• Tidak ada hasil yang ditemukan

dipercepat menjadi dua tahun. Materi pelajaran yang disampaikan dilakukan dengan cara pemadatan materi pelajaran. Mihali Csikszentmihaly dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dipercepat menjadi dua tahun. Materi pelajaran yang disampaikan dilakukan dengan cara pemadatan materi pelajaran. Mihali Csikszentmihaly dari"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu konteks yang penting dalam proses belajar adalah sekolah. Kita sering berpendapat bahwa sekolah adalah suatu tempat dimana proses belajar secara akademis mendominasi. Tetapi sekolah sebenarnya lebih dari sekedar kelas akademis dimana siswa dapat berpikir, melakukan penalaran, dan mengingat. Sekolah juga merupakan suatu arena sosial yang penting bagi remaja, dimana teman dan perkumpulan memiliki makna yang besar. Sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi remaja. Pengaruh sekolah sekarang ini lebih kuat dibandingkan pada generasi sebelumnya karena lebih banyak individu yang menghabiskan waktunya di sekolah.

Pada tahun 1998/1999 pemerintah telah mengeluarkan undang-undang bagi peserta didik berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat dan minatnya dan berhak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. Pemerintah telah menyelenggarakan program akselerasi (program percepatan belajar). Dimana siswa yang di anggap memiliki kemampuan yang lebih (berbakat akademik) dapat menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat di banding teman sebayanya dalam program reguler.

Balitbang Depdikbud (dalam Widyasari, 2008) mengungkapkan program akselerasi pada awal tujuannya untuk mewadahi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam program percepatan belajar. Mereka adalah peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas, kreativitas yang memadai, dan keterikatan terhadap tugas yang tergolong baik. Dep Dik Nas (dalam Widyasari, 2008) juga menegaskan bahwa waktu pembelajaran yang digunakan untuk menyelesaikan program belajar bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa melalui program akselerasi atau percepatan belajar dibandingkan siswa yang reguler. Pada satuan pendidikan Sekolah Dasar, dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun. Sedangkan pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas masing-masing dari tiga tahun

(2)

dipercepat menjadi dua tahun. Materi pelajaran yang disampaikan dilakukan dengan cara pemadatan materi pelajaran.

Mihali Csikszentmihaly dari Universitas Chicago telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan kemampuan tinggi yang luar biasa disembarang domain, tidak hanya secara akademis, tetapi juga di bidang seni rupa, musik, bahkan atletik sebetulnya secara sosial tidak padu dengan sebayanya. Anak-anak berbakat cenderung “ngotot”, berpikir bebas dan introver. Mereka lebih banyak menyendiri dan meskipun memperoleh energi dan kesenangan dari kehidupan mental yang menyendiri itu, mereka juga mengungkapkan bahwa mereka merasa kesepian. Anak perempuan yang berbakat akademik lebih banyak mengalami depresi, memiliki harga diri yang rendah, dan keluhan-keluhan psikosomatik lain bila dibandingkan dengan sebayanya laki-laki yang berbakat (Hawadi-Akbar, 2004).

Kurikulum pendidikan nasional di Indonesia saat ini lebih banyak bobot pendidikannya yang diarahkan untuk merangsang perkembangan kognitif siswa dengan kurang diimbangi oleh stimulasi bagi perkembangan aspek sosial dan emosi. Sehingga, para siswa sibuk mengejar prestasi di sekolah dan akibatnya akan mengurangi waktu mereka bersosialisasi dengan masyarakat, sehingga bisa dipastikan waktu sosialisasi remaja menjadi sangat terbatas. (Hawadi-Akbar, 2004)

Seperti halnya pemadatan materi di kelas Akselerasi menuntut peserta akselerasi harus tetap stabil dalam mengikuti pelajaran. Hal ini membuat sejumlah peserta kesulitan untuk mengikuti kegiatan di luar kelas, seperti ekstrakurikuler. Padahal kegiatan di luar pembelajaran akademis itu dapat menjadi wadah bagi siswa untuk melakukan pengembangan kompetensi sosialnya (Widyasari, 2008).

Hasil temuan dari Aswan Hadis (dalam Widyasari, 2008) banyak penelitian mutakhir yang menemukan bahwa anak yang berbakat akademik dalam satu kelas homogen, sekitar 25-30% siswanya mengalami masalah-masalah emosi dan sosial. Masalah yang sering dialami adalah kurangnya pengetahuan tentang interaksi teman sebaya, isolasi sosial, kepercayaan diri, penurunan prestasi belajar, dan kebosanan yang dialami oleh siswa-siswa berbakat akademik dalam kelas homogen.

