• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Burnout

2.1.1 Definisi Burnout

Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbet Freudenberger. Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek – efek penyalahguna1960-an obat – obat terlarang yang akut (Farber, 1991). Menurutnya, burnout sebagai suatu keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan oleh cara hidup atau hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis individu yang seperti ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya.

Menurut Maslach & Leiter (1997), mendefinisikan burnout sebagai berikut:

“Burnout is a syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that can occur among individuals who do people work of some kind”

Definisi dari Maslach menjelaskan bahwa sindrom burnout terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi,

(2)

individu yang bekerja melayani orang lain. Burnout sebagai sindrom ketegangan psikologis yang terdiri dari emotional exhaustion (kelelahan emosi) yang ditandai dengan perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, merasa terjebak, mudah tersinggung dan konflik. Depersonalisasi ditandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis, dan tidak peduli pada individu disekitarnya. Sedangkan reduced personal accomplishment (rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri) ditandai dengan individu yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun individu lainnya.

Rice (dalam Kurniawati & Windiyaningrum, 2006) mengatakan bahwa burnout bukan merupakan simptom dari stres terhadap pekerjaan (job stres) tetapi merupakan hasil dari job stres yang tidak mampu diatasi. Stres kerja itu sendiri adalah respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi atatu kejadian eksternal (lingkungan) yang menenempatkan tuntutan psikologis ataupun fisik secara berlebihan pada seseorang (Ivancevich & Matteson dalam Luthans, 2006).

Farhati & Rosyid (1996), mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom kelelahan emosional, fisik, mental yang ditunjang oleh perasaan rendahnya penghargaan terhadap diri, serta penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan. Dalam definisi ini tampak

(3)

bahwa burnout dapat muncul akibat kondisi internal individu yang ditunjang oleh faktor lingkungan berupa stres yang berlarut-larut.

Menurut Poerwandari (2010) burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terus menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, mudah sakit) dan biasanya bersifat kumulatif, terkadang persoalan sulit diselesaikan.

Dengan demikian, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom kelelahan fisik, emosional dan mental yang berdampak pada munculnya depersonalisasi, dan menurunnya personal accomplishment (rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri) yang dialami oleh karyawan dalam bekerja.

2.1.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Burnout

Menurut Farber, 1983 (dalam Corrigan 1994), karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi kurang idealis dan lebih kaku, kinerja mereka menjadi rendah, dan mereka mungkin berkhayal atau sebenarnya berencana untuk meninggalkan profesi (Katarini, 2011). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur sindrom burnout yang dialami seseorang,

(4)

yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar individu untuk jangka waktu yang lama.

Menurut Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout (Katarini, 2011), yaitu :

a. Faktor Eksternal

Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, gaji yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1985). Menurut Pines dan Aronson adanya faktor yang saling berinteraksi dalam menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu.

b. Faktor Internal

Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian. Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita. Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan seorang wanita. Pria dan wanita

(5)

tidak hanya berbeda secara fisik saja, tetapi berbeda pula dari segi psikologis dan sosiologisnya. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan pekerjaan mereka merasa tidak berarti.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.

2.1.3 Gejala – Gejala Burnout

Menurut Cherniss (1980) menyatakan ketika seseorang mulai memperhatikan tanda-tanda atau gejala-gejala burnout yang biasanya dikaitkan dengan program layanan kemanusian adalah sebagai berikut:

a. Resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari. b. Terdapat perasaan gagal di dalam diri.

c. Cepat marah dan sering kesal. d. Rasa bersalah dan menyalahkan. e. Isolasi dan penarikan diri. f. Perasaan lelah setiap hari.

g. Kaku dalam berpikir dan resisten terhadap pekerjaan.

Sedangkan, menurut Greenberg (2002) gejala-gejala yang ditimbulkan dari burnout sebagai berikut :

(6)

a. Selera humor yang sedikit.

b. Tidak adanya waktu istirahat dan pola makan yang tidak teratur. c. Jam kerja melebihi waktu kerja yang biasanya (lembur) dan tidak

adanya pekerjaan yang tidak bisa dihindarkan. d. Keluhan – keluhan yang menyangkut fisik.

e. Penarikan diri; menarik diri dari lingkungan kerja atau para pekerja.

f. Sistem pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.

g. Penggunaan dan mengkonsumsi obat penenang dan alkohol untuk / agar tubuh terutama pikiran menjadi rileks.

h. Perubahan dalam diri sendiri; kelelahan emosional, hilangnya harga diri, tekanan dan frustrasi.

Dari uraian beberapa gejala burnout diatas dapat disimpulkan bahwa gejala burnout disebabkan oleh jam kerja yang terlalu padat, tidak adanya waktu untuk istirahat, keluhan- keluhan yang menyangkut fisik, penarikan diri, penggunaan atau mengkonsumsi obat-obat penenang.

