• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II. Telaah Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II. Telaah Pustaka"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II. Telaah Pustaka

2.1 Manajemen Kelas

2.1.1. Definisi Manajemen Kelas

Manajemen kelas adalah semua aktivitas guru di kelas yang dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar. Selain itu, terdapat beberapa definisi tentang manajemen kelas berdasarkan konsepsi lama dan modern. Menurut konsepsi lama, manajemen kelas diartikan sebagai upaya mempertahankan ketertiban kelas. Guru menurut konsepsi lama memiliki tugas menciptakan, memperbaiki, serta memelihara sistem/organisasi kelas sehingga individu dapat memanfaatkan kemampuannya, bakatnya, dan energinya pada tugas-tugas individual (Jhonson dan Bany, 1970). Menurut konsepsi modern manajemen kelas adalah proses seleksi menggunakan alat yang tepat terhadap problem dan situasi dalam manajemen kelas. Arikunto (2006) mendefinisikan manajemen kelas adalah suatu usaha yang dilakukan penanggung jawab kegiatan belajar mengajar dengan tujuan agar tercapai kondisi yang optimal, sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar seperti yang diharapkan. Mulyasa (2006) mendefinisikan manajemen kelas merupakan

(2)

keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran kondusif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran.

Wilford A. Weber dalam James M. Cooper (1995) mengemukakan bahwa,

Classroom management is a complex set of behaviors the teacher uses to establish and maintain classroom conditions that will enable students to achieve their instructional objectives efficiently – that will enable them to learn.

Definisi di atas menunjukkan bahwa pengelolaan kelas merupakan seperangkat perilaku yang kompleks dimana guru menggunakan untuk menata dan memelihara kondisi kelas yang akan memampukan para siswa tujuan pembelajaran secara efisien.

Manajemen kelas adalah semua usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian manajemen kelas merupakan usaha sadar, untuk mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara sistematis. Usaha sadar itu mengarah pada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga, pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi/kondisi

(3)

proses belajar mengajar dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen, 1996).

Rukmana & Suryana (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa secara garis besar kegiatan guru dalam manajemen kelas ada dua yaitu kegiatan pengaturan kondisi non-fisik meliputi pengaturan kondisi emosional siswa yaitu tingkah laku, kedisiplinan, minat/perhatian, gairah belajar, dinamika kelompok dan pengaturan kondisi sosio-emosional yang melekat pada guru antara lain tipe kepemimpinan, sikap, suara, pembinaan hubungan. Kedua, pengaturan fasilitas belajar mengajar/kondisi fisik meliputi ventilasi, pencahayaan, kenyamanan, letak duduk, penempatan siswa. Selain itu, pengaturan oragnisasional

Tingkah laku yang diharapkan adalah tingkah laku yang baik, tidak membuat masalah, mengikuti proses belajar mengajar dengan baik, serta disiplin dalam segala hal.

Ketertiban menunjuk pada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar. Disiplin menunjuk pada kepatuhan seseorang

(4)

dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada dalam diri. Disiplin kelas adalah keadaan tertib dalam suatu kelas yang di dalamnya tergabung guru dan siswa taat kepada tata tertib yang telah ditetapkan (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen, 1996)

Guru juga harus mengetahui minat siswa sehingga dapat memaksimalkan potensi mereka. Hal tersebut juga berkaitan dengan perhatian yang mereka berikan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Gairah belajar siswa tidak selalu tinggi, adakalanya menurun disinilah prinsip variasi seorang guru diharapkan bisa menjaga gairah belajar dalam kelas. Santoso (2004), mengartikan dinamika kelompok sebagai suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain; antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama.

Kondisi sosio-emosional yang melekat pada guru meliputi tipe kepemimpinan yang akan mewarnai suasana emosional dalam kelas. Tipe kepemimpinan otoriter, laisez faire, atau demokratis, yang dipilih guru akan memberi dampak pada siswa dalam kelas. Sikap guru saat mengangani siswa trouble maker maupun

(5)

menghadapi masalah lainnya serta suara dan intonasi yang digunakan juga mempengaruhi keberhasilan manajemen kelas. Pembinaan hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa sangat mempengaruhi suasana dalam kelas. Jika hubungan baik tercipta akan memberi dampak pada kelas yang gembira, bergairah, optimis dalam belajar.

Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell (Winataputra, 2003) yaitu visibility ( keleluasaan pandangan). Visibility artinya penempatan dan penataan barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Kedua, accesibility (mudah dicapai). Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.

Ketiga, flexibility (keluwesan) yang dimaksud adalah barang-barang di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan

(6)

dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok. Keempat, kenyamanan berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas. Kelima, keindahan berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas menyenangkan dapat berpengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.

Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas. Pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil pembelajaran yang dicapai. Pengaturan posisi tempat duduk siswa sangat berpengaruh bagi para siswa, interaksi antar mereka, dan interaksi dengan guru. Dalam mengatur tempat duduk yang penting adalah memungkinkan terjadinya tatap muka, dimana dengan demikian guru sekaligus dapat mengontrol tingkah laku peserta didik. Pengaturan tempat duduk akan mempengaruhi kelancaran pengaturan proses belajar mengajar.

Aspek lain adalah ventilasi harus cukup menjamin kesehatan peserta didik. Jendela harus cukup besar sehingga memungkinkan panas cahaya matahari masuk, udara sehat dengan ventilasi yang baik, sehingga semua peserta didik dalam kelas dapat menghirup udara segar yang cukup mengandung

(7)

oksigen, peserta didik harus dapat melihat tulisan denganjelas, tulisan dipapan, pada bulletin board, buku bacaan dsb. Kapur yang digunakan sebaiknya kapur yang bebas dari abu dan selalu bersih. Cahaya harus datang dari sebelah kiri, cukup terang akan tetapi tidak menyilaukan.

Dalam pengaturan barang-barang hendaknya disimpan pada tempat khusus yang mudah dicapai kalau segera diperlukan dan akan dipergunakan bagi kepentingan kegiatan belajar. Barang-barang yang karena nilai praktisnya tinggi dan dapat disimpan diruang kelas seperti buku pelajaran, pedoman kurikulum, kartu pribadi, dan sebagainya hendaknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu gerak kegiatan peserta didik. Cara pengambilan barang dari tempat khusus, penyampaian dan sebagainya diatur sedemikian rupa sehingga barang-barang tersebut segera dapat dipergunakan.

Masalah pemeliharaan barang-barang tersebut sangat penting, dan secara periodik harus dicek. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengamanan barang-barang tersebut dari pencurian, pengamanan terhadap barang yang mudah meledak atau terbakar. Alat pengamatan harus selalu tersedia seperti alat pemadam kebakaran, P3K, dan sebagainya. Salah satu faktor utama untuk memastikan pelajaran berjalan lancar dengan menetapkan aturan prosedur yang jelas.

(8)

Aturan adalah pernyataan, biasanya tertulis, yang menyebutkan boleh dan tidak dilakukan oleh murid. Sedangkan prosedur bersifat lebih informal, yaitu menyebutkan bagaimana berbagai hal yang akan dilakukan dikelas tertentu.

2.1.2 Tujuan Manajemen Kelas

Manajemen kelas bertujuan untuk menciptakan kelas yang nyaman sebagai tempat terjadinya proses belajar mengajar. Dengan demikian, kegiatan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan terarah sehingga tujuan belajar yang hendak dicapai dapat terwujud.

Sudirman (2000) menyatakan bahwa tujuan manajemen kelas adalah penyediaan fasilitas bagi macam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja, terciptanya suasana sosial yang memberikan kepuasan, suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional, dan sikap serta apresiasi pada siswa.

Arikunto (2004) berpendapat bahwa tujuan manajemen kelas adalah agar setiap anak di kelas dapat bekerja dengan tertib sehingga segera tercapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien,

(9)

mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin.

Selain itu, manajemen kelas bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran serta menyediakan dan mengatur fasilitas, perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional dan intelektual siswa dalam kelas. Membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen,1996).

Rusydie (2011) menyatakan bahwa jika kegiatan manajemen kelas dilaksanakan dengan baik maka tujuan dari manajemen kelas dapat tercapai. Ada dua kemungkinan yang akan dialami siswa sebagai indikator keberhasilan manajemen kelas yaitu siswa mampu terus belajar dan bekerja serta tidak mudah menyerah dan pasif saat mereka tidak tahu atau kurang memahami tugas yang harus dikerjakannya. Selain itu, siswa masih menunjukkan semangat dan gairahnya untuk terus mencoba belajar walaupun mereka menghadapi hambatan dan masalah yang sangat sulit.

