• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini menjelaskan mengenai teori kepemimpinan dan gaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini menjelaskan mengenai teori kepemimpinan dan gaya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian ini menjelaskan mengenai teori kepemimpinan dan gaya kepemimpinan situasional. Teori yang akan dijelaskan sejalan dengan fokus penelitian yaitu gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Fiedler (dalam Burn, 2004). Teori mengenai penghulu juga akan diuraikan, mengingat penelitian ini membahas tentang gaya kepemimpinan penghulu oleh karena itu penting untuk memahami pengertian penghulu beserta tugas dan fungsinya.

A. KEPEMIMPINAN 1. Definisi Kepemimpinan

Yukl and Fleet (1992) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai proses yang meliputi cara mempengaruhi tugas dan strategi kelompok atau organisasi, mempengaruhi orang di dalam organisasi untuk mengimplementasikan strategi dan mencapai tujuan, mempertahankan kelompok, dan mempengaruhi budaya organisasi.

Burn (2004) mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi pilihan tujuan dan strategi kelompok atau organisasi, mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan serta mempromosikan identitas dan komitmen kelompok.

(2)

Menurut Veithzal (2003), kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan para anggota kelompok.

Definisi lain diungkapkan oleh Daft (2005) yang menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang menginginkan perubahan nyata dan hasil yang mencerminkan tujuan bersama.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan tugas, tujuan, maupun orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan kelompok.

2. Fungsi Pemimpin

Fungsi seorang pemimpin berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan suatu kelompok, yang menandakan bahwa seorang pemimpinan berada di dalam situasi tersebut. Fungsi pemimpin merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan aktivitas kelompok, karena harus diwujudkan melalui interaksi antar individu dalam situasi sosial suatu kelompok. Menurut Veithzal (2004) fungsi pemimpin dibedakan atas lima fungsi pokok, yaitu:

a. Fungsi instruktif

Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator yang menentukan apa, bagaimana, dan di mana suatu perintah dikerjakan agar dapat dijalankan dengan efektif. Pemimpin

(3)

memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan perintah.

b. Fungsi konsultatif

Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Dalam menetapkan keputusan, pemimpin sering kali memerlukan bahan pertimbangan, sehingga mengharuskannya untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kemudian setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan perlu adanya konsultasi dari permimpin kepada anggota. Konsultasi ini berguna untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki dan menyempurnakan keputusan yang telah dibuat.

c. Fungsi partisipasi

Dalam melaksanakan fungsi ini pemimpin berusaha untuk mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan dalam mengambil keputusan maupun dalam menjalankan keputusan tersebut.

d. Fungsi delegasi

Fungsi ini pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang penerima delegasi itu harus diyakini merupakan orang kepercayaan pemimpin yang memiliki kesamaan persepsi dan aspirasi.

e. Fungsi pengendalian

Kepemimpinan yang efektif mampu mengatur aktivitas anggota secara terarah dan terkoordinasi secara efektif, sehingga memungkinkan

(4)

untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan

3. Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan situasional disebut juga dengan gaya kepemimpinan kontingensi. Salah satu teori awal kontingensi merupakan teori kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Fiedler (dalam Burn, 2004). Model kontingensi Fiedler membagi dua jenis pemimpin, yaitu pemimpin yang berorientasi pada tugas dan pemimpin yang berorientasi sosioemosional.

Teori Fiedler merupakan teori kontingensi, dimana situasi yang berbeda menuntut tipe kepemimpinan yang berbeda. Menurut teori tersebut, pemimpin yang sosioemosional, akan lebih efektif pada beberapa situasi dibandingkan situasi yang lainnya dan begitu juga dengan pemimpin dengan orientasi pada tugas. Hal itu tergantung pada kontrol situasi yang dilakukan pemimpin, yaitu tingkat dimana pemimpin memiliki pengaruh terhadap perilaku kelompok. Hughes, dkk (1999) mengemukakan bahwa kontrol situasi ini ditentukan oleh tiga jenis situasi: (1) hubungan pemimpin dan anggota, yaitu elemen yang paling kuat dari tiga elemen yang membangun kontrol situasi. Tingkatan dimana anggota dan pemimpin memiliki hubungan yang baik, atau memiliki hubungang yang sulit (2) struktur tugas, tingkat dimana suatu tugas dapat diselesaikan sesuai dengan deskripsi tugas, prosedur standar tugas dan indikator objektif , (3) kekuasaan posisi, yaitu wewenang pemimpin untuk

