• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Arbitrase Online sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa E Commerce 1 Oleh : Faizin Sulistio 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Yuridis Arbitrase Online sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa E Commerce 1 Oleh : Faizin Sulistio 2"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

   

ABSTRAKSI 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model arbitrase on­line 

di akui keabsahannya dan mempunyai kekuatan yuridis menurut hukum yang berlaku 

di Indonesia.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat 

deskriptif analisis.Sehingga kemudian diperoleh hasil bahwa arbitrase online sah 

dengan  kriteria:1)  perjanjian  arbitrase  online  sah  secara  hukum  karena  telah 

memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang disebutkan secara limitatif dalam 

pasal 1320 KUHPerdata dan UU No 30 tahun 1999 yaitu :a) Informasi elektronik 

dalam  bentuk  data­data  elektronik  yang  dapat  berupa  teks,  gambar,  suara  

ditafsirkan  sebagai  bentuk  tertulis.b)tanda  tangan  digital  dipersamakan  dengan 

tanda tangan konvensional. Sedangkan kekuatan hukum arbitrase online mengikat 

secara hukum dengan menafsirkan secara ektensif bahwa data elektronik dan tanda 

tangan elektronik merupakan sebuah alat bukti tertulis seperti yang disyaratkan oleh 

aturan perundang­undangan.  

Kata Kunci : Alternatif Penyelesaian Sengketa   

PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Menurut  Ashadi  siregar  penggabungan  komputer  dan  teknologi  komunikasi  melahirkan  suatu  fenomena  yang  mengubah  konfigurasi  model  komunikasi  konvensional,dengan  melahirkan  kenyataan  dalam    dimensi  ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris  (hard  reality),  dimensi  kedua  merupakan  kenyataan  dalam  kehidupan  simbolik dan dimensi ketiga merupakan kenyataan maya(virtual)

Perubahan  perilaku  interaksi  bagi  sebagian  orang  yang  menguasai  teknologi  ini  kemudian  menjalar  kebagian‐bagian  lain  dalam  kehidupan  manusia  menjadi  sebuah  nilai‐nilai  baru  yang  diakui  dan  hidup  dalam  masyarakat (living law).  Nilai‐nilai  ini  akan  membentuk  instumen‐instrumen  hukum  baru  terkait  dengan  perbuatan  hukum  yang  dilakukan  seseorang.  Perbuatan  hukum  tersebut  mulai  dari  berkorespondensi  sampai  dengan  hubungan  bisnis  dengan  memanfaatkan  teknologi  ini.  Hal  lain  yang  mendorong  pelaku  bisnis  untuk  memanfaatkan  jasa  internet    sebagai  media  kontak  bisnis,  kontrak  dan  melakukan  transaksi  ialah  murah,  efektif  dan  efesiannya model bisnis  ini dibanding model konvensional. 

Namun  model  bisnis  ini  ternyata  mempunyai  beberapa  permasalahan  hukum  yang  muncul.  Transaksi  yang  dilakukan  tidak  sama  dengan  model  bisnis  konvensional  yang  melibatkan  konfirmasi  tertulis  atau  verbal  dalam  setiap  kesepakatan  yang  dibuat.  Dalam  model  ini  komunikasi  yang terjadi melalui sinyal‐sinyal elektronik. Hal ini berpengaruh pada metode  yang diambil jika terjadi suatu sengketa yang terjadi. Dalam model bisnis yang  melewati  yurisdiksi  Negara  biasanya  alternative  penyelesaian  sengketa  yang 

1

Makalah ini sudah dimuat di Jurnal Maksigama Universitas Wisnuwardhana April 2007

2

(2)

diambil adalah metode arbitrase yang menjembati kepentingan hukum dengan  sistem  hukum  yang  berbeda.  Pemasalahannya  metode  arbitrase  yang  ada  ternyata masih menggunakan model konvensional yang mengharuskan pihak‐ pihak  yang  bersengketa  untuk  bertemu  secara  langsung,  padahal  dalam 

bussines pihak‐pihak yang melakukan hubungan hukum berasal dari berbagai  belahan dunia. 

Disinilah  diperlukan  sebuah  metode  arbitrase  yang  dapat  menjembatani  berbagai  kepentingan  hukum  dengan  sistem  yang  berbeda,  berbiaya  murah,  efesien  dan  efektif.  Salah  satu  terobosannya  dengan  menggunakan model arbitrase on‐line sehingga pihak‐pihak yang bersengketa  dapat menyelesaikan dimana saja dia berada. 

B. Perumusan Masalahan 

Masih  sangat  sedikit  penelitian  di  Indonesia  yang  membahas  aspek  arbitrase  online  secara  komprehensif.  Salah  satu  peneliti  yang  memulainya  Paustinus Siburian yang memberikan gambaran proses beracara secara online  dalam forum arbitrase. 

Penelitian  ini  mencoba  menguraikan  lebih  jauh  mengenai  apakah  model arbitrase on‐line di akui keabsahannya menurut hukum yang berlaku di  Indonesia  dan  mempunyai  kekuatan  secara  yuridis  seperti  arbitrase  konvensional 

C. KAJIAN PUSTAKA 

1. Internet dan e­commerce 

Internet  merupakan  penggabungan  computer  dengan  teknologi  telekomunikasi  yang  membentuk  sekelompok  jaringan  computer  yang  saling  terhubung  (interconnect).  Jaringan  ini  melakukan  komunikasi  satu  sama  lain  dengan  suatu teknologi komunikasi berupa kelompok protocol yang disebut  TCP/IP  (Tranfer  Control  Protokol/Internet  Protokol).  Protocol  merupakan  sekumpulan aturan  dan  spesifikasi  mengenai suatu cara  berkomunikasi.  TCP  berfungsi  membagi  data‐data  digital  menjadi  paket‐paket  kecil  (datagram)  yang  akan  ditransmisikan  dari  suatu  jaringan  ke  jaringan  lain  yang  dikehendaki. Dalam setiap paket ditandai nomor urut dan alamat si penerima.  Selain  itu  TCP  akan  menyertakan  informasi  untuk  mengontrol  jika  terjadi  kesalahan.  IP  kemudian  akan  membawa  paket‐paket  tersebut  dan  memeriksanya  jika  terdapat  kesalahan.  Selanjutnya  TCP  akan  mendekonstruksi  pesan  asli  berdasarkan  nomor  urutnya.  Disini  fungsi  TCP  mengatur  paket‐paket  data  dan  memastikan  kebenarannya  sedang  IP  yang  membawa paket‐paket tersebut. 