(10)

Lebih lanjut, Rusydie menyatakan bahwa tujuan dari manajemen kelas adalah memudahkan kegiatan belajar siswa, mengatasi hambatan yang menghalangi terwujudnya interaksi dalam proses belajar mengajar, mengatur berbagai penggunaan fasilitas belajar, membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan latar belakangnya, membantu perserta didik dan bekerja sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki, menciptakan suasana sosial yang baik dalam kelas, serta membantu siswa agar dapat belajar dengan tertib.

2.1.3 Prinsip-prinsip Manajemen Kelas

Secara umum faktor yang mempengaruhi manajemen kelas dibagi menjadi dua golongan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern siswa (Djamarah, 2006). Faktor intern siswa berhubungan dengan masalah emosi, pikiran, dan perilaku. Kepribadian siswa dengan ciri-ciri khasnya masing-masing menyebabkan siswa berbeda dari siswa lainnya secara individual.

Perbedaan secara individual ini dilihat dari segi aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan psikologis. Faktor ekstern siswa terkait dengan masalah suasana lingkungan belajar, penempatan siswa, pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya. Masalah jumlah siswa di kelas akan mewarnai

(11)

dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa di kelas, misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung lebih mudah terjadi konflik. Sebaliknya semakin sedikit jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil terjadi konflik.

Djamarah (2006) lebih lanjut menyebutkan bahwa untuk meminimalisir masalah gangguan dalam pengelolaan kelas diperlukan prinsip-prinsip dalam pengelolaan kelas ,yaitu hangat dan antusias yang diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab pada anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya atau pada aktivitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan kelas. Prinsip kedua adalah tantangan, penggunaan kata-kata, tindakan, cara kerja, atau bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang.

Kemudian, penggunaan alat atau media, gaya mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi munculnya gangguan, meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan. Serta adanya keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan

(12)

munculnya gangguan siswa serta menciptakan iklim belajar mengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran dapat mencegah munculnya gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.

Selain itu Djamarah (2006), juga menyatakan pada dasarnya dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang negatif. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu penekanan yang dilakukan guru terhadap tingkah laku siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif dan kesadaran guru untuk menghindari kesalahan yang dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.

Tujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak didik dapat mengembangkan dislipin diri sendiri dan guru sendiri hendaknya menjadi teladan mengendalikan diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, guru harus disiplin dalam segala hal bila ingin anak didiknya ikut berdisiplin dalam segala hal.

2.1.4 Pendekatan dalam Manajemen Kelas

Menurut Cooper (1995) mengemukakan tiga pendekatan dalam pengelolaan kelas, yaitu Behaviour –

(13)

Modification Approach (Behavisiorism Approach) Asumsi

yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasi perilaku dalam mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku positif) dan negative reinforcement (untuk mengurangi perilaku negatif). Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif sebaiknya dilakukan secara hati-hati karena jika tidak tepat maka malah hanya akan menimbulkan masalah baru.

Pendekatan kedua adalah Socio – emotional

Climate Approach (Humanistic Approach) Asumsi yang

mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik – guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru yang menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik. Kemudian ketiga adalah

Group Process Approach asumsi yang mendasari

penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman belajar berlangsung dalam konteks kelompok sosial dan tugas guru adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesif.

Schmuck dan Schmuck dalam Entang dan Joni (1985) mengemukakan prinsip-prinsip dalam

(14)

penerapan pendekatan group proses, yaitu mutual

expectations, leadership, attractrion, norm,

communication, cohesiveness.

2.2 Masalah Manajemen Kelas

Masalah manajemen kelas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu masalah individual dan masalah kelompok (Entang dan Joni, 1983). Masalah individu digolongkan berdasar atas anggapan dasar bahwa tingkah laku manusia itu mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Setiap individu memiliki kebutuhan dasar untuk memiliki dan untuk merasa dirinya berguna. Jika seorang individu gagal mengembangkan rasa memiliki dan rasa dirinya berharga maka dia akan bertingkah laku menyimpang.