(5)

memberikan reward atau menghukum anggota. Situasi yang baik atau ‘favorable’ dikarakteristikkan dengan hubungan yang baik antara anggota dan pemimpin, struktur tugas yang tinggi, dan kekuasaan posisi pemimpin yang kuat. Sedangkan situasi yang kurang baik atau ‘unfavorable’ adalah ketika buruknya hubungan antara anggota dan pemimpin, tugas yang tidak terstruktur, dan kekuasaan pemimpin yang lemah.

Teori Fiedler cukup rumit, tapi intinya adalah bahwa Fiedler percaya bahwa pemimpin yang berorientasi pada tugas dapat ekfektif pada dua situasi. Pertama situasi dimana pemimpin berada pada keadaan yang baik dengan anggota kelompok, tugas terstruktur, dan pemimpin memliki hak otoritas dan kuasa yang tinggi. Hal ini dikarenakan ketika kelompok bersifat responsif dan tugas-tugas cukup jelas, gaya yang direktif dan tegas dapat berhasil dan fokus kepada hubungan interpersonal tidak diperlukan. Situasi kedua dimana pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif bila pemimpin memiliki hubungan yang buruk dengan anggota, tugas ambigu, dan pemimpin memiliki otoritas dan kekuasaan yang lemah. Fiedler mengemukakan bahwa pada kondisi yang seperti ini, pemimpin berfokus pada penyelesaian tugas dan tidak membuang waktu untuk mengkhawatirkan kondisi emosi anggota sehingga kelompok tersebut dapat berlanjut.

Pemimpin yang sosioemosional tidak efektif pada situasi dimana hubungan kelompok buruk dikarenakan pemimpin akan menghabiskan waktu mengkhawatirkan hubungan interpersonal yang tidak bisa diperbaiki kecuali mengarahkan perhatian kepada tugas yang ada. Pemimpin yang

(6)

sosioemosional juga tidak akan efektif ketika tugas sangat ambigu karena tidak adanya petunjuk pengerjaan tugas. Pemimpin yang sosioemosional dapat efektif apabila hubungan anggota dengan pemimpin cukup baik atau cukup buruk, ketika tugas cukup jelas, dan kekuasaan dan otoritas pemimpin sedang. Gambarannya adalah pemimpin yang lebih perhatian dan sensitif secara interpersonal dapat menghasilkan keterlibatan dan motivasi yang baik dari anggota meskipun jika tugas tidak jelas dan kelompok tidak responsif.

Menurut Fiedler (dalam Burn, 2004), gaya kepemimpinan sulit untuk diubah. Maka dari itu kelompok harus mencari seorang pemimpin yang memiliki gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, atau mencari cara untuk mengubah situasi agar tidak timbul masalah bagi pemimpin dan kelompok.

B. PENGHULU MINANGKABAU 1. Definisi Penghulu

Kata penghulu terdiri dari kata peng dan hulu. Kata peng mengandung pengertian pemegang. Sedangkan yang dimaksud dengan hulu adalah tangkai atau pangkal. Jadi dapat diambil pengertian mengenai kata penghulu sebagai berikut:

a. Jika diartikan penghulu adalah orang yang memegang hulu, atau pangkal dari segala-galanya, maka jelas bahwa penghulu itu sebagai pemegang kekuasaan, sebagai pemimpin yang harus menjadi contoh dan panutan baik dalam keluarga, kaum, maupun masyarakat nagari.

(7)

b. Jika penghulu sebagai sumber, seperti sumber mata air atau sungai, maka dia harus jernih, mensucikan dan membersihkan.

Oleh karena itu penghulu membawa beban berat di dunia akhirat. Fisik, mental dan spiritual harus telah terlatih dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi tantangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan kepemimpinan.

