• Tidak ada hasil yang ditemukan

no 12th viiidesember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "no 12th viiidesember 2014"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

18

Nasional

Ketua MPR: Sistem Presidensiil Masih Kurang Efektif

EDISI NO.12/TH.VIII/DESEMBER 2014

64

Sosialisasi

‘MPR Goes To Campus’ Universitas Sriwijaya,Palembang

Daftar Isi

Penegakkan

Prinsip-Prinsip HAM

10

BERITA UTAMA

80

Figur Tasya Kamila

35

Berita Khusus

LCC MPR RI Tahun 2014

Editorial

...

04

Suara Rakyat

...

06

Opini

...

07

Wawancara

...

16

Mata Pengamat

...

62

Ragam

...

78

(6)

S

negara di dunia, termasuk Indonesia, memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Hari HAM dinyatakan sebagai hari resmi perayaan HAM Internasional setelah diumumkan oleh Inter-national Humanist and Ethical Union (IHEU). Tanggal itu dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang HAM pada 10 Desember 1948.

Peringatan hari HAM itu sendiri sudah dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan HAM. Ada enam jenis HAM, yaitu: hak asasi sosial, ekonomi, politik, budaya, hak untuk mendapat perlakukan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Sebenarnya, sebelum munculnya Deklarasi Universal tentang HAM, Indonesia sudah mengakui dan mencantumkan HAM dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Pengakuan atas HAM itu ada dalam Pembukaan UUD 1945. Lebih rinci, HAM terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 Bab X Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 j. Dengan adanya dasar hukum tersebut maka rakyat Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999

bahwa HAM adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Secara harfiah, hak asasi manusia diartikan sebagai hak dasar dimiliki manusia sejak lahir secara kodrat sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.

Namun, tidak dapat dipungkiri, pada masa lalu terutama masa Orde Baru, Indonesia memiliki catatan buruk terkait perlindungan dan penegakan HAM. Hingga kini pun, sesungguhnya kita melihat belum banyak perubahan dalam penegakan dan perlindungan HAM, baik dalam hak asasi sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya, hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Ini terlihat dari pelanggaran HAM masih marak dari tahun ke tahun.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mencatat, sepanjang Januari – November 2013 telah terjadi 709 kasus dugaan pelanggaran HAM yang

meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 448 kasus. Sementara pada 2011, angka pelanggaran HAM sebanyak 112 kasus. Tahun 2013, tercatat 4.569 warga sipil yang menjadi korban, di antaranya ratusan meninggal dunia.

Ada tiga jenis pelanggaran HAM yang menonjol sepanjang 2013, yaitu pelanggaran HAM karena konflik eksploitasi sumber daya alam, pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparatur kepolisian hingga TNI.

Data pelanggaran HAM dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lebih besar lagi. Sepanjang 2014, Komnas HAM telah menerima sekitar 6.000 kasus pelanggaran HAM. Dari seluruh kasus, 40% di antaranya ternyata dilakukan oleh aparatur kepolisian. Pelanggaran seringkali terjadi pada proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap tersangka, seperti pemukulan.

Di luar kasus pelanggaran HAM itu, seperti ditulis dalam laporan utama Majelis, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang penyelesaiannya masih menjadi utang pemerintah. Ketujuh kasus pelanggaran HAM berat itu adalah pembunuhan massal pasca G-30-S, pembunuhan misterius (Petrus), kasus Talangsari (Lampung), penghilangan paksa aktivis, Trisakti, kerusuhan Mei 1998, Semanggi I, dan Semanggi II.

(7)

COVER

Edisi No.12/TH.VIII/Desember 2014 Desain: Jonni Yasrul

Foto: Istimewa

PENASEHATPimpinan MPR-RI PENANGGUNG JAWAB Eddie Siregar, Selfi Zaini PEMIMPIN REDAKSI Yana Indrawan DEWAN REDAKSI M. Rizal, Aip Suherman, Suryani, Ma’ruf Cahyono, Tugiyana, Siti Fauziah REDAKTUR PELAKSANA Agus Subagyo KOORDINATOR REPORTASERharas Esthining Palupi REDAKTUR FOTO Rades Rahardian, Budi Muliawan REPORTER Fatmawati, Assyifa Fadilla, Prananda Rizky, Y. Hendrasto Setiawan FOTOGRAFER Ari Soeprapto, Teddy Agusman Sugeng, Wira, A. Ariyana, Agus Darto PENANGGUNG JAWAB DISTRIBUSI Elly Triani KOORDINATOR DISTRIBUSI Elin Marlina STAF DISTRIBUSI Hadi Anwar Sani, Suparmin, Asep Ismail, Ramos Siregar, Dony Melano, Prananda Rizky SEKRETARIS REDAKSI Wasinton Saragih TIM AHLI Syahril Chili, Jonni Yasrul, Ardi Winangun, Budi Sucahyo, Derry Irawan, M. Budiono ALAMAT REDAKSI Bagian Pemberitaan & Hubungan Antarlembaga, Biro Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal MPR-RI Gedung Nusantara III, Lt. 5 Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6, Jakarta Telp. (021) 57895237, 57895238 Fax.: (021) 57895237 Email: humas@setjen.mpr.go.id

aktivis HAM Munir pada 2004. Juga pelanggaran HAM, terutama di bidang kebebasan beragama seperti dialami jemaah Ahmadiyah Indonesia, jemaat GKI Yasmin, jemaat HKBP Filadelfia, jemaah Syiah Indonesia, dan beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya. Di masa orde reformasi, HAM belum ditegakkan sepenuhnya di Indonesia.

Melihat dari banyaknya kasus pelanggaran HAM, ternyata keberadaan Komisi Nasional (Komnas) HAM belum mampu memperbaiki kondisi HAM di Indo-nesia. Seharusnya Komnas HAM bisa berperan lebih jauh dalam melaksanakan perlindungan, pemantauan, investigasi, maupun mediasi dalam persoalan HAM. Namun, tampaknya Komnas HAM tidak terlalu dianggap penting. Bahkan, terkesan kadang-kadang Komnas HAM pun diabaikan.

Selain itu, sebuah survei juga menunjukkan komitmen pemerintah (khususnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004 – 2009 dan 2009 – 2014), terhadap HAM masih rendah. Dari survei itu, sebanyak 52,4% responden menilai komitmen pemerintah rendah, 38,1% menilai pemerintah tidak memiliki

komitmen terhadap pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, 55% responden menilai selama kepemimpinan SBY, kemajuan, perlindungan, dan pemenuhan akan HAM cenderung stagnan, bahkan 36% menyatakan terjadi kemunduran.

Untuk itu, dalam peringatan hari HAM di Gedung Senisono Istana Kepresidenan Jogjakarta, Selasa 9 Desember 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Penyelesaian itu beralaskan konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945. Konstitusi sebagai pedoman aturan kehidupan berbangsa dan

bernegara telah menjunjung penghargaan terhadap HAM.

Untuk kasus penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, pemerintah akan mempertimbangkan dua jalan. Pertama, melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara menyeluruh. Kedua, melalui pengadilan HAM adhoc. Pelaksanaan HAM tidak sekadar penegakan hukum tetapi juga mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak-hak mendapatkan pelayana kesehatan, kebebasan beragama dan beribadah.

Momentum peringatan hari HAM internasional 10 Desember ini bisa dijadikan sebagai awal dari penegakan terhadap prinsip-prinsip HAM yang mencakup toleransi, perlindungan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia dan berperan aktif menjalankan UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(8)

Kami dengan senang hati menerima tulisan baik berupa ide, pendapat, saran maupun kritik serta foto dari siapa saja dengan menyertai fotocopi identitas Anda.

ILUSTRASI: SUSTHANTO

Karikatur

Dengan hormat,

Saya Fauzan dari SMA Negeri 2 Painan (Sumbar) ingin bertanya: Apakah LCC 4 Pi-lar seleksi tingkat provinsi, khususnya Sumatera Barat, tahun 2014 ini masih tetap dilaksanakan sesuai rancangan jadwal atau tidak? Jawaban Bapak sangat kami perlukan untuk kepastian persiapan tim sekolah kami. Wassalam &terima kasih.

Fauzan Erman Painan, Kab. Pesisir Selatan, Sumbar.

Jawaban Redaksi,

Lomba Cerdas Cermat dalam rangka sosialisasi nilai-nilai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945,NKRI,dan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika tetap dilaksanakan sesuai jadwal.

Hari lahir Ki Hajar Dewantara

Yth. Majelis,

Selamat HUT Bapak Pendidikan Nasional . Semoga Pendidikan Nasional kita semakin maju dan berkualitas. Dan, semakin banyak tenaga pendidik yang berkualitas.

Wassalam.

Tangrivolsa Jl. Tempirai 6 No. 212 Blok 7 Perumnas Griya Martubung Labuhan Medan

Penetapan Upah Minimun Guru Honorer

Yayasan

Assalamu’alaikum.Wr.Wb.

Sudah sebelas tahun saya menjadi guru honorer di Madrasah Yayasan Naungan Kementerian Agama. Sudah berkali-kali merasakan pergantian pimpinan dari Kepala Madrasah, Pengawas Pendais, Mapenda, Kandepag, Kanwil, Mentri, bahkan Persiden. Tetapi belum ada yang pernah menetapkan upah minimum agar kami guru honor yang ada di Yayasan bisa hidup layak.

