• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Equity Tower Lt 20, 21 & 39

Sudirman Central Business District

(SCBD)

Jl. Jend. Sudirman Kav 52 - 53

Jakarta 12190

Analisis Stabilitas

dan Sistem Perbankan

Triwulan II 2015

(2)

1

 Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5% pada 2015 dengan rata-rata inflasi sebesar 6,9% dan BI rate pada akhir tahun di 7,5%.

 Realisasi hingga Juni 2015 menunjukkan tekanan terhadap rupiah yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Proyeksi rata-rata nilai tukar direvisi dari Rp 12.900/US$ menjadi Rp 13.150/US$.

 Rata-rata yield SUN bertenor 10 tahun pada 2015 diproyeksikan mencapai 8,2%, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 7,7%.

 Neraca pembayaran Indonesia diperkirakan akan kembali mengalami surplus pada 2015 dan 2016, meski tidak sebesar surplus pada 2014.

 Defisit neraca berjalan diproyeksikan mengecil dari 2,9% PDB pada 2014 menjadi 2,5% PDB pada 2015, sebelum meningkat ke 2,8% PDB pada 2016.

 Investasi langsung dan investasi portofolio masih akan menjadi sumber pembiayaan yang utama bagi defisit neraca berjalan. Saldo dua komponen ini diperkirakan positif pada 2015 dan 2016.

 Terdapat diskrepansi yang besar antara arah kebijakan The Fed dengan ekspektasi pasar sehingga dapat memicu fluktuasi di pasar keuangan global.

 Divergensi arah kebijakan moneter The Fed ditengah pelonggaran moneter bank sentral lain berpotensi memicu currency war dan menjadi feedback negatif karena berisiko mengancam kinerja mata uang dolar AS.

 Sampai dengan akhir kuartal I jumlah kredit tumbuh 11,28% dibanding tahun sebelumnya, dan hanya meningkat sebesar 0,15% bila melihat total kredit yang disalurkan di akhir tahun 2014

 Bank harus melakukan evaluasi terhadap fokus segmen konsumen saat ini dan mencari kemungkinan pengembangan segmen baru. Tidak hanya mengandalkan segmen konsumtif yang sangat tergantung pada pendapatan masyarakat, terutama KPR dan KKB, tetapi juga kemungkinan untuk memberikan pendanaan yang produktif.

 Risiko industri perbankan Indonesia mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan Mei 2015 yang menurun sebesar 11 bps dari 100,07 pada April 2015 menjadi 99,96. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP) angka BSI saat ini masih berada pada kondisi “Normal”.

(3)

Update Risiko serta Prospek

(4)

3

Update Risiko serta Prospek Perekonomian dan Sistem Keuangan

Mochammad Doddy Ariefianto, Seto Wardono

Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5% pada 2015 dengan rata-rata inflasi sebesar 6,9% dan BI rate pada akhir tahun di 7,5%.

Realisasi hingga Juni 2015 menunjukkan tekanan terhadap rupiah yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Proyeksi rata-rata nilai tukar direvisi dari Rp 12.900/US$ menjadi Rp 13.150/US$.

Rata-rata yield SUN bertenor 10 tahun pada 2015 diproyeksikan mencapai 8,2%, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 7,7%.

Kami telah melakukan pemutakhiran terhadap profil risiko serta prospek perekonomian dan sistem keuangan Indonesia. Profil risiko pada kuartal I 2015 secara umum tidak banyak berbeda dari kondisi di kuartal sebelumnya (lihat Gambar 1). Neraca pembayaran dan nilai tukar adalah satu-satunya aspek yang sekaligus mengalami perbaikan kinerja dan prospek pada kuartal I. Sebaliknya, kinerja dan prospek kebijakan fiskal mengalami pelemahan. Di sisi lain, pergerakan aspek lain terbilang beragam. Kinerja aktivitas bisnis domestik dan sistem perbankan melemah, tapi prospek dua aspek ini membaik. Aspek harga dan kebijakan moneter mengalami pelemahan prospek, meski kinerjanya membaik. Sedangkan, kinerja pasar keuangan stabil di tengah pelemahan prospeknya. Dengan memperhatikan berbagai perkembangan ini, dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan sistem keuangan Indonesia pada kuartal I 2015 secara kualitatif masih berada dalam status normal mendekati waspada.

Sumber: LPS

Gambar 1. Peta Risiko Kualitatif Perekonomian dan Sistem Keuangan

NPNT ABD HKM SPB PKU KBF 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 Kinerja Outlook 4Q14 1Q15

NPNT: Neraca Pembayaran & Nilai Tukar ABD: Aktivitas Bisnis Domestik HKM: Harga & Kebijakan Moneter KBF: Kebijakan Fiskal

PKU: Pasar Keuangan SPB: Sistem Perbankan

(5)

4

Aktivitas Bisnis Domestik

Kinerja aspek aktivitas bisnis domestik melemah, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,01% y/y pada kuartal IV 2014 menjadi 4,71% y/y pada kuartal I 2015. Ini adalah pertumbuhan terendah selama 22 kuartal terakhir. Pelemahan aktivitas ekonomi pada kuartal I 2015 terlihat jelas dari penurunan kinerja sebagian besar sektor ekonomi. Sebanyak 13 dari 17 sektor ekonomi tercatat mengalami penurunan pertumbuhan y/y dari posisi kuartal IV 2014. Sektor-sektor kunci seperti manufaktur, konstruksi, dan jasa keuangan terpantau mengalami perlambatan. Di sisi permintaan, aktivitas ekonomi tampak tidak selemah yang tergambar di sisi produksi. Konsumsi rumah tangga tumbuh stabil, sedangkan investasi pada aset tetap (pembentukan modal tetap bruto atau PMTB) mengalami sedikit percepatan pertumbuhan. Di sisi eksternal, malah terjadi peningkatan surplus neraca barang dan jasa riil sehingga komponen ini berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi permintaan, hanya ada dua komponen yang mengalami pelemahan kinerja, yaitu konsumsi pemerintah dan konsumsi lembaga non-profit rumah tangga (LNPRT).

Prospek aktivitas bisnis domestik membaik dalam jangka pendek, antara lain didukung oleh relaksasi kebijakan moneter dan neraca perdagangan yang masih positif. Guna mendorong laju kredit, Bank Indonesia (BI) berkomitmen untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui revisi aturan giro wajib minimum (GWM) yang terkait rasio kredit terhadap simpanan (LDR), ketentuan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), dan ketentuan uang muka untuk kredit kendaraan bermotor (KKB). Penurunan uang muka KKB diharapkan mampu menahan penurunan penjualan otomotif yang saat ini masih terjadi (lihat Gambar 2). Sementara, data terbaru ekspor dan impor menunjukkan surplus perdagangan sebesar US$ 1,43 miliar pada April–Mei 2015. Konsumsi pemerintah kami duga belum akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2015. Ini terlihat dari posisi kewajiban BI kepada pemerintah pusat yang naik Rp 60,89 triliun pada April–Mei 2015 (lihat Gambar 2). Tambahan posisi kewajiban ini menunjukkan bahwa pemerintah belum membelanjakan uangnya.

Sumber: BI, CEIC

Gambar 2. Penjualan Otomotif dan Posisi Kewajiban kepada Pemerintah Pusat

Produk domestik bruto (PDB) Indonesia kami proyeksikan tumbuh 5,0% pada tahun 2015, lebih rendah dari perkiraan kami sebelumnya yang berada di 5,3%. Kami juga menurunkan proyeksi

-60 -40 -20 0 20 40 60 Jan-06 Jul-0 6 Jan-07 Jul-0 7 Jan-08 Jul-0 8 Jan-0 9 Jul-0 9 Jan-10 Jul-1 0 Jan-11 Jul-1 1 Jan-12 Jul-1 2 Jan-1 3 Jul-1 3 Jan-14 Jul-1 4 Jan-15 12M Sum, % y/y

Penjualan Otomotif Domestik

Sepeda Motor Mobil

40 60 80 100 120 140 160 180 Jan-13 Apr-1 3 Jul-1 3 O ct-1 3 Jan-14 Apr-1 4 Jul-1 4 O ct-14 Jan-15 Apr-1 5 Triliun Rp

Posisi Kewajiban kepada Pemerintah Pusat

(6)

5

pertumbuhan ekonomi 2016 dari 5,6% menjadi 5,5%. Revisi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi ini diantaranya disebabkan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I yang jauh di bawah ekspektasi. Realisasi belanja pemerintah dan pertumbuhan kredit yang masih lambat pada kuartal II juga menjelaskan pemangkasan proyeksi pertumbuhan PDB tahun 2015. Pembalikan arah belanja pemerintah dan pertumbuhan kredit dapat menjadi upside risk yang mendukung pertumbuhan ekonomi pada semester II. Berlanjutnya perbaikan neraca perdagangan juga menjadi upside risk bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. Sebaliknya, downside risk bersumber dari depresiasi nilai tukar rupiah dan inflasi yang masih akan relatif tinggi hampir di sepanjang tahun 2015.

Harga dan Kebijakan Moneter

Penurunan inflasi y/y di kuartal I 2015 menjelaskan perbaikan kinerja aspek harga dan kebijakan moneter (lihat Gambar 3). Inflasi y/y indeks harga konsumen (IHK) turun dari 8,36% pada Desember 2014 menjadi 6,38% pada Maret 2015, terutama didorong oleh pemangkasan harga bensin jenis Premium dan solar bersubsidi pada dua kali kesempatan di bulan Januari. Penurunan inflasi IHK ini juga dibarengi oleh penurunan inflasi indeks harga perdagangan besar (IHPB) dari 4,97% menjadi 3,19% pada periode yang sama. Pada kuartal I, kejatuhan harga minyak mentah menjadi tema sentral yang menentukan ekspektasi inflasi ke depan. Faktor ini juga telah mendorong BI untuk memangkas bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada 17 Februari 2015.