Ada  beberapa  metode  berkomunikasi  untuk  melakukan  kontrak  dengan memanfaatkan sistem internet, antara lain : 

1. Komunikasi satu orang dengan satu orang lain misalnya email 

2. Komunikasi satu orang dengan banyak penerima pesan, misalnya 

listserv; 

3. pengiriman data pesan seperti penggunaan USENET newsgroups;  4. Komunikasi real time seperti Internet Relay chat, teleconference;  5. Pencarian  informasi  melalui remote  (seperti Ftp, gopher,  dan 

World Wide Web)3 

2. Konsep kontrak  

3

Paustinus Siburian, Arbitrase online APS perdagangan secara elektronik, Djambatan, Jakarta,2004

(3)

Istilah  kontrak  berasal  dari  bahasa  Inggris  yang  berarti  perjanjian  atau  persetujuan.  Namun  dalam  istilah  hukum  lebih  dikenal  dengan  istilah  perikatan.  Untuk  lebih  jelas  pengertian  istilah‐istilah  tersebut,  maka  akan  dikutip beberapa pendapat para sarjana sebagai berikut : 

Pengertian perikatan menurut Pitlo yang dikutip oleh setiawan4 : 

Perikatan  adalah  suatu  hubungan  hukum  yang  bersifat  harta  kekayaan  antara  dua  atau  lebih,  atas  dasar  mana  pihak  yang  satu  (kreditur)  dan  pihak  yang  lain  berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. 

Hal  yang  diperjanjikan  dalam  sebuah  perjanjian  yang  dilakukan  oleh  para  pihak  dinamakan  prestasi,  yang  dapat  berupa  memberikan 

sesuatu, berbuat sesuatu atau, tidak berbuat sesuatu. 

2.1. Syarat Sahnya perjanjian 

Sebuah  perjanjian  atau  kontrak  dinyatakan  sah  telah  terjadi  jika  memenuhi  syarat  subyektif  dan  obyektif  yang  terdapat  dalam  pasal  1320  KUHPerdata,  yaitu  :1)  sepakat  mereka  yang  mengikatkan  dirinya;  2)cakap  untuk  melakukan  perikatan;  3)mengenai  suatu  hal  tertentu;4)  suatu  sebab  yang halal 

  Untuk  mengetahui  kapan  suatu  kesepakatan  kehendak  terjadi  sehingga  saat  itu  pula  kontrak  dianggap  telah  mulai  berlaku,  ada  beberapa  teori yang dapat digunakan sebagai alat bantu, yaitu5 : 

1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance) 

Menurut  teori  ini,  pada  prinsipnya  suatu  kesepakatan  kehendak  baru  terjadi  setelah  adanya  penawaran  (offer)  dari  salah  satu  pihak  dan  diikuti  dengan  penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.   2. Teori Pengiriman (verzendings theorie) 

Menurut  teori  pengiriman  ini,  suatu  kata  sepakat  terbentuk  pada  sat  dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu  kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan  kekuasaan  atas  surat  yang  di  kirimnya  itu.  Keberatan  atas  teori  ini  bahwa  kontrak tersebut sudah lahir dan mengikat orang yang menawarkan pada saat  orang  yang  memberikan  penawaran  belum  tahu  hal  itu.  Dalam   e­commerce  surat  tersebut  dapat  berupa  e­mail  ataupun  penekanan  tombol  sepakat  (agree) yang disediakan dalam kontrak standar tersebut. 

3. Alat Bukti Dalam Hukum pembuktian 

Menurut pasal 164 HIR dan 1866 BW terdapat lima macam alat bukti  yang digunakan dalam pembuktian di persidangan, yaitu : 1)Bukti tulisan; 2)  Bukti  dengan  saksi;  3)  persangkaan‐persangkaan;  4)  pengakuan;  4)  Sumpah.  Alat bukti tertulis yang terdapat dalam pasal 1866 KUHPerdata maupun 164  HIR merupakan hal terpenting dalam pembuktian. Dalam hukum bukti tertulis  biasanya disamakan dengan surat, dan berdasarkan kekuatan pembuktiannya  terbagi  menjadi  tiga,  yaitu  ;1).surat  biasa;  2)akta  otentik;  3)  akta  dibawah  tangan 

Pengakuan  alat  bukti  yang  digunakan  dalam  pembuktian  penyelesaian sengketa arbitrase online, khususnya yang berhubungan dengan 

4

R. Setiawan, Pokok-pokok hukum Perikatan, Bina cipta, Bandung,1979 hlm 2

5

Fuady, M. Hukum Kontrak dari sudut pandang hukum bisnis,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. h.316

(4)

alat  surat,    dalam  hukum  positif  di  Indonesia  akan  menentukan  kekuatan  yuridis dari putusan arbitrase online tersebut.  

4. Arbitrase Online  

Penyelesaian  sengketa  melalui  lembaga  non  litigasi  sangat  disukai  karena  putusannya  berupa win­win solution  ataupun  sebuah  putusan  yang  pelaksanaannya  diterima  dengan  sukarela  oleh  para  pihak  dan  dalam  pemeriksaan  prosesnya  membuat  “kesepakatan‐kesepakatan”  yang  dapat  diterima oleh para pihak. 

Penyelesaian  sengketa  dalam  sistem  e­commerce  yang  mengutamakan  efesiensi,  efektifitas  dan    biaya  murah  hanya  dapat  diselesaikan  dalam  alternatif  penyelesaian  sengketa  yang  yang  mempunyai  kesamaan  sistem,  yaitu  arbitrase online.  Di  banyak  negara  maju  arbitrase 

online  sudah  lama  dikenal  dan  sudah  terbiasa  menyelesaikan  sengketa.  Lembaga  yang  menawarkan  ADR online  antara  lain e­Resolutions.com,Online 

Mediators,  Virtual  Magistrate,  American  Arbitration  association  dan  sebagainya.  