2.1.4 Dimensi Burnout

Leiter & Maslach (1997) mengemukakan bahwa burnout terdiri dari 3 (tiga) dimensi, yaitu:

(7)

a. Emotional Exhaustion

Mengacu pada perasaan emosional yang berlebihan yang dikarenakan adanya suatu kontak dengan orang lain. Sumber utama kelelahan ini adalah kelebihan beban kerja dan konflik pribadi di tempat kerja. Mereka merasa lelah dan tidak cukup energi untuk menghadapi hari lain atau orang lain yang membutuhkan. Komponen emotional exhaustion menggambarkan dimensi stres dasar dari burnout.

b. Depersonalization

Mengacu pada hilangnya respon terhadap seseorang, yang pada umumnya menerima pelayanan atau perawatan. Dimensi ini biasanya berkembang dalam menanggapi kelebihan emotional exhaustion dan melindungi diri sendiri pada awalnya. Komponen depersonalization merupakan dimensi interpersonal burnout.

c. Reduced Sense of Personal Accomplishment

Mengacu pada menurunnya rasa kompetensi dan mencapai keberhasilan di tempat kerja. Hal ini menurunkan rasa self-efficacy yang dikaitkan dengan depresi dan ketidakmampuan untuk mengatasi tuntutan pekerjaan dan dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan sosial dan kesempatan untuk mengembangkan secara profesional. Komponen reduced sense of personal accomplishment merupakan dimensi evaluasi diri dari burnout.

(8)

2.1.5 Dampak Burnout Pada Pekerja

Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach (1997) adalah :

a. Burnout is Lost Energy

Pekerja yang mengalami burnout akan merasa stres, overwhelmed, dan exhausted. Pekerja juga akan sulit untuk tidur, menjaga jarak dengan lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi kinerja performa dari pekerja. Produktivitas dalam bekerja juga semakin menurun.

b. Burnout is Lost Enthusiasm

Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjadi tidak menyenangkan. Kreatifitas, ketertarikan terhadap pekerjaan semakin berkurang sehingga hasil yang diberikan sangat minim.

c. Burnout is Lost Confidence

Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada pekerjaan akan membuat pekerja tidak maksimal dalam bekerja. Pekerja semakin tidak efektif dalam bekerja yang semakin lama membuat pekerja itu sendiri merasa ragu dengan kemampuannya. Hal ini akan memberikan dampak bagi pekerjaan itu sendiri.

(9)

2.2 Konflik Kerja

2.2.1 Definisi Konflik Kerja

Menurut Mangkunegara (2016) konflik kerja adalah pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkan.

Gibson, dkk (1985) menyatakan bahwa konflik kerja adalah pertentangan yang terjadi antar individu, antar kelompok, dan antar organisasi yang disebabkan oleh perbedaan komunikasi, tujuan dan sikap.

Menurut Luthans (1985) konflik kerja adalah kondisi dimana terjadi ketidakcocokan antara nilai dan tujuan yang ingin dicapai, baik nilai dan tujuan yang ada dalam diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain.

Flippo (2003) konflik kerja adalah apa yang tampak sebagai pertentangan (konflik) kepribadian diantara dua orang mungkin sebenarnya merupakan cacat-cacat/kekurangan dalam rancangan pekerjaan, yang cenderung untuk berlawanan dengan kebutuhan dan kebudayaan personalia dalam menangani pekerjaan.

Dengan demikian, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik kerja adalah suatu pertentangan diantara dua pihak atau

(10)

lebih yang timbul akibat berbagai keadaan, karena terjadi ketidaksesuaian antara nilai dan tujuan yang ingin dicapai.

2.2.2 Bentuk – Bentuk Konflik dalam Organisasi

Menurut Mangkunegara (2016) ada empat bentuk konflik dalam organisasi, yaitu :

a. Konflik Hierarki (Hierarchical Conflict)

Yaitu konflik yang terjadi pada tingkatan hierarki organisasi. Contohnya, konflik antara komisaris dengan direktur utama, pemimpin dengan karyawan, pengurus dengan anggota koperasi, pengurus dengan manajer, dan pengurus dengan karyawan.

b. Konflik Fungsional (Functional Conflict)

Yaitu konflik yang terjadi dari bermacam – macam fungsi departemen dalam organisasi. Contohnya, konflik yang terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran, bagian administrasi umum dengan bagian personalia.

c. Konflik Staf dengan Kepala Unit (Line Staff Conflict)

Yaitu konflik yang terjadi antara pemimpin unit dengan stafnya terutama staf yang berhubungan dengan wewenang / otoritas kerja. Contoh: karyawan secara tidak formal mengambil wewenang berlebihan.