Persepsi kami mengenai pelemahan prospek harga dan kebijakan moneter dilatarbelakangi oleh depresiasi nilai tukar yang masih berlangsung dan pergerakan harga minyak mentah yang mengalami bottoming out. Pergerakan dua faktor ini sekarang memiliki peran yang lebih penting dalam menentukan inflasi mengingat keterkaitan langsungnya dengan pembentukan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik. Harga dua komoditas penting ini sekarang lebih mudah bergerak sehingga menambah ketidakpastian dalam memperkirakan inflasi ke depan. Kami merevisi proyeksi inflasi akhir tahun 2015 dari 4,2% menjadi 4,4%. Rata-rata inflasi tahun 2015 ini diperkirakan sebesar 6,9%, melebihi proyeksi kami sebelumnya yang sebesar 6,3% (lihat Gambar 3).

Sumber: BI, BPS, LPS

Gambar 3. Perkembangan dan Prospek Inflasi serta Kebijakan Moneter -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

% m/m Pola Inflasi Bulanan

Rata-Rata 2010–2013 2014 2015 2015 (Proyeksi) 0 4 8 12 16 20 0 2 4 6 8 10

Jan-09 Jan-10 Jan-11 Jan-12 Jan-13 Jan-14 Jan-15

% y/y % y/y

Inflasi dan BI Rate

Inflasi Headline Inflasi Inti

(7)

6

Kami mempertahankan estimasi BI rate akhir 2015 di posisi 7,5%, sesuai dengan perimbangan antara risiko inflasi, risiko pertumbuhan ekonomi, dan risiko stabilitas sistem keuangan. Meskipun prospek inflasi tahun ini (dibandingkan dengan target 4%±1%) menjustifikasi penurunan BI rate lebih lanjut, kebijakan ini sulit dilakukan mengingat tekanan yang kuat terhadap nilai tukar rupiah dan masih adanya defisit neraca berjalan yang tidak kecil. Jika dilakukan, kebijakan ini dapat menjadi sumber instabilitas di pasar keuangan. Di sisi lain, peningkatan BI rate pada tahun 2015 juga kami pandang kontraproduktif mengingat aktivitas ekonomi yang sedang relatif lemah pada saat ini. Kenaikan suku bunga akan menambah tekanan pada pertumbuhan ekonomi dan, jika direspons berlebihan oleh pelaku pasar keuangan, berpotensi menjadi sumber instabilitas.

Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar

Neraca pembayaran dan nilai tukar secara kualitatif mengalami perbaikan kinerja dan prospek pada kuartal I 2015. Perbaikan kinerja aspek ini terutama didukung oleh penurunan defisit neraca berjalan menjadi US$ 3,85 miliar (1,81% PDB) pada kuartal I 2015 dari US$ 5,67 miliar (2,58% PDB) pada kuartal IV 2014 (lihat Gambar 4), meskipun nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan. Penurunan defisit neraca berjalan ini menyebabkan defisit pada basic balance terpangkas. Basic balance (saldo neraca berjalan plus saldo investasi langsung) mengalami defisit US$ 1,53 miliar pada kuartal I 2015, lebih rendah dari defisit US$ 2,68 miliar pada kuartal sebelumnya.

Sumber: BI, BPS, LPS

Gambar 4. Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang cukup kuat pada kuartal I. Rata-rata nilai tukar saat itu mencapai Rp 12.804/US$, terdepresiasi dari Rp 12.245/US$ pada kuartal IV 2014. Secara point to point, juga terjadi pelemahan dari Rp 12.440/US$ pada akhir Desember 2014 menjadi Rp 13.084/US$ pada akhir Maret 2015. Secara umum, rupiah mengalami depresiasi terhadap berbagai mata uang. Ini terindikasi dari penurunan rata-rata indeks nilai tukar efektif nominal (NEER) rupiah sebesar 0,49% q/q pada kuartal I 2015 (lihat Gambar 4). Meski demikian, pada periode yang sama rata-rata indeks nilai tukar efektif riil (REER) rupiah meningkat 1,28% q/q, mengindikasikan apresiasi nilai tukar secara riil (setelah memperhitungkan inflasi).

-12 -8 -4 0 4 8 12 16 1 Q 1 0 3 Q 1 0 1 Q 1 1 3 Q 1 1 1 Q 1 2 3 Q12 1Q1 3 3 Q 1 3 1 Q 1 4 3 Q 1 4 1 Q 1 5 Miliar US$ Neraca Pembayaran Basic Balance Neraca Berjalan Neraca Finansial Neraca Pembayaran 70 75 80 85 90 95 100 105 7,000 8,000 9,000 10,000 11,000 12,000 13,000 14,000 Jan-0 9 Jul-0 9 Jan-1 0 Jul-1 0 Jan-1 1 Jul-1 1 Jan-1 2 Jul-1 2 Jan-1 3 Jul-1 3 Jan-1 4 Jul-1 4 Jan-1 5

(8)

7

Pelemahan prospek pertumbuhan ekonomi, pemulihan harga komoditas, dan perbaikan neraca perdagangan menjelaskan perbaikan prospek pada aspek neraca pembayaran dan nilai tukar. Neraca perdagangan diperkirakan masih akan mengalami surplus pada tahun 2015 dengan besaran yang lebih tinggi dibanding pada tahun 2014. Kontraksi pada ekspor dan impor barang diduga akan berimbas pada penurunan defisit di neraca jasa. Dengan perkembangan ini, kami memperkirakan defisit neraca berjalan sebesar US$ 22,5 miliar (2,5% PDB) pada 2015, lebih rendah dari proyeksi kami sebelumnya yang sebesar US$ 30,4 miliar (3,3% PDB). Risiko terhadap neraca berjalan lebih banyak mengarah ke atas (defisit mengecil), ditentukan oleh seberapa lemah aktivitas ekonomi domestik akan terjadi di semester II 2015 serta dampak negatif pelemahan rupiah terhadap impor.

Defisit neraca berjalan akan dibiayai oleh surplus yang lebih besar di neraca finansial. Kami masih melihat adanya arus modal masuk (capital inflow) pada 2015 dan 2016 mengingat imbal hasil aset berbasis rupiah yang masih relatif tinggi serta likuiditas global yang masih berlimpah. Walaupun bunga acuan Amerika Serikat (AS) akan naik, Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan masih bertahan dengan kebijakan moneter yang sangat akomodatif melalui program quantitative easing-nya. Sementara, banyak bank sentral negara berkembang yang telah memangkas suku bunganya untuk mendukung laju perekonomian di tengah tekanan inflasi yang terbatas.

Kami merevisi proyeksi rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2015 dari Rp 12.900/US$ menjadi Rp 13.150/US$. Pada akhir tahun ini, rupiah diperkirakan mencapai Rp 13.300/US$, lebih lemah dari proyeksi kami sebelumnya di posisi Rp 12.950/US$. Prospek penguatan dolar AS di tengah sentimen peningkatan Fed rate, yang diduga akan mulai terjadi pada akhir 2015 atau awal 2016, adalah faktor utama yang menyebabkan rupiah mengalami tekanan pada saat ini dan di bulan-bulan ke depan. Di sisi lain, penurunan defisit neraca berjalan dan masih adanya surplus neraca pembayaran menjadi upside risk bagi rupiah yang harus diperhitungkan. Upside risk lain bersumber dari sentimen positif terkait rating utang Indonesia. Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s di bulan Mei 2015 mengubah prospek rating Indonesia dari stabil menjadi positif, mengindikasikan bahwa kenaikan rating menjadi BBB- (yang tergolong investment grade) dapat terjadi dalam jangka waktu 12 bulan mendatang.

Sistem Perbankan

Secara kualitatif, kinerja sistem perbankan mengalami pelemahan pada kuartal I 2015, antara lain dipicu oleh penurunan kualitas kredit, penurunan profitabilitas, dan perlambatan laju kredit. Rasio kredit bermasalah (NPL) gross meningkat dari 2,16% pada kuartal IV 2014 menjadi 2,4% pada kuartal I 2015. Meski rasionya naik, pertumbuhan NPL nominal mengalami perlambatan walau masih sangat tinggi. Pada Maret 2015, NPL nominal tumbuh 33,78% y/y, lebih rendah dari pertumbuhan 36,22% di bulan Desember 2014. Beberapa sektor ekonomi penting tercatat masih mengalami pertumbuhan NPL yang sangat tinggi. NPL sektor konstruksi dan transportasi, misalnya, melonjak 70,73% dan 59,41% di bulan Maret. Sektor perdagangan (yang memiliki porsi kredit terbesar) mengalami peningkatan NPL sebesar 37,25% pada saat yang sama. Dengan pertumbuhan setinggi itu, perdagangan menjadi sektor penyumbang NPL terbesar dengan andil 10,32 poin persentase (ppts) dari pertumbuhan total NPL yang sebesar 33,78% y/y.

Penurunan profitabilitas industri perbankan terlihat jelas dari penurunan rasio laba terhadap aset (ROA) dan rasio laba terhadap modal (ROE). ROA industri turun dari 2,85% pada Desember 2014 menjadi 2,69% pada Maret 2015, sedangkan ROE terpangkas dari 18,29% menjadi 17,09%. Di sisi lain,

(9)

8

perlambatan laju kredit juga menjadi faktor penting yang memperlemah kinerja sistem perbankan. Kredit tumbuh 11,28% y/y pada Maret 2015, lebih rendah dari 11,58% pada tiga bulan sebelumnya. Pada periode serupa, dana pihak ketiga (DPK) malah mengalami percepatan pertumbuhan, yaitu dari 12,29% menjadi 16,04% y/y. Realisasi pertumbuhan DPK itu adalah yang tertinggi selama hampir dua tahun. Dengan perkembangan ini, rasio kredit terhadap simpanan (LDR) mengalami penurunan dari 89,3% pada Desember 2014 menjadi 87,65% pada Maret 2015 (lihat Gambar 5).