Kami juga punya kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Buruh saja yang hanya memperkaya Inspektor atau Pengusaha-pengusaha asing diperhatikan dengan penuh UMR/UMK oleh pemerintah. Padahal kami, guru honor meski di yayasan juga ikut mencerdaskan anak bangsa.

Tantowi: Ds. Karangkendal, Cirebon

Mana Perhatian Pemerintah

untuk Rakyat Miskin?

Salam sejahtera Bapak-bapak yang terhormat!

Salam kenal sebelumnya, saya Ahmad

sudah saya lakukan, walaupun fisik saya cacat. Daya juang dan semangat saya tidak kalah dari mereka yang normal, dan pantang bagi saya mengemis-ngemis di jalanan (seperti yang dilakukan orang normal atau berpura-pura cacat di lampu merah). Saya memulai usaha loundry di Malang, sudah jalan hampir 2 tahun. Saat ini saya butuh tambahan modal untuk biaya kontrak dan beli mesin baru. Saya sudah mengajukan pinjaman KUR hampir 10 x ditolak, dan pinjaman KTA di berbagai bank, hasilnya juga ditolak oleh 7 bank. Alasan pihak bank, saya tidak punya rumah sendiri, punya dua anak yang masih kecil-kecil. Padahal yang saya pikirkan nasib mereka ke depan. Pada 30 April 2014 ini kontrakan saya habis, sudah tidak ada pilihan kecuali menutup usaha saya. Mohon perhatian. Terima kasih.

A. Zaini Emeel Jl. Tlogo Indah No.7a Tlogomas, Lowokwaru, Malang

Tetap sosialisasikan Nilai - Nilai

Kebangsaan

Salam sejahtera!

Mau tanya, istilah 4 Pilar sudah resmi dihapuskan oleh MK. Tapi saya berharap,

mesti dengan nama 4 Pilar, karena sosialisasi niali-nilai kebangsaan tidak perlu terhenti hanya karena nama 4 Pilar. Terima kasih.

Sayadi Fahreza Polewali, Sulawesi Barat.

Tunjangan Remunerasi Polri Agar

Dinaikkan

Hasil evaluasi Lembaga Kontrol Independen Nasional (LKIN) terhadap jumlah nilai remunerasi yang diberikan kepada aparatur kepolisian sudah sangat tidak layak dalam mendukung tingkat kesejahteraan dalam menjalankan tugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Oleh karena itu, pihak MPR RI diminta agar menggagas serta memberikan suatu solusi yang bijak demi peningkatan kesejahteraan seluruh anggota institusi tersebut. Mengingat , tingkat kebutuhan ekonomi, baik pribadi terlebih lagi aparatur yang telah memiliki keluarga, sudah sangat tidak sebanding dengan jumlah yang diberikan untuk mencapai tingkat kesejahteraan dalam meniti kehidupan setiap bulannya.

(9)

Menolak Ormas dan Tindakan Anarkis

D

IRASA sudah kesekian kalinya

melakukan tindakan anarkis, baik kata dan perbuatan, seorang pejabat di daerah merekomendasikan ormas itu kepada Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia agar dibubarkan.

Langkah pejabat daerah itu langsung mendapat respon, ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Mendukung dari langkah itu karena ormas yang membawa-bawa nama agama itu, polah tingkahnya dirasa sudah kelewatan, sering membuat keributan sehingga kehadirannya membuat orang cemas bila berada di sekitarnya. Polah tingkah ormas yang demikian dirasa oleh banyak orang telah mencoreng agama yang disematkan di nama organisasi itu.

Lain yang mendukung, lain pula pendapat yang menolak pembubaran. Dikatakan oleh orang yang menolak pembubaran ormas, tak selamanya mereka melakukan tindakan yang disebut anarkis. Ormas itu diakui juga sering melakukan tindakan nyata kepada masyarakat, seperti ikut membantu masyarakat Aceh saat terjadi tsunami tahun 2004. Ditambahkan oleh yang lain, pembubaran ormas itu tidak akan menyelesaikan masalah sebab di era kebebasan berpendapat seperti yang saat ini kita alami, membuat ormas itu gampang sekali seperti membalikkan telapak tangan

sehingga ketika ormas itu hari ini dibubarkan, malamnya atau esoknya akan muncul ormas baru dengan pengurus dan anggota dari ormas yang dibubarkan.

Anarkis dan kekerasan sekarang bukan menjadi monopoli salah satu kelompok. Entah karena kebebasan yang kebablasan atau karena stress akibat tekanan ekonomi, politik, dan masalah lain, membuat individu atau kelompok masyarakat mudah melakukan tindakan yang sifatnya menyakiti orang lain. Lihat saja, salah satu pendukung klub sepakbola di Kota B menjadi musuh bebuyutan pendukung klub sepakbola dari Kota J. Bila mereka bertemu, tidak hanya saling mengumpat namun saling melakukan tindakan anarkis dan kekerasan. Bus yang ditumpangi oleh pemain dan pendukung klub dari Kota B selalu diserang dengan benda keras dan berbahaya oleh pendukung klub sepakbola dari Kota J bila melintas di wilayahnya.

Rivalitas anarkis kedua klub itu bukan menjadi isu lokal namun sudah menjadi isu nasional sehingga ketika final liga sepakbola, tempat pertandingan dipindah karena dikhawatirkan bila final dilangsungkan di Kota J, akan terjadi ‘perang mahabharata’ antar kedua pendukung klub itu.

Pemindahan tempat final, akibat tindakan saling anarkis, tentu merugikan banyak pihak, sponsor, pengelola klub sepakbola,

dan penonton lainnya. Pemindahan tempat final menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, baik waktu dan uang.

Kalau kita cermati, akar dari kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain, selain diakibatkan oleh besarnya ego juga dikarenakan tidak adanya komunikasi yang terbuka dari kedua belah pihak. Ada pihak-pihak yang menutup diri dari komunikasi. Bila tidak terjadi komunikasi maka tidak ada informasi yang didapat, akibatnya masing-masing terkungkung dalam dunianya masing-masing. Keterkungkungan ini membuat dirinya merasa yang paling benar. Untuk itu, pentingnya di sini membuka komunikasi kedua belah pihak. Komunikasi inilah yang akan meredakan ego, ketegangan, dan membuka saling pengertian. Kedua pihak yang saling melakukan tindakan anarkis, biasanya mereka menjauhi atau enggan membuka dia-log. Untuk itulah perlunya dibuka dialog dan komunikasi bagi siapa saja.

Membubarkan kelompok atau komunitas itu bisa-bisa saja namun itu tidak menyelesaikan masalah. Menteri terkait, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM, pun sangat hati-hati dan terkesan menghindar dalam masalah pembubaran ormas. Mereka hati-hati sebab membubarkan ormas merupakan sensitif dalam berdemokrasi. ❏

(10)

BBM Naik, Bagaimana Kesejahteraan?

S

ELEPAS pukul 21.00 WIB, 17 Novem ber 2014, Presiden didampingi wakil dan menteri terkait melakukan pengumuman kenaikan BBM yang dimulai pukul 00.00 WIB, 18 November 2014. Pengumuman itu sontak menimbulkan keriuhan di media sosial, ada yang setuju, ada pula yang tidak. Pro dan kontra kenaikan BBM yang tertumpah di media sosial tak perlu dituangkan di sini sebab ada kata-kata kasar yang dilontarkan oleh kedua belah pihak.

Tak lama setelah pengumuman itu, di televisi di-live-kan bagaimana situasi sebuah SPBU di Surabaya, Jawa Timur, terjadi antrian panjang orang membeli bensin. Antrian panjang itu bisa jadi karena pengendara motor berebut harga yang belum naik, masih murah dibanding harga sesudahnya, bisa pula antrian yang demikian sudah biasa terjadi meski harga normal.

Yang pasti dari adanya kenaikan harga BBM, cepat atau lambat, akan mendongkrak harga yang lain juga ikut naik. Harga sepiring nasi di warteg yang biasanya Rp10.000, akan membengkak menjadi Rp12.000. Harga sepotong pepaya dari pedagang buah yang biasa mangkal di pinggir jalan yang biasanya dijajakan seharga Rp2.500, akan melompat menjadi Rp3.500.

Bagi orang miskin yang penghasilannya

sehari hanya Rp10.000, kebijakan dari pemerintah yang baru saja dilantik itu menjadi sebuah kiamat kecil. Betapa tidak, dalam keseharian mereka sudah susah maka kenaikan BBM itu akan membuatnya bertambah susah.

Pemerintahan sekarang disebut mempunyai banyak program pembangunan dan janji untuk memberikan jaminan kesejahteraan. Namun keinginan itu terbentur biaya yang ada. Pemerintah pun clingak-clinguk dari mana dana itu diambil. Pilihan itu akhirnya ada pada dana subsidi. Dana subsidi dipilih menutupi kekurangan anggaran pembangunan sebab besarnya subsidi bisa membelalakan mata kita, Rp276 triliun. Bandingkan dengan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum di tahun 2015 yang besarnya Rp81,338 triliun. Bandingkan pula anggaran Kementerian Pertahanan sekitar Rp84-an triliun.