Ada empat jenis penyimpangan tingkah laku, yaitu tingkah laku menarik perhatian orang lain, mencari kekuasaan, menuntut balas dan memperlihatkan ketidakmampuan. Keempat tingkah laku ini diurutkan makin lama makin berat. Misalnya, seorang anak yang gagal menarik perhatian orang lain boleh jadi menjadi anak yang mengejar kekuasaan.

Pertama, attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian). Seorang siswa yang gagal menemukan kedudukan dirinya secara wajar dalam suasana hubungan sosial yang saling menerima biasanya (secara aktif ataupun pasif) bertingkah laku mencari perhatian orang lain. Tingkah laku destruktif

(15)

pencari perhatian yang aktif dapat dijumpai pada anak-anak yang suka pamer, melawak (memperolok), membuat onar, memperlihatkan kenakalan, terus menerus bertanya; singkatnya, tukang rewel. Tingkah laku destruktif pencari perhatian yang pasif dapat dijumpai pada anak-anak yang malas atau anak-anak yang terus meminta bantuan orang lain.

Kedua, power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan/kekuasaan). Tingkah laku mencari kekuasaan sama dengan perhatian yang destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari kekuasaan yang aktif suka mendekat, berbohong, menampilkan adanya pertentangan pendapat, tidak mau melakukan yang diperintahkan orang lain dan menunjukkan sikap tidak patuh secara terbuka. Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada anak-anak yang amat menonjolkan kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa sama sekali. Anak-anak ini amat pelupa, keras kepala, dan secara pasif memperlihatkan ketidakpatuhan.

Ketiga adalah revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam). Siswa yang menuntut balas mengalami frustasi yang amat dalam dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari sukses dengan jalan menyakiti orang lain. Keganasan, penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit, menendang) terhadap sesama siswa, petugas atau

(16)

pengusaha, ataupun terhadap binatang sering dilakukan anak-anak ini. Anak-anak seperti ini akan merasa sakit kalau dikalahkan, dan mereka bukan pemain-pemain yang baik (misalnya dalam pertandingan). Anak-anak yang suka menuntut balas ini biasanya lebih suka bertindak secara aktif daripada pasif. Anak-anak penuntut balas yang aktif sering dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam, sedang yang pasif dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh (suka menetang).

Terakhir adalah helplessness (peragaan

ketidakmampuan). Siswa yang memperlihatkan ketidakmampuan pada dasarnya merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu yang dikehendakinya (yaitu rasa memiliki) yang bersikap menyerah terhadap tantangan yang menghadangnya; bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada dihadapannya hanyalah kegagalan yang terus menerus. Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi ini biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan diri. Sikap yang memperlihatkan ketidakmampuan ini selalu berbentuk pasif.

Masalah-masalah yang sama juga dinyatakan oleh Tilestone (2013) bahwa ada empat kategori perilaku negative dan karakteristik yang menyertainya. Pertama, siswa yang meminta perhatian dengan

(17)

karakterisitik siswa yang sering terlambat masuk kelas, berbicara tanpa ijin, membuat kebisingan, berbicara sebelum mendapat giliran, berjalan-jalan dalam kelas, sengaja melanggar peraturan, memaki dan menyerang secara verbal, menentang otoritas kelas atau sekolah. Kedua, siswa yang mencari kekuasaan atau pengaruh yaitu sering menunjukkan kecemasan, sering mengeluh lelah atau pusing, mencoba memanfaatkan rasa bersalah orang lain untuk mendapatkan kontrol, sering protes dan mengganggu, mencoba mengontrol guru dan teman-teman di kelas, dan bersikap otoriter.

Perilaku negatif ketiga, siswa yang ingin membalas dendam yaitu siswa cenderung kritis terhadap kelas, siswa lain, atau guru. Karakteristik siswa tersebut antara lain argumentative, sering mengajukan pertanyaan “mengapa?”, dingin dan menarik diri, sering melamun, sombong dan angkuh, mengerjakan tugas sesuka hati, tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan, kritis terhadap peraturan yang ada. Keempat, siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan yaitu sering mengabaikan guru, tidak berpartisipasi dalam aktivitas kelas, mengancam tidak mau mengerjakan tugas-tugas, cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu peristiwa, masuk kelas tanpa persiapan atau tidak mengerjakan tugas sesuai dengan tingkat kemampuannya, serta emosinya

(18)

tidak stabil, menyalahkan orang lain atas kegagalannya sendiri.