Sumber: BI, CEIC, LPS

Gambar 5. NPL, Kredit, dan DPK Perbankan

Kami melihat sedikit perbaikan pada prospek sistem perbankan dalam jangka pendek ke depan, ditunjang oleh pelonggaran kebijakan makroprudensial dan potensi percepatan laju kredit. Kebijakan BI yang menaikkan LTV untuk KPR dan menurunkan uang muka untuk KKB diharapkan bisa menopang pertumbuhan kredit ke depan, terutama kredit konsumsi. Selain relaksasi kebijakan makroprudensial, laju kredit diperkirakan juga akan disokong oleh penurunan biaya dana yang sekarang sudah mulai terjadi (lihat Gambar 5). Sebaliknya, rasio NPL dan pertumbuhan NPL nominal yang masih relatif tinggi, serta perilaku bank yang cenderung hati-hati dalam menyikapi perlambatan aktivitas ekonomi kami duga menjadi kendala utama bagi pertumbuhan kredit ke depan. Kredit perbankan kami perkirakan tumbuh 12,8% pada tahun 2015, lebih rendah dari proyeksi kami sebelumnya yang sebesar 14,2%. Sebaliknya, kami menaikkan perkiraan pertumbuhan DPK tahun ini dari 12,2% menjadi 14,1%.

Pasar Keuangan

Kinerja pasar keuangan terbilang stabil pada kuartal I 2015 meski prospeknya sedikit melemah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) secara point to point naik 5,58% q/q menjadi 5518,68 pada akhir Maret 2015. Akan tetapi, penguatan pasar ini membuat harga saham Indonesia menjadi relatif mahal jika mengacu ke faktor fundamental. Ini tercermin dari kenaikan rasio price to earning (P/E) dari 19,52 kali pada Desember 2014 menjadi 20,1 kali pada Maret 2015. Selain saham, perbaikan juga dialami oleh pasar surat berharga negara (SBN). Indeks IDMA terpantau naik 3,62% q/q menjadi 103,31 pada akhir kuartal I (lihat Gambar 6), meski kenaikan ini masih di bawah kenaikan 4,01% pada kuartal IV 2014. Penguatan pasar SBN juga terindikasi dari penurunan yield selama kuartal I. Pada 31 Maret, yield surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun, misalnya, mencapai 7,44% atau turun 35,7 bps dari posisi

-40 0 40 80 120 160 0 2 4 6 8 10 Jan-0 4 Jan-0 5 Jan-0 6 Jan-0 7 Jan-0 8 Jan-0 9 Jan-1 0 Jan-1 1 Jan-1 2 Jan-1 3 Jan-1 4 Jan-1 5 % y/y % Rasio NPL NPL Nominal (Kanan) -40 0 40 80 120 160 0 8 16 24 32 40 Jan-0 4 Jan-0 5 Jan-0 6 Jan-0 7 Jan-0 8 Jan-0 9 Jan-1 0 Jan-1 1 Jan-1 2 Jan-1 3 Jan-1 4 Jan-1 5 % y/y % Kredit DPK LDR (Kanan)

(10)

9

di akhir tahun 2014. Pasar saham dan SBN sendiri didukung oleh meningkatnya peran investor asing. Net buy pemodal asing di pasar saham mencapai Rp 5,39 triliun selama kuartal I. Pada saat yang, kepemilikan asing atas SBN rupiah yang dapat diperdagangkan meningkat Rp 42,81 triliun.

Sumber: Bloomberg, LPS

Gambar 6. Perkembangan Yield SUN: Aktual dan Proyeksi

Kami melihat adanya penurunan prospek pasar keuangan, sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tampak lebih lemah dari perkiraan sebelumnya. Peningkatan ketidakpastian yang berasal dari luar negeri, juga mempengaruhi penilaian kualitatif kami terhadap prospek pasar keuangan. Ketidakpastian di tingkat global bersumber dari timing dan besaran kenaikan bunga acuan di AS serta penyelesaian krisis utang Yunani. Dari dalam negeri, pergerakan nilai tukar rupiah menjadi sumber ketidakpastian utama yang dapat menjadi downside risk bagi harga aset finansial seperti saham dan obligasi. Kami merevisi proyeksi rata-rata yield SUN bertenor 10 tahun pada 2015 dari 7,7% menjadi 8,2% (lihat Gambar 6). Yield curve kami perkirakan akan lebih landai dari perkiraan sebelumnya, merefleksikan pelemahan persepsi investor mengenai prospek aktivitas ekonomi ke depan.

Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah satu-satunya aspek yang mengalami pelemahan kinerja dan prospek sekaligus pada kuartal I 2015. Penurunan realisasi pendapatan negara sebesar 1,72% y/y pada kuartal tersebut, yang terburuk selama 10 kuartal, menjadi faktor utama yang menjelaskan penurunan kinerja kebijakan fiskal. Pelemahan di sisi penerimaan ini justru dibarengi oleh lonjakan pertumbuhan belanja pemerintah. Belanja negara tumbuh 28,23% y/y pada kuartal I 2015, yang tertinggi sejak kuartal III 2012 (lihat Gambar 7). Dimana defisit anggaran kuartal I mencapai Rp 83,69 triliun atau 3,07% PDB. Selama empat kuartal terakhir (kuartal II 2014 hingga kuartal I 2015), defisit fiskal tercatat sebesar 2,91% PDB. 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 Jan-1 4 Ma r-1 4 Ma y-14 Jul-1 4 Sep-14 No v-1 4 Jan-1 5 Ma r-1 5 Ma y-15 %

Yield SUN 5 dan 10 Tahun

SUN 5 Tahun SUN 10 Tahun

5 6 7 8 9 10 1 3 5 10 20 Rata-Rata, % Years to Maturity Yield Curve 2013 2014 2015P 2016P

(11)

10

Sumber: BI, Kementerian Keuangan, LPS

Gambar 7. Realisasi Surplus/Defisit APBN dan Penerimaan Pajak

Prospek kebijakan fiskal secara kualitatif mengalami pelemahan, terutama akibat penerimaan pajak yang jauh di bawah ekspektasi. Penerimaan pajak (di luar cukai) pemerintah pusat mencapai Rp 377,03 triliun selama Januari–Mei 2015, turun 2,44% dari periode yang sama di tahun 2014. Jika dibandingkan dengan target anggaran perubahan (APBN-P) 2015, realisasi penerimaan pajak di lima bulan pertama itu baru mencapai 29,13%, lebih rendah dari realisasi Januari–Mei 2014 yang sebesar 36,04% dari target setahun (lihat Gambar 7). Penerimaan pajak yang masih belum memuaskan ini terutama disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang masih lemah.

Sumber: BI, Kementerian Keuangan, LPS Tabel 1. Realisasi APBN Kuartal I 2014 dan 2015

Defisit APBN kami perkirakan akan mencapai 2,2% PDB pada 2015, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,8% PDB (lihat Tabel 1). Revisi ke atas ini terutama mencerminkan pelemahan prospek di sisi penerimaan yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang di bawah ekspektasi (proyeksi kami di posisi 5%, jauh lebih rendah dari asumsi APBN-P 2015 yang sebesar 5,7%).

-3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1 Q 0 5 3 Q 0 5 1 Q 0 6 3 Q 0 6 1 Q 0 7 3 Q 0 7 1 Q 0 8 3 Q 0 8 1 Q09 3Q0 9 1 Q 1 0 3 Q 1 0 1 Q 1 1 3 Q11 1Q1 2 3 Q 1 2 1 Q 1 3 3 Q 1 3 1 Q 1 4 3 Q 1 4 1 Q 1 5 4Q Sum, % PDB

Realisasi Surplus/Defisit APBN

APBN-P 1Q Real. % Real. APBN-P 1Q Real. % Real. Pendapatan Negara 1,635.4 288.7 17.7 1,761.6 283.8 16.1

Pendapatan Dalam Negeri 1,633.1 288.6 17.7 1,758.3 283.6 16.1 Pendapatan Perpajakan 1,246.1 246.4 19.8 1,489.3 235.8 15.8 Pendapatan Negara Bukan Pajak 386.9 42.2 10.9 269.1 47.8 17.8 Pendapatan Hibah 2.3 0.1 5.6 3.3 0.1 3.7

Belanja Negara 1,876.9 286.5 15.3 1,984.1 367.4 18.5

Belanja Pemerintah Pusat 1,280.4 164.7 12.9 1,319.5 197.0 14.9 Belanja Pegawai 258.4 55.0 21.3 293.1 62.4 21.3 Belanja Barang 195.2 14.9 7.6 238.8 15.5 6.5 Belanja Modal 160.8 7.8 4.9 275.8 3.9 1.4 Pembayaran Kewajiban Utang 135.5 33.6 24.8 155.7 42.4 27.2 Subsidi 403.0 39.6 9.8 212.1 57.5 27.1 Belanja Lainnya 127.5 13.8 10.8 144.0 15.3 10.6 Transfer ke Daerah dan Dana Desa 596.5 121.9 20.4 664.6 170.4 25.6

Surplus/Defisit (241.5) 2.2 - (222.5) (83.7) 37.6 % PDB (2.40) 0.09 - (1.90) (0.78) 40.9 Pembiayaan 241.5 113.8 47.1 222.5 139.6 62.7 Surplus/Defisit Pembiayaan - 116.0 NA - 55.9 -Pos Anggaran 2014 2015 29.13 36.04 0 10 20 30 40 50 Total Pajak Lain PBB PPN dan PPnBM PPh Non-Migas PPh Migas % Target APBN-P Realisasi 5M14 Realisasi 5M15

(12)

11

Setelah melakukan reformasi di sisi belanja dengan menghapus subsidi bensin dan memberlakukan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk minyak solar, pemerintah diharapkan juga melakukan banyak terobosan di sisi penerimaan untuk menjamin pencapaian target APBN-P yang terbilang ambisius.

(13)
(14)

13

Neraca Pembayaran Indonesia: Prospek 2015 dan 2016

Hendra Syamsir, Seto Wardono

Neraca pembayaran Indonesia diperkirakan akan kembali mengalami surplus pada 2015 dan 2016, meski tidak sebesar surplus pada 2014.