Bila seumpama subsidi BBM itu diguyurkan ke kedua kementerian tersebut maka bangsa ini akan memiliki infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, saluran irigasi, yang memadai dan bagus. Demikian pula TNI akan memiliki alutsista dan alpanhankam pada tahap wajar, bisa pula sudah pada tingkat ideal.

Niat pemerintah untuk menggenjot pembangunan dengan menggunakan dana

subsidi merupakan sebuah langkah yang tepat. Subsidi yang selama ini disebut tak tepat sasaran bila dialihkan ke sektor yang produktif, kelak akan menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

Namun ketika pemerintah menempuh cara seperti ini, maka pembangunan yang dilakukan harus segera bisa dinikmati oleh m a s y a r a k a t . B i l a p e m e r i n t a h menjargonkan revolusi mental, maka juga h a r u s m e r e a l i s a s i k a n r e v o l u s i pembangunan. Ini penting sebab biar masyarakat paham dan mengerti bahwa pengalihan subsidi BBM ke sektor yang produktif benar dan tepat adanya. Jangan sampai masyarakat hanya dibuai dengan janji manfaat pengalihan subsidi ke sektor yang lebih produktif.

Jangan sampai pula pengalihan subsidi BBM dialihkan ke program lain yang sifatnya juga mensubsidi. Pemerintah saat ini gencar sekali melakukan program yang sifatnya mensubsidi. Nilainya tentu tidak kecil. Bila ini dibiarkan dan menjadi kebiasaan maka kelak akan menjadi beban pada pemerintahan selanjutnya. Sama seperti subsidi BBM yang awalnya kecil-kecilan namun karena menjadi kebiasaan, akhirnya menjadi beban dan sulit untuk dihindarkan. ❏

(11)

ISTIMEWA

Kartu Sejahtera Untuk Semua

S

AAT debat calon presiden, Jokowi

memaparkan program mensejahtera-kan rakyat dengan berjanji amensejahtera-kan meluncurkan jaminan pengobatan, pendidikan, dan biaya hidup lainnya. Untuk menyakinkan, ia mengeluarkan sebuah kartu di mana dengan menunjukan benda yang berbentuk segi empat dan terbuat dari mika itu, seseorang dan keluarganya bisa bebas dari biaya pengobatan di rumah sakit, mendapat biaya sekolah, dan tunjangan hidup lainnya.

Janji itu dibuktikan saat dirinya mengunjungi korban letusan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Berada di tengah para korban awan panas, mantan Gubernur Jakarta itu membagikan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indone-sia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Dengan kartu itulah para korban bisa memperoleh bantuan dari pemerintah secara cuma-cuma alias gratis.

Kartu itu kelak akan dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia, tentunya dengan syarat ia tergolong dari kaum tidak mampu. Namun program dari sang presiden itu mendapat penolakan dari beberapa kepala daerah. Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, dengan terus terang menolak KIS. Dirinya menolak sebab daerahnya yang

berada di Kalimantan Timur itu sudah memiliki Jaminan Kesehatan Daerah. Ditegaskan bahwa sekarang adalah otonomi daerah sehingga masalah kesehatan juga urusan kepala daerah. Kartu-kartu lain dari Jokowi pun juga diemohi oleh anak mantan Bupati Syaukani itu. Apa yang dilakukan Rita juga diamini oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Menurut Isran, kartu jaminan dalam kesehatan dan pendidikan itu sudah ada dan beredar di daerahnya.

Dalam soal kartu, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, bisa dikatakan lebih ekstrim. Dalam soal pemberian layanan jaminan kesehatan di kota pahlawan, masyarakat cukup dengan menggunakan sidik jari, dengan menggunakan e-health atau fasilitas e-governence. Semua data masyarakat sudah tercatat dalam fasilitas di informasi teknologi itu. Bagi Risma bila menggunakan kartu, akan memakan biaya untuk ongkos cetak.

Adanya penolakan dari banyak kepala daerah itu menunjukan tidak adanya koordinasi dan pemahaman yang sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Seperti dikatakan oleh Rita dan Isran bahwa program jaminan kesehatan dan pendidikan itu sudah ada di daerahnya. Model jaminan seperti itu memang sudah menjadi trend kepala daerah. Dengan demikian bisa

jadi saat Jokowi menjadi Walikota Solo, ia mengeluarkan kartu jaminan itu.

Bila Jokowi ingin mendorong KIS, KIP, dan KKS menjadi program nasional maka harus ada aturan hukum yang membuat seluruh kepala daerah patuh. Aturan hukum itu tentunya harus di atas perda. Bisa jadi tiga kartu yang dikeluarkan oleh Jokowi itu saat ini belum memiliki payung hukum yang jelas, sehingga selain menjadi perdebatan juga mendapat penolakan dari para kepala daerah. Para kepala daerah berani menolak sebab mereka tahu ketiga kartu itu belum memiliki payung hukum.

Program ini adalah pengalihan dari sebagaian subsidi BBM. Program ini bertujuan mulia, memberi jaminan hidup, pendidikan, dan kesejahteraan kepada rakyat yang tidak mampu. Untuk itulah perlunya kerja sama semua pihak agar masalah yang ada segera diselesaikan, baik aturan hukum, anggaran, cara berlaku, dan nama. Perlunya untuk melepas ego sektoral sebab program ini dan program kepala daerah yang sudah berjalan semua untuk tujuan mulia seperti dalam amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Untuk itu semua harus kompak dalam soal kesejahteraan.❏

(12)

B

Menegakkan

Prinsip-Prinsip

Peringatan Hari HAM Internasional

HAM

Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih dibebani kasus pelanggaran HAM berat pada masa

lalu yang belum tuntas hingga sekarang. Rekonsiliasi merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan

berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut.

S

UMARSIH tidak pernah lelah memperjuangkan keadilan bagi anaknya yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bertahun-tahun sejak anaknya menjadi korban tragedi Semanggi I tahun 1999, ia terus mempertanyakan tentang siapa yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM terhadap anaknya. Menjelang peringatan hari HAM yang jatuh pada 10 Desember 2014, Sumarsih tak bosan mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Menteng, Jakarta Pusat.

“Kalau memang benar mau menyelesaikan kasus HAM, Presiden Jokowi harus buktikan secara konkret. Dia harus bentuk pengadilan

ad hoc untuk kasus HAM,” kata Sumarsih di kantor HAM, Kamis 4 Desember 2014. Tidak hanya Sumarsih, para korban dan keluarga korban lainnya dalam kasus pelanggaran HAM berat juga menuntut hal yang sama. Mereka mendesak Presiden menyelesaikan kasus-kasus HAM berat pada masa lalu yang belum tuntas.

Tuntutan itu wajar. Sebab, dalam visi misi ketika kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden 2014, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla menuangkan program dalam Nawa Cita. Salah satu komitmen capres dan cawapres yang diusung Koalisi Indonesia Hebat itu adalah penyelesaian kasus-kasus HAM melalui reformasi

sistem dan penegakan hukum. “Kami berharap hari HAM jangan dijadikan sekadar perayaan saja,” ujar Sumarsih.

Negara memang masih berutang dalam soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Komnas HAM mencatat ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas (lihat bagian kedua “Tujuh Kasus Pelanggaran HAM yang belum Tuntas”). Tujuh kasus itu merupakan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dibentuk Komnas HAM sejak Desember 2012. Ketujuh kasus itu adalah kasus pembantaian massal pasca G-30-S, kasus Talangsari, penembakan misterius (Petrus), penghilangan orang secara paksa, kasus Trisakti, kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi I dan Semanggi II.

(13)

Lalu, juga ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UU itu disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.

Namun, memang tidak bisa dipungkiri, In-donesia memiliki catatan buruk terkait perlindungan dan penegakan HAM. Ini terlihat dari pelanggaran HAM yang masih marak dari tahun ke tahun. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), misalnya, mencatat sepanjang Januari – November 2013 telah terjadi 709 kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan

aparatur kepolisian. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 448 kasus.

Data lain dari Komnas HAM menyebutkan, sepanjang 2014 telah menerima sekitar 6.000 kasus pelanggaran HAM. Dari seluruh kasus itu, 40% di antaranya ternyata dilakukan oleh aparatur kepolisian.

Ketua Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarulzaman, mengakui bahwa pelanggaran HAM tentu saja masih terjadi. “Pelanggaran HAM tentu saja masih ada karena kita tidak bisa memberikan perlindungan dan menegakan HAM sesempurna seperti kita harapkan.Tapi, jangan dilupakan kemajuan dalam pelaksanaan HAM juga ada,” katanya kepadaMajelis.

Pengakuan serupa juga disampaikan anggota Komnas HAM Prof. Hafid Abbas.

“Saya optimistis bahwa kita memang belum sepenuhnya sampai pada titik yang ideal dalam pelaksanaan HAM, tetapi pelaksanaan HAM kita senantiasa cenderung membaik,” ujarnya kepada Majelis. Hafid memberi catatan bahwa persoalan HAM yang sering dihadapi adalah isu minoritas, kekerasan, dan lainnya. Namun, proses (terjadinya pelanggaran HAM) memang harus dilewati menuju perlindungan HAM yang ideal.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR RI, Soenmanjaya, menjelaskan lebih jauh bahwa secara konstitusional sudah tidak ada lagi celah dalam pelaksanaan HAM. Sebab, dalam UUD NRI Tahun 1945 sudah dicantumkan pasal-pasal HAM yang sangat komprehensif, yaitu Pasal 28 A sampai J. Begitu pula sudah ada UU yang mengimplementasikan amanat konstitusi

(14)

tersebut (UU No. 39 Tahun 1999). Secara kelembagaan juga sudah ada Komnas HAM. “Kita memang perlu bersyukur telah banyak kemajuan dalam pelaksanaan HAM. Tetapi di sana sini memang masih terjadi pelanggaran yang membuat kita prihatin,” ujarnya kepada Majelis. Soenmanjaya mencontohkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi belakangan ini, seperti kasus penyerbuan TNI ke markas kepolisian di Batam, tewasnya seorang demonstran dalam unjukrasa menolak kenaikan BBM di Makassar, atau kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga di Medan. Berbagai kasus itu antara lain karena belum tersosialisasikannya nilai-nilai asasi dari HAM tersebut.