(11)

d. Konflik formal – informal (Formal – Informal Conflict)

Yaitu konflik yang terjadi yang berhubungan dengan norma yang berlaku di organisasi informal dengan organisasi formal. Contoh: pemimpin yang menempatkan norma yang salah pada organisasi.

2.2.3 Penyebab Terjadinya Konflik Kerja

Menurut Mangkunegara (2016) mengemukakan penyebab terjadinya konflik dalam organisasi, antara lain :

a. Koordinasi kerja yang tidak dilakukan, b. Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas,

c. Tugas yang tidak jelas (tidak ada deskripsi jabatan), d. Perbedaan dalam orientasi kerja,

e. Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, f. Perbedaan persepsi,

g. Sistem kompetensi insentif (reward), h. Strategi pemotivasian yang tidak tepat. 2.2.4 Cara Mengatasi Konflik Kerja

Menurut Mangkunegara (2016) mengemukakan manajemen konflik dapat dilakukan dengan cara antara lain:

a. Pemecahan masalah (Problem Solving), b. Tujuan tingkat tinggi (Lipsordinate Goal), c. Perluasan sumber (Expansion of Resources),

(12)

d. Menghindari konflik (Avoidance), e. Melicinkan konflik (Smoothing), f. Kompromi (Compromise),

g. Perintah dari wewenang (Authoritative Commands),

h. Mengubah variabel manusia (Altering the Human Variables), i. Mengubah variabel struktural (Altering the Structural Variables), j. Mengidentifikasi musuh bersama (Identifying a Common Enemy).

Sedangkan menurut Ivancevich (2006), menyatakan bahwa ada lima gaya penanganan konflik, yaitu :

a. Mendominasi (Domination)

Kelompok yang berusaha menyelesaikan konflik memberikan fokus yang maksimal pada upaya memenuhi hal-hal yang menjadi kepedulian kelompok tersebut, dan pada saat yang bersamaan memberikan fokus yang minimal pada upaya kekuasaan. Artinya untuk dapat berhasil, pendekatan ini memerlukan kekuasaan yang cukup untuk dapat memaksa kelompok lain.

b. Akomodasi (Accomodation)

Dalam pendekatan ini salah satu pihak yang berkonflik meminimalkan upaya untuk mengutamakan kepentingan kelompoknya dan member penekanan maksimum pada kebutuhan kelompok lain.

(13)

c. Memecahkan Masalah (Problem Solving)

Menyelesaikan konflik dengan menekankan secara maksimum kepentingan kedua kelompok. Upaya penyelesaian masalah yang baik membutuhkan kesediaan kedua kelompok yang bersengketa untuk bekerja sama mencari penyelesaian terpadu yang dapat memuaskan kebutuhan semua piahak terkait.

d. Menghindar (Avoiding)

Menghindari konflik (avoiding conflict) tidak akan memberikan keuntungan jangka panjang, pendekatan ini dapat menjadi strategi yang efektif dan tepat dalam beberapa situasi konflik, terutama saat menghindari masalah ditunjukan sebagai alternatif sementara.

e. Berkompromi (Compromizing)

Berkompromi adalah pendekatan yang berusaha mencari jalan tengah. Kompromi melibatkan kerelaan berkorban lebih banyak dibandingkan pendekataan dominasi, namun tidak sebanyak yang direlakan dalam pendekatan akomodasi. Kompromi menghadapi masalah secara lebih langsung dibandingkan menghindari masalah, namun kedalam pembahasanya tidak sedalam pendekatan mengatasi masalah.

(14)

2.2.5 Indikator Konflik Kerja

Menurut Flippo (2003) yang menjadi indikator-indikator didalam konflik kerja adalah :

a. Percekcokan atau perdebatan (kontroversi). b. Ketegangan masalah pribadi.

c. Visi yang berbeda dalam pekerjaan. d. Perbedaan pendapat.

e. Perbedaan dalam menentukan penyebab permasalahan. f. Perbedaan dalam menentukan solusi permasalahan. g. Perbedaan dalam menentukan cara penyelesaian konflik. h. Konflik emosional.

i. Perselisihan pribadi.

j. Lelah secara mental dengan pekerjaan. 2.3 Hubungan Konflik Kerja dan Burnout

Penelitian tentang pengaruh konlik kerja terhadap burnout sebelumnya sudah diteliti oleh Tommy Dwi Yulianto pada tahun 2010. Dalam penelitian pengaruh konflik kerja terhadap burnout pada karyawan, Penelitian ini menggunakan sampel berjumlah 70 karyawan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap variabel konflik kerja dan burnout menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan konflik kerja terhadap burnout karyawan sehingga hipotesis yang menyatakan adanya pengaruh konflik kerja terhadap burnout diterima.