Defisit neraca berjalan diproyeksikan mengecil dari 2,9% PDB pada 2014 menjadi 2,5% PDB pada 2015, sebelum meningkat ke 2,8% PDB pada 2016.

Investasi langsung dan investasi portofolio masih akan menjadi sumber pembiayaan yang utama bagi defisit neraca berjalan. Saldo dua komponen ini diperkirakan positif pada 2015 dan 2016.

Neraca pembayaran adalah salah satu indikator ekonomi yang makin sering diperhatikan pelaku pasar dan pembuat kebijakan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Meningkatnya perhatian pelaku ekonomi terhadap saldo neraca pembayaran disebabkan oleh terjadinya defisit neraca berjalan. Sepanjang tahun 2012, neraca berjalan, salah satu komponen kunci dari neraca pembayaran, mengalami defisit, padahal Indonesia tidak pernah mengalami defisit ini sejak tahun 1998. Defisit neraca berjalan telah bertahan selama 14 kuartal terakhir dan fenomena ini tampak bukan lagi menjadi fenomena yang temporer, melainkan struktural. Oleh karena itu, masalah pembiayaan defisit neraca berjalan harus menjadi fokus perhatian. Jika defisit neraca berjalan tidak bisa dibiayai oleh surplus di komponen neraca pembayaran lainnya, neraca pembayaran akan mengalami defisit. Dampaknya, nilai tukar rupiah akan tertekan.

Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai prospek neraca pembayaran Indonesia pada tahun 2015 dan 2016. Untuk menghasilkan proyeksi berbagai komponen neraca pembayaran, kami menggunakan model sederhana yang mengkombinasikan regresi stepwise dan dekomposisi deret waktu (time series decomposition). Aplikasi dua pendekatan ini akan dibahas pada bagian metodologi analisis. Sebelumnya, kami akan menganalisis dinamika berbagai komponen neraca pembayaran secara kualitatif. Analisis kualitatitif ini kami pandang sangat penting untuk menentukan kandidat variabel penentu yang akan digunakan dalam model proyeksi.

Hasil proyeksi kami menunjukkan bahwa neraca pembayaran Indonesia masih akan mengalami surplus pada tahun 2015 dan 2016, meski nilainya lebih rendah dibandingkan pada tahun 2014. Defisit neraca berjalan diperkirakan akan mengecil pada 2015, namun akan kembali naik pada 2016 sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hasil estimasi kami juga menunjukkan peran investasi langsung dan investasi portofolio yang signifikan dalam membiayai defisit neraca berjalan. Dengan berbagai perkembangan ini, cadangan devisa diprediksi akan meningkat pada 2015 dan 2016, meski tidak setinggi perkiraan kami sebelumnya.

Neraca Berjalan

Neraca berjalan secara konsisten mengalami defisit sejak kuartal IV 2011 (lihat Gambar 8). Defisit neraca berjalan sebenarnya bukan fenomena yang baru di Indonesia. Defisit ini selalu muncul hampir di setiap kuartal selama periode tahun 1981 hingga 1997. Selama periode 1998 hingga kuartal III 2011, defisit neraca berjalan dapat dikatakan sebagai suatu fenomena yang temporer karena hanya terjadi di beberapa kuartal (yaitu pada kuartal I 2004, kuartal III 2005, serta tiga kuartal terakhir di tahun 2008). Persistensi defisit neraca berjalan sekarang ini terjadi karena beberapa hal, yaitu: 1)

(15)

14

peningkatan peran investasi dalam perekonomian yang cukup signifikan; 2) besarnya pembayaran pengembalian investasi (repatriasi) ke luar negeri; 3) impor bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi; 4) pelemahan ekonomi global dan harga komoditas; serta 5) dominasi peran armada kapal asing dalam kegiatan ekspor dan impor.

Kami menilai peningkatan peran investasi sebagai salah satu faktor utama yang mendorong munculnya defisit neraca berjalan dalam beberapa waktu belakangan. Pada 2003, porsi investasi fisik atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terhadap total PDB mencapai 19,5%, namun pada 2012 (saat defisit neraca berjalan mulai terjadi selama setahun penuh) porsinya menjadi 32,7%. PMTB selama 2003–2012 juga tumbuh sangat kencang, rata-rata sebesar 8% per tahun, dan pertumbuhan yang tinggi ini menyebabkan lonjakan impor barang modal. Peningkatan impor barang modal ini menjadi salah satu faktor yang menekan kinerja neraca barang, terutama saat ekspor mengalami pelemahan di tahun 2012 dan tahun-tahun berikutnya. Pada periode 2012–2014, surplus neraca barang tidak pernah melebihi US$ 7 miliar per tahun, padahal angka ini selalu berada di atas US$ 30 miliar per tahun selama 2009–2011.

Sumber: BI, CEIC, IMF

Gambar 8. Neraca Berjalan dan PMTB serta Dekomposisi Neraca Pendapatan Primer

Perbaikan investasi asing, baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio, juga berdampak pada besarnya arus return investasi ke luar negeri, sehingga ikut membebani kinerja neraca berjalan. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan signifikan pada defisit neraca pendapatan primer sejak tahun 2004. Neraca pendapatan primer mengalami defisit sebesar US$ 6,2 miliar pada tahun 2003. Pada tahun 2014, angka defisit ini sudah mencapai US$ 27,8 miliar sehingga menjadi komponen penyumbang defisit yang paling besar di neraca berjalan. Data sejak tahun 2004 menunjukkan bahwa defisit neraca pendapatan primer terutama disebabkan oleh besarnya pembayaran dividen ke luar negeri dari investasi langsung jangka panjang (repatriasi).

Impor bahan bakar minyak (BBM) domestik yang besar juga membuat kinerja neraca berjalan tertekan. Selama 2011–2014, Indonesia mengimpor minyak dan produk minyak rata-rata sebanyak US$ 40 miliar per tahun. Ini setara dengan sekitar 24% dari total impor. Sebagian besar dari impor BBM itu (sekitar 63% pada 2014) digunakan sebagai bahan baku produksi dan kami memandang hal ini sebagai salah satu efek negatif dari penguatan investasi di Indonesia. Sebagian dari investasi fisik selama 2003–2012 diarahkan untuk membeli alat transportasi. Akibatnya, pertumbuhan investasi

16 20 24 28 32 36 -9 -6 -3 0 3 6 1 98 0 1 982 1984 1986 1988 199 0 1 992 1994 1996 1998 200 0 2 002 2004 2006 2008 201 0 2 012 2014 % PDB % PDB

Saldo Neraca Berjalan PMTB (Kanan)

-30 -25 -20 -15 -10 -5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Miliar US$

Kompensasi Tenaga Kerja Pendapatan FDI: Ekuitas

Pendapatan FDI: Bunga Pendapatan Portofolio: Ekuitas

(16)

15

dalam bentuk penyediaan alat transportasi pun meningkat cukup tinggi pada periode tersebut dengan rata-rata sebesar 10,4% per tahun. Selain untuk menunjang kegiatan usaha, alat transportasi juga dibeli masyarakat untuk keperluan konsumtif. Adanya tambahan kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan produksi dan konsumsi berimplikasi pada kenaikan konsumsi BBM domestik dan karena produksi BBM domestik tidak mencukupi, impor harus dilakukan. Dalam kondisi seperti ini, dinamika harga minyak dunia menjadi sangat penting karena pengaruhnya pada besaran impor.

Penurunan ekspor barang yang terjadi sejak 2012 menjadi fenomena baru yang menghambat perbaikan neraca berjalan. Ekspor barang turun 2% pada 2012, lalu kembali terpangkas sebesar 2,8% pada 2013 dan 3,7% pada 2014. Pada kuartal I 2015, ekspor barang turun 13,9% y/y menjadi US$ 37,8 miliar, angka kuartalan terendah selama lebih dari empat tahun. Penurunan ekspor ini disebabkan oleh pelemahan permintaan eksternal dan harga komoditas. Data IMF menunjukkan pertumbuhan ekonomi global di sekitar 3,4% per tahun pada 2012–2014, lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2010 dan 2011 yang masing-masing berada di level 5,4% dan 4,2%. Realisasi 2012–2014 itu juga masih sedikit di bawah rata-rata jangka panjang (sejak tahun 1980) pertumbuhan ekonomi global yang sebesar 3,5%. Sementara, harga komoditas secara umum mengalami penurunan di periode yang sama.

Sumber: BI, CEIC, IMF

Gambar 9. PDB Global, Harga Komoditas, dan Dekomposisi Neraca Jasa

Di neraca jasa, defisit selalu muncul akibat pembayaran jasa transportasi barang yang besar ke luar negeri (lihat Gambar 9). Dekomposisi neraca jasa menunjukkan kontribusi defisit yang signifikan pada pos neraca transportasi barang. Menurut kami, kondisi ini merupakan cerminan dominasi armada asing dalam kegiatan ekspor dan impor barang di Indonesia. Menurut data terakhir (tahun 2013) armada asing menguasai pangsa pasar transportasi barang untuk ekspor dan impor (dilihat dari volume bongkar-muat barang) sebesar 94%. Kondisi ini menunjukkan adanya keterkaitan antara volume ekspor dan impor barang dengan perkembangan defisit di neraca jasa.

-80 -40 0 40 80 -2 0 2 4 6 1 981 1983 1985 1987 9891 1991 1993 1995 199 7 1 999 2001 200 3 2 005 2007 200 9 2 011 2013 % y/y % y/y PDB Global

Indeks Harga Minyak Mentah (Kanan) Indeks Harga Komoditas (Kanan)

-15 -12 -9 -6 -3 0 3 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Miliar US$

Jasa Transportasi Barang Jasa Transportasi Lain

Perjalanan Jasa Keuangan

(17)

16

Neraca Finansial

Peran neraca finansial menjadi lebih penting dalam beberapa tahun terakhir karena besaran saldonya menentukan surplus atau tidaknya neraca pembayaran. Indonesia kini sangat membutuhkan surplus neraca finansial dan surplus itu harus bisa melebihi defisit neraca berjalan agar neraca pembayaran terhindar dari defisit. Faktanya, suatu perekonomian negara berkembang dengan pasar keuangan yang terbuka seperti Indonesia tidak punya kekuatan yang cukup besar untuk menjamin adanya surplus di neraca finansial. Pergerakan arus modal asing, yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan selera investor global, tidak bisa sepenuhnya dikontrol oleh otoritas domestik sehingga menjadi sumber ketidakpastian utama bagi neraca pembayaran.