Banyak  konsep  mengenai  pengertian  arbitrase  yang  diberikan  oleh  para  ahli  hukum.  Tinneke  louise  tuegeh  Longdong  memberikan  konsep  arbitrase sebagai berikut : 

“Arbitrase  ialah  suatu  cara  penyelesaian  sengketa  dengan  suatu  putusan  yang mempunyai kekuatan hukum pasti dan tetap berdasarkan hukum atau  dengan persetujuan para pihak berdasarkan keadilan dan kepatutan” 

Sedangkan Undang‐undang No.30 tahun 1999 memberikan pengertian  tentang arbitrase dalam pasal 1 butir 1, yaitu : 

“Arbitrase  adalah  cara  penyelesaian  suatu  sengketa  perdata  di  luar  peradilan  umumyang  didasarkan  perjanjian  arbitrase  yang  di  buat  secara  tertulis oleh para pihak yang bersengketa” 

Pengertian arbitarse on‐line sendiri cara penyelesaian sengketa secara  arbitrase  dengan  menggunakan  alat  elektronik/digital  dalam  penyelenggaraannya. 

Prosedur penyelenggaraan arbitrase online adalah sebagai berikut6. : 

1. Peraturan  yang  diperlukan  mengenai  permohonan  untuk  berarbitrase  dan  pelaksanaannya  (hal  ini  meliputi  peraturan  yang  diterapkan  oleh  badan  arbitrase  mengenai  informasi  yang  disediakan  oleh  salah  satu  fihak  menyangkut  adanya  sengketa,  pada  sengketa  konsumen  hal  ini  berarti penyediaan formulir complain secara online, dan pada sengketa  B2b  tersedianya  formulir online  berisi  permintaan  untuk  melakukan  arbitrase termasuk peraturan penyediaan perjanjian arbitrase); 

2. Menyediakan  cara  memilih  arbitrator,  menerima  tempat  kedudukan  atau menolaknya; 

3. menyediakan  tata  cara  berarbitrase  seperti  penyediaan  peraturan  prosedural  seperti  tata  cara  mengajukan  perkara  secara  online,  menyampaikan  tanggapan,  mengajukan  bukti‐bukti,  argumentasi  dan  kemungkinan‐kemungkinan adanya penundaan; 

4. Penyediaan tata cara penggunaan pesan‐pesan secara elektronik, seperti  penyelenggaraan  prosedur  yang  hanya  menggunakan  dokumen  elektronik,  penggunaan  video  conferencing  dan  audio  conferencing 

6

(5)

termasuk  dalam  hal  ini  adalah  penyediaan  alat‐alat  bukti  berupa  keterangan saksi dan saksi ahli; 

5. Penyediaan  pemmbuatan  putusan  secara online  dan  persyaratan  yang  diperlukan  agar suatu putusan dapat diterima dan dijalankan; 

6. penyediaan  prosedur  yang  mungkin  untuk  mengadakan  perlawanan  atau banding terhadap putusan; 

7. Penyediaan  sarana  untuk  penyimpanan  data  terutama  dalam  perlawanan  menyangkut  dari  salah  satu  pihak  untuk  melakukan  perlawanan karena adanya dugaan bahwa hak‐hak dari salah satu pihak  telah dilanggar; 

8. Penyediaan  prosedur  yang  memungkinkan  proses  berjalan  secara  rahasia  dengan  menyediakan  teknologi  enkripsi  dan  tanda  tangan  elektronik  

D. Pembahasan 

A. Perjanjian  Arbitrase Online  

1. Keabsahan Perjanjian Arbitrase Online 

Perjanjian  arbitrase  yang  dilakukan  oleh  para  pihak  merupakan  perjanjian yang bersifat asesor. Sifat asesor ini disebabkan perjanjian arbitrase  atau  disebut  klausula  arbitrase  merupakan  tambahan  yang  diletakkan  pada  perjanjian  pokok, keberadaan  klausula arbitrase ini  hanya sebagai  tambahan  kepada  perjanjian  pokok  dan  tidak  mempengaruhi  pelaksanaan  pemenuhan  perjanjian  pokok.  Sehingga  batal  atau  cacatnya    perjanjian  arbitrase  tidak  berakibat  batalnya  perjanjian  pokok.  Sebaliknya  batalnya  perjanjian  pokok  langsung mengakibatkan gugur dan tidak berfungsinya perjanjian arbitrase. 

Dalam hal ini perjanjian arbitrase hanya berfokus pada penyelesaian  perselisihan    yang  terkait  dengan  pelaksanaan  dan  pemenuhan  perjanjian  pokok,  tetapi  bukan  pada  masalah  pelaksanaan  perjanjian.  Dengan  kata  lain  perjanjian  arbitrase  baru  berfungsi  bila  terdapat  perselisihan  mengenai  perjanjian pokok diantara para pihak tersebut. 

Model  arbitrase  online  merupakan  pengembangan  dari  bentuk  arbitrase  konvensional  yang  bertujuan  menyelesaikan  sengketa  yang  terjadi  diantara  para  pihak  yang  telah  melakukan  suatu  perjanjian  dalam  ruang  lingkup  hukum  perdata.  Penyebutan  model  disini  dalam  pengertian  sebagai  suatu  lensa  pandang  terhadap  masalah  dan  suatu  kerangka  berpikir  kearah  pemecahan  masalah,  model  mempertajam  apa  yang  ingin  diketahui  oleh  ilmuwan  menjadi  sesuatu  yang  mungkin  atau  tidak  mungkin  dikaji  menurut  akal  sehat.  Model  arbitrase  online  dalam  prosesnya  pelaksanaannya  menggunakan  media  yang    secara  keseluruhan  berupa  informasi  elektronik  yang paperless/scriptless transaction   bahkan  para  pihak  yang  terlibat  dalam  kontrak online ini dapat saja tidak pernah bertatap muka.  

