatuh. entah lah kenapa… beban pikiranku sangat banyak, dan gelisah datang truss…..” (Komunikasi Personal, 16 Oktober, 2007)

Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa, penderita kelumpuhan pascastroke mengalami shock, kemarahan dan melakukan penghindaran dari lingkungan. Shimberg (1990) juga mengungkapkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke sering merasa rendah diri, perasaan ini merupakan suatu reaksi emosional terhadap kemunduran kualitas keberadaan mereka. Selain penderita kelumpuhan pascastroke sering marah-marah, dan memperlihatkan sikap yang mengingkar, penderita juga mengalami kelabilan emosi yang merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa ada alasan yang jelas.

Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma & Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan penyataan

(7)

Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Wade, Smith & Hewer (dalam Shimberg, 1998) melaporkan bahwa dari 976 penderita kelumpuhan pascastroke lebih dari 60% mengalami depresi, karena mereka menyadari bahwa proses pemulihan kelumpuhan yang diakibatkan stroke sangat lama, dan hal ini membuat penderita merasa putus asa, dan merasa tidak tertolong.

Penderita kelumpuhan pascastroke sering menarik diri dari hubungan interpersonal dan lingkungannya. Perasaan mereka sering terluka, karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain (Shimberg, 1998). Teman-teman penderita kelumpuhan pascastroke sering meninggalkan mereka, karena tidak tahu bagaimana bereaksi kepada penderita kelumpuhan pada pascastroke. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara pra penelitian dengan seorang penderita kelumpuhan pascastroke yaitu bapak H (inisial), kutipan wawancara tersebut adalah:

“…..Skarang saya merasa sendiri, sangat jarang orang mau ngobrol dengan ku… karena mereka sibuk dengan diri dan kesibukan mereka masing-masing, yaaa.. mereka nggak punya waktu lagi denganku…ditambah keluarga juga tidak mau mengerti akan kondisi saya,…saya sangat bosan..nggak bisa melakukan apa-apa dan sakit seperti dan saya hanya bisa menyusahkan mereka…”

(8)

Kondisi psikologis yang semakin memburuk dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke tersebut, dapat diakibatkan karena keluarga penderita tidak mau mengerti dan merasa terganggu dengan penyakit kronis yang dialami oleh penderita. Keluarga sering menunjukkan sikap tidak mau menerima keadaan penderita. Pihak keluarga sering memberi vonis bahwa penderita stroke akan meninggal sehingga mereka tidak semangat untuk merawat dan mengatasinya (Tugasworo, 2007).

Banyak orang yang merasa malu apabila di antara anggota keluarganya terserang stroke, bahkan tidak semua keluarga penderita kelumpuhan pascastroke yang siap untuk menerima penderita di rumah. Kerumitan tidak hanya terkait dengan bagaimana mengurangi keterbatasan fisik, tetapi juga karena efek psikologis yang timbul akibat kelumpuhan (Sutrisno, 2007). Padahal menurut Mayo (2000) yang merupakan peneliti pada McGill University, menyatakan bahwa perawatan di rumah merupakan suasana ideal bagi penderita, karena keluarga dapat memberikan dukungan yang efektif bagi penderita kelumpuhan pascastroke.

Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan (suffering). Bastaman (1996) menyatakan bahwa penderitaan (suffering) merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya berkaitan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh individu. Oreopoulos (2005) juga menambahkan bahwa penderitaan tidak hanya berdampak pada satu aspek kehidupan saja, namun berdampak pada seluruh kehidupan, seperti

(9)

fisik, emosional, mental, dan aspek sosial. Penderitaan merupakan pengalaman personal yang unik yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalami penderitaan.

Penderitaan yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman,1996). Seseorang yang hidup dalam kondisi yang tanpa makna (meaningless) ditandai dengan perasaan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, bosan dan penuh dengan keputusasaan (Bastaman, 2007). Kondisi fisik dan tekanan psikologis yang dirasakan oleh penderita kelumpuhan pada pascastroke dapat membuat penderita mengalami perasaan tidak bermakna (meaningless), hal ini juga terlihat pada diri Bapak S. (inisial) sebagai berikut:

“...Karna sanking sakitnya dan memang saya itu dah nggak bisa melakukan apa-apa lagi.. duduk saja saya nggak bisa... baru setelah satu bulan saya baru bisa duduk di kursi roda jadi memang saya nggak ada gunanya lagi hidup waktu itu... dari pada menyusahkan keluarga dan menghabiskan biaya untuk pengobatan yang sangat mahal... jadi saya pikir mati adalah solusi yang baik..”