Salah satu berita positif mengenai neraca finansial yang selalu muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah investasi asing langsung (FDI) yang terus mengalir masuk (lihat Gambar 10). Arus masuk FDI secara konsisten terus terjadi sejak kuartal I 2004, mencerminkan keyakinan investor asing akan potensi keuntungan berbisnis di Indonesia dalam jangka panjang. Di sisi lain, pengusaha Indonesia juga mulai banyak melakukan investasi langsung di luar negeri, namun nilai investasinya sejak kuartal II 2007 selalu lebih rendah dibandingkan FDI yang masuk ke Indonesia. Dengan demikian, komponen investasi langsung selalu mengalami surplus sejak kuartal II 2007.

Komponen neraca finansial lain yang dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan defisit neraca berjalan adalah investasi portofolio. Meski demikian, karakter investasi portofolio yang sangat bergejolak dan mudah digerakkan oleh sentimen pasar menjadikan komponen ini sebagai sumber ketidakpastian yang utama bagi neraca finansial dan akhirnya bagi neraca pembayaran. Sama seperti investasi langsung, komponen investasi portofolio juga didominasi oleh aliran investasi dari luar ke dalam negeri. Indonesia diuntungkan oleh investasi portofolio asing yang terus mengalir masuk sejak kuartal IV 2011.

Sumber: BI

Gambar 10. Investasi Asing serta Penarikan ULN

Di luar investasi langsung dan investasi portofolio, penarikan utang luar negeri (ULN) juga dapat menjadi sumber pembiayaan defisit neraca berjalan. Secara tahunan, penarikan ULN secara neto (setelah dikurangi pelunasan) terus meningkat selama 2008–2014, menunjukkan peningkatan stok ULN Indonesia (lihat Gambar 10). Meski berguna untuk memasok valas ke dalam negeri dan

0 5 10 15 20 25 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Miliar US$

Investasi Langsung dan Portofolio Asing

Investasi Langsung Investasi Portofolio -9 0 9 18 27 36 45 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Miliar US$

Penarikan dan Pembayaran ULN

Penarikan Bruto Pembayaran Penarikan Neto

(18)

17

membiayai defisit neraca berjalan, ULN tergolong sumber dana yang tidak sehat karena dapat meningkatkan kerentanan ekonomi domestik terhadap gejolak nilai tukar. Selain ULN, repatriasi simpanan milik residen dari luar ke dalam negeri sebenarnya juga dapat menjadi salah satu sumber dana untuk membiayai defisit neraca berjalan. Akan tetapi, yang terjadi lebih sering sebaliknya. Simpanan residen lebih banyak bergerak dari dalam ke luar negeri, bukan dari luar ke dalam negeri. Kondisi ini antara lain terjadi pada tahun 2011–2014.

Metodologi Analisis

Kami memproyeksikan neraca pembayaran dengan pendekatan bottom up, artinya proyeksi dilakukan terhadap komponen-komponen neraca pembayaran terlebih dahulu. Saldo neraca berjalan, neraca modal dan finansial, serta neraca pembayaran adalah penjumlahan dari komponen-komponen yang telah diprediksi. Komponen neraca berjalan yang kami prediksi adalah ekspor barang, impor barang, neraca jasa, neraca pendapatan primer, dan neraca pendapatan sekunder. Penjumlahan seluruh komponen ini menghasilkan neraca berjalan. Dari estimasi ekspor barang dan impor barang, akan bisa didapatkan neraca perdagangan barang. Kami juga memprediksi saldo investasi langsung dan investasi portfolio, sedangkan investasi lainnya digabungkan dengan transaksi derivatif dan neraca modal. Dengan demikian, bisa didapatkan saldo neraca modal dan finansial secara agregat.

Suatu komponen neraca pembayaran diprediksi dengan dua pilihan pendekatan, yaitu regresi stepwise dan pendekatan dekomposisi deret waktu (time series decomposition). Regresi stepwise kami gunakan untuk komponen-komponen neraca pembayaran yang tidak memiliki volatilitas kuartalan yang tinggi, yaitu ekspor barang, impor barang, neraca jasa, neraca pendapatan primer, neraca pendapatan sekunder, dan investasi langsung. Sedangkan, dekomposisi deret waktu dipakai untuk mengestimasi investasi portfolio serta neraca modal dan investasi lain. Dekomposisi deret waktu juga kami aplikasikan untuk memproyeksikan berbagai variabel independen yang mempengaruhi komponen neraca pembayaran, yaitu jumlah wisatawan mancanegara, bunga deposito tiga bulan, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan jumlah tenaga kerja internasional.

Kami memilih untuk menggunakan regresi stepwise karena kemampuan pendekatan ini untuk memilih variabel-variabel yang relevan (memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen) dari berbagai kandidat variabel independen dengan selang waktu yang berbeda-beda. Dari tiap komponen yang kami prediksi, kami mempertimbangkan empat pilihan model yang masing-masing memiliki perlakuan berbeda terhadap data. Pada Model 1, kami meregresi variabel pada nilai asalnya (data level). Pada Model 2, yang diregresi adalah bentuk selisih derajat pertama (first difference). Pada Model 3, kami meregresi data level dalam bentuk logaritma, sedangkan bentuk first difference dari logaritma diestimasi pada Model 4. Dari empat pilihan model ini, kami memilih yang terbaik dengan memperhatikan indikator Theil's inequality coefficient untuk proyeksi yang bersifat in sample maupun out of sample. Untuk proyeksi out of sample, kami mengestimasi hanya sampai kuartal II 2013 dan memprediksi tujuh kuartal ke depan (kuartal III 2013 hingga kuartal I 2015) guna membandingkan hasilnya dengan data aktual. Model dengan koefisien Theil yang paling kecil dianggap memiliki daya prediksi terbaik.

Fungsi-fungsi komponen neraca pembayaran yang diestimasi dengan regresi stepwise adalah sebagai berikut:

(19)

18 𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡 = 𝐹(𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑡−𝑖, 𝑥𝑟𝑎𝑡𝑡−𝑗, 𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗, 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑦𝑝𝑡−𝑗, 𝑤𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗) 𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒 = 𝐹(𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒𝑡−𝑖, 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑒𝑡−𝑗, 𝑣𝑖𝑠𝑖𝑡𝑜𝑟𝑡−𝑗, 𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗, 𝑤𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗) 𝑝𝑟𝑖𝑚𝑎𝑟𝑦 = 𝐹(𝑝𝑟𝑖𝑚𝑎𝑟𝑦𝑡−𝑖, 𝑖𝑡−𝑗, 𝑗𝑐𝑖𝑡−𝑗, 𝑥𝑟𝑎𝑡𝑡−𝑗, 𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗, 𝑤𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗) 𝑠𝑒𝑐𝑜𝑛𝑑𝑎𝑟𝑦 = 𝐹(𝑠𝑒𝑐𝑜𝑛𝑑𝑎𝑟𝑦𝑡−𝑖, 𝑖𝑤𝑜𝑟𝑘𝑒𝑟𝑡−𝑗, 𝑥𝑟𝑎𝑡𝑡−𝑗, 𝑤𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗) 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡 = 𝐹(𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑡−𝑖, 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔𝑡−𝑗, 𝑥𝑟𝑎𝑡𝑡−𝑗, 𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗, 𝑤𝑔𝑑𝑝𝑡−𝑗)

yang mana 𝑒𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡 adalah ekspor barang, 𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡 adalah impor barang, 𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒 adalah saldo neraca jasa, 𝑝𝑟𝑖𝑚𝑎𝑟𝑦 adalah saldo neraca pendapatan primer, 𝑠𝑒𝑐𝑜𝑛𝑑𝑎𝑟𝑦 adalah saldo pendapatan sekunder, dan 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡 adalah saldo investasi langsung. Di sisi kanan persamaan, 𝑥𝑟𝑎𝑡 adalah nilai tukar rupiah per dolar AS, 𝑐𝑜𝑚𝑝 adalah indeks harga komoditas, 𝑤𝑔𝑑𝑝 adalah PDB global, 𝑔𝑑𝑝 adalah PDB Indonesia, 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑦𝑝 adalah indeks harga energi, 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑒 adalah ekspor plus impor barang, 𝑣𝑖𝑠𝑖𝑡𝑜𝑟 adalah jumlah wisatawan mancanegara, 𝑖 adalah bunga deposito tiga bulan, 𝑗𝑐𝑖 adalah IHSG, 𝑖𝑤𝑜𝑟𝑘𝑒𝑟 adalah jumlah tenaga kerja internasional (TKI), dan 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 adalah rating utang Indonesia. Simbol t menunjukkan waktu, sedangkan i dibatasi 0 hingga 3, dan j dibatasi 0 hingga 4. Selain berbagai variabel independen di atas, kami juga mempertimbangkan penggunaan variabel dummy musiman.

Pendekatan dekomposisi deret waktu yang kami aplikasikan adalah dekomposisi multiplikatif yang kami modifikasi. Secara umum persamaan dari model dekomposisi multiplikatif adalah:

𝑋𝑡 = 𝑇𝑡× 𝑆𝑡× 𝐶𝑡× 𝐼𝑡

yang mana 𝑋𝑡 adalah data periode t, 𝑇𝑡 adalah faktor tren, 𝑆𝑡 adalah faktor musiman, 𝐶𝑡 adalah faktor

siklus, dan 𝐼𝑡 adalah faktor iregular. Model tersebut kami modifikasi dengan menambahkan variabel

dummy (angka 0 atau 1 yang menunjukkan perbedaan kondisi secara kualitatif) atau variabel lain sehingga model univariat di atas bisa berubah menjadi model multivariat sesuai kebutuhan. Dalam beberapa kasus, kami bisa menambahkan faktor dummy untuk kondisi perekonomian tertentu. Dalam kasus lain, kami bisa pula menambahkan misalnya IHSG sebagai variabel di kanan persamaan.