Keempat masalah individual tersebut akan tampak dalam berbagai bentuk tindakan atau perilaku menyimpang, yang tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain atau kelompok. Ada empat teknik sederhana untuk mengenali adanya masalah-masalah individu seperti diuraikan diatas pada diri para siswa. Jika guru merasa terganggu (atau bosan) dengan tingkah laku seorang siswa, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah mencari perhatian. Jika guru merasa terancam (atau merasa dikalahkan), hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah mencari kekuasaan. Jika guru merasa amat disakiti, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah menuntut balas. Jika guru merasa tidak mampu menolong lagi, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah ketidakmampuan.

Guru hendaknya benar-benar mampu mengenali dan memahami secara tepat arah tingkah laku siswa-siswa yang dimaksud (apakah tingkah laku siswa-siswa itu mengarah ke mencari perhatian, mencari kekuasaan, menuntut balas, atau memperlihatkan

(19)

ketidakcampuran) agar guru itu mampu menangani masalah siswa secara tepat pula.

Ada tujuh masalah kelompok menurut Johnson dan Bany dalam Entang dan Joni (1983) yang pertama kurangnya kekompakan kelompok yang ditandai dengan adanya kekurang-cocokkan (konflik) diantara para anggota kelompok. Konflik antara siswa-siswa dari kelompok yang berjenis kelamin atau bersuku berbeda termasuk kedalam kategori kekurang-kompakan ini.

Dapat dibayangkan bahwa kelas yang siswa-siswa tidak kompak akan beriklim tidak sehat yang diwarnai oleh adanya konflik, ketegangan dan kekerasan. Siswa-siswa di kelas seperti ini akan merasa tidak senang dengan kelompok kelasnya sehingga mereka tidak merasa tertarik dengan kelas yang mereka duduki itu. Para siswa tidak saling bantu membantu.

Kemudian, kekurangmampuan mengikuti peraturan kelompok. Jika suasana kelas menunjukkan bahwa siswa-siswa tidak mematuhi aturan-aturan kelas yang telah ditetapkan, maka masalah yang kedua muncul, yaitu kekurang-mampuan mengikuti peraturan kelompok. Contoh-contoh masalah ini ialah berisik; bertingkah laku mengganggu padahal pada waktu itu semua siswa diminta tenang; berbicara keras-keras atau mengganggu kawan padahal waktu itu semua siswa diminta tenang bekerja di tempat

(20)

duduknya masing-masing; dorong-mendorong atau menyela waktu antri di kafetaria dan lain-lain. Masalah selanjutnya, adanya reaksi negatif terhadap sesama anggota kelompok.

Reaksi negatif terhadap anggota kelompok terjadi apabila ekspresi yang bersifat kasar yang dilontarkan terhadap anggota kelompok yang tidak diterima oleh kelompok itu, anggota kelompok yang menyimpang dari aturan kelompok atau anggota kelompok yang menghambat kegiatan kelompok. Anggota kelompok dianggap “menyimpang” ini kemudian “dipaksa” oleh kelompok itu untuk mengikuti kemauan kelompok.

Penerimaan kelas (kelompok) atas tingkah laku yang menyimpang juga merupakan masalah kelompok. Penerimaan kelompok (kelas) atas tingkah laku yang menyimpang terjadi apabila kelompok itu mendorong timbulnya dan mendukung anggota kelompok yang bertingkah laku menyimpang dari norma-norma sosial pada umumnya. Contoh yang amat umum ialah perbuatan memperolok-olokan misalnya membuat gambar-gambar yang “lucu” tentang guru. Jika hal ini terjadi maka masalah kelompok dan masalah perorangan telah berkembang dan masalah kelompok kelihatannya lebih perlu mendapat perhatian.