(15)

Penelitian yang dilakukan oleh Firda Firanda tahun 2016. Mengenai pengaruh burnout dan turnover intention terhadap prestasi kerja karyawan divisi marketing PT. Buana Finance TBK, Subyek penelitian ini adalah 147 karyawan. Hasil dari penelitian ini : Ada pengaruh dan signifikan burnout dan turnover intention secara bersama terhadap prestasi kerja dengan sig 0,002<0,05 dan Adjusted R2 0,069.

Penelitian hubungan antara job demands dan job resources dengan burnout pada karyawan head office PT. X Tangerang. Yang dilakukan oleh Selvy Rhahmadia tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara job demands dan job resources dengan burnout pada karyawan. Subjek penelitian adalah 100 karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa job demands memiliki korelasi positif dengan burnout, maka semakin tinggi burnout (kelelahan). Begitu juga sebaliknya, semakin rendah job demands, maka semakin rendah burnout. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa job resources memiliki korelasi negatif dengan burnout, yang berarti semakin rendah job resources, maka semakin tinggi burnout. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi job resources, maka semakin rendah burnout.

Dalam penelitian Giri Wicaksono pada tahun 2012, tentang hubungan antara kondisi kerja dengan kelelahan (burnout) di PT. Sandang Jaya Textile. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi kerja dengan kelelahan burnout. sampel dalam penelitian ini berjumlah 120 responden. hasilnya menunjukkan signifikan bahwa korelasi

(16)

Penelitian lain mengenai pengaruh konflik dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. ISS Indonesia di Universitas Mercu Buana, pernah pula dilakukan oleh Abdul Azis pada tahun 2016. Penelitian ini dilakukan terhadap 76 responden. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial konflik tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, dan disiplin kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Serta konflik dan disiplin kerja berpengaruh secara bersamaan terhadap kinerja karyawan

Penelitian yang dilakukan oleh Novarina Christine Koesweri pada tahun 2016. Mengenai pengaruh konflik, stress kerja dan komunikasi terhadap kinerja karyawan di PT. Oceanindo Prima Sarana, sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 50 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Kemudian stres kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Sedangkan komunikasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

Dalam penelitian Ria Puspita Sari tahun 2015. Mengenai pengaruh stress kerja dan konflik kerja terhadap kinerja karyawan jambuluwuk malioboro boutique hotel Yogyakarta, sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 202 orang karyawan. Hasil penelitian menemukan bahwa: (1) Stres kerja berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. (2) konflik kerja berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan.

(17)

Sebelumnya pada jurnal penelitian pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Carsten K. W. De Dreu dan Bianca Beersma dengan judul “Conflict in Organization : Beyond Effectiveness and Performance” menunjukkan bahwa adanya konflik pada pekerjaan akan mengurangi efektifitas dan kinerja dalam organisasi.

Penelitian Hon (2013) dengan judul “The Effects of Group Conflict and Work Stres on Employee Peformancess”. Penelitian yang dilakukan terhadap 265 responden karyawan 50 hotel di Cina menunjukan hubungan negatif signifikan antara stres kerja dan konflik kerja dengan kinerja karyawan.

2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

2.5 Hipotesis

Berdasarkan uraian teori diatas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara konflik kerja terhadap burnout

pada karyawan PT. Setia Pratama Lestari Pelletizing.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya orang-orang Jakarta yang datang ke Bandung tidak hanya berbelanja pakaian, tetapi juga ingin menikmati suasana lain dibandingkan dengan Kota Jakarta yang

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang

Cond Cond ition ition =akti =akti vitas yg h vitas yg h arus d arus d ilakuk ilakuk an sisw an sisw a, a, ditul ditul is dalam b is dalam b entuk ka entuk ka ta kerja ta kerja ,

Suatu Informasi dari suatu perusahaan terutama informasi keuangan dan informasi akuntansi diperlukan oleh berbagai pihak intern maupun ekstern perusahaan. Informasi

In any event, without derogating from the generality of other provisions of these Terms &amp; Conditions governing the right of refusal of carriage, we reserve the right not to

Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian dan penentuan kondisi optimum operasi boiler pipa api menggunakan campuran bahan bakar biodiesel minyak solar pada

percaya, ketika melakukan ritual-ritual tertentu, arwah nenek moyang masuk ke dalam wayang sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah nenek moyang mereka.

camat dapat mengusulkan kepada bupati melalui kepala perangkat daerah yang membidangi pangan untuk dapat disalurkan cadangan pangan pemerintah kabupaten bagi masyarakat yang