Sehingga  dapat  disimpulkan  bahwa  perbedaan  mendasar  yang  membedakan  antara  perjanjian  konvensional  termasuk  didalamnya  klausula  arbitrase  dengan  perjanjian  online  pada  dasarnya  hanya  pada  penekanan 

physical form  (bentuk  konkrit  dan  nyata)  pada  perjanjian  konvensional  dan  pada  perjanjian online  penawaran  dan  penerimaan  dilakukan  dalam  bentuk  elektronik atau digital, disamping itu sifat perjanjian online secara umum non 

face, yakni tidak membutuhkan physical presence (kehadiran secara fisik) dan 

paperless,  misal  melalui  web  site,  penawaran  melalu  mailing  list  dan 

(6)

pembuatan  putusan,  penyerahan  dokumen,  pemusyawarahan  arbitrator,  pembuatan  putusan,  serta  pemberitahuan  akan  adanya  putusan  dilakukan  secara online.7 

Sebuah  perjanjian  arbitrase  dinyatakan  sah  telah  terjadi  jika  memenuhi  syarat  subyektif  dan  obyektif  yang  terdapat  dalam  pasal  1320  KUHPerdata, yaitu : 

1. Syarat Kesepakatan kehendak 

Semua  perjanjian  arbitrase  lahir  karena  adanya  sebuah  perjanjian,  oleh sebab itu keabsahan dan mengikatnya perjanjian arbitrase harus terdapat  kata sepakat (toestemming) dari para pihak secara sukarela. Kata sepakat ini  biasanya berupa agreement  ataupun consent. 

Untuk menentukan terjadinya kesepakatan dalam perjanjian  online  maka  penulis  menganggap  teori  penawaran  dan  penerimaan  sebagai  teori  yang bisa di jadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan  kehendak. Dengan teori ini berarti ada sebuah komunikasi yang terjalin antara  para pihak dalam sebuah perjanjian. Untuk model arbitrase online, beberapa  badan yang menyelenggarakan  arbitrase online  menyediakan page‐page web  untuk  prosedur  pendaftaran  dan  menyediakan  forum  untuk  saling  berkomunikasi. Forum untuk berkomunikasi antara lain dengan chatting room  dan buletin board yang berbasis real time audio streaming

Hal  ini  sesuai  dengan  pendapat  J.  Satrio  bahwa  untuk  mencapai  kesepakatan  maka  ada  pernyataan  dari  pihak  yang  menawarkan (offerete)  atau  penawaran (aanbod)  dan  ada  pihak  yang  menerima  tawaran  tersebut  yang  dinamakan  akseptan.  Dengan  demikian  kesepakatan  suatu  kehendak  terhadap  suatu  kontrak  di  mulai  dari  adanya  unsur  penawaran (offer)  oleh  salah  satu  pihak,  diikuti  oleh  penerimaan  terhadap  penawaran (acceptance)  dari  pihak  lainnya.  Disini  berarti  ada  sebuah  komunikasi  yang  mempertemukan kesepakatan yang melahirkan suatu perjanjian. 

2. Syarat kecakapan berbuat dari para pihak 

Pada  suatu  transaksi  ataupun  kontrak  secara  online  yang  tidak  mungkin  ada  sebuah  pertemuan  langsung  antara  penjual  dan  pembeli,  maka  untuk  mengetahui  apakah  si  pembeli  cakap  untuk  mengadakan  suatu  perjanjian atau tidak, kita bisa menggunakan sebuah fiksi hukum yaitu untuk  melakukan  pembayaran  dengan  transaksi  online  maka  dibutuhkan  kartu  kredit  ataupun e­cash  atas  namanya  sendiri,  yang  berarti  ketika  membuat  kartu kredit tersebut harus melalui prosedur pembuatan kartu termasuk kartu  tanda pengenal dan batas usia diperbolehkan membuat kartu kredit. Jadi kita  bisa melakukan konfirmasi kartu kredit kepada pihak bank untuk mengetahui  cakap tidaknya seseorang dalam hukum.  Hal ini juga  dapat digunakan dalam  perselisihan yang menggunakan arbitrase online untuk penyelesaiannya, yaitu  dengan  meminta  konfirmasi  pada  pihak  bank  tentang  identitas  para  pihak  yang dibebani biaya administrasi perkara. 

3. Syarat Perihal Tertentu 

7

(7)

Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perihal tertentu tidak lain  merupakan objek atau barang‐barang dalam suatu kontrak. Jadi suatu kontrak  haruslah mempunyai objek tertentu. Dalam perjanjian arbitrase yang menjadi  objek  adalah  perjanjian  pokok  itu  sendiri.  Sehingga  sasaran  utama  dalam  perjanjian arbitrase adalah  perselisihan yang terjadi dalam perjanjian pokok  yang kemudian diselesaikan dalam forum arbitrase.  

Untuk  keabsahan  dari  forum  arbitrase  maka  objek  yang  terdapat  dalam perjanjian pokok harus objek yang diperbolehkan oleh Undang‐undang,  yaitu  :  1).Barang  yang  merupakan  objek  kontrak  tersebut  haruslah  barang  yang dapat di perdagangkan (vide pasal 1332 KUH Perdata). Berkaitan dengan  barang  yang  dapat  diperdagangkan  maka  consumer  dalam  transaksi 

commerce harus  lebih jeli melihat barang yang ditawarkan melalui webstore.  Hal berkaitan dengan jaringan internet yang terbuka sehingga tidak menutup  kemungkinan barang/sesuatu yang menurut hukum tidak patut dijual, malah  diperdagangkan  secara  bebas.  Misal  kasus  penawaran  untuk  menjual  anak  ataupun  organ  tubuh.  2).Pada  saat  kontrak  di  buat  minimal  barang  tersebut  sudah di tentukan jenisnya (vide pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). 3). Jumlah  barang  tersebut  boleh  tidak  tertentu,  asal  saja  jumlah  tersebut  kemudian  dapat  di  tentukan  atau  di  hitung  (vide  pasal  1334  ayat  2  KUH  Perdata).4).Barang  tersebut  dapat  juga  barang  yang  baru  akan  ada  di  kemudian  hari  (vide  pasal  1334  ayat  1  KUH  Perdata).  5).  Syarat  Kausa  yang  Halal,harus  mengacu  pada  pasal  1335  dan    1337,  yaitu  :1).Sebab  yang  tidak  terlarang  atau  tidak  bertentangan  dengan  undang‐undang,  misal  sengketa  tentang  perdagangan  anak  atau  wanita;2).Sebab  sesuai  dengan  kesusilaan,  misal  sengketa  dagang  yang  bertentangan  dengan  kesusilaan  misalnya  mengenai pornografi;3).Sebab yang sesuai dengan ketertiban umum,misalnya  perdagangan gelap senjata ataupun mengenai terorisme. 