Penilaian serupa juga disebutkan Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang. “Pelaksanaan HAM di Indonesia masih terbilang bagus,” katanya kepada Majelis. Salah satu inti dari HAM adalah nurani. Hak asasi adalah nurani. Namun, Oesman mengingatkan agar dalam pelaksanaan HAM, Indonesia tidak perlu terpengaruh dan ikut-ikutan dengan HAM negara lain. Pasalnya, setiap negara mempunyai perbedaan dalam parameter pelaksanaan HAM.

Oesman juga menjelaskan bentuk pelanggaran HAM bisa beragam rupa. Namun, semuanya memiliki kesamaan, yaitu kekerasan. “Nah, penyebab dari itu semua (pelanggaran HAM) adalah karena potensi konflik dan terjadinya konflik. Konflik menghasilkan pelanggaran HAM, baik pelanggaran HAM kecil, sedang, sampai

pelanggaran HAM berat. Untuk mengurangi dan mengeliminir pelanggaran HAM, penyebab konflik itu harus diselesaikan. Harus ada manajemen konflik yang bagus,” paparnya.

Pelanggaran HAM masa lalu : Rekonsiliasi

Meski harus diakui sudah ada kemajuan dalam pelaksanaan (perlindungan dan penegakkan) HAM, namun HAM di Indone-sia masih dibebani dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang belum tuntas hingga sekarang. Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas juga merasakan persoalan HAM berat di masa lalu seolah-olah membelenggu bangsa In-donesia untuk melangkah ke depan. “Tapi memang kita juga tidak bisa mengabaikan masa lampau dengan memfokuskan perhatian pada masa kini. Masa lampau,

masa kini, dan masa depan itu saling bertautan secara linier,” ujarnya.

Soenmanjaya juga berpendapat sama. Dia menyebutkan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Ini bisa menjadi bom waktu, karena itu persoalan HAM masa lalu harus diselesaikan. Memang perlu dibatasi kurun waktu pelanggaran HAM berat itu terjadi. Apakah pada masa kemerdekaan, pada masa Orde Baru, atau pada masa reformasi saja,” katanya.

Lalu bagaimana jalan keluarnya? Soenmanjaya menegaskan bahwa prinsip hukum adalah retroaktif, artinya tidak berlaku surut. Jadi, memang perlu ada pembatasan kapan pelanggaran HAM masa lalu yang ingin diselesaikan. “Selain itu, kita juga perlu mengangkat kembali tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional meski UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (UU No. 27 tahun 2004) telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

Menurut Soenmanjaya, penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu bisa dilakukan secara hukum dan rekonsiliasi. “Melalui rekonsiliasi memang cukup mulia, tetapi kasusnya harus diselesaikan dulu secara hukum. Pada saat terjadi rekonsiliasi harus sudah tidak ada masalah lagi. Aspek hukum bisa juga diselesaikan dalam rekonsiliasi. Jika ada pihak yang masih tidak puas bisa melakukan jalur hukum karena negara kita negara hukum. Yang pasti, pelanggaran HAM berat masa lalu jangan menjadi bom waktu,” jelasnya.

Rambe Kamarulzaman juga mengakui, Rambe Kamarulzaman

(15)

masih adanya masalah yang mengganjal dalam HAM. “Meskipun kita sudah bergerak melangkah, tapi memang ada soal HAM yang belum tersentuh sama sekali, yaitu pelanggaran HAM berat masa lalu. Sangat disayangkan, penyelesaian melalui UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatal-kan MK. Sampai sekarang UU- rekonsiliasi itu belum terbentuk lagi,” katanya.

Ketua Komisi II DPR RI itu juga melihat masyarakat ingin agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa segera dituntaskan. Namun, karena UU yang menyangkut penyelesaian kasus itu dibatalkan MK, akhirnya kasusnya menggantung. “Padahal harus ada dasar hukum dalam penyelesaian kasus

pelanggaran HAM berat masa lalu. Seharusnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terbentuk kembali. Pemerintah tidak bisa menyelesaikan persoalan HAM itu. Kalau pelanggaran HAM berat masa lalu ingin dihapuskan atau diputihkan maka harus ada badan yang ditentukan UU untuk mengeluarkan keputusan soal itu,” urainya. Hafid Abbas juga sepakat bahwa rekonsiliasi merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. “Misalnya saja kasus 1965, masa kita ngotot membawa ke meja hijau padahal orang-orangnya sudah sepuh, berusia 90 sampai 100 tahun? Sebaiknya dalam persoalan ini kita bawa saja pada proses rekonsiliasi sehingga

mereka bisa menikmati hari tuanya. Banyak jalan yang bisa kita tempuh untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lampau itu,” katanya.

Hafid Abbas mengungkapkan, ada tiga jalan tol untuk mengatasi semua persoalan HAM. Pertama, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum 2000, seperti peristiwa Westerling dan lainnya, bisa kita bawa ke pengadilan ad hoc. Lalu, bisa diadopsi bagaimana Dewan Keamanan PBB menghadapi kejahatan di Yugoslavia atau Ruwanda. Selanjutnya, DPR bisa menyetujui jalan keluar itu dan presiden pun bisa menetapkan penyelesaian kasus itu.

Kedua, kalau pelanggaran HAM terjadi setelah 2000 maka bisa dibawa ke pengadilan HAM yang sudah ada, yaitu di Surabaya, Makassar, Medan, dan Jakarta. “Kalau kedua hal itu tidak bisa diselesaikan masih ada jalan ketiga, yaitu diselesaikan melalui rekonsiliasi. Jadi, siapa pun yang melakukan pelanggaran HAM tidak mungkin tanpa solusi, apalagi negara kita adalah negara hukum. Memang upaya ini belum optimal, tentu saja karena kita baru memulai proses ini,” katanya.

Hafid Abbas memberi pesan bahwa HAM adalah esensi dalam menciptakan rasa aman dan menjalankan pembangunan. “Rasa aman dan pembangunan tidak mungkin terwujud kalau tidak ada HAM. Ham adalah ruhnya. Saya kira tidak akan ada tempat bagi pelanggar HAM selama esensi HAM itu terpelihara, seperti keadilan, pemerataan, tidak ada diskriminasi,” katanya.

Maka, menurut Soenmanjaya, menjadi penting menyosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal IKa seperti dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam sosialisasi itu terkandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM. Bahkan, bila perlu pemerintah memasukkan HAM dalam kurikulum sekolah yang disertai implementasi dan contoh.

“Perlu juga sosialisasi (pemahaman HAM) kepada ke berbagai lapisan masyarakat secara masif, terutama TNI dan Polri. Para pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR, juga perlu mendalami masalah HAM, agar jangan sampai terjadi kekosongan hukum berkaitan dengan HAM,” pungkasnya. ❏

Derry Irawan/M. Budiono/Budi Sucahyo

(16)

Tujuh Kasus Pelanggaran HAM

yang Belum Tuntas

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat masih ada tujuh

kasus pelanggaran HAM yang perlu segera diselesaikan. Jika tidak

dituntaskan, kasus pelanggaran HAM itu akan terus menjadi beban

sejarah.

N

EGARA ternyata masih punya “utang’ dalam penyelesaian kasus hukum pelanggaran hak asasi manusi (HAM) berat. Beban tersebut ternyata sudah berlangsung sejak lama dan diemban dua presiden terakhir, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo. Apalagi presiden periode 2014 – 2019—karena SBY sudah terlepas dari beban itu—harus memikul beban penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini.

Dari catatan Komnas HAM, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. Tujuh kasus itu merupakan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dibentuk Komnas HAM sejak Desember 2012. Saat itu, sebenarnya ada 10 kasus yang direkomendasikan Komnas HAM agar diselesaikan secara hukum oleh negara. Namun, tiga di antaranya sudah memasuki proses persidangan, yaitu kasus kekerasan di Abepura, kasus Timor Timur, dan Tanjung Priok.

Sementara tujuh kasus pelanggaran HAM berat lainnya sudah berada di Kejaksaan Agung. Namun, lembaga negara itu belum

melakukan peningkatan status ketujuh kasus tersebut. Ketujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah kasus (kekerasan) di Trisaksi, kasus Semanggi I, dan Semanggi II, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius (Petrus), pembantaian massal pasca G-30-S, dan kerusuhan Mei 1998.

Kejaksaan Agung mengembalikan tujuh berkas perkara itu ke Komnas HAM karena petunjuk yang diinginkan kejaksaan belum terpenuhi. Sejumlah berkas pelanggaran HAM berat hasil penyelidikan pro justisia dilakukan Komnas HAM antara lain peristiwa Trisaksi, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999). Berkas kasus itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung pada April 2002, namun proses penyidikan tidak berjalan.