Kami menggunakan data neraca pembayaran Dari BI Dan CEIC dengan periode observasi kuartal I 1993 hingga kuartal I 2015. Data beberapa variabel independen juga diperoleh dari BI Dan CEIC serta beberapa sumber lain seperti BPS, BIS, Bloomberg, IMF, Komisi Eropa, dan OECD. Kami menggunakan data prospek harga komoditas dari IMF untuk menentukan arah harga komoditas ke depan. Data IMF juga kami gunakan untuk menentukan perkiraan PDB berbagai negara hingga 2016, disatukan dengan data-data proyeksi dari Bloomberg dan Komisi Eropa. Rata-rata terbobot PDB berbagai negara ini (dengan total sebanyak 45 negara) merupakan representasi dari PDB global. Selain itu, kami juga mengambil data proyeksi PDB Indonesia dan nilai tukar rupiah dari model proyeksi ekonomi LPS.

Hasil Estimasi

Hasil regresi stepwise dan kalkulasi koefisien Theil dari setiap alternatif model ditampilkan di Tabel 2. Bagian yang diarsir warna kuning menunjukkan model dengan koefisien Theil pada proyeksi out of sample yang terkecil. Model 2 (bukan logaritma, first difference) dipilih dalam proyeksi komponen ekspor barang, impor barang, dan neraca pendapatan primer. Model 3 (logaritma, data level) dipilih dalam proyeksi komponen neraca jasa, neraca pendapatan sekunder, dan investasi langsung. Sementara, aplikasi pendekatan dekomposisi deret waktu menunjukkan koefisien Theil untuk proyeksi in sample sebesar 0,022 untuk komponen investasi portofolio dan 0,0381 untuk

(20)

19

komponen neraca modal dan investasi lainnya (lihat Tabel 2). Nilai koefisien yang kecil menunjukkan pergerakan data hasil proyeksi yang mirip dengan pergerakan data aktualnya.

Sumber: LPS

Tabel 2. Koefisien Theil Empat Pilihan Model dengan Regresi Stepwise

Sumber: LPS

Gambar 11. Perbandingan Hasil Proyeksi In Sample dengan Data Aktual Variabel Terpilih

Hasil proyeksi menunjukkan penurunan defisit neraca berjalan dari US$ 25,4 miliar (2,9% PDB) pada 2014 menjadi US$ 22,5 miliar (2,5% PDB) pada 2015. Namun, defisit neraca berjalan diperkirakan naik pada 2016 menjadi US$ 27,9 miliar (2,8% PDB). Hasil proyeksi ini konsisten dengan perkiraan aktivitas ekonomi yang masih lemah pada 2015, dengan penguatan di 2016 yang akan mendorong

In Sample Out of Sample In Sample Out of Sample In Sample Out of Sample In Sample Out of Sample

export 0.0212 0.0210 0.0202 0.0195 0.0215 0.0290 0.0225 0.0313 import 0.0244 0.0242 0.0259 0.0216 0.0269 0.0242 0.0302 0.0348 service 0.0781 0.0883 0.0845 0.0714 0.0751 0.0510 0.0826 0.0626 primary 0.0473 0.0397 0.0509 0.0307 0.0505 0.0436 0.0553 0.0382 secondary 0.0908 0.0895 0.0938 0.0855 0.1016 0.0810 0.0956 0.0877 dirinvest 0.0378 0.0783 0.0452 0.0941 0.0384 0.0697 0.0497 0.0943 Variabel Dependen

Model 1 Model 2 Model 3 Model 4

-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 Q94 1Q96 1Q98 1Q00 1Q02 Q041 1Q06 1Q08 1Q10 1Q12 1Q14 Neraca Pendapatan Primer

Aktual Proyeksi Miliar US$ -50 -40 -30 -20 -10 0 2 Q94 2Q96 2Q98 2Q00 2Q02 Q042 2Q06 2Q08 2Q10 2Q1 2 2 Q 1 4 Impor Barang Aktual Proyeksi Miliar US$ 0 10 20 30 40 50 60 2 Q94 2Q9 6 2 Q 9 8 2 Q 0 0 2 Q 0 2 2 Q04 2Q06 2Q0 8 2 Q 1 0 2 Q 1 2 2 Q 1 4 Ekspor Barang Aktual Proyeksi Miliar US$ -6 -3 0 3 6 9 12 1 Q 0 4 1 Q 0 5 1 Q06 1Q0 7 1 Q 0 8 1 Q 0 9 1 Q 1 0 1 Q11 1Q1 2 1 Q 1 3 1 Q 1 4 1 Q 1 5 Investasi Portofolio Aktual Proyeksi Miliar US$ 3 6 9 12 15 18 1 Q 0 0 1 Q 0 2 1 Q 0 4 1 Q 0 6 1 Q08 1Q1 0 1 Q 1 2 1 Q 1 4

Bunga Deposito Tiga Bulan

Aktual Proyeksi % 0.4 0.8 1.2 1.6 2.0 2.4 1 Q 0 0 1 Q02 1Q04 1Q0 6 1 Q 0 8 1 Q 1 0 1 Q 1 2 1 Q 1 4 Wisatawan Mancanegara Aktual Proyeksi Juta Orang 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 1 Q 0 0 1 Q02 1Q0 4 1 Q 0 6 1 Q 0 8 1 Q10 1Q1 2 1 Q 1 4 IHSG Aktual Proyeksi -9 -6 -3 0 3 6 9 1 Q 0 4 1 Q 0 5 1 Q06 1 Q 0 7 1 Q 0 8 1 Q 0 9 1 Q 1 0 1 Q11 1 Q 1 2 1 Q 1 3 1 Q 1 4 1 Q 1 5

Neraca Modal & Finansial Lain

Aktual Proyeksi

(21)

20

permintaan impor. Hasil prediksi kami juga masih menunjukkan surplus di neraca modal dan finansial pada 2015 dan 2016, meski nilainya lebih kecil dari surplus tahun 2014. Kinerja investasi langsung diproyeksikan melemah dengan penurunan saldo dari US$ 15,5 miliar pada 2014 menjadi US$ 10,4 miliar pada 2015, sebelum naik menjadi US$ 13,8 miliar pada 2016 (lihat Tabel 3). Di tengah tantangan pengetatan kebijakan moneter AS, investasi portofolio diperkirakan masih akan mengalami surplus walau nilainya turun dari US$ 26,1 miliar pada 2014 menjadi US$ 12,1 miliar pada 2015 dan US$ 15,1 miliar pada 2016.

Sumber: BI, LPS

Tabel 3. Neraca Pembayaran: Aktual dan Proyeksi (Juta US$)

Dengan berbagai perkembangan di atas, kami memperkirakan surplus neraca pembayaran sebesar US$ 1,4 miliar pada 2015, lebih rendah dari surplus US$ 15,2 miliar pada 2014. Pada tahun 2016, surplus neraca pembayaran akan mencapai US$ 3,8 miliar. Sebagian tambahan dana valas di pasar domestik pada 2015 dan 2016, yang terindikasi dari masih adanya surplus neraca pembayaran, akan diserap oleh bank sentral untuk memperkuat cadangan devisanya (lihat Tabel 3). Cadangan devisa diperkirakan mencapai US$ 111,6 miliar pada 2015 dan US$ 115,4 miliar pada 2016.

2010 2011 2012 2013 2014 2015P 2016P Transaksi Berjalan 5,144 1,685 -24,418 -29,109 -25,403 -22,525 -27,863 Barang 31,003 33,825 8,680 5,833 6,982 10,867 12,973 Ekspor 149,966 191,109 187,346 182,089 175,293 164,431 170,608 Impor -118,963 -157,284 -178,667 -176,256 -168,310 -153,564 -157,635 Jasa-Jasa -9,791 -9,803 -10,564 -12,070 -10,008 -9,502 -10,473 Pendapatan Primer -20,698 -26,547 -26,628 -27,050 -27,597 -29,440 -35,898 Pendapatan Sekunder 4,630 4,211 4,094 4,178 5,220 5,551 5,535

Transaksi Modal dan Finansial 26,526 13,636 24,909 21,971 44,366 24,674 31,703

Investasi Langsung 11,106 11,528 13,716 12,170 15,502 10,375 13,821

Investasi Portofolio 13,202 3,806 9,206 10,873 26,058 12,089 15,130

Transaksi Modal dan Finansial Lain 2,218 -1,699 1,986 -1,072 2,805 2,210 2,752

Neraca Keseluruhan 30,343 11,857 215 -7,325 15,249 1,354 3,840

Memorandum:

Cadangan Devisa (akhir periode) 96,207 110,123 112,781 99,387 111,862 111,605 115,445

(22)
(23)

22

Tren Bullish Dolar AS: Prospek dan Implikasi kepada Rupiah

Moch. Doddy Ariefianto, Dienda Siti Rufaedah

Terdapat diskrepansi yang besar antara arah kebijakan The Fed dengan ekspektasi pasar sehingga dapat memicu fluktuasi di pasar keuangan global.

Divergensi arah kebijakan moneter The Fed ditengah pelonggaran moneter bank sentral lain berpotensi memicu currency war dan menjadi feedback negatif karena berisiko mengancam kinerja mata uang dolar AS.

Krisis yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang bermula dari runtuhnya Lehman Brothers pada tahun 2008 membuat kinerja perekonomian AS mengalami periode terburuk sejak 1933 pada Depresi Besar. Tingkat pengangguran AS naik dari 5% di kuartal I-2008 menjadi 8,27% di kuartal I-2009 dan terus meningkat hingga mencapai 9,93% di kuartal IV-2009, level tertinggi sepanjang sejarah. Sebaliknya, Produk Domestik Bruto (PDB) AS anjlok bahkan ke level yang negatif. Pada kuartal II-2009, PDB AS tercatat mengalami kontraksi ke level 4,1%. Untuk mengantisipasi gejolak yang mungkin ditimbulkan, The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar USD 700 miliar kepada bank-bank investasi. The Fed juga memberlakukan kebijakan moneter super longgar yang dikenal dengan istilah Quantitative Easing (QE).