2. Model Arbitrase Online Dalam Konstruksi UU No 30/1999 

Disamping  keabsahan  suatu  perjanjian  seperti  yang  digariskan  dalam  pasal  1320  KUHPerdata,  perjanjian  arbitrase  mempunyai  konstruksi  khusus  sebagai  suatu  bentuk  perjanjian  yang  dibentuk  secara  khusus.  Konstruksi keabsahan ini diatur dalam Undang‐undang nomor 30 tahun 1999  tentang arbitrase dan Penyelesaian sengketa, yaitu : 

a. perjanjian  arbitrase  merupakan  cara  penyelesaian  sengketa  perdata  di  luar Pengadilan 

Hal ini  diatur dalam UU No. 30 tahun 1999 pasal 1 angka 1 yang  berbunyi : 

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar 

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat 

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 

Dari  uraian  pasal  diatas  dapat  diketahui  bahwa  kewenangan  perjanjian  arbitrase  hanya  sebatas  pada  sengketa  perdata.  Sedangkan  untuk  permasalahan  dalam  bidang  hukum  lain,  misalnya  pidana  maka  model penyelesaian sengketa dengan arbitrase tidak dapat digunakan.  b. perjanjian arbitrase dilakukan tertulis 

Klausula tertulisnya perjanjian arbitrase terdapat dalam pasal  1  angka 3 yang menyatakan : 

(8)

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula 

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat 

para  pihak sebelum  timbul  sengketa, atau  suatu perjanjian arbitrase 

tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.   

Dari  pengertian  yang  diberikan  dalam  UU  No  30  tahun  1999  diatas  undang‐undang  tidak  memberikan  batasan  tentang  bentuk  apa  yang  harus  digunakan  yaitu  harus  tercetak  atau  tidak,  hanya  memberi  batasan  bahwa  perjanjian  tersebut  secara  tertulis  ataupun  perjanjian  tertulis (pasal 1 angka 3 UU No 30/1999). Undang‐undang diatas  tidak  mengatur  bahan  atau  media  apa  yang  digunakan  untuk  menulis,  sehingga dalam pandangan penulis selain bentuk konkrit (phisikal form)  seperti  dalam  perjanjian/kontrak  konvensional  juga  mencakup  proses  ajudikasi  berupa  arbitarse  online  (cyber arbitration)    yang  mempunyai  ciri‐ciri  umum non face,  yakni  tidak  membutuhkan physical presence  (kehadiran  secara  fisik)  dan  paperless.  Jadi  jika  dalam  penyelesaian  sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada  pertukaran  dan  pemeriksaan  dokumen  bermedia  kertas  (paperbase).  Sedangkan,  dalam  arbitrase online,  media  kertas  telah  digantikan  oleh  data  digital  sehingga  tidak  lagi  diperlukan  adanya  dokumen  berbentuk  kertas (paperless). 

c. Perjanjian Arbitrase harus ditanda tangani 

Istilah tanda tangan dalam perjanjian arbitrase terdapat dalam pasal  4 angka 2 Undang‐undang N0 30 tahun 1999, yang memuat ketentuan : 

Persetujuan  untuk  menyelesaikan  sengketa  melalui  arbitrase 

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang 

ditanda tangani oleh para pihak.  

Konsep  mengenai  tanda‐tangan  mengalami  penafsiran  yang  berkembang dengan pesat, hal ini seiring dengan perkembangan masyarakat  dan teknologi yang menyertainya, baik dalam hal medianya maupun alat yang  digunakan. Yang tidak berubah dari tanda tangan adalah fungsinya yaitu untuk  membedakan  akta  tersebut  dengan  akta‐akta  lainnya  dengan  cara  mengindividualisir dan memberi ciri penjelas.  

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 4 angka 2 diatas  tentang adanya  dokumen  dan  tanda  tangan  dari  para  pihak.    Dokumen  disini  tidak  diberi  penjelasan apakah harus berupa berkas‐berkas yang terbuat dari kertas atau  pun meliputi dokumen dalam media yang lain, sehingga penulis berpendapat  dokumen disini  dapat berupa file‐file informasi elektronik. Selain hal tersebut  istilah  dokumen  yang  ditanda  tangani  pada  pasal  4  (2)  tersebut  tidak  mensyaratkan  keharusan  bahwa  perjanjian  tertulis  tersebut  dibuat  diatas  kertas  dan  tanda  tangan    dengan  tinta  di  atas  kertas.  Hal  ini  berarti  untuk  perjanjian tertulis dalam arbitrase nasional dapat berupa informasi elektronik.  Penulis  berpendapat  demikian  melihat  perkembangan  definisi  dari  tanda tangan seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu :    1. Dipersamakan  dengan  tanda  tangan  yaitu  cap  ibu  jari  (cap  jempol)  yang 

yang  dikuatkan  oleh  seorang  notaris  atau  pejabat  lain  yang  berwenang  yang menyatakan ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol dan  isi akta tersebut telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya (waarmerking :  S. 1867 no 29 ps 1, 286 Rbg, 1874 BW).   

(9)

2. Dipersamakan  juga  faksimil  dari  tanda  tangan    apabila  dibubuhkan  oleh  yang berwenang (HR. 2 Februari 1920, 10535). 

Hal  ini  sejalan  dengan  RUU  tentang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  yang  menganggap  sah  tanda  tangan  elektronik  yang  berupa  informasi elektronik dalam sebuah transaksi elektronik. Dalam RUU ini Tanda  tangan elektronik didefinisikan sebagai informasi elektronik yang dilekatkan,  memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik  lain  yang  dibuat  oleh  penandatanganan  untuk  menunjukkan  identitas  dan  statusnya  sebagai  subyek  hukum,  termasuk  tidak  terbatas  pada  penggunaan  infrastruktur  kunci  publik  (tanda  tangan  digital),  biometrik,  kriptografi  simetrik.  