2. Sejarah Penghulu Minangkabau

Minangkabau dikenal dengan ciri khas budayanya yang unik. Sebagai satu-satunya etnis di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, Minangkabau mengatur masyarakatnya dibawah sistem pemerintahan nagari. Nagari adalah unit pemukiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat (Kato, 2005). Suatu pemukiman harus memiliki berbagai fasilitas umum yang memadai bagi masyarakatnya seperti balai (balairung), mesjid, jalan raya, tempat pemandian umum, sawah dan ladang, halaman dan area permainan umum, serta tempat pemakaman (Effendi, 2004).

Nagari pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem, yaitu sistem pemerintahan dan sistem adat Minangkabau. Sebagai sistem pemerintahan, nagari merupakan suatu unit teritorial yang mempunyai struktur politik dan aparat hukumnya tersendiri (Kato, 2005). Menurut Peraturan Nomor 9 Tahun 2000, nagari adalah kesatuan hukum masyarakat hukum adat Minangkabau yang terdiri dari himpunan beberapa

(8)

suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memiliki pimpinan pemerintahannya. Oleh karena itu masing-masing nagari bersifat otonom dan tidak memiliki kaitan struktural formal dengan nagari lainnya, sehingga sering disebut sebagai republik atau negara kecil.

Dilihat dari sudut pandang adat, nagari merupakan kesatuan kekuatan sosial budaya masyarakat Minangkabau yang telah diwarisi secara turun temurun berdasarkan ikatan hubungan darah (genealogis) (Effendi, 2004). Dimensi geneologis nagari bersifat matrilineal yang terorganisasi dalam tingkatan atau hierarki yang ketat, mulai dari kelompok terkecil.

Struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki kekhasan dibanding dengan masyarakat yang ada di Indonesia (Mauludin, 2010). Lebih lanjut lagi Mauludin menjelaskan bahwa struktur masyarakat adat di Minangkabau diawali dari rumah tangga. Rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga (suami) yang disebut dengan urang sumando. Tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu samande (hubungan yang terkait antara rumah tangga-rumah tangga di antara saudara yang berasal dari ibu yang sama). Struktur ini dipimpin oleh seorang mamak rumah, yaitu saudara laki-laki dari para anak perempuan. Di rumah ibunya, laki-laki tadi bertindak sebagai pemimpin bagi saudara perempuan dan keponakannya, namun di keluarga istrinya laki-laki tersebut menjadi urang sumando.

(9)

Tingkat yang lebih tinggi disebut sajurai, yaitu kumpulan beberapa keluarga yang berasal dari satu ibu, memiliki keturunan hingga generasi ketiga. Jurai ini dipimpin oleh tungganai yang perannya sama dengan mamak rumah, tetapi dengan cakupan yang lebih luas.

Kumpulan sajurai membentuk hubungan keluarga saparuik yang berasal dari satu ibu kemudian berkembang hingga generasi keempat, yaitu ibu, anak, cucu, cicit. Pemimpin paruik ini adalah tuo kampuang.

Kumpulan saparuik kemudian berkembang menjadi suku. Suku dipimpin oleh penghulu andiko, yaitu seorang pria yang terbaik yang dipilih dari mamak-mamak rumah yang ada, diyakini mampu memimpin dan membawa sukunya menjadi lebih maju dan sejahtera. Penghulu Andiko ini diangat dengan suatu proses yang disebut Batagak Panghulu. Kepadanya diberikan sebuah gelar Datuk oleh suku atau kaumnya.

Suku-suku di Minangkabau ini dapat digolongkan ke dalam satu antara dua kelarasan (tradisi politik) dari Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang merupakan dua bentuk dari sistem pemerintahan di Minangkabau. Effendi (2004) mengungkapkan bahwa istilah sistem pemerintahan ini sering dipertukarkan dengan sistem adat, sistem politik, lareh, kelarasan dan lain-lain. Kedua kelarasan ini tidak hanya merupakan sistem adat dan sistem pemerintahan, namun di dalam keduanya melekat juga sistem politik, bentuk kekuasaan, norma, aturan, dan sebagainya. Terdapat beberapa perbedaan antara kedua kelarasan diantaranya adalah struktur dan hierarki kekuasaan, proses

(10)

pengambilan keputusan sistem pewarisan, adat istiadat, arsitektur rumah gadang dan balai, serta falsafah adat.