Kegiatan anggota atau kelompok yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan,

(21)

berhenti melakukan kegiatan atau hanya meniru-niru kegiatan orang (anggota) lainnya saja. Masalah kelompok anak timbul dari kelompok itu mudah terganggu dalam kelancaran kegiatannya. Dalam hal ini kelompok itu mereaksi secara berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak berarti atau bahkan memanfaatkan hal-hal kecil untuk mengganggu kelancaran kegiatan kelompok itu. Contoh yang sering terjadi ialah para siswa menolak untuk melakukan karena mereka beranggapan guru tidak adil. Jika hal ini terjadi, maka suasana diwarnai oleh ketidaktentuan dan kekhawatiran.

Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja, dan tingkah laku agresif atau protes. Masalah kelompok yang paling rumit ialah apabila kelompok itu melakukan protes dan tidak mau melakukan kegiatan, baik hal itu dinyatakan secara terbuka maupun terselubung. Permintaan penjelasan yang terus menerus tentang sesuatu tugas, kehilangan pensil, lupa mengerjakan tugas rumah atau tugas itu tertinggal di rumah, tidak dapat mengerjakan tugas karena gangguan keadaan tertentu, dan lain-lain merupakan contoh-contoh protes atau keengganan bekerja. Pada umumnya protes dan keengganan seperti itu disampaikan secara terselubung dan penyampaian secara terbuka biasanya jarang terjadi.

(22)

Masalah selanjutnya adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Ketidak-mampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi secara tidak wajar terhadap peraturan baru atau perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan jadwal kegiatan, pergantian guru dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi sebenarnya para siswa (anggota kelompok) sedang mereaksi terhadap suatu ketegangan tertentu; mereka menganggap perubahan yang terjadi itu sebagai ancaman terhadap keutuhan kelompok. Contoh yang paling sering terjadi ialah tingkah laku yang tidak menyenangkan pada siswa terhadap guru pengganti, padahal biasanya kelas itu adalah kelas yang baik.

2.3 Diagram Analisis Tulang Ikan

Penelitian ini menggunakan Analisis Tulang Ikan atau Diagram Sebab-Akibat untuk mendapat akar masalah manajemen kelas sekolah dasar. Analisis fishbone merupakan alat analisis untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari suatu masalah dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses. Diagram ”Tulang Ikan” atau Fishbone diagram sering pula disebut Ishikawa diagram sehubungan dengan perangkat diagram sebab akibat

(23)

ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari Jepang.

Gasversz (1997) mengungkapkan bahwa diagram sebab akibat ini merupakan pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang ada. Selanjutnya diungkapkan bahwa diagram ini bisa digunakan dalam situasi: terdapat pertemuan diskusi dengan menggunakan brainstorming untuk mengidentifikasi mengapa suatu masalah terjadi, diperlukan analisis lebih terperinci terhadap suatu masalah, dan terdapat kesulitan untuk memisahkan penyebab dan akibat.

Dalam penelitian ini, menggunakan analisis dalam kegiatan manajemen kelas yaitu kegiatan pengaturan kondisi non-fisik (emosional dan sosio-emosional), pengaturan kondisi fisik, serta pengaturan kondisi organisasional.

Referensi

Dokumen terkait

Ikan teri kering yang menggunakan khitosan sebanyak 2% jumlah koloni yang terbentuk sebanyak 11,5x10 6 koloni/g, sedangkan pada perlakuan khitosan sebanyak 3%

Klien memerlukan pengendalian internal atas kompilasi persediaan untuk memastikan bahwa perhitungan fisik telah diikhtisarkan dengan benar, diberi hargapada jumlah yang sama

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan status gizi anak usia 12-24 bulan di Desa Ketanggung, Sine,

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna antara GDS kelompok usia lanjut dengan insomnia dan GDS kelompok usia lanjut tanpa insomnia. Penelitian eksperimental

Bahan awal penciptaan alam dalam Perjanjian Lama yang terdapat pada Kitab Kejadian 1:1 dan 2, bahwa pada ayat 1 memberitakan hal karya Tuhan Allah pada mulanya atau pada awal

Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilaria dalam darah seringkali tidak subkutan dan

Rencana Induk Bandar Udara sebagai salah satu persyaratan didalam sertifikasi operasi bandar udara, merupakan dasar dari rencana pengembangan bandar udara untuk 20 tahun

Kualitas pembelajaran sangat bergantung kepada seberapa besar kompetensi yang dimiliki oleh dosen dan tendik dalam memberikan layananan pada aktivitas pembelajaran.Salah satu hal