Kelas akselerasi pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa dengan IQ tinggi, karena sesuai dengan pendapat Terman (dalam Hawadi, 2004) yang menyatakan bahwa siswa dengan IQ

(3)

diatas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral. Iswinarti (dalam Ari, tt) mengungkapkan pada kenyataanya dilapangan tidak sebaik yang di harapkan, karena sebagian anak dengan IQ tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, karena anak dengan IQ tinggi mempunyai pemahaman yang lebih cepat dan cara berpikir yang lebih maju sehingga sering tidak sepadan dengan teman-temannya. Kondisi tersebut semakin tidak diuntungkan dengan adanya labelling dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi.

Hawadi (2004) mengungkapkan bahwa masalah utama dalam program akselerasi adalah bila dilakukan dengan tergesa-gesa, anak dapat saja belum “siap” atau “matang”, baik secara fisik maupun emosi untuk masuk atau dapat diterima dengan teman-temannya yang lebih tua. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan akselerasi bagi anak berbakat akademik adalah memenuhi kebutuhan akan tugas-tugas yang penuh tantangan dalam bidang keberbakatan dan adanya persahabatan di antara teman sejawat yang memiliki kemampuan yang sama. Persahabatan ini sangat penting mengingat mereka cenderung mengisolasi diri.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Dimana di setiap lingkungan yang berbeda individu selalu dihadapkan pada harapan-harapan dan tuntutan yang berbeda. Seperti halnya siswa yang mengikuti program akselerasi, siswa tersebut di tuntut untuk dapat mengikuti setiap materi pelajaran yang di berikan lebih cepat di banding program reguler. Selain itu siswa diharapkan dapat melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sekitarnya baik dengan siswa sekelasnya di akselerasi maupun dengan siswa reguler yang satu sekolah dengannya. Demikian juga meraka dituntut untuk bisa melakukan penyesuaian dengan guru maupun dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

Ketika seorang anak menjadi remaja dan kemudian remaja berkembang menuju ke tingkat dewasa, ia mengalami banyak perubahan dalam dunia sekolahnya. Perkembangan sosial dan emosional secara instrinsik dinilai sangat penting bagi diri remaja dalam masa sekolahnya. Pola akademis dan sosial memiliki keterkaitan yang cukup rumit. Sekolah yang menghasilkan siswa yang berprestasi tinggi dikaitkan tidak hanya dengan kurikulum dan jumlah waktu mengajar tetapi juga faktor iklim dari sekolah seperti harapan guru terhadap siswanya dan juga pola interaksi guru

(4)

dengan murid. Dengan kata lain, aspek dari sekolah sebagai suatu sistem sosial berperan terhadap pencapaian prestasi siswa di sekolah (Santrock, 2003).

Sejalan dengan pendidikan individu menuju sekolah menengah atau sekolah lanjutan tingkat pertama, lingkungan sekolah meningkat dalam hal ruang lingkup dan tingkat kompleksitasnya. Remaja berinteraksi secara sosial dengan bermacam-macam guru dan teman sebaya yang berasal dari beragam latar belakang sosial dan etnis (Santrock, 2003). Transisi menuju sekolah menengah atau sekolah lanjutan tingkat pertama dari sekolah dasar merupakan suatu pengalaman yang normatif bagi anak-anak. Proses transisi tersebut menimbulkan stres karena terjadi secara bersamaan dengan transisi-transisi lainnya dalam diri individu, dalam keluarga, dan di sekolah (Eccles, dkk., dalam Santrock, 2003).

Ketika siswa mengalami transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah atau sekolah lanjutan tingkat pertama, siswa menghadapi fenomena yang teratas ke bawah (top-dog phenomenon), yaitu keadaan dimana siswa bergerak dari posisi yang paling atas menuju posisi yang paling rendah (Santrock, 2003). Dengan demikian penyesuaian sosial dibutuhkan bagi remaja saat remaja mengalami masa transisi seperti yang telah dipaparkan di atas. Disamping siswa dituntut untuk dapat menyesuaikan diri pada masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan tingkat pertama, siswa yang masuk dalam kelas akselerasi juga dituntut untuk dapat bergabung dengan lingkungan kelasnya yang cenderung lebih tua darinya. Penyesuaian sosial sangat penting bagi remaja, khususnya bagi siswa akselerasi. Karena dengan remaja dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, siswa akselerasi tidak lagi bersifat introvert dan merasa kesepian, karena mereka sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Para peneliti yang memperhatikan proses transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah atau sekolah lanjutan tingkat pertama menemukan bahwa tahun pertama di sekolah menengah atau sekolah lanjutan tingkat pertama dapat menjadi tahun yang sangat sulit bagi banyak siswa (Eccles & Midgely, dalam Santrock, 2003). Dalam hal ini karena siswa dituntut untuk dapat meyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru yaitu, teman baru, guru baru dan lingkungan sekolah yang baru. Apabila siswa yang memiliki penyesuaian sosial yang baik maka siswa tersebut

(5)

dapat dengan mudah menyesuaikan dengan lingkungan yang baru dan dapat bergabung dengan teman-teman barunya.