Kemudian berkas peristiwa Mei 1998 yang diserahkan ke Kejaksaan Agung pada September 2003, penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 diserahkan November 2006, peristiwa Talangsari Lampung 1989 diserahkan Oktober 2008 dan peristiwa Wasior-Mamena Papua 2001 dan 2003 diserahkan September 2004.

Inilah sekilas tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Pembunuhan massal pasca G-30-S

Pembunuhan massal di Indonesia dalam kurun waktu 1965 – 1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September. Dalam pembunuhan massal itu diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam transisi ke Orde Baru.

Pembunuhan dimulai Oktober 1965 dan mulai mereda pada awal 1966. Pembunuhan dan penangkapan anggota yang diduga aktivis Partai Komunis dimulai dari ibukota Jakarta, kemudian melebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante

(orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara Angkatan Darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh anggota PKI.

Penembakan Misterius (Petrus)

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi rahasia dari pemerintah Soeharto pada 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan begitu tinggi saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap karena itu muncul istilah “Petrus” (penembak misterius). Pada 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada 1984 ada 107 orang tewas, 51di antaranya tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.

Peristiwa Talangsari, Lampung 1989

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparatur keamanan di Dusun Talangsari III, Desa

(17)

Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Nurhidayat dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan. Namun, gerakan itu tercium aparatur keamanan. Pada 7 Februari terjadi penyerbuan ke Talangsari oleh aparatur keamanan. Sebanyak 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi. Kemudian kejadian itu terkenal dengan peristiwa Talangsari, Lampung.

Penghilangan orang secara paksa

Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa terhadap aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1998. Selama periode 1997/1998 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari jumlah itu, satu orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya belum ditemukan hingga hari ini.

Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, Andi Arief. Sedangkan 13 aktivis yang belum dtemukan berasal dari berbagai organisasi seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan Mahasiswa. Mereka adalah Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser.

Peristiwa Trisaksi

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan pada 12 Mei 1998 terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi

menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus terkena peluru tajam di tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Diawali dengan demonstrasi damai oleh civitas akademika Universitas Trisakti. Namun, kemudian berubah menjadi anarki setelah tindakan provokatif aparatur kepada mahasiswa yang menyebabkan beberapa mahasiswa terpancing emosinya. Bersamaan dengan itu aparatur secara membabi buta menyerang mahasiswa dengan tembakan dan gas air mata. Aparatur tetap mengejar mahasiswa dan melakukan tindakan kekerasan (memukul, menginjak, dipopor senjata). Mahasiswa yang telah berada dalam kampus pun tak luput dari sasaran tembak beberapa sniper.

Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei – 15 Mei 1998, khususnya di ibukota Jakarta, namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan diawali krisis keuangan Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa (Tiongkok).

Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tiongkok diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai,

dianiaya secara sadis kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tiongkok yang meninggalkan Indonesia. Tidak lama setelah kejadian berakhir, dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelelidiki kerusuhan ini. TGPF mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan “Laporan TGPF”.

Semanggi I dan Semanggi II

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal Tragedi Semanggi I pada 11 – 13 November 1998 pada masa pemerintahan transisi Indonesia. Pada peristiwa ini,17 warga sipil tewas. Kala itu, masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwi fungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakan Sidang Istimewa, masyarakat bergabung dengan mahasiswa melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta.

Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Untuk kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan terhadap aksi mahasiswa. Kala itu ada desakan untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB). Mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Dalam aksi itu, mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap, meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

(18)

Pelaksanaan HAM Sudah Bagus

Oesman Sapta Odang,

Wakil Ketua MPR RI

S

ETIAP 10 Desember, seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Tanggal itu dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang HAM, pada 10 Desember 1948.

Bangsa Indonesia pun menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ini tercermin dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Beberapa pasal dalam konstitusi Indonesia pun sangat menekankan pentingnya hak asasi manusia. Namun, bagaimana penerapan dan pelaksanaan HAM di Indonesia? Mengapa pelanggaran HAM masih saja terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, Majelis mewawancarai Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang. Berikut perbincangan Deri Irawan dari Majelis dengan Oesman Sapta Odang beberapa waktu lalu. Petikannya.

Bagaimana Bapak melihat pelaksanaan dan perlindungan HAM di Tanah Air saat ini? Apakah sudah sesuai konstitusi dan UU tentang HAM? Atau, masih jauh dari harapan?

Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di

Indonesia masih terbilang bagus. Tapi yang perlu ditegaskan adalah Hak Asasi Manusia adalah nurani kita semua. Hal itu yang perlu ditegaskan. Namun, dalam pelaksanaanya di Indonesia harus dipikirkan kembali. Karena penerapan HAM di Indonesia jangan sekali-kali ikut-ikutan HAM internasional.

Apakah masih terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM?

Pelanggaran HAM terjadi akibat adanya suatu konflik. Beberapa penyebab terjadinya konflik di Indonesia antara lain: Pertama, karena kebijakan pembangunan. Kebijakan pembagunan yang sentralistik dan tidak merata selama puluhan tahun sebelumnya telah menyebabkan ketidakpuasan rakyat di beberapa daerah. Kondisi ini sering sekali menyebabkan konflik vertikal ( pusat-daerah) dan horizontal (lokal-pendatang).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebijakan pemerintah yang terkadang cenderung lebih menguntungkan kelompok pendatang juga menambah potensi konflik sosial yang melibatkan emosionalitas dalam aspek komunal.

Kedua, belum adanya kedewasaan politik para politisi. Perubahan sistem politik yang tidak disertai dengan kedewasaan para politisi telah ikut menyumbang terjadinya konflik. Beberapa kasus kekerasan komunal yang terjadi pada saat kontestasi politik

(Pemilukada dan Pileg) adalah contoh akibat dari mobilisasi dan provokasi yang dilakukan oleh para politisi yang belum memiliki kedewasaan politik.

(19)

konteks penafsiran yang luas dan ter-gantung pada ideologi kelompok sosial-keagamaan tertentu.

Pemeluk agama yang memakai isu-isu agama yang tidak toleran berpotensi menimbulkan konflik-konflik sosial dengan pemeluk agama lain, pemeluk agama yang sama, dan pemeluk kepercayaan yang dianggap tidak beragama. Hal ini akan berubah menjadi kekerasan bila ajaran agama yang intoleran tersebut berkelompok dalam organisasi yang radikal, militan dan melanggar kewarganegaraan di ruang publik.Keempat, pertentangan elit dan ego sektoral lembaga negara.

Lalu,kelima, melemahnya mekanisme tradisional dan memudarnya identitas budaya asli. Dan, keenam, adanya intervensi asing. Pemerintah yang kurang mendapatkan dukungan dari rakyatnya, menurunnya pendapatan ekonomi masyarakat, dan kurangnya lapangan pekerjaan membuat pihak luar negeri (asing) mudah masuk ke lokasi rawan konflik. Konflik-konflik etnis atau pemeluk agama yang berawal dari penguasaan sumber daya alam sangat mudah mengundang masuknya intervensi asing.

Karena itu perlu adanya manajemen konflik yang baik, yang harus diketahui, dipelajari dan diterapkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Jadi, kalau manajemen konflik bagus, konflik tidak ada maka tidak ada pelanggaran HAM. Saya rasa itu yang harus diperhatikan.

Apa saja bentuk pelanggaran HAM? Bisa bermacam-macam. Intinya adalah kekerasan. Nah penyebab dari itu semua adalah adanya potensi konflik dan terjadinya konflik, seperti yang sudah saya jelaskan. Intinya adalah kita harus melakukan manajemen konflik yang baik.

Menurut Bapak, bagaimana mengu-rangi atau mengeliminir pelangggaran HAM?

Pelanggaran HAM terjadi disebabkan adanya konflik. Konflik akan menghasilkan pelanggaran HAM, mulai dari yang kecil, sedang, sampai berat. Untuk mengurangi dan mengeliminir pelanggaran HAM, ya harus diselesaikan penyebab konflik. Harus ada manajemen konflik yang bagus.

Yang paling mendasar adalah kita semua harus memahami Pancasila sebagai dasar

dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila merupakan dasar falsafah (philosofische grondslag), pandangan hidup (weltanschauung), ideologi nasional, sekaligus ligatur (pemersatu) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila harus menjadi ‘meja statis’ yang artinya harus menjadi dasar pijakan dalam menyusun dan menetapkan segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang

ada di Indonesia. Pancasila juga harus menjadi sebuah ‘Leitstar dinamis’, yakni suatu bintang pengarah yang menjadi kompas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apa yang bisa dilakukan MPR dalam hal HAM?

Lembaga MPR RI pada periode kepemimpinan lalu dan sekarang komit melakukan sosialisasi janji-janji kebangsaan (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) yang dulu dikenal sebagai Empat Pilar berbangsa dan bernegara. Itu adalah upaya MPR mengajak seluruh rakyat Indonesia memahami kembali dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa tersebut.

Upaya kita lainnya adalah berusaha menengahi beberpa perselisihan antar kubu politik tingkat elit seperti KIH dan KMP. Hal ini akan berpotensi terjadi konflik dan

pelanggaran HAM. Maka, pimpinan MPR berusaha menengahi antara dua kubu ini agar jangan lagi berselisih demi rakyat dan bangsa.