Dalam  hal  ini  dapat  ditafsirkan  bahwa  fungsi  tanda  tangan  untuk  mengotentifikasikan  penandatangan  dengan  dokumen  yang  ditandatanganinya.  Jadi  pada  saat  penandatangan  membubuhkan  tanda  tangan  dalam  suatu  bentuk  yang  khusus,  tulisan  tersebut  akan  mempunyai  hubungan (attribute) dengan penandatangan 

Melihat hubungan antara fungsi tanda tangan “tradisional” dan tanda  tangan  digital  untuk  menilai  sebuah  keabsahan  maka  kalau  kita  menilainya  secara  substansialis,  yang  lebih  menekankan  kepada  fungsi,  manfaat  dan  dimensi  filosofis,  dapat  terlihat  bahwa  tanda  tangan  tradisional  sudah  terwakilkan dalam figur tanda tangan digital. Dengan kata lain dalam transaksi 

online keabsahan  tanda  tangan  digital  harus  diterima  keabsahannya  sebagai  sebuah tanda tangan. Alasan yang dapat menguatkan sebagai berikut8 : 

1. tanda  tangan  elektronik  merupakan  tanda‐tanda  yang  bisa  dibubuhkan  oleh  seseorang  atau  beberapa  orang  yang  diberi  kuasa  oleh  yang  berkenhak untuk diikat secara hukum 

2. sebuah  tanda  tangan  digital  dapat  dimasukkan  dengan  menggunakan  peralatan mekanik, sebagimana tanda tangan tradisional; 

3. Keamanan  tanda  tangan  digital  sama  dengan  keamanan  tanda  tangan  tradisional; 

4. Niat pada saat pembuatan tanda tangan juga terpenuhi/ sama; 

5. sebagaimana  tanda  tangan  biasa,  tanda  tangan  elektronikpun  dapat  diletakkan  di  bagian  mana  saja  pada  sebuah  dokumen  dan  tidak  harus  berada di bagian bawah dokumen kecuali hal tersebut disyaratkan dalam  mekanisme legislasi.  

Penulis pun sependapat dengan M. Arsyad sanusi bahwa dalam memandang  keabsahan  dari  tanda  tangan  digital  sebagai  sebuah  tanda  tangan  dalam  sebuah  kontrak online  dengan  menilai  fungsi  dan  hakekat  tanda  tangan  digital tersebut. Hal ini berkaitan dengan transaksi online yang paperless dan  tidak  mempertemukan  para  pihak  secara  langsung.    Sehingga  untuk  memahaminya  pun  tidak  tekstual,  melainkan  kontekstual  sesuai  dengan  perkembangan dunia teknologi dalam menunjang kebutuhan manusia akan  sebuah transaksi dagang. 

3. Model Arbitrase Online Dalam Konstruksi Hukum Internasional 

Dalam  Hukum  internasional  konstruksi  keabsahan  dan  prosedur  dari  sebuah  perjanjian  arbitrase  diatur  oleh  beberapa  aturan  hukum.  Diantara  aturan 

8

Arsyad Sanusi, E-Commerce den Permasalahan Hukum Yang mengikutinya, Yogyakarta, 2001

(10)

tersebut  yang  paling  berpengaruh  dan  banyak  diikuti  dalam  menyelesaikan  sengketa melalui arbitrase adalah :  

a. Perjanjian Arbitrase On line menurut Konvensi New York 

Menurut konvensi New York ada tiga hal yang menjadi persyaratan  keabsahan sebuah perjanjian arbitrase seperti diatur dalam article II (2) yaitu  : tertulis, di tanda tangani dan asli. 

Secara lengkap bunyi article II (2) adalah : 

The term “agreement in writing” shall include an arbitral clause in a 

contract or arbitration agreement, signed by the parties or contained in an 

exchange of letter or telegrams”. 

Dengan interpretasi ektensif mengenai istilah tertulis yang diartikan  dapat  dibaca  dan  dimengerti  maksud  dari  tulisan  tersebut  oleh  para  pihak  serta  dibuat  dalam  media  tertentu.  Maka  sinyal‐sinyal  elektronik  yang  membentuk    suatu  huruf,  angka  yang  mempunyai  arti  dan  maksud  tertentu  yang dapat dipahami oleh para pihak dapat dikatakan sebagai bentuk tertulis. 

b. Perjanjian Arbitrase On line Menurut UNCITRAL Model Law 

Pendekatan  yang  diambil  dalam  model  law  ini  adalah  bahwa  suatu  informasi  tidak  dapat  dikatakan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum,  hanya  karena  informasi  itu  berbentuk  data  message.  Pendekatan  ini  menganut  pemikiran  sosiologis  jurisprudence  yang  menggunakan  pendekatan  pada  kebutuhan dan realita praktek hukum yang terjadi dalam masyarakat tentang  interpretasi  “tertulis”  dari  aturan  teks  perundang‐undangan  yang  disamakan  dengan data message dalam internet. Interpretasi ini akan menimbulkan suatu  kepastian  dikemudian  hari  apabila  terdapat  suatu  bentuk/format  data 

messages dalam  bentuk  yang  baru.  Pendekatan  ini  juga  akan  menyebabkan  suatu  kontrak/perjanjian  yang  dibuat  dengan digital signature  mempunyai  kekuatan  hukum.  Sedangkan  apabila  dalam  suatu  perundang‐undangan  terdapat  persyaratan  bahwa  harus  dalam  bentuk  tertulis,  maka  persyaratan  ini dapat dicapai, selama informasi/data tersebut dapat dilihat/diakses. 

Suatu  data  messages  dapat  ditandatangani  secara  elektronis.  Ketentuan‐ketentuan  yang  terdapat  dalam  UNCITRAL  model  law  on 

Commerce adalah sebagai berikut : 

1. Segala  informasi  elektronik  dalam  bentuk  data  elektronik  dapat  dikatakan  untuk  memiliki  akibat  hukum,  keabsahan  ataupun  kekuatan  hukum. (Information shall not be denied legal effect,validity or enforce 

ability solely on the grounds that it is in the form of a data message).  2. Dalam  hal  hukum  mengharuskan  adanya  suatu  informasi  harus  dalam 

bentuk  tertulis  dikatakan  di  dalam  article  6  UNCITRAL  Model  Law. 

“Where the law requires information to be in writing, the requirement is 

met by a data message if the information contained therein is accessible so 

as to be useable for subsequent reference. 

3. dalam hal tanda tangan, maka suatu tanda tangan elektronik merupakan  tanda tangan yang sah. 

