• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (Anonim, 2011).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (Anonim, 2011)."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (Anonim, 2011). Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia (Paudel et al., 2010). Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al., 2008). Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (Craig, 2010). Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer et al, 2002).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu sehingga penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain seperti mual, muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit perut sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.

Di Amerika Syarikat, sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis setiap tahun, dimana terjadi 4 per 1000 anak di bawah usia 14 tahun (Hartman et al., 2000).

(2)

Apendisitis bisa terjadi pada semua golongan usia, namun sering terjadi di bawah usia 40 tahun, terutama antara 10 dan 20 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur dan memuncak pada remaja. Apendisitis jarang terjadi pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun dan sangat jarang pada anak kurang dari 2 tahun (Philip, 2007).

Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit cerna lainnya. Pada rawat jalan, kasus penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan), setelah penyakit sistem pencernaan lain, dispepsia, gastritis dan duodenitis.

Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30,703 kasus dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.

Antibiotik diberikan pada sebelum dan setelah operasi sesuai dengan kebutuhan (Ajaz et al., 2009).

(3)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Seperti apakah karakteristik pasien apendisitis dilihat dari usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal, diet, lokasi nyeri, riwayat penyakit dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta berdasarkan data pada periode Januari 2010 - Desember 2014?

2. Seperti apakah pola pengobatan apendisitis yang diberikan pada pasien apendisitis? Adakah sesuai dengan ASHP Therapeutic Guideline (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji et al., 2008) yang diacu?

3. Bagaimana outcome pengobatan setelah pasien mendapatkan terapi apendisitis?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien dan melihat keterkaitