• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa (BNPB 2007). Tidak dapat dipungkiri lagi, kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan/erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.

Salah satu ancaman bencana di Indonesia adalah erupsi gunung berapi. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia. Pada tanggal 26 Oktober hingga 5 November 2010 telah terjadi erupsi Gunung Merapi yang menyebabkan kerusakan dan kerugian besar di empat kabupaten yaitu Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali. Adapun jumlah kerusakan dan kerugian tersebut sebagai berikut:

(2)

Tabel 1.

Hasil Penilaian Kerusakan dan Ke rugian Erupsi Gunung Merapi

No Sektor Ker usakan

(Rp. Juta)

Ker ugian (Rp.Juta)

Total Kerusakan dan Ker ugian (Rp.Juta)

1 Pe mukiman 599.307,54 27.343,60 606.651,14 2 Infrastruktur 581.534,13 125.937,97 707.472,10 3 Ekonomi 403.065,92 1.289.445,25 1.692.511,17 4 Sosial 89.427,93 33.044,27 122.472,20 5 Lintas Sektor 12.030,00 396.728,00 408.758,00 Total DIY+Jateng 1.685.365,52 1.872.499,09 3.557.864,61

Sumber: BNPB, data per Februari 2011 dalam GEM A BNPB M aret 2011.

Data tersebut menunjukkan jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010 adalah Rp. 3,56 trilyun. Jumlah nilai kerusakan adalah Rp. 1,69 trilyun (47%), sedangkan jumlah nilai kerugian adalah Rp. 1, 87 trilyun (53%). Akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, sektor perumahan mengalami kerusakan paling besar yaitu 599 milyar (36%). Sedangkan nilai kerusakan yang dialami sektor infrastruktur sebesar Rp. 582 milyar (35%) dan sektor ekonomi sebesar Rp.403 milyar (24%). Selanjutnya, untuk kerugian terbesar dialami sektor ekonomi, yaitu Rp.1,29 trilyun (69%). Lalu, lintas sektor mengalami kerugian sebesar Rp 126 milyar (7%). Sedangkan sektor perumahan diperkirakan nilai kerusakannya sebesar Rp.599, 3 milyar dan nilai kerugiannya sebesar Rp 27,3 milyar sehingga total Rp.626,7 untuk sektor perumahan. Kerusakan berat dialami oleh Kabupaten Sleman sebanyak 2.339 unit rumah di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 274 unit rumah di

(3)

Kabupaten Magelang (Kecamatan Sawangan dan Srumbung), Kabupaten Boyolali (Kecamatan Selo) dan Kabupaten Klaten (Kecamatan Kemalang).

Pada tahun 2011, pasca erupsi Gunung Merapi tersebut, pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah 2011-2013. Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi tersebut memuat kebijakan relokasi bagi masyarakat lereng Gunung Merapi. Kebijakan relokasi didasari oleh Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi 2010 yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi merupakan petunjuk tingkat kerawanan bencana suatu daerah apabila terjadi letusan/erupsi Gunung Merapi. Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi juga mencakup jenis dan sifat bahaya gunungapi, daerah rawan bencana, arah jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian dan pos-pos penanggulangan bencana. Pembagian Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi didasarkan oleh geomorfologi, geologi, sejarah kegiatan, distribusi produk erupsi terdahulu, penelitian dan studi lapangan.

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi terbagi menjadi tiga

tingkatan. Pertama, Kawasan Rawan Bencana (KRB) III merupakan kawasan yang letaknya dekat dengan sumber bahaya yang sering terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat. Oleh karena tingkat

(4)

kerawanan yang tinggi, maka kawasan ini tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai hunian tetap. Penetapan batas Kawasan Rawan Bencana (KRB) III didasarkan pada sejarah kegiatan dalam waktu 100 tahun terakhir. Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi merupakan kawasan yang paling rawan terkena letusan, apapun jenis dan besar letusan. Kedua, Kawasan Rawan Bencana (KRB) II Gunung Merapi merupakan kawasan yang berpotensi terkena aliran massa berupa awan panas, aliran lava dan lahar serta lontaran berupa material jatuhan dan lontaran batu (pijar). Apabila terjadi peningkatan aktivitas Gunung Merapi, maka masyarakat di kawasan ini diharuskan untuk mengungsi sesuai saran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sampai daerah ini dinyatakan aman kembali. Ketiga, Kawasan Rawan Bencana (KRB) I Gunung Merapi merupakan kawasan yang berpotensi terlanda lahar, terkena perluasan awan panas serta terlanda aliran lava lahar, yaitu aliran massa berupa campuran air dan material lepas berbagai ukuran yang berasal dari ketinggian Gunung Merapi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka masyarakat yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi diharuskan untuk relokasi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.612 Kepala Keluarga (KK) di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memerlukan relokasi ke tempat yang lebih aman, baik dari ancaman erupsi maupun lahar dingin Gunung Merapi (Banjanahor 2013). Namun demikian, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho hingga Januari 2013 baru sebanyak 2.553 Kepala Keluarga (KK)

(5)

yang bersedia direlokasi. Sedangkan sebanyak 1.059 Kepala Keluarga (KK) belum bersedia direlokasi, yaitu terdiri 656 Kepala Keluarga (KK) di Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan 403 Kepala Keluarga (KK) di Jawa Tengah (Rochmatin 2013).

Secara umum, masyarakat lereng Gunung Merapi menolak kebijakan relokasi karena masyarakat masih memiliki keterikatan yang sah dengan lokasi tersebut. Sebab, sebagian besar masyarakat masih memiliki sertifikat atas tanah yang harus dikosongkan. Selain itu, masyarakat juga masih memiliki keterikatan adat, sosial dan ekonomi yang kuat dengan wilayah pemukimannya yang telah dihuni puluhan tahun. Masyarakat juga telah menyatu satu sama lain dalam ikatan sosial dan budaya (Herianto, dkk 2012).

Meskipun demikian, perlu adanya upaya penanggulangan bencana (disaster

management) dimasa mendatang agar tidak menimbulkan korban jiwa maupun

kerugian harta-benda. Sebab, Gunung Merapi merupakan gunung aktif serta memiliki siklus erupsi. Menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknik Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Subandriyo siklus erupsi Gunung Merapi tidak teratur. Meskipun, Gunung Merapi diketahui memiliki siklus erupsi selama 4 tahun sekali. Akan tetapi, siklus tersebut hanyalah hitungan secara statistik. Jadi, erupsi Gunung Merapi sebanyak lebih dari 100 kali tersebut kisaran erupsi bisa terjadi dalam waktu 1 sampai 18 tahun. Artinya, erupsi Gunung Merapi dalam satu atau dua tahun sekali itu juga bisa terjadi. Singkatnya, erupsi Gunung Merapi merupakan ancaman bencana yang bersifat permanen (Subandriyo 2012).

(6)

Sementara itu, hingga tahun 2013, kebijakan relokasi tidak ada kejelasan tindak lanjutnya. Terakhir pada bulan Januari 2013, pemerintah pusat menyatakan angkat tangan terhadap sikap sebagian warga zona Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi yang enggan direlokasi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Samsul Maarif mengatakan : “Silahkan tetap tinggal di atas,

asalkan mau menerapkan konsep living in harmony. Sebagai jaminan, kami akan minta mereka menandatangani surat kesediaan evakuasi”(Hapsari 2013). Maka dari itu, perlu adanya tindakan mitigasi bencana dimasa mendatang untuk mengurangi dampak akibat bencana erupsi Gunung Merapi. Mitigasi bencana merupakan setiap tindakan yang berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang terhadap harta dan jiwa manusia (Susanto 2006). Sehingga mitigasi bencana dapat dikatakan sebagai sebuah mekanisme agar masyarakat dapat berfokus pada penghindaran bencana, khususnya menghindari penempatan manusia dan harta benda di daerah yang berbahaya. Adapun kegiatan mitigasi bencana meliputi upaya- upaya peraturan dan pengaturan, pemberian sanksi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang tepat, dan upaya-upaya penyuluhan serta penyediaan informasi untuk memberikan kesadaran dan pengertian kepada manusia terhadap usaha untuk mengurangi dampak dari suatu bencana. Dengan kata lain, mitigasi bencana dapat diklasifikan menjadi mitigasi bencana struktural dan non-struktural. Adapun kegiatan mitigasi bencana struktural dapat berupa membuat cekdam, bendungan, tanggul sungai, dan lain- lain. Sedangkan kegiatan mitigasi bencana non-struktural dapat berupa membuat peraturan tata ruang, pelatihan, dan lain- lain (Nurjanah, dkk 2012).

(7)

Penelitian ini dikembangkan untuk memahami upaya mitigasi be ncana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi. Pemahaman mengenai tindakan mitigasi bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi dieksplorasi melalui penelitian yang dilakukan di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasari oleh letak Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa Glagaharjo yang berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi. Adapun jaraknya dari puncak Gunung Merapi sekitar sekitar 4 – 7 km. Sedangkan luas wilayah Desa Glagaharjo 795 ha, dengan peruntukan 765 ha lahan pertanian, perkebunan dan hutan rakyat, sedangkan 30 ha merupakan pemukiman (LPTP 2012). Memang, ada beberapa desa yang termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi seperti Desa Kepuharjo, Umbulharjo, Hargobinangun, Purwobinangun, Girikerto di Kabupaten Sleman, Desa Balerante di Kabupaten Klaten, Desa Jrakah di Kabupaten Boyola li dan Desa Nglumut di Kabupaten Magelang. Namun, Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa Glagaharjo dipilih sebagai lokus penelitian ini karena masyarakatnya paling resisten terhadap kebijakan relokasi.

Masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen menolak kebijakan relokasi karena sebanyak 85 % penghidupan warga masih tergantung pada lahan di sekitar bekas kediaman, batas tanah bekas kediaman masih terlihat jelas, warga sudah tanggap terhadap bencana yang dibuktikan dengan tidak adanya korban

(8)

jiwa dari tiga dusun tersebut dan masih berfungsi dengan baik fasilitas umum seperti masjid, jalan dan mata air (Tribun Jateng 2011).

Selain itu, meskipun masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi, masyarakat sudah tanggap bencana. Hal ini terbukti dengan tidak adanya korban jiwa pada saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen juga sudah mempunyai berbagai program mitigasi bencana. Misalnya, adanya konsep Hidup Selaras Bersama Alam (HSBA). Konsep tersebut dirumuskan oleh masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen dengan difasilitasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta. Konsep tersebut menjelaskan mengenai langkah- langkah hidup bersama ancaman Gunung Merapi. Langkah-langkah tersebut disebut sebagai antisipasi, aksi dan adaptasi. Antisipasi mencerminkan bahwa masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen harus selalu berpegang pada prinsip kehati- hatian dan kewaspadaan dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan aksi diartikan sebagai upaya- upaya kongkrit untuk terus bertahan hidup di lereng Gunung Merapi. Misalnya dengan membangun sumber perekonomian, ketrampilan dan lain sebagainya. Lalu, adaptasi diartikan bahwa masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen harus selalu siap apabila suatu saat harus tinggal di tempat baru (relokasi).1

1

Hasil wawancara dengan Heri aktivis WALHI Yogyakarta Bidang Advokasi Kawasan pada tanggal 22 Desember 2012 di Kantor Sekretariat WALHI Yogyakarta.