Lainnya adalah, saat kami baru dilantik menjadi Pimpinan MPR RI, kami langsung road show ke berbagai elemen masyarakat dan berbagai tokoh masyarakat yang berbeda-beda untuk menghadiri acara pelantikan Presiden dan Wapres RI terpilih. Hal ini mudah-mudahan menjadi pembelajaran dan teladan baik untuk semua rakyat agar bersatu tanpa melihat perbedaan.

Apa yang masih menjadi harapan

dalam pelaksanaan HAM (harapan terhadap pemerintahan baru dalam hal pelaksanaan dan perlindungan HAM)? Hak asasi manusia itu harus dibangun di negara masing-masing dulu. Khusus untuk Indonesia, kita selesaikan dulu pengaturan hak asasi manusia di negara sendiri, baru kita bicara soal internasional. Jangan internasional mengintervensi kita di dalam negeri. Kejadian dan fokus penerapan HAM antara satu negara dengan negara lain berbeda-beda atau tidak sama. Dengan kata lain, kasus soal HAM tidaklah sama antar-negara, antara satu negara dan negara yang lain pasti berbeda dan penyelesaiannya pun akan berbeda.

Jadi kita harus memiliki mekanisme HAM dalam negeri dulu. Itu yang harus dipatuhi. Jadi jangan selalu kita ikut-ikutan inter-nasional. Di negara mereka juga penerapan HAM-nya belum tentu benar.❏

(20)

NASIONAL

Secara konstitusi Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemilu

proporsional, dan menganut sistem multi partai. Namun, “Sampai sekarang, pemerintahan

demokratis yang dibangun belum stabil,” kata Zulkifli.

N

ASIONAL

K

EHADIRAN Ketua MPR RI DR. HC. Zulkifli Hasan, SE.,MM., di

ballroomHotel Bumi Minang di Kota Padang, Sumatra Barat, Jumat 21 November 2014, disambut tarian Pasambahan yang dipersembahkan para penari dari sanggar Satampang Baniah Sumatra Barat. Tarian tradisional Minangkabau ini ditampilkan untuk menyambut tamu kehormatan, yang hari itu tamu kehormatannya adalah Ketua MPR Zulkifli Hasan beserta rombongan dari Jakarta.

Itulah sebuah prosesi adat mengawali acara pembukaan Semi-nar Nasional Kebangsaan bertema: “MPR RI dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil di Indonesia.” Setelah tarian berlalu, tepat pukul 09.30 WIB, acara pun dimulai dengan menyanyikan lagu Indo-nesia Raya. Lalu, diteruskan kata laporan Kepala Pusat Pengkajian (Puskaji) Setjen MPR Ma’ruf Cahyono dan sambutan Rektor Universitas Andalas (Unand) Prof. DR. Weri Darta Taifur, SE, MM., selaku tuan rumah.

Seminar yang diselenggarakan oleh MPR bekerjasama dengan Unand ini ternyata menarik peminat yang cukup besar. Pihak penyelenggara semula hanya menyediakan 300 tempat duduk untuk peserta, dan ternyata yang hadir mencapai 400 peserta lebih. Akibatnya, pihak panitia harus menyediakan kursi tambahan, dan

bahkan tidak sedikit duduk di lantai. Seminar ini juga punya daya tarik buat puluhan wartawan di Padang. Mereka mengikuti seminar hingga selesai.

Salah satu daya tarik seminar ini, selain kehadiran Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, juga tampilnya tokoh-tokoh nasional sebagai pembicara (narasumber). Mereka adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.,MH., Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH, SU., Prof. Dr. Saldi Isra yang ketiga Pakar Hukum Tata Negara yang asing lagi di Indone-sia. Selain narasumber dari kalangan anggota MPR sendiri, yaitu: H. Abidin Fikri, SH., (Fraksi PDI Perjuangan), Drs. Bambang Sadono, SH.,MH., (Kelompok DPD), dan H. TB. Soenmandjaja (Fraksi PKS).

Kepala Puskaji Ma’ruf Cahyono dalam laporannya menyatakan, seminar seperti ini telah diselenggarakan di berbagai kota di Indone-sia. Pada periode kepemimpian MPR 2009-2014 telah melahir satu rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode 2014-2019. Nah, seminar yang membahas MPR dan Sistem Presidensiil ini, menurut Ma’ruf Cahyono, ada tiga hal ingin dicapai, yakni: bagaimana memahami sistem presidensiil, dimensi kajian, dan serap aspirasi dalam rangka pendalaman konsep sistem ketatanegaraan kita.

Seminar kemudian dibuka secara resmi oleh Ketua MPR RI Zulkifli

Sistem

Presidensiil

Masih

Kurang Efektif

(21)

Hasan dengan pemukulan gong, setelah sebelumnya menyampaikan pidato pengantar diskusi (keynote speech). Dalam pidatonya, Zulkifli Hasan menyatakan,

semi-nar ini sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan bangsa hari ini dan masa depan dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dengan tetap berlandaskan nilai-nilai

konstitusi.

Salah satu aspek yang menentukan dalam penyelenggaraan Negara adalah sistem pemerintahan yang dianut suatu Negara. Amandemen UUD Tahun 1945, menurut Zulkifli Hasan, telah membawa konsekuensi yang luas berupa terjadinya perubahan set-tingkekuasaan pemerintahan. Perubahan ini kemudian berkembang luas dan mengarah pada perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang seyogyanya dikembangkan di Indonesia masa depan.

Salah satu persoalan penting yang masih menjadi perdebatan, menurut Zulkifli Hasan, adalah mengenai sistem pemerintahan. Secara konstitusi Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemilu proporsional, dan menganut sistem multi partai. “Sampai sekarang, pemerintahan demokratis yang dibangun belum stabil,” kata

(22)

S

EMINAR Nasional Kebangsaan “MPR RI dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil di Indonesia” yang berlangsung di Padang pada 21 November 2014 telah melahirkan 6 (enam) butir rekomendasi. Rekomendasi tersebut disusun oleh Tim Perumus berdasarkan masukan-masukan dari keynote speech yang disampaikan Ketua MPR RI DR. HC. Zulkifli Hasan, SE., MM., dan orasi ilmiah oleh pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie. Selain paparan dari sejumlah narasumber, yaitu: Prof. Mahfud MD., Prof. Saldi Isra, Drs. Bambang Sudono, S.H., M.H.; H. TB Soenmandjaja, dan Abidin Fiqri, S.H., serta dinamika yang berkembang selama seminar ini berlangsung.

Adapun isi rekomendasi tersebut sebagai berikut:

1. Pidato kenegaraan yang disampaikan di hadapan sidang MPR adalah sebagai bentuk representasi perwakilan aspirasi seluruh masyarakat Indonesia, baik aspirasi masyarakat secara politik maupun aspirasi masyarakat di daerah. Sehingga tidak saja menghemat anggaran negara, tetapi juga memfungsikan MPR sebagaimana desain UUD NRI Tahun 1945.

2. Sidang tahunan MPR sudah semestinya menjadi tempat lembaga-lembaga negara, termasuk MPR RI, untuk menyampaikan capaian kinerja selama satu tahun. Namun, penyampaian tersebut tidak ditujukan untuk mendapatkan penilaian MPR tetapi semata-mata sebagai bentuk penyampaian capaian kinerja kepada rakyat. 3. MPR harus aktif melakukan kajian ketatanegaraan, terutama perkembangan kekinian

sehingga dapat menjadi wadah pertemuan para negarawan dalam rangka merumuskan sistem kehidupan bernegara yang sesuai perkembangan zaman 4. MPR harus diletakkan sebagai lembaga penyeimbang di antara semua kepentingan

warga bangsa dan warga negara, serta mampu melepaskan kepentingan kelompok dan partai politiknya;

5. MPR menjadi tempat penataan sistem ketatanegaraan dan pembangunan berkesinambungan yang memutus sekat-sekat kepemimpinan pada setiap periode jabatan Presiden dan DPR, serta DPD. Penataan itu dapat dilakukan dengan mengkaji ulang keberadaan Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai rambu-rambu kehidupan bernegara;

6. Sebagai lembaga kajian konstitusi, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas akan menjadi pusat kajian terdepan dalam mendukung upaya menegakkan gagasan konstitusional dan norma hukum tata negara yang mesti diberlakukan melalui kerjasama dengan MPR-RI dan pihak-pihak terkait lainnya. Rekomendasi ini sebagai sumbangsih seminar nasional di Ranah Minang buat bahan penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan peran MPR RI ke depan. Karena itu, Seminar Nasional Kebangsaan Padang berharap, rekomendasi ini mampu ditindaklanjuti pihak-pihak berkepentingan sebagai kontribusi pemikiran dan tindakan yang lebih baik dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia.

SCH

Zulkifli. Rumusan sistem presidensiil dalam penerapannya masih dianggap sulit. Bahkan berjalan kurang efektif. Apalagi didukung lemahnya performa dan lemahnya lembaga presiden dalam menjaga stabilitas politik.

Oleh karena itu, kata Zulkifli, perlu desain sistem pemerintahan presidensiil yang efektif dengan penataan kembali, baik secara institusional maupun non institusional. “Patut direnungkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar, bangsa yang setiap waktu berbenah diri,” ujar Zulkifli Hasan pada acara yang juga dihadiri Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno itu.