The Fed mencetak uang dalam jumlah sangat besar untuk kemudian disalurkan ke pasar, dengan cara membeli obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan. Dengan meningkatnya uang beredar di pasar, maka diharapkan dapat meningkatkan tingkat konsumsi dan bisnis, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. The Fed tercatat telah melakukan QE sebanyak tiga kali dengan periode sebagai berikut:

1. QE I pada November 2008 hingga Maret 2010. The Fed mengucurkan dana senilai USD 600 miliar untuk pembelian Agency debt dan Market-Backed Securities (MBS). Pada 18 Maret 2009, The Fed mengumumkan untuk menambah stimulus sebesar USD 100 miliar untuk pembelian Agency debt, USD 750 miliar untuk pembelian MBS dan USD 300 miliar untuk pembelian longer-term treasury securities.

2. QE II pada November 2010 hingga Juni 2011. The Fed mengumumkan rencana pembelian longer-term treasury securities sebesar USD 75 miliar per bulan hingga mencapai USD 600 miliar. 3. QE III pada September 2012 hingga Oktober 2014. Pada 13 September 2012, The Fed

mengumumkan QE tahap III untuk membeli MBS senilai USD 40 miliar per bulan. The Fed menambah USD 45 miliar untuk pembelian longer-term treasury securities.

Dari ketiga QE tersebut, balance sheet The Fed mengalami peningkatan tajam dibandingkan krisis keuangan di November 2008. Dalam jangka waktu lima tahun, balance sheet The Fed telah bertambah sebesar USD 1.925,96 miliar, yakni dari USD 2.106,62 miliar per November 2008 menjadi USD 4.032,58 miliar per Desember 2013.

(24)

23

Sumber: Bloomberg

Gambar 12. Perkembangan Indikator Perekonomian Amerika Serikat

Berkat stimulus moneter yang masif tersebut, perekonomian AS membaik secara signifikan., Dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi AS sudah pulih ke kisaran 2% sejak 2010 dan semakin stabil di akhir 2014 dan awal 2015 (lihat Gambar 12). Tingkat pengangguran terus menurun dari 9,93% (puncak krisis di tahun 2009) menjadi 5,57% (awal tahun 2015). Data Non-Farm Payroll (NFP) dan jobless claims juga menunjukkan perbaikan (lihat Gambar 12).

Biro Statistik Ketenagakerjaan AS melaporkan NFP berada pada tren yang meningkat. Dalam satu tahun terakhir, NFP meningkat dari 236 ribu pada Mei 2014 menjadi 280 ribu pada Mei 2015. NFP merupakan jumlah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja AS, diluar pegawai pemerintah, pegawai dalam setiap rumah tangga, pegawai yang bekerja pada organisasi LSM atau nirlaba, dan pekerja/buruh tani. Data NFP digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan perekonomian AS, apakah dunia usaha di AS sedang menambah atau mengurangi jumlah lapangan kerja. Dengan meningkatnya data NFP, maka menunjukkan target penciptaan lapangan kerja di AS sudah tercapai.

Jobless claims, yang mengukur jumlah tenaga kerja yang sedang menganggur atau mencari pekerjaan serta mengajukan kompensasi untuk memperoleh tunjangan dari pemerintah, menunjukkan penurunan. Pada akhir Mei 2015, jobless claims turun ke level 277 ribu, dari 314 ribu pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Jumlah klaim yang rendah mensinyalkan perekonomian yang sedang menguat (lihat Gambar 13).

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 Q 1-2 00 2 Q1-2 003 Q1-2 004 Q1-2 005 Q1-2 006 Q1-2 007 Q1-2 008 Q1-2 009 Q1-2 010 Q1-2 011 Q1-2 012 Q1-2 013 Q1-2 014 Q1-2 015 PDB AS y/y (LHS) Tingkat Pengangguran AS (RHS) 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 Jan-0 2 No v-0 2 Sep-03 Jul-0 4 Ma y-05 Ma r-0 6 Jan-0 7 No v-0 7 Sep-08 Jul-0 9 May-10 Ma r-1 1 Jan-1 2 No v-1 2 Sep-13 Jul -1 4 May-15

Suku Bunga The Fed (LHS) Neraca The Fed (RHS)

(25)

24

Sumber: Bloomberg

Gambar 13. Perkembangan Kinerja Sektor Tenaga Kerja Amerika Serikat

Pada Januari 2014, The Fed mulai mengurangi stimulus secara bertahap, atau yang dikenal dengan istilah QE tapering dari yang semula sebesar USD 85 miliar per bulan menjadi USD 75 miliar per bulan. Penurunan stimulus bulanan terus berlanjut hingga menjadi nol di Oktober 2014. The Fed melakukan QE tapering mengingat likuiditas yang berlebihan di pasar jika dibiarkan terlalu lama, maka dapat berpotensi menimbulkan bubble yang merupakan pemicu krisis. Seiring QE tapering tersebut, indeks dolar AS yang mengukur kinerja dolar AS terhadap mata uang global, mulai mengalami peningkatan. Indeks dolar AS terus menguat sejak Juni 2014 sebesar 100,18 hingga mencapai 113,47 pada Maret 2015, level tertinggi sepanjang sejarah. Sejalan dengan pergerakan indeks dolar AS, QE tapering juga mendorong peningkatan yield US Treasury (harga obligasi turun). Obligasi yang dibeli The Fed mulai dijual ke pasar dan disaat yang bersamaan investor juga melepas posisi mereka pada US Treasury, hal ini menyebabkan pasar obligasi AS terkoreksi dengan yield yang meningkat (lihat Gambar 14).

Sumber: Bloomberg

Gambar 14. Perkembangan Indeks Dolar AS dan Yield US Treasury 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 -200.00 -100.00 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 Jan -10 May -10 Sep-10 Jan -11 May -11 Sep -11 Jan -12 May -12 Sep-12 Jan -13 May-1 3 Sep-13 Jan -14 May -14 Sep-14 Jan -15 May -15

Non-Farm Payroll (LHS) Jobless Claims (RHS)

70.00 80.00 90.00 100.00 110.00 120.00 Jan -10 May -10 Sep-10 Jan -11 May -11 Sep-11 Jan -12 May -12 Sep-12 Jan -13 May -13 Sep-13 Jan -14 May -14 Sep-14 Jan -15 May -15

Trade Weighted USD Index EM Currency Index Major Currency Index

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 Jan -10 May-10 Sep -10 Jan -11 May-1 1 Sep-11 Jan -12 May-12 Sep -12 Jan -13 May-1 3 Sep-13 Jan -14 May-14 Sep -14 Jan -15 May-1 5 Yield UST 1thn (LHS) Yield UST 5thn (RHS) Yield UST 10thn (RHS)

(26)

25

Dengan membaiknya perekonomian AS tersebut, The Fed berpikir untuk merenormalisasi kebijakan moneter. Meskipun suku bunga masih dipertahankan di level mendekati 0% namun respon pasar terhadap perubahan sikap kebijakan moneter AS sangat positif. Pelaku pasar buy dolar AS. Penguatan dolar AS yang terjadi memberikan dampak negatif terhadap kinerja ekonomi AS. Data industrial production (IP) AS, yang mengukur output sektor industri termasuk sektor manufaktur, pertambangan, elekstrik, dan gas, menunjukkan tren yang menurun. IP menurun secara signifikan dari 3,9% pada April 2014 menjadi 1,93% pada April 2015 (lihat Gambar 15). Penurunan IP mencerminkan tekanan terhadap inflasi di AS cenderung berkurang. Sementara itu, penguatan dolar AS juga berdampak pada kinerja ekspor yang dalam empat bulan terakhir mengalami pertumbuhan yang negatif. Pada April 2015, pertumbuhan ekspor menurun sebesar 2,62% y/y yakni dari USD 195,02 miliar (April 2014) menjadi USD 189,91 miliar.

Sumber: Bloomberg

Gambar 15. Perkembangan Kinerja Bisnis dan Ekspor Amerika Serikat

Melihat feedback negatif tersebut, The Fed menjadi gamang dalam memberikan kepastian mengenai kapan waktu yang tepat untuk mulai menaikkan suku bunga. FOMC The Fed bulan Juni 2015 masih bernada dovish. Para pejabat The Fed menilai masih perlu melihat data serta prospek ekonomi AS yang kuat untuk dijadikan alasan kenaikan suku bunga. Suku bunga masih dipertahankan di level 0,25%. Disamping itu, para pejabat The Fed juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 diproyeksikan sebesar 1,8%-2%, lebih rendah dari proyeksi bulan Maret 2015 yang sebesar 2,3%-2,7%.

Terdapat diskrepansi yang besar antara ekspektasi pasar (yang diproksi oleh Eurodollar Futures) dengan arah kebijakan The Fed. Gap antara ekspektasi pasar dengan arah kebijakan The Fed semakin melebar, yang berarti bahwa komunikasi The Fed dapat dikatakan tidak efektif. Secara median, Dewan FOMC memprediksi suku bunga akan naik ke level 0,63% di tahun 2015. Di tahun 2016 dan 2017, Dewan FOMC memprediksi kenaikan suku bunga masing-masing di level 1,63% dan 2,88% sementara pasar memperkirakan suku bunga hanya akan naik ke level sekitar 1,5% dan 2,2%.

-5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 Jan -10

Aug-10 Mar-11 Oct-11 May

-12

Dec-12 Jul-13 Feb

-14

Sep-14 Apr-15

(27)

26

Divergensi arah kebijakan The Fed dengan ekspektasi pasar kami nilai perlu menjadi perhatian karena dapat berpotensi terjadinya fluktuasi (lihat Gambar 16). Jika The Fed dengan konsisten melakukan kebijakan renormalisasi disaat pasar masih menanggapinya dengan santai, maka hal ini dikhawatirkan dapat memicu kepanikan.