4. Dalam  hal  kekuatan  pembuktian  dari  data  yang  bersangkutan,  maka  data message memiliki kekuatan pembuktian. 

5. Suatu  penawaran  dan  penerimaan  tawaran  tersebut  (offer  and 

acceptance) dapat dinyatakan dalam bentuk data message, dan jika data  tersebut digunakan sebagai format dari kontrak, maka kontrak tersebut  tidak  dapat  ditolak  keabsahan  dan  kekuatan  hukumnya  dalam  mana  

(11)

data  tersebut  digunakan,  dan  dalam  hal  pihak‐pihak  yang  melakukan 

offer and acceptance  dikatakan  sebagai originator,  yaitu  sebagai  pihak  yang melakukan suatu pengiriman data dan pihak yang menerima data  dikatakan sebagai addressee. 

B. Kekuatan mengikat Model Arbitrase Online dalam Konstruksi Hukum 

nasional 

Kekuatan  hukum  dari  kontrak  online  dalam  hukum  positif  di  Indonesia  tergantung  dari  pembuktian  dalam  proses  pemeriksaan  di  persidangan,  yaitu  apakah  hal‐hal  yang  terdapat  dalam  perjanjian  arbitrase  online  dapat  di  persamakan  dan  diakui  sebagai  alat  bukti  sebagaimana  yang  dirumuskan  dalam  Undang‐Undang.  Dari  rumusan  perundang‐undangan  mengenai perjanjian dapat ditentukan 2 (dua) alat bukti yang sah, yaitu ; 

1. Alat bukti yang sah Sesuai dengan Perundang‐undangan tertentu  2. Alat bukti yang sah Didasarkan Atas kesepakatan  

Ad. 1. Alat bukti yang sah sesuai dengan perundang‐undangan tertentu    Untuk  menentukan  alat  bukti  yang  sah  dalam  pemeriksaan  forum  arbitrase  mengacu  pada  klausula  arbitrase  yang  disepakati.  Sebagai  contoh  jika  dalam  kesepakatan  arbitrase  mengacu  pada  UNCITRAL  tetapi  dalam  proses  pembuktian  mengacu  pada  hukum  yang  berlaku  di  Indonesia,  maka  sepanjang  pemeriksaan  mengacu  pada  aturan  UNCITRAL  tetapi  pada  saat  pemeriksaan  dan penilaian kekuatan alat bukti mengacu pada pasal 164 HIR,  yaitu :1).Alat bukti Surat; 2).Alat bukti saksi; 3).Alat bukti persangkaan;4).Alat  bukti pengakuan; 5).Alat bukti sumpah  

Sedangkan  aturan  yang  terdapat  dalam  Peraturan  prosedur  BANI,  Buku III Rv, ICSID, UNCITRAL arbitration rules memberikan porsi lebih besar  pada dokumen atau alat bukti tertulis. 

a.Pembuktian dalam bentuk Tulisan 

Untuk  dapat  mempunyai  kekuatan  pembuktian  yang  sempurna,  maka  sebuah  klausula  perjanjian  arbitrase  online  selayaknya  mengajukan  suatu  alat  bukti  yang  setara/sama  dengan  Akta  Otentik.  Suatu  Digital 

Signature  dan  data  elektronik  sudah  seharusnya  mempunyai  kekuatan  pembuktian  yang  sama  sebagaimana  Surat  Akta  Otentik.  Minimal  digital 

signature dan  data‐data  elektronik  tersebut  dapat  digunakan  dalam  proses  pembuktian sehingga setara dengan akta bawah tangan. 

Dalam perjanjian online  termasuk arbitrase online alat bukti  tertulis didapat  dari  data  elektronik/digital  yang  ditransmisikan  kedua  belah  pihak  yang  melakukan perjanjian. Untuk mendapatkan kesempurnaan dalam pembuktian  maka  data  elektronik  yang  ditransmisikan  oleh  kedua  belah  pihak  dengan  suatu analogi harus dipersamakan dengan kekuatan otentik.  

Dari uraian mengenai akta otentik maka dalam perjanjian arbitrase  online terdapat dua permasalahan. Pertama, aspek tertulis. Kedua, dibuat oleh  atau di hadapan pejabat negara yang berwenang/pegawai umum. 

Untuk  dapat  di  kategorikan  dalam  bentuk  tertulis  sesuai  tuntutan  pasal 1867 maka dapat dilakukan : 

a. Hakim  ataupun  arbiter  dan  ahli  hukum  dapat  melakukan  analogi  terhadap istilah tulisan, yaitu dengan menyamakan informasi elektronik  yang  berupa  data‐data  elektronik  yang  mengkomunikasikan  pesan  dan  maksud dari para pihak untuk membuat suatu perjanjian dengan istilah  tulisan.  Analogi  terhadap  hal  ini  sudah  mulai  dianut  oleh  para  ahli 

(12)

hukum  Indonesia  dalam  membuat  rancangan  Undang‐Undang  tentang  Informasi  dan  transaksi  Elektronik,  yaitu  pasal  1  ayat  3  :“Informasi 

adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, 

simbol, gambar, tanda­tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi dan bentuk­

bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti”.  

b. Membuat  suatu  printout  copy  dari  pesan  yang  masih  berbentuk  elektronik  tersebut.  Dalam  transaksi  konvensional  print  out  copy  yang  berupa  teks  atau  gambar  digunakan    dalam  setiap  transaksi  dan  dipersamakan dengan tulisan tangan.  

c. Yang  menjadi  permasalahan  adalah digital signature  atau  tanda  tangan  elektronik  dalam    bentuk print out copy  karena  dalam  bentuk  bahasa  program  komputer  yang  hanya  dapat  dipahami  atau  dimengerti  oleh  programer  komputer  belum  ada  aturannya.  Aturan  yang  ada  justru  kebalikannya yaitu dari bentuk nyata tertulis ke bentuk data elektronis,  diatur  dalam  UU  Dokumentasi  Perusahaan  pada  Bab  III  Pengalihan  bentuk  Dokumen  Perusahaan  dan  Legalisasi  dari  Pasal  12  sampai  dengan  Pasal  15.  Pasal  12  ayat  1  Undang‐Undang  No.  8  Tahun  1987  berbunyi : 

(1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media 

lainnya.   