Usai pidato Ketua MPR dilanjutkan orasi ilmiah disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. Dalam orasi berjudul Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyoroti sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Profesor Jimly, dalam perjalanan 15 tahun reformasi, tanpa disadari, timbul gejala anomi dan anomali sebagai akibat sistem norma yang tumpang tindih dan pergeseran-pergeseran yang menyebabkan norma lama telah ditinggalkan, sementara norma baru belum efektif.

Rangkaian acara pembukaan seminar hari itu ditutup dengan peluncuran buku “10 Tahun Bersama SBY” karya Prof. Dr. Saldi Isra, pakar Tata Negara dari Universitas Andalas Padang. Dalam peluncuran buku ini menampilkan Profesor DR. Mohammad Mahfud MD, mantan Ketua MK, sebagai pembicara tunggal. ❏

SCH

Rekomendasi Seminar Kebangsaan Padang

(23)

P

ADA Seminar Nasional Kebangsaan di Hotel Bumi Minang, Padang, 21 No vember 2014, Profesor DR. Mohammad Mahfud MD menyampaikan makalah berjudul: “MPR Dalam Sistem Presidensiil,” —sesuai dengan tema semi-nar “MPR dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil di Indonesia.” Karena isi makalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)ini kami anggap penting, karena ada kaitannya dengan peran MPR ke depan, maka pokok-pokok pikiran Profesor Manfud MD yang tertuang dalam makalah tersebut kami kutip beberapa bagian, dan kami sajikan untuk pembaca Majelis.

Pada awal refomasi ada pandangan umum bahwa kalau mau melakukan reformasi maka harus membenahi sistem politik dari yang otoriter ke yang demokratis. Demokratisasi politik harus dilakukan, sebab hanya sistem politik yang benar-benar demokratis bisa memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena pemerintah otoriter selalu muncul pada saat berlakunya UUD 1945 asli (ditetapkan 18 Agustus 1945). Dengan segala penafsiran

dan praktiknya maka upaya membangun sistem politik yang demokratis haruslah dilakukan melalui reformasi kostitusi atau amandemen UUD 1945.

Demikianlah pada periode 1999-2002, MPR hasil pemilu 1999 melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dalam empat tahap. Salah satu komitmen penting dari amandemen UUD 1945 adalah memperkuat sistem Presidensiil agar pemerintah bisa kuat dan stabil, tetapi tetap berpijak pada prinsip sekaligus mekanisme yang demokratis. Menurut UUD 1945 hasil amandemen — yang resmi disebut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 — hubungan antara lembaga negara tidak lagi bersifat verstikal-struktural, tetapi bersifat horizontal-fungsional.

Hubungan bersifat horizontal-fungsional ini artinya tidak ada lagi lembaga negara yang lebih tinggi dari yang lain, semua sejajar, hanya dibedakan dalam fungsi. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Di tingkat pusat semua berjumlah delapan, yaitu: MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY.

Presiden adalah Kepala Negara dengan simbol RI-1, tetapi ia bukan lembaga tertinggi dalam struktur ketatanegaraan. Begitu pun MPR, meskipun berhak menetapkan dan mengubah UUD atau memilih Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang berhalangan tetap dalam masa jabatannya, tetapi MPR bukanlah lembaga tertinggi negara. MPR mempunyai kekuasaan karena secara fungsional UUD memosisikan seperti. Dua hak dan wewenang penting MPR yang ada sebelum reformasi, yakni memilih Presiden/ Wakil Presiden dan mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regelings) dicabut oleh konstitusi baru.

Pemosisian hubungan antara MPR dan Presiden dan atau dengan lembaga negara lainnya seperti itu di dalam sistem Presidensiil tidak ada yang salah. Mengapa? Karena sebenarnya, di manapun, konstitusi itu tidak ada yang benar atau salah, bahkan juga tidak ada konstitusi yang secara kategoris baik atau buruk. Benar dan salah atau baik dan buruk itu relatif. Benar kata kelompok A, salah kata kelompok D; bagus kata kelompok C, buruk kata kelompok B. Faktanya, selalu saja ada yang mempersoalkan isi konstitusi.

MPR Dalam Sistem Presidensiil

FOTO-FOTO: HUMAS MPR RI

(24)

Oleh sebab itu, lepas dari soal benar dan salah atau baik dan buruk, konstitusi itu mengikat dan harus diikuti atau ditaati sebagai kesepakatan (resultante) oleh pembentuknya secara sah.

Memantapkan MPR sekarang

Setelah menguraikan secara panjang lebar mengenai Presidensiil, baik yang diberlakukan pada masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Refosmasi, akhirnya Profesor Mahfud MD dalam makalahnya menyimpulkan dua hal, yaitu: Pertama,

kedudukan dan fungsi MPR RI di dalam konstitusi yang ada sekarang ini, seperti juga masa lalau, tidak salah dan tidak jelek. Ia berlaku karena resultante pada aktornya melalui prosedur yang sah. Maka, tidak perlu lagi kita memperdebatkan apakah sistem perwakilan yang kita anut itu bikameral atau trikameral, atau monokameral.

Kedua, meskipun begitu, ia tetap bisa diubah dengan resultante baru jika ada pemikiran dan arus kuat untuk melakukannya. Dengan posisi dan fungsi, hak, dan wewenang yang dimiliki oleh MPR saat ini implementasinya bisa dimaksimalkan. Profesor Mahfud MD kemudian mengakhir presentasinya dengan dua cacatan:Pertama, MPR yang merupakan wadah anggota-anggota dapat membangun keseimbangan politik dan meredam ketegangan antarlembaga politik yang kerapkali terjadi selama era reformasi. MPR perlu menjaga agar ancaman impeachment

jangan terlalu diobralkan, dan MPR harus menjaga betul bahwa impeachment itu hanya dapat dilakukan kalau ada alasan tertentu yang ketat, serta harus melalui presedur politik dan yuridis (pengadilan) secara proporsional.

Kedua, sebagai lembaga pembentuk konstitusi melalui kesekjenan dan arahan pimpinannya, MPR dapat melakukan sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 untuk membangun kesadaran berkonstitusi agar sebanyak mungkin warga negara mengetahui isi konstitusi dan mau menaatinya.

Ketiga,MPR harus menyikapi dengan bijak dan mengolah dengan obyektif pandangan-pandangan masyarakat tentang usul perubahan kembali UUD 1945. Seperti diketahui, akhir-akhir ini adakalanya muncul keinginan dan usul agar UUD 1945

diamandemen lagi, bahkan ada yang menginginkan kembali ke UUD 1945 asli (yang disahkan 18 Agustus 1945). Usul-usul dan aspirasi tersebut harus terus diolah, sebab secara konstitusional MPR-lah yang berhak menetapkan berlakukannya UUD.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal perubahan UUD 1945 adalah ketentuan dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 bahwa usul perubahan tidak bisa diajukan terhadap keseluruhan isi UUD, melainkan harus diajukan dengan menunjuk bagian (Pasal atau ayat) tertentu disertai alasan perubahan, dan usul perubahan untuk masing-masing bagian itu. Ketentuan ini agak menyulitkan untuk melakukan perubahan yang komprehensif dengan struktur yang

baik dan isi yang koheren sebagai sebuah bangunan sistem yang bisa kita bangun sendiri.

Oleh karene itu, MPR perlu mengkaji kemungkinan untuk melakukan amandemen lebih dulu terhadap Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 sehingga ada peluang perubahan secara lebih baik, tetapi tetap ketat dan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Seumpama pun MPR sekarang mau berinisiatif menampung gagasan perubahan atas UUD 1945 maka agar tak terjebak dalam politisasi dan kepentingan jangka pendek, hasil perubahan itu dinyatakan berlaku setelah masa bakti MPR periode yang akan datang.❏

(25)

Milad Muhammadiyah

Kontribusi Muhammadiyah

Dalam Demokratisasi

P

ULUHAN angkot atau yang lebih dikenal dengan sebutan line, malam itu, 19 No-vember 2014, nampak terpakir di kanan kiri Gedung Islamic Center, Surabaya, Jawa Timur. Berdesak-desakan dengan mobil yang lain, membuat lineyang lain dengan terpaksa harus berparkir di tepi Jl. Raya Dukuh Kupang.

Angkutan masyarakat yang biasa melayani warga Kota Pahlawan ke berbagai tempat, saat itu, berada di Islamic Center karena untuk mengangkut para warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru Surabaya untuk mengikuti Milad ke-105 Muhammadiyah. Milad yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah DPD Kota Surabaya itu diikuti oleh 2.500 orang. Tak heran bila Gedung Islamic Center penuh.

Wakil Sekretaris Muhammadiyah DPD Kota Surabaya, Andi Hariyadi, mengatakan, peserta milad yang hadir dalam acara itu selain simpatisan dan anggota, mereka adalah pengurus tingkat ranting, cabang, amal usaha, dan organisasi pemuda dan pelajar yang bernaung di organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan itu.

Bahkan Andi tak malu-malu mengungkap-kan, di antara ribuan hadirin ada sekitar 15 mantan PSK Gang Dolly dan Jarak. Mereka ikut dalam acara itu tentu bukan untuk main-main namun mereka sudah menjadi binaan Muhammadiyah. “Mereka kita bina sebelum lokalisasi itu ditutup,” ujar guru di salah satu sekolah Muhammadiyah itu. Mereka dibina dengan berbagai ketrampilan.