Kelarasan Bodi Chaniago didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang, sedangkan kelarasan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan. Kedua datuak ini merupakan sosok penghulu Minangkabau yang merupakan saudara satu ibu yang berasal dari latar belakang yang berbeda sehingga memiliki karakter yang berbeda dalam menjalankan sistem pemerintahannya, namun tetap berdasarkan kepada sistem kekerabatan matrilineal.

Berdasarkan legenda yang berkembang di beberapa nagari, Arifin (2006) mengungkapkan bahwa Datuk Katumanggungan lahir ketika Sri Maharajo Dirajo dan istrinya Indo Jalito masih di Pariangan Padang Panjang. Ketika Sri Maharajo Dirajo wafat dan jandanya (Indo Jalito) kawin dengan Cati Bilang Pandai, lalu terjadi perpindahan “keluarga kerajaan” ini dari daerah Pariangan Padang Panjang ke daerah Dusun Tuo (Lima Kaum). Di daerah Dusun Tuo inilah lahir salah seorang anak mereka yang kemudian dikenal sebagai Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Dalam perkembangan kemudian, Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang inilah kemudian yang mengendalikan “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo tersebut, dimana datuk Katumanggungan diserahi tugas sebagai “raja” dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang diserahi tugas sebagai pengendali dan penasehat kerajaan (mungkin bisa kita samakan dengan jabatan “perdana mentri”).

(11)

Dari tangan duo datuak ini “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo berkembang dengan pesat. Perpaduan kepemimpinan duo datuak ini dibantu oleh Datuk Bandaro Kayo (sebagai penghulu pucuk Pariangan), Datuk Maharajo Basa (sebagai penghulu pucuk Padang Panjang) serta kedua orangtuanya (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) telah menjadikan “kerajaan” ini berkembang dengan pesat. Melalui perpaduan kepemimpinan kedua datuak ini pula lalu dibuatlah aturan-aturan yang kemudian dikenal dengan sebutan undang-undang nan 22 dan dilakukannya pengelompokan-pengelompokan masyarakat berdasarkan induak yang sama (satu paruik atau ibu) yang kemudian dikenal dengan sebutan suku. Melalui Datuk Parpatiah Nan Sabatang misalnya di Dusun Tuo lalu dibentuk 4 suku (pasukuan nan 4 batua) beserta dengan penghulu-penghulunya, dan mengangkat Datuk Bandaro Kuniang sebagai penghulu pucuk di daerah Dusun Tuo tersebut.

Dalam perkembangan berikutnya kemudian Datuk Katumanggungan memerintahkan kepada datuk Bandaro Kayo (penghulu pucuk Pariangan) untuk membentuk suku-suku di daerah Pariangan dan Padang Panjang dan sekitarnya yang dikenal dengan suku nan 22. Dengan wafatnya Cati Bilang Pandai yang kemudian juga disusul dengan wafatnya Indo Jalito, maka kekompakan atau perpaduan kepemimpinan duo datuak ini mulai sedikit goyah. Tanda-tanda akan terjadi perpisahan antara duo datuak ini mulai terlihat ketika Datuk Katumanggungan membangun “kerajaan” baru yang dikenal dengan “kerajaan Bungo Setangkai” di Sungai Tarab. Datuk

(12)

Katumanggungan sekaligus menjadi “Raja” dan Datuk Bandaro Putiah (penghulu pucuk di Sungai Tarab) diangkat menjadi panungkek (wakil). Para penghulu dari 22 suku yang dibentuk sebelumnya di daerah Pariangan dan sekitarnya akhirnya cenderung akhirnya menjadi pengikut Datuk Katumanggungan. Sementara Datuk Parpatiah Nan Sabatang tetap bertahan di daerah Dusun Tuo (Lima kaum) dan karena pengaruhnya juga maka para penghulu nan 4 batu yang ada di Dusun Tuo cenderung akhirnya menjadi “pengikut” Datuk Parpatiah nan Sabatang. Dengan berdirinya kerajaan Bunga Setangkai di Sungai Tarab, dan bertahannya Datuk Parpatiah Nan Sabatang di Dusun Tuo, mulailah percaturan politik secara terbuka antara kedua datuak ini dimulai. Datuk Katumanggungan kemudian mengembangkan kerajaan Bunga Setangkai seorang diri dengan membangun kubu-kubu pertahanan sehingga daerah Lima Kaum terjepit didalamnya. Sebaliknya Datuk Parpatiah Nan Sabatang juga akhirnya membentuk 17 suku-suku baru yang akhirnya menjadi benteng pertahanan daerah Lima Kaum.

Puncak dari semua ini, terjadinya pertempuran antara kelompok kedua datuak ini yang menurut Dobbin (1977) sampai terjadi “perang bedil” yang memakan banyak korban. Dikarenakan nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan masih relatif kuat, maka perdamaian antara duo datuak kemudian dilakukan. Dengan kebesaran hatinya sebagai saudara muda (adik), maka Datuk Parpatiah Nan Sabatang menemui Datuk Katumanggungan di Sungai Tarab dengan membawa siriah jo carano dan

(13)

menyatakan diri mundur dari pertempuran dan menyerahkan semua penyelesaiannya kepada Datuk Katumanggungan. Sebaliknya, melihat kebesaran jiwa Datuk Parpatiah Nan Sabatang, maka Datuk Katumanggungan pun lalu kembali menjalin ulang persaudaran dan persahabatan yang telah mereka lakukan selama ini. Disini lalu disepakati bahwa daerah yang telah dipancang Datuk Parpatiah Nan Sabatang selama ini, akhirnya diserahkan kepada Datuk Parpatiah dan menamai daerah-daerah tersebut dengan Bodi Chaniago yang bermakna sebagai “budi yang sangat berharga”. Daerah yang dipancang Datuk Katamenggung diberi nama dengan Koto Piliang yang bermakna “koto yang dipilih atau koto yang telah ditentukan”. Sementara daerah Pariangan dan Padang Panjang sebagai daerah awal duo datuak ini kemudian dikenal dengan sebutan lareh Nan Panjang yang “bodi chaniago bukan, koto piliang antah”. Proses politik yang tetap mengandalkan persaudaran dan tidak melupakan akar budayanya inilah yang kemudian dikenal dalam pepatah adat Minangkabau sebagai “mancancang indak mamutuihkan, manabang indak marabahkan, manikam indak mamatikan”.

3. Fungsi Penghulu

Fungsi penghulu dalam tatanan Adat Alam Minangkabau adalah:

a. Penghulu menjadi mamak dari jurainya, yaitu mamak dari seluruh anggota kaumnya yang seperut, artinya yang bertali darah menurut adat

(14)

(senasab), yang sepayung sepatagak yang selingkar cupak adat. Dalam sehari-sehari penghulu disebut juga sebagai Mamak Kepala Kaum b. Penghulu adalah penghulu kaumnya yang satu suku dan satu kampung,

walaupun tidak bertali darah (tidak senasab) menurut adat, yaitu terhadap orang-orang yang mengaku “bermamak” kepadanya.

c. Penghulu menjakankan dan mengendalikan peraturan adat dan syarak dalam rumah tangganya, dalam korong kampung dan dalam masyarakat nagarinya.

d. Penghulu menjadi wakil tertinggi dan terpercaya dari seluruh anggota kaumnya untuk mengambil langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan menurut adat dan syarak dalam menyelesaikan silang sengketa yang terjadi, baik dalam kaumnya sendiri maupun dalam korong kampung dalam nagari.

e. Penghulu adalah tempat berlindung dan tempat mengadu sakit dan senang bagi anak kemenakannya. Penghulu selaku orang tua menurut adat, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berberita bagi kaumnya dan rakyat di nagari.

4. Syarat-syarat Menjadi Penghulu

Syarat-syarat atau martabat untuk jadi penghulu ada enam perkara, yaitu: a. Orang yang telah baligh berakal, tahu membedakan antara bentuk

dengan baik, antara yang halal dengan yang haram, atau antara salah dan benar.