Disisi lain, divergensi kebijakan moneter yang mungkin diadopsi oleh The Fed ditengah sejumlah bank sentral lain melakukan pelonggaran moneter dapat memicu currency war dan menjadi feedback negatif karena berisiko mengancam kinerja mata uang dolar AS yang sejak tahun 2014 telah menguat terhadap hampir seluruh mata uang negara maju dan negara berkembang. Jika kita lihat pada Mei 2015, enam dari 10 negara yang kami pantau telah menurunkan suku bunga acuannya dengan penurunan tertinggi dilakukan oleh Rusia. Penguatan dolar AS yang terlalu tajam, akan berpotensi melemahkan ekspor AS dan meningkatkan impor yang pada akhirnya akan berisiko pada pertumbuhan ekonomi AS sendiri yang sedang berada dalam fase recovery.

Sumber: Bloomberg

Gambar 16. Divergensi Arah Kebijakan Moneter The Fed dengan Pasar dan Bank Sentral Lain

Penguatan mata uang dolar AS diprediksi masih akan berlanjut di tahun 2015. Berdasarkan konsensus Bloomberg, dolar AS cenderung akan menguat terhadap mayoritas mata uang negara maju dan negara berkembang (lihat Tabel 4). Mata uang G3 (Euro, Yen, Sterling) diperkirakan masih akan melemah dikarenakan QE yang diluncurkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) senilai 60 miliar euro per bulan, Bank Sentral Jepang (BoJ) senilai 80 triliun yen per tahun, dan Bank Sentral Inggris (BoE) senilai 375 miliar euro. Pelemahan mata uang G3 kami perkirakan akan mengalami bottoming out di tahun 2016 karena QE tapering yang diprediksi akan dilakukan oleh bank sentral ketiga negara tersebut. Seperti diketahui, QE ECB dijadwalkan akan berakhir pada September 2016.

Mata uang negara berkembang kami perkirakan masih akan bergerak mixed bergantung pada kondisi domestik: ketergantungan dari pendanaan luar serta kinerja ekonomi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mata uang suatu negara adalah kinerja transaksi berjalan. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh negara-negara berkembang utama di dunia adalah defisit transaksi berjalan. Transaksi berjalan yang defisit menunjukkan pendapatan yang diterima suatu negara dari kegiatan ekspor lebih kecil dibandingkan pengeluaran yang harus dibayarkan dalam bentuk impor. Dengan kata lain, kebutuhan akan dolar AS akan meningkat, sehingga hal ini akan berakibat pada pelemahan mata

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 2015 2016 2017 Longer Run Eurodollar Futures Median Fed rate as of 9/2014 Median Fed rate as of 12/2014 Median Fed rate as of 3/2015 Median Fed rate as of 6/2015

Negara 2012 2013 2014 Mei 2015

Brazil -375 +275 +175 +150

Tiongkok -56 tetap -40 -50

India -50 -25 +25 -50

Indonesia -25 +175 +25 -25

Malaysia tetap tetap +25 tetap

Filipina -100 tetap +50 tetap

Rusia +25 tetap +1,150 -450

Afrika Selatan -50 tetap +75 tetap

Thailand -50 -50 -25 -50

(28)

27

uang di negara tersebut. Indonesia dalam tiga tahun terakhir tercatat selalu mengalami defisit transaksi berjalan dimana pada kuartal I-2015 defisit transaksi berjalan Indonesia mengalami penurunan ke level 1,8% terhadap PDB. Namun demikian, penurunan ini lebih dikarenakan adanya perbaikan pada neraca perdagangan migas seiring dengan rendahnya harga minyak dunia serta turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan impor barang modal.

Sumber: Bloomberg, IMF, dan Bank Indonesia Tabel 4. Prospek Kinerja Mata Uang Utama

Rupiah terlihat mengalami tekanan besar jika dilihat terhadap dolar AS. Sepanjang Mei 2015, rupiah terdepresiasi sebesar 2,01% m/m ke level 13.224 per dolar AS. Namun jika kita bandingkan dengan posisi mata uang lain, rupiah bukan yang mengalami depresiasi terbesar. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Nominal Efektif (NEER) yang relatif stabil (hanya melemah 3,74%). Setelah memasukkan faktor inflasi, nilai tukar rupiah bahkan sebenarnya terapresiasi secara riil (lihat Gambar 17). Menurut data dari Bank for International Settlements (BIS), REER Indonesia terus menunjukkan tren yang menguat ke level 89,97 (April 2015), dari posisi terendahnya di Desember 2013 yang sebesar 82,85.

FY2014

2015 ytd 2015 m/m

2015F

Amerika Serikat

-

-

-

-

1.82

-2.40

Zona Euro

(11.97)

(9.19)

(2.12)

(13.21)

0.29

2.10

Jepang

(13.74)

(3.65)

(4.00)

(4.36)

(0.41)

0.50

Inggris

(5.92)

(1.84)

(0.39)

(3.70)

1.41

-5.50

Brazil

(12.51)

(19.61)

(5.45)

(24.17)

4.02

-4.58

Rusia

(84.78)

13.82

(1.46)

8.21

n/a

3.44

India

(2.01)

(1.24)

(0.63)

(1.98)

n/a

-1.35

Tiongkok

(2.50)

0.13

0.09

0.25

2.10

2.80

Thailand

(0.63)

(2.40)

(2.07)

(3.31)

2.58

3.92

Indonesia

(1.78)

(6.75)

(2.01)

(8.98)

1.67

-1.80

Turki

(8.70)

(14.04)

0.36

(16.49)

n/a

-5.85

Malaysia

(6.76)

(4.87)

(2.92)

(6.08)

1.72

3.52

Filipina

(0.73)

0.30

0.01

(1.52)

6.44

4.44

*)

Yield obligasi pemerintah 10thn-Tingkat inflasi 2015F

% Change

Real Rate

*)

CA Deficit

(% PDB)

Negara

(29)

28

Sumber: Bloomberg dan BIS

Gambar 17. Implikasi kepada Nilai Tukar Rupiah

Permasalahan struktural yang menyebabkan rupiah rentan mengalami volatilitas adalah karena tipisnya pasar valas serta sektor keuangan yang belum terdiversifikasi secara optimal. Dalam kondisi seperti ini, perubahan yang terjadi pada permintaan dan penawaran di pasar valas, akan menyebabkan gejolak pada nilai tukar. Arus modal yang masuk (capital inflow) memang dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penguatan rupiah. Namun disisi lain, capital inflow tersebut sekaligus dapat menjadi penyebab tingginya volatilitas nilai tukar, terutama yang disebabkan oleh perubahan sentimen.

Struktur pasar valas di Indonesia relatif masih belum berkembang dan dangkal (lihat Tabel 5). Selain itu volume pasar valas di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yakni hanya mencapai USD 5,81 miliar per hari. Rendahnya transaksi valas ini menunjukkan supply valas yang relatif sedikit sehingga berpengaruh terhadap naik turunnya rupiah terhadap mata uang lain. Dari jumlah transaksi tersebut, volume transaksi valas di pasar spot masih mendominasi yakni sebesar 57,59%. Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan transaksi spot negara lain. Sebagai contoh, Rusia dan Tiongkok dengan transaksi harian valas paling besar memiliki volume transaksi spot yang relatif lebih kecil. Hal ini menunjukkan kedua negara tersebut sudah dapat mendiversifikasi terhadap kebutuhan valasnya.

Disisi lain, transaksi valas Indonesia di pasar forward dan cross currency swap sangatlah kecil yakni sebesar 3,57% dan 0,97%. Tingginya transaksi valas di pasar spot ini mencerminkan banyaknya pengusaha yang memasuki valas pada saat membutuhkan dolar AS, berbeda jika mereka bertransaksi melalui pasar forward atau swap dimana kebutuhan akan valas dapat diantisipasi. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat tingginya dominasi transaksi spot dapat memberikan tekanan pada pasar valas domestik.

8,250 8,750 9,250 9,750 10,250 10,750 11,250 11,750 12,250 12,750 13,250 65.00 75.00 85.00 95.00 105.00 115.00 Ja n -10 Aug-10 Mar -11

Oct-11 May-12 Dec-12 Jul-13 Feb-14 Sep-14 Ap

r-15

REER NEER USD/IDR

65.00 85.00 105.00 125.00 145.00 Jan -10

Aug-10 Mar-11 Oct-11 May

-12

Dec-12 Jul-13 Feb-14 Sep-14 Apr-15

Brazil Rusia India

Tiongkok Thailand Indonesia

Gambar

Gambar 2. Penjualan Otomotif dan Posisi Kewajiban kepada Pemerintah Pusat
Gambar 3. Perkembangan dan Prospek Inflasi serta Kebijakan Moneter
Gambar 4. Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar Rupiah
Gambar 5. NPL, Kredit, dan DPK Perbankan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang sama juga terjadi pada bulan Februari 2015 dimana neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus yang relatif stabil jika dibandingkan dengan bulan

Sementara pada neraca nonmigas masih mencatat surplus, meski lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan lalu.. Dengan perkembangan ini, rasio surplus transaksi berjalan

negeri untuk mencegah perubahan besar dari nilai tukar mata uang dalam jangka.. Suatu negara yang mengalami surplus neraca pembayaran tidak. menginginkan nilai tukar mata uang

per tahun yang disebabkan oleh peningkatan nilai ekspor lebih kecil jika dibandingkan peningkatan nilai impor. Surplus neraca nilai perdagangan kelapa pada tahun 2020 mencapai

neraca perdagangan non-migas pada Oktober 2014 mengalami surplus sebesar 1,13 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar 1,11 miliar

Mengingat tekanan inflasi yang sangat rendah serta serta adanya kebutuhan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi domestik saat ini, kami melihat potensi penurunan lanjutan pada

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan Oktober 2017 surplus sebesar US$ 895 juta, lebih rendah dibandingkan surplus pada bulan sebelumnya

Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya disebabkan oleh realisasi belanja barang yang melambat.. Konsumsi pemerintah