Sedangkan  pengaturan  legalisasi  terdapat  pada  pasal  13  dan  pasal  UU No. 8 tahun 1987 yang berbunyi : 

“Setiap pengalihan dokumen perusahaan sebagimana dimaksud dalam pasal 12 

ayat (1) wajib dilegalisasi”.   

Pasal 14 UU No. 8 Tahun 1987 berbunyi : 

Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dilakukan oleh pimpinan 

perusahaan  atau  pejabat  yang  ditunjuk  di  lingkungan  perusahaan  yang 

bersangkutan, dengan dibuat berita acara.   

Setelah  proses  pengalihan  dan  legalisasi,  maka  dokumen  tersebut  dinyatakan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini bisa dilihat pada pasal 15 UU  No. 8 Tahun 1987 yang berbunyi : 

Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya 

sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetakannya 

merupakan alat bukti yang sah.   

Esensi  yang  terdapat  dalam  UU  No  8  tahun  1987  dalam  proses  pengalihan  dokumen  ke  bentuk  mikrofilm  adalah  pada  informasi  yang  terdapat  dalam  dokumen  tersebut  yang  tidak  boleh  berubah.  Dalam  Pandangan  penulis  Undang‐Undang  No  8  tahun  1987  tersebut  tidak  mempermasalahkan perubahan media dari konvensional ke media elektronik  atau  sebaliknya  melainkan  pada  keaslian  pesan  yang  terkandung  dalam  dokumen yang akan dialihkan ke dalam mikro film atau media lainnya. 

Selain itu dapat digunakan interpretasi ekstensif untuk menafsirkan  bahwa pengalihan tersebut bukan hanya pengalihan dari bentuk konvensional  tertulis kedalam media elektronik melainkan juga meliputi proses berubahnya  media yang digunakan dalam sebuah perjanjian seiring dengan perkembangan 

(13)

teknologi.  Dengan  catatan  bahwa  bila  terjadi  suatu  perubahan  bentuk  dari  suatu  dokumen/pesan,  maka  harus  dapat  dibuktikan  bahwa  perubahan  bentuk  tersebut  tidak  merubah  isi  dari  dokumen/pesan  yang  diubah  bentuknya  itu.  Konsekuensi  hukumnya,  kekuatan  pembuktian  dari  bentuk  ubahan tersebut harus sama sesuai kekuatan pembuktian dari bentuk asalnya. 

Berkaitan  dengan digital signature  sebagai  alat  bukti  maka  dalam  pandangan  penulis  hal  tersebut  merupakan  sebuah  keharusan,  sama  halnya  dengan  yang  ditetapkan  dalam  UU  No.  8  tahun  1997  dimana  dokumen  perusahaan  harus  dilegalisasi  oleh  pimpinan  perusahaan  untuk  memperoleh  keabsahannya.  Digital  Signature pada  arbitrase  online  pun  menggunakan  pihak ketiga (otoritas sertifikasi) untuk memperoleh keabsahan perjanjiannya.    E. PENUTUP  Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan  dan usulkan hal‐hal sebagai berikut terutama dari bidang hukum dan regulasi  1.  Kesimpulan 

1. Perjanjian  arbitrase online yang  dalam  proses  perjanjiannya  paperless  dengan  menggunakan  media  alat  elektronik  sah  secara  hukum  karena  telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang disebutkan secara  limitatif dalam pasal 1320 KUHPerdata dan memenuhi ketentuan dalam  Undang‐undang No. 30 tahun 1999 yaitu  a). Informasi elektronik dalam  bentuk  data‐data  elektronik  yang  dapat  berupa  teks,  gambar,  suara  dengan  penafsiran  ekstensif  dapat  ditafsirkan  sebagai  bentuk  tertulis  dari sebuah perjanjian arbitrase, sehingga dapat memenuhi persyaratan  keabsahan  perjanjian  arbitrase  dalam  bentuk  tertulis.  b).  Keabsahan  tanda  tangan  digital  dalam  kontrak  pun  tidak  dapat  disangkal  atau  dibatalkan karena aspek‐aspek dalam hukum perdata telah terpenuhi.  2. Kekuatan  hukum  arbitrase  online  mengikat  secara  hukum  dengan 

menafsirkan  secara  ektensif  bahwa  data  elektronik  dan  tanda  tangan  elektronik merupakan sebuah alat bukti tertulis seperti yang disyaratkan  oleh aturan perundang‐undangan. Hal ini didukung aturan Internasional  seperti  UNCITRAL  dan  UNCISG  bahwa  suatu  informasi  tidak  dapat  dikatakan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum,  hanya  karena  informasi  itu berbentuk data message 

2 Saran­saran 

1. menghadapi  kekosongan  hukum  di  Indonesia,  arbiter  dituntut  untuk  melakukan rechtvinding (penemuan hukum). 

2. Perlu  segera  disahkannya  Rancangan  Undang‐Undang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  untuk  memberi  kepastian  hukum,  serta  segera  disusun Undang‐Undang tentang arbitrase online.  

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, PLC juga menggunakan memori yang dapat diprogram untuk menyimpan instruksi-instruksi yang melaksanakan fungsi-fungsi khusus seperti :

(3) terlaksananya pembelajaran dalam bentuk real-life experience berupa pe- ngalaman wirausaha, karena teori saja tidak cukup untuk membangun se- orang real

Dari hasil penelitian diketahui ada dua macam sosialisasi dalam keluarga TNI AD Kodim 0320 kelurahan Teluk Binjai Kota Dumai yaitu sosialisasi represif dan

Nilai % RSA kunir putih yang telah mengalami blanch- ing 100 °C media asam sitrat 0,05 % dan akuades selama 5 dan 10 menit mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi

Analisa risiko tumpahan minyak di pesisir terdampak di wilayah studi menggunakan kombinasi dari 5 faktor penentu dalam perumusan nilai risiko yang efektif yaitu

Mengalihkan panggilan ke nomor yang dituju untuk panggilan ketika telepon hp anda sedang sibuk Caranya tekan * * 6 7 * Nomor Tujuan #.. *3370# Untuk mengaktifkan Full Rate Codec

Komitmen organisasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap budgetary slack , maka disarankan agar perusahaan berusaha untuk meningkatkan rasa kebersamaan dengan