Hawadi-Akbar (2004) mengatakan siswa berbakat yang ditempatkan di kelas atas yang lebih sesuai dengan kemampuan berpikir mereka, memang beruntung karena anak akan dihadapkan dengan soal-soal yang lebih rumit daripada dikelas asal sehingga mengurangi kebosanan. Masalahnya, mereka bergaul dengan anak yang jauh lebih tua. Kondisi ini akan mengisolasi si anak dan menimbulkan self esteem yang rendah. Keadaan ini juga akan menimbulkan gangguan pada konsep diri anak. Disatu pihak ia merasa memiliki pengetahuan yang lebih dari kawan-kawannya, dipihak lain ia merasa kurang karena pengalaman dan pengetahuan yang minim di luar mata pelajaran yang diberikan sehingga pengetahuannya tidak seimbang dengan teman-teman sekelas.

Monks (dalam Ari, tt) mengungkapkan bahwa usia siswa-siswi SMP dapat dikategorikan dalam masa remaja awal, yaitu 12-15 tahun. Memasuki masa remaja, anak mulai melepaskan diri dari ikatan emosi orang tua dan menjalin hubungan yang akrab dengan teman-teman sebayanya. Havighurst (dalam Ari, tt) menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai suatu peran sosial baik bagi pria maupun wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, melakukan perilaku sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari orang tua dan dewasa disekitarnya.

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock,1980). Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Nurdin, 2009).

Menurut Schneiders (dalam Ari, tt) penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan memuaskan. Dengan demikian penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu yang

(6)

menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien. Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, apabila individu dihadapkan pada kesenjangan yang timbul dalam hubungannya dengan orang lain. Betapapun kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dielakkan sehingga dalam situasi tersebut, penyesuaian sosial akan menjadi wujud kemampuan yang dapat mengurangi atau mengatasi kesenjangan tersebut.

Widyasari (2008) mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, maka kematangan emosi mempunyai peranan yang sangat penting. Siswa yang matang secara emosional lebih dapat diterima dalam lingkungan sosialnya. Mengajarkan keterampilan emosional dan sosial pada siswa dapat membentuk kematangan emosional yang selanjutnya memudahkan siswa dalam melakukan penyesuaian sosial. Hurlock (1980) juga menjelaskan bahwa tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.

Yusuf (2011) mengungkapkan kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, selain itu mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.

Sejalan dengan bertambahnya kematangan emosi seseorang maka akan berkuranglah emosi negatif. Bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan berkembang jadi lebih baik. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain ataupun teman sebayanya (Hurlock, 1980).

Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada masa akhir remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain

(7)

melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima (Hurlock, 1980).

Berangkat dari masalah dan sumber informasi yang telah dipaparkan diatas, Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam tentang hubungan antara kematangan emosi dan penyesuaian sosial pada siswa akselerasi tingkat SMP.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan penyesuaian sosial pada siswa akselerasi.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dan penyesuaian sosial pada siswa akselerasi.

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Untuk menambah wawasan pengetahuan di bidang psikologi pendidikan dan perkembangan.

2. Manfaat praktis

Untuk menambah informasi serta memberikan masukan kepada para pendidik khususnya yang menangani program akselerasi.

Referensi

Dokumen terkait

Jalur Prestasi Kejuaraan terbuka bagi Pendaftar yang memiliki prestasi juara pada lomba/kejuaraan bidang akademik, olahraga, atau seni ketika duduk di bangku

ruang luar pada Kantor Pusat Sukun Group dapat digolong-. kan dalam dua hal, yaitu permasalahan

Jika terjadi gangguan gempa bumi lebih dari 7 SR akan mengakibatkan gedung Cyber menjadi runtuh karena secara struktur gedung Cyber tidak dirancang untuk data

Dengan demikian, hasil dari proses kolonisasi mikoriza adalah terbentuknya dua bidang kontak yang berbeda, yaitu interseluler (hifa berkembang di antara sel-sel korteks) di

Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data melalui penyebaran kuisioner ke 26 Puskesmas induk di Kabupaten Sidoarjo. Data yang didapatkan berupa kondisi

Analisis kontrastif adalah perbandingan struktur antara dua bahasa, B1 dan B2, yang akan dipelajari oleh para siswa menghasilkan indentifikasi perbedaan kedua bahasa

Jika jumlah pasien IGD pada suatu hari adalah 5 orang, berapa peluang besok hanya akan ada 2 orang saja yang masih hidup.. (Ilustrasi-2) Banyaknya kecelakaan yang terjadi di tol

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat berkarya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Keanekaragaman