(15)

b. Orang yang kaya budi dan basa, membuhul tidak mengulas tidak mengesan.

c. Orang yang berilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Adat dan Syarak.

d. Orang yang adil dan pemurah. e. Orang yang selalu ingat dan jaga.

f. Orang yang sabar dan bijaksana, beralam lebar berpadang lapang, dan pandai bergaul dalam masyarakat.

g. Penghulu merupakan pusat jala himpunan ikan, tempat rakyat mengadu, kalau kusut menyelesaikan, kalau jernuh menjernihkan.

5. Kewajiban Penghulu

a. Menurut alur yang lurus

Penghulu harus menuruti cara-cara yang benar sesuai dengn peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik hukum adat, hukum syarak, maupun hukum negara.

b. Menempuh jalan yang pasar

Artinya melalui jalan yang biasa dipakai orang, kalau baik sama-sama dipakai, kalau enak sama-sama dimakan kalau buruk sama-sama dibuang. Makna dari jalan adalah sesuatu yang dapat dijalani dengan tubuh dan dapat dilalui oleh akal dan ilmu.

(16)

c. Mempunyai harta pusaka

Penghulu memiliki harta peninggalan dari orang-orang tuanya terdahulu yang harus dijaga dan dirawat. Jika tidak akan bertambah sekurang-kurangnya yang sudah ada itu harus dipertahankan.

d. Memelihara anak kemenakan

Penghulu memiliki kewajiban untuk memelihara dan menjaga kemenakan. Sesuai dengan pepatah adat anak dipangku, kamanakan dibimbiang (anak dipangku, kemenakan dibimbing).

C. GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU

Sistem pemerintahan adat di Minangkabau dikenal sebagai pemerintahan nagari, dimana dipimpin oleh pemuka adat yang disebut dengan penghulu. Pada pemerintahan nagari terdapat dua sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau. Sistem ini dikenal dengan sebutan kelarasan, yang terdiri dari kelarasan Bodi Chaniago dan kelarasan Koto Piliang.

Kedua kelarasan ini merupakan ciri khas kepemimpinan budaya Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam kepemimpinan maupun dalam aspek adat lain, seperti struktur rumah gadang. Perbedaan pada kedua kelarasan ini disebabkan karena perbedaan latar belakang dan pemikiran pendirinya yang berbeda, yang menyebabkan perbedaan pada kedua datuak tersebut dalam menjalankan kepemimpinan.

(17)

Kelarasan Bodi Chaniago dicetuskan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang, dimana sangat menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan individu. Nilai-nilai ini diwujudkan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Sedangkan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan yang dalam menjalankan kepemimpinannya menerapkan hirarki antara penghulu dan masyarakat.

Setiap nagari biasanya akan secara tegas menyatakan dirinya penganut sistem kelarasan Bodi Chaniago ataupun Koto Piliang. Namun dalam realitanya, walaupun setiap nagari memutuskan akan menggunakan salah satu sistem kelarasan, namun keberadaan kelarasan lain tidak dilarang untuk dipakai pada nagari tersebut. (Arifin dan Gani, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat sesuatu yang dinamis sehingga menjadikan kepemimpinan itu tidak bersifat kaku.

Sistem kepemimpinan di Minangkabau dapat dijelaskan dengan teori kontingensi, dimana kondisi kepemimpinan yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori Kontingensi Fiedler (dalam Burn, 2004) membagi pemimpin ke dalam dua kategori, yaitu pemimpin yang berorientasi sosioemosional dan pemimpin yang berorientasi kepada penyelesaian tugas. Pemimpin yang sosioemosional yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan hubungan yang baik dengan anggotanya dibandingkan dengan penyelesaian tugas-tugas yang ada. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas, lebih menfokuskan anggota kepada pencapaian tugas-tugas kelompok.

(18)

Fiedler kemudian mengungkapkan bahwa ada tiga situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu hubungan antara pemimpin dan anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi. Situasi yang pertama yaitu leader-member relation atau hubungan antara pemimpin dan anggota, pada penghulu Minangkabau hubungan tersebut merupakan hubungan penghulu dan masyarakat, apakah hubungan tersebut baik atau bersifat sulit.