(9)

Menurut Kepala Desa Glagaharjo, Suroto mitigasi bencana di Desa Glagaharjo dilakukan dengan membentuk tim penanggulangan bencana di tingkat desa dan dusun. Lebih lanjut ia juga mengatakan Pemerintah Desa Glagaharjo telah mengalokasikan dana khusus penanggulangan bencana. Namun, dana tersebut digunakan dalam upaya tanggap darurat. Pada tahun 2013, Pemerintah Desa Glagaharjo mengalokasikan dana penanggulangan bencana sebesar 30 juta. Jumlah alokasi dana tersebut lebih besar daripada tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2012 dan 2011 yang hanya sebesar 10 juta. Pemerintah Desa Glagaharjo juga bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman untuk melakukan pelatihan tanggap darurat seperti evakuasi dan pemasangan Early

Warning System (EWS) berupa sirine.2

Selain itu, upaya mitigasi bencana yang dilakukan masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srune adalah tabungan siaga bencana. Tabungan siaga bencana merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Lembaga Non Pemerintah (Non Governmental Organization) Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta. Tabungan siaga bencana bertujuan untuk mengumpulkan uang masyarakat guna membangun rumah kembali pasca erupsi Gunung Merapi 2010 sekaligus sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi di masa mendatang.3

2

Hasil wawancara dengan Kepala Desa Glagaharjo, Suroto pada tanggal 28 M ei 2013 di Kantor Kelurahan Desa Glagaharjo.

3

(10)

Secara umum, upaya mitigasi bencana di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen telah dilakukan dengan beragam cara dan dilakukan oleh beberapa pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu masyarakat, pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman serta Lembaga Non Pemerintah (Non Governmental Organization/NGO) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta dan Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta. Berdasarkan fakta tersebut, apabila dipetakan pemangku kepentingannya

(stakeholders analysis), maka dapat diketahui bahwa secara umum motif dan

kepentingan pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman adalah melindungi masyarakat dari ancaman bahaya erupsi Gunung Merapi berdasarkan aspek kebencanaaan. Motif dan kepentingan pemerintah tersebut juga memiliki legitimasi yang kuat karena memiliki kewenangan atau kekuasaan (power) dalam penanggulangan bencana (disaster management).

Sedangkan, masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen khususnya dalam hal mitigasi bencana memiliki motif dan kepentingan berupa penyelamatan diri. Namun dalam hal mitigasi bencana, masyarakat tidak memiliki fasilitas peralatan dan perlengkapan yang memadai. Disamping itu, secara kekuasaan

(power) juga tidak memiliki legitimasi yang kuat. Namun, masyarakat Dusun

Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen memiliki kekuatan kultural yaitu hubungan sosial antar warga, keterikatan emosional terhadap tanah di lereng Gunung Merapi dan memiliki kearifan lokal dalam menghadapi ancaman erupsi Gunung Merapi.

(11)

Selanjutnya, Lembaga Non Pemerintah (Non Governmental Organization/NGO) yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Yogyakarta dan Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta dalam hal mitigasi bencana memiliki motif dan kepentingan berupa membela hak dasar masyarakat serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal mitigasi bencana. Meskipun tidak memiliki kekuasaan atau legitimasi yang kuat dalam penanggulangan bencana

(disaster management), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta

dan Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta memiliki kepentingan yang tinggi yaitu membela hak dasar masyarakat.

Pada dasarnya sudah banyak penelitian mengenai Gunung Merapi. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Eko Nugroho dan Purwani Istiana dengan judul Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat Untuk Mitigasi Bencana Merapi pada tahun 2012 di Dukuh Kuweron, Kalurahan Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Penelitian tersebut mengkaji usaha mitigasi bencana melalui sistem peringatan dini yang dilakukan oleh masyarakat. Penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan literasi masyarakat terhadap teknologi informasi, terutama bagi sumber informasi. Jika sumber informasi sudah terbiasa dengan sistem tersebut, hal itu akan mendukung kelancaran penggunaan teknologi tersebut. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan kecerdasan masyarakat dalam penggunaan fasilitas tersebut.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Zuly Qodir dengan judul Bencana Merapi dan Mitos di Masyarakat (Studi Kasus Masyarakat Desa Glagaharjo,

(12)

Kepuharjo dan Kinahrejo). Penelitian tersebut mengkaji adanya mitos yang berkembang di masyarakat lereng Gunung Merapi sehubungan dengan bencana Gunung Merapi. Mitos tersebut berhubungan erat dengan tanah kelahiran, atau tempat tinggal mereka yang telah didiami sejak ratusan tahun yang lalu. Selain itu, mitos-mitos seperti adanya Mbah Petruk, Watu Gadjah dan Ringin Putih digunakan untuk mempertahankan sumber-sumber ekonomi masyarakat seperti peternakan, perkebunan, dan pertanian. Ketidaktakutan masyarakat atas Gunung Merapi bukan karena mitos akan tetapi karena soal sumber kehidupan masyarakat yang nyaris t idak tergantikan di lereng Gunung Merapi.