(Komunikasi personal , 11 Februari 2008 ) Kondisi tidak bermakna (meaningless) tersebut jika terus menerus berlanjut akan berdampak negatif bagi penderita kelumpuhan pascastroke baik secara fisik maupun psikologis. Liebeskind (2003) mengungkapkan bahwa perasaan yang tidak bermakna (meaningless) dapat mengakibatkan kematian bagi penderita kelumpuhan pascastroke. Oleh sebab itu, diperlukan makna hidup dalam diri individu supaya

(10)

kehidupan seseorang lebih terarah, yang bila berhasil di temukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan menjadi lebih berarti dan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996).

Thompson (1991) mengungkapkan bahwa jika penderita stroke terus mencari makna hidupnya, seperti bertanya “why me” dan menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut dan menemukan makna dari penyakit stroke yang dideritanya, maka hal itu akan berpengaruh positif kepada penyesuaian diri penderita kelumpuhan pascastroke. Makna hidup yang dimiliki oleh penderita kelumpuhan pascastroke, akan menjadikan kondisinya lebih baik. Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Orang lain hanya dapat menunjukkan hal-hal yang berarti tetapi akhirnya akan berpulang kepada orang tersebut untuk menentukan apa yang dianggap penting dan bermakna (Bastaman, 2007).

Makna hidup dapat ditemukan dalam situasi apapun, bahkan dapat ditemukan dalam kondisi yang menderita (Frankl, 2004). Terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991). Hal tersebut senada dengan penyataan Oreopoulos (2005) yang mengungkapkan bahwa penderitaan bukanlah musuh, tetapi guru yang memberikan kesempatan yang unik bagi setiap individu untuk pengembangan dirinya. Penderitaan adalah bagian integral dari sebuah kehidupan, hidup tidak akan bermakna tanpa adanya penderitaan (suffering).

(11)

Frankl (1973) mengemukakan bahwa harapan untuk bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan penderitaan (suffering), seperti dalam kondisi sakit (pain), merasa bersalah (guilt), bahkan menjelang kematian sekalipun. Frankl (dalam Koeswara 1992) mengemukakan bahwa kekuatan ataupun kekebalan individu amat bergantung pada kondisi psikologis seseorang. Adanya harapan, keberanian ataupun semangat hidup berpengaruh positif terhadap kekebalan individu.

Harapan untuk bermakna juga dapat dimiliki oleh penderita kelumpuhan pascastroke, walaupun penderita mengalami penderitaan (suffering). Tidak sedikit individu yang telah berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya menjadi berhasil mencapai prestasi tinggi, bahkan mampu menemukan hikmah dari penderitaannya (meaning in suffering) (Bastaman, 1996).

Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengatakan bahwa individu dapat memperoleh makna hidupnya melalui tiga sumber, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai pengalaman (experiental values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari, dijajaki, dan ditemukan sendiri (Bastaman, 2007).

Individu yang mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari penghayatan yang tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful) membutuhkan suatu proses pencarian (Bastaman, 1996). Proses pencarian agar hidup lebih bermakna juga dilakukan oleh seorang penderita kelumpuhan pascastroke, seperti yang terlihat pada Bapak S. (inisial) sebagai berikut:

(12)

“..Sa.. Saya terus menanyakan dalam hati... apakah sampai mati saya akan terus begini terus menyerah dengan kondisi ini?... jadi saya renungkan lagi dan trus saya cari.. bagaimana supaya saya bisa merasa bahagia....Ya akhirnya saya menemukan harapan untuk tetap hidup dalam sisa-sisa hidupku ini, aku jadinya semangat untuk tetap sehat.. biar sempat ketemu anakku...”

(Wawancara, 5 Maret 2008)

Penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan proses pencarian sampai akhirnya menemukan makna hidupnya. Mereka yang berhasil telah menemukan makna hidup, perlu menghayati hidup bermakna untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat, bergairah serta jauh dari perasaan hampa, walaupun individu dalam situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997). Ketidakberhasilan untuk menemukan dan menghayati makna hidup, biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang di tandai dengan hilangnya minat, berkurangnya inisiatif, munculnya perasaan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992).