Situasi yang kedua adalah task structure atau struktur tugas, yaitu bagaimana pemimpin membagi tugas kepada anggotanya. Pada penghlu Minangkabau situasi ini adalah bagaimana penghulu membagi tugas yang ada di masyarakat, apakah secara mendetail atau tidak. Situasi yang ketiga adalah Position power atau kekuasaan posisi, yaitu tingkat dimana pemimpin memiliki otoritas tertentu terhadap anggota. Pada penghulu Minangkabau, situasi ini adalah bahwa seberapa besar otoritas penghulu terhadap masyarakatnya.

Berdasarkan ketiga situasi tersebut, dapat diartikan bahwa gaya kepemimpinan dapat efektif pada suatu situasi, tetapi tidak efektif pada situasi yang lainnya. Pemimpin sosioemosional dapat efektif pada hubungan antara pemimpin itu cukup baik, struktur tugas cukup jelas dan kekuasaan dan otoritas pemimpin sedang. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas akan efektif ketika pemimpin berfokus pada pencapaian tugas, tidak mementingkan hubungan antara pemimpin dengan anggota.

Karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago diantaranya menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan masyarakat dalam pencapaian mufakat dengan menggunakan sistem musyawarah dalam memutuskan suatu

(19)

permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat diartikan bahwa, masyarakat Bodi Chaniago dapat ikut terlibat langsung untuk memutuskan suatu permasalahan yang terjadi bersama-sama dengan Penghulu mereka. Oleh karena itu, karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago dapat dijelaskan dengan teori gaya kemimpinan sosioemosional menurut Fiedler (dalam Burn, 2004), dimana kepemimpinan sosioemosional berfokus pada kualitas hubungan yang terjalin antara penghulu dengan masyarakat.

Berbeda dengan kepemimpinan Bodi Chaniago, kepemimpinan Koto Piliang memiliki karakteristik dimana adanya hirarki antara penghulu dengan masyarakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini dapat diartikan bahwa adanya perantara yang menghubungkan penghulu dengan masyarakat. Penghulu Koto Piliang menyampaikan keputusannya melalui perantara yang kemudian meneruskan keputusan tersebut kepada masyarakat. Proses ini dalam budaya Minang disebut dengan manitiak dari ateh. Berdasarkan karakteristik tersebut, kelarasan Koto Piliang dapat dikaitkan dengan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas menurut Fiedler (dalam Burn 2004), dimana dalam proses penyelesaian masalah penghulu tidak berfokus pada hubungan interpersonal yang dijalin antara penghulu dengan masyarakat, tetapi lebih berfokus kepada penyelesaian masalah yang dihadapi.

(20)

D. PARADIGMA TEORITIS

Kepemimpinan di Minangkabau

Dinamis sesuai dengan situasi yang ada Bodi Chaniago

Tidak ada ketentuan harus memakai salah satu sistem kelarasan

Sistem Kelarasan

Gaya kepemimpinan situasional Fiedler Koto Piliang

Bersifat demokratis Bersifat aristokratis

Leader-member relation Task structure Position power

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian Kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross-sectional penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Tingkat Pendidikan

Akibatnya jalan menggunting (Scissor gait), & telapak kakinya jinjit. 3) Kelainan alat gerak akibat tindakan operasi amputasi, fungsi kaki menjadi terhambat

Dengan menggunakan path analysis hasil penelitian menunjukkan bahwa kemudahan penggunaan, sikap penggunaan teknologi, persepsi manfaat ( perceived usefulness)

Daya persuasi atau pengaruh suatu pesan sangat tergan­ tung media apa yang dipilih komunikator untuk memindah­ kan pesan atau informasi kesehatan. Ada berapa media yang

Dengan demikian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah “bagaimana sebenarnya struktur pasar jasa penyelenggaraan akses internet di Indonesia dan

BAB II PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR SERI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN BEBAS SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR A.. Pelajaran Bahasa

This research used lizard skins, cobra skins and kakap fish skins from dried preservation; woods extract of secang, tegeran, nangka, mahoni and tinggi; chrome