Namun demikian, belum ada penelitian yang secara khusus mengeksplorasi upaya mitigasi bencana secara komprehensif, terutama di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi. Maka dari itu, penelitian ini menjadi penting dilakukan guna mengisi kekosongan penelitian yang telah ada. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih baik berupa kajian maupun praktik mitigasi bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi.

1.2. Rumusan Masalah

Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman merupakan dusun yang terletak di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III). Kawasan Rawan Bencana (KRB) III merupakan kawasan terlarang untuk dihuni masyarakat. Lalu, bagaimana upaya mitigasi bencana di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa

(13)

Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi upaya mitigasi bencana di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Upaya mitigasi bencana di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen meliputi upaya mitigasi bencana struktural, yaitu upaya atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana dengan membuat struktur atau entitas fisik yang dapat mengurangi atau mereduksi ancaman untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana alam. Selain itu, mitigasi nonstruktural, yaitu upaya peningkatan kapasitas lembaga dan masyarakat agar memiliki sumber daya yang andal sehingga selalu siap, siaga, dan waspada terhadap kejadian bencana alam.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi dokumentasi serta saran bagi masyarakat Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen dalam melakukan upaya mitigasi bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi.

(14)

1.4.2. Bagi Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi bagi pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu Masyarakat, Pemerintah dan Lembaga Non Pemerintah dalam pengambilan keputusan terkait dengan upaya mitigasi bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi.

1.4.3. Bagi Masyarakat Umum

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi dalam upaya mitigasi bencana oleh masyarakat umum. Sehingga, masyarakat umum juga memiliki pengetahuan baik secara teoretis maupun praktis dalam upaya mitigasi bencana sehingga menjadi masyarakat yang tanggap bencana.

1.4.4. Bagi Civitas Akademik

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi dalam penelitian berikutnya. Selain itu, secara khusus, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu manajemen dan kebijakan publik baik secara teoretis maupun praktis.

Referensi

Dokumen terkait

Kandou Manado tahun 2020 dalam meningkatkan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas-tugas teknis dapat dilihat melalui hasil pengukuran pencapaian target tiap-tiap

Mengungka&kan &erasaan kesal* ika a'a &erlakuan (rang lain #ang mem"uat kesal "a&ak 'a&at mengatakan:G Sa#a a'i ingin marah karena &erkataanmu

Puji dan syukur saya sampaikan kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah membimbing dan memberikan petunjuk dalam penulisan tugas akhir dengan judul

Titer antibodi mencit pada sampling pertama dan kedua menunjukkan bahwa vaksin yang berasal dari protein fraksi nomor 22 memberikan titer antibodi yang tertinggi

N o Data Yang Diuji Hasil Yang Diharapkan Hasil Pengujia n Keterangan 1 Halama n input criteria Setelah criteria diinput maka criteria akan disimpan kedalam

menggunakan model penilaian CAMEL, hasil analisis menunjukkan bahwa dalam rasio kecukukpan modal bank IFIC dan leverage rasio menunjukkan kinerja yang lebih baik

dimana menara tidak mengalami lentur trans)ersal akibat beban mati dan beban hidup berupa lalu lintas# dapat digunakan untuk menentukan dimensi akhir. Beban trans)ersal

Angka infeksi terkait pelayanan kesehatan dibandingkan dengan angka- angka di rumah sakit lain melalui komparasi data dasar (lihat juga PMKP.4.2, EP 2 dan