Ada beberapa komponen yang dapat menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996), yaitu kelompok komponen personal (terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan sikap), kelompok komponen sosial (berupa dukungan sosial) dan kelompok komponen nilai (terdiri dari makna hidup, komitmen diri dan kegiatan-kegiatan terarah).

Bastaman (1996) menyatakan bahwa perubahan hidup dari tidak bermakna menjadi bermakna harus melalui proses. Proses tersebut meliputi tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna), tahap penerimaan diri (pemahaman diri,

(13)

pengubahan sikap), tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup), tahap realisasi makna (komitmen diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup) serta tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan psikologis yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi penghayatan hidup individu tersebut. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika individu mengalami suatu penderitaan, bahkan dengan kondisi penghayatan yang tidak bermakna, dan diperlukan suatu proses agar individu dapat menemukan dan menghayati makna hidupnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana proses pencarian makna hidup (the meaning of life) pada penderita kelumpuhan pascastroke.

(14)

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke. Proses tersebut dilihat dari:

1. Bagaimana penghayatan penderita kelumpuhan pascastroke terhadap kondisi fisik dan psikologis yang dialaminya saat awal terserang stroke?

2. Apa saja komponen-komponen yang menentukan keberhasilan dalam proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke?

3. Apa saja sumber-sumber makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke?

4. Metode apa saja yang dilakukan penderita kelumpuhan pascastroke untuk menemukan makna hidup?

5. Bagaimana tahapan-tahapan proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke?

I.C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat pentingnya makna hidup bagi penderita kelumpuhan pascastroke khususnya bagi kesehatan fisik dan psikologisnya.

(15)

I.D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya khasanah kajian Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke. 2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan informasi kepada penderita kelumpuhan pascastroke untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya secara tepat, dan membantu penderita kelumpuhan pascastroke untuk menemukan makna dari penderitaannya, bahkan menemukan dan menghayati makna hidupnya. b. Penelitian ini dapat memberi sumbangan informasi bagi keluarga,

lingkungan di sekitar, praktisi kesehatan, lembaga-lembaga, yayasan-yayasan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke agar dapat memberikan dukungan dan membantu penderita kelumpuhan pascastroke dalam proses pencarian makna hidupnya.

c. Sebagai wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.

(16)

I.E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai stroke, termasuk defenisi stroke, klasifikasi stroke, faktor resiko stroke. Teori penderita kelumpuhan pascastroke, termasuk defenisi, gejala dan tanda yang diakibatkan oleh stroke, dan masalah psikologis pascastroke. Teori makna hidup, termasuk defenisi dan karakteristik makna hidup, sumber-sumber makna hidup, hikmah dalam penderitaan, komponen-komponen yang menetukan keberhasilan dalam pencarian makna hidup, proses pencarian makna hidup, metode penemuan makna hidup, dan penghayatan hidup.

Bab III : Metode Penelitian

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian

(17)

kualitatif, metode pengumpulan data, partisipan, lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik pengambilan subjek, serta prosedur penelitian dan analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Interpretasi

Mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan tentang data pribadi partisipan, analisa data dan interpretasi per partisipan yang meliputi gambaran penyebab stroke yang di derita, gambaran penderitaan penderita kelumpuhan pascastroke, dan proses pencarian makna hidup penderita kelumpuhan pascastroke.

Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya, karena merupakan hal baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis data menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats). Temuan dari hasil penelitian ini adalah 1). Strategi pemasaran yang selama

Kesalahpahaman sering terjadi karena faktor komunikasi Apabila pelayanan yang diberikan buruk, pasien akan memberikan respon negatif berupa ketidakpuasan sehingga pasien tersebut

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Semakin besar jumlah ion dari suatu larutan maka akan semakin tinggi nilai daya hantar listriknya

Ketentuan ini sebenarnya disebutkan dalam Pasal 18 yang tidak diperlukan lagi karena pada selengkapnya sebagai berikut : (i)Para hakekatnya segala ketentuan umum

19 tahun 2005 Bab IV Pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa ”Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Jaji pada tahun 2012, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan

Validasi, merupakan upaya memperoleh data yang valid melalui langkah- langkah sebagai berikut; (1) saturasi, langkah pengambilan data yang dilakukan secara

Dalam penelitian ini digunakan metode Fuzzy Sliding Mode, dimana error dan delta error sebagai masukan pada kontrol Sliding Mode dan sekaligus sebagai masukan