Dituturkan, milad itu diselenggarakan selain untuk memberikan tauziah, pencerahan, seperti tema,Gerakan Pencerahan Menuju Indone-sia Yang Berkemajuan, juga untuk melakukan konsolidasi dan penguatan organisasi menjelang Muktamar Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, 2015.

Sebelum acara puncak milad, yakni orasi kebangsaan yang disampaikan oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan, para hadirin dihibur dengan berbagai kesenian, seperti tari remo dan de Java barongsai.

Acara itu juga dihadiri oleh Pengurus Muhammadiyah DPW Jawa Timur. Wakil Ketua Muhammadiyah DPW Jawa Timur, Sulthon Amin, dalam sambutannya mengatakan Muhammadiyah saat ini kalau

diibaratkan dengan orang, sedang mengalami kegemukan. Bila orang kegemukan maka gerakannya menjadi lamban. “Sekarang gerak Muhammadiyah lamban. Untuk itu perlu dievaluasi,” ujarnya. Zulkifli Hasan yang juga sebagai anggota aktif Muhammadiyah, dalam orasinya mengakui warga Muhammadiyah sudah paham dan mengerti Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Sekarang kita harus lebih maju lagi, tidak sebatas memahami namun mengimplementasi dalam kehidupan sehingga menjadi budaya dan perilaku keseharian,” paparnya.

Menurut politisi PAN itu, bangsa ini baru saja melakukan proses demokratisasi. Proses yang demikian disebutnya sangat mengagumkan sebab tidak semua bangsa, khususnya bangsa di Timur Tengah, bisa melakukan. Demokratisasi di Indonesia sangat istimewa karena bangsa ini mayoritas ummat Islam. “Ummat Muslim di Indonesia bisa melaksanakan demokrasi dengan baik,” ujarnya.

Proses transformasi kekuasaan yang terjadi secara damai dan baik, menurut Zulkifli, diakui oleh seluruh dunia. Indonesia bisa seperti demikian, diakui oleh pria asal Lampung itu karena ada kontribusi dan peran yang besar dari Muhammadiyah. “Oleh karena itu bangsa Indonesia harus berterima kasih kepada Muhammadiyah,” ujar Zulkifli. Ke depan, bangsa ini akan menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Untuk itu, alumni Universitas Krisnadwipayana itu mengajak para anggota dan pengurus untuk meningkatkan peran yang lebih besar. “Agar Indonesia menjadi pusat kejayaan,” Zulkifli memberi semangat kepada para hadirin.

Untuk mempersiapkan itu semua, ia menekankan gerak dan langkah yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah, yakni pada bidang pendidikan. “Kita songsong masa depan yang lebih baik dengan mempersiapkan diri lewat pendidikan,” papar pria yang di masa kecilnya harus berjalan 10 km untuk pergi dan pulang sekolah. ❏

AW

Ketua MPR melakukan orasi kebangsaan di Milad Muhammadiyah

Surabaya. Disebut organisasi itu memberi peran yang besar

dalam demokratisasi di Indonesia. Saat milad, puluhan mantan

PSK Dolly ikut hadir.

(26)

Lamongan, Jawa Timur

Menebar Paham Kebangsaan di Pesantren

L

APANGAN sepakbola yang terletak di kompleks Pondok Pesantren Al Ishlah, Desa Sedangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pada Rabu, 19 November 2014, untuk sementara tidak digunakan untuk bermain bola atau olahraga lainnya. Di lapangan yang rumputnya sudah mulai mengering itu, selepas siang sudah berdiri sebuah tenda besar, di mana di dalamnya ada panggung setinggi satu meter.

Bila ada tenda dan panggung berdiri di tempat itu, biasanya di pesantren yang sudah berdiri sejak 28 tahun itu mempunyai hajatan besar, kedatangan tamu istimewa. Memang pada hari itu, menjelang ashar, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, tiba setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dari Surabaya, Jawa Timur.

Kedatangan Zulkifli di pesantren yang jumlah santrinya di atas 2.000 orang itu disambut dengan meriah. Unit kegiatan santri, drum band, memperagakan kemahirannya dalam memainkan beberapa lagu lewat berbagai instrumen musik. Cheer leader

yang ditunjukkan oleh para santriawan pun tak kalah sigapnya dalam mempertontonkan atraksinya.

Bagi kalangan santri dan pengasuh pesantren, kedatangan orang Jakarta sudah biasa. Dikatakan oleh pengasuh Pesantren Al Ishlah, KH. Muhammad Dawam Saleh; Zulkifli merupakan Ketua MPR ketiga yang berkunjung ke pesantren yang menggunakan metoda pendidikannya ala Pondok Modern Gontor itu. “Sebelumnya Bapak Amien Rais dan Hidayat Nur Wahid,” ungkapnya. “Bapak Menteri Agama, Surya Dharma Ali juga pernah bersilaturahim ke pesantren kami,” ujarnya.

Di hadapan ribuan santri, Bupati Lamongan H. Fadeli, dan undangan lainnya, Dawam mengungkapkan rasa senang dan berbahagia atas kedatangan Zulkifli. Dikatakan kepada mantan Menteri Kehutanan dan undangan lainnya, awal mula Pesantren Al Ishlah berdiri, belum ada apa-apa, “Awalnya belum ada satu genteng dan satu batu namun sekarang sudah memiliki gedung-gedung,” ujar alumni

Pesantren Gontor, Ponorogo, itu.

Sekarang, pesantren yang lokasinya 3 km dari Pantai Lamongan itu sedang gencar membangun fasilitas pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan pun tak sekadar belajar agama tetapi juga pendidikan umum bahkan ketrampilan khusus seperti menulis buku. Tak heran kedatangan Zulkifli ke pesantren yang dibangun untuk semua golongan itu tak hanya sekadar Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tetapi juga launching

dan bedah buku. Buku yang dibedah pada kesempatan itu, biografi KH. Dawam Soleh,

Anak Sopir yang Mendirikan Pesantren, karya A. Rha’ien Subahrun.

Kedatangan Zulkifli bagi daerah yang memiliki klub bola yang kesohor, Persela, itu terasa penting, buktinya Bupati Lamongan, Fadeli, hadir di antara ribuan orang. “Selamat datang bapak Ketua MPR di Lamongan,” sambut Fadeli. “Selamat dan sukses atas terpilihnya menjadi Ketua MPR,” ujar pria yang pernah menjadi Sekda Lamongan itu. Dikatakan, di daerahnya ada 273 pondok pesantren. Dari ratusan pesantren, disebut Al Ishlah selalu bikin kejutan dalam berbagai lomba dan sering juara. “Apalagi unit kegiatan santri di bidang Pramuka,” paparnya. Fadeli pernah menjadi Ketua Kwarcab Pramuka. Karena prestasi Pramuka dari Al Ishlah bagus maka dirinya sering mengirim mereka dalam setiap lomba.

Bupati yang suka blusukan itu juga mengucapkan selamat atas peluncuran dan bedah buku. “Mudah-mudahan buku itu akan menjadi inspirasi,” harapnya. Kerja keras Dawam Saleh dalam membangun Al Ishlah diharapkan bisa ditiru dan menular ke masyarakat. “Itu yang menjadi harapan kami,” tuturnya.

Pria yang menang dalam Pilkada dengan raihan suara 41,81 persen itu juga berharap agar sosialisasi yang dilakukan oleh anggota MPR, Kuswiyanto dari Fraksi PAN, juga

Dalam sehari, Ketua MPR mengunjungi 3 pondok pesantren di Lamongan. Kedatangan di lembaga

pendidikan asli nusantara itu untuk menebar paham kebangsaan lewat Sosialisasi Pancasila,

UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Gambar

gambar hari Sabtu, 1 November 2014. Selain

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di kota Magelang tahun 1990-2010 yang dilakukan putro dan setiawan (2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang

permasalahan perkara yang di hadapi seperti dalam putusan nomor 94- K/PM.II-09/AD/V/2016 yang memerlukan seorang ahli dalam memeriksa keadaan terdakwa yang mengalami

Pengujian bahan organik bentul menggunakan alat HPLC, dimana sampel yang telah direndam dengan natrium klorida dengan kosentrasi yang berbeda beda yaitu 0%, 5%,

Pada Tugas Akhir ini menggunakan 3 DOF yaitu surge, sway dan yaw, yang mana dibedakan menjadi dua yaitu kendali kecepatan surge menggunakan metode state feedback linearization

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk kalium berpengaruh nyata terhadap bobot kering umbi per sampel, sedangkan perlakuan jarak tanam berpengaruh tidak

Hal ini ditunjukkan bahwa psikologi dan sosiologi pariwisata telah memusatkan perhatian kepada pandangan dan perilaku wisatawan saja (Krippendorf, 1987; Zhang, et al.

Oleh karena itu, saya sebagai dosen penasehat akademik anda ingin mengingatkan kembali bahwa metode pembelajaran jarak jauh tidak jauh berbeda dengan sistem pembelajaran jarak

Kerja TerampiJ dan Tanah Internasional 166 (Lanjutan) 138 Studi Kasus 6-3 Berbagai Keuntungan yang S.6C Pembalikan Intensitas Faktor Produksi 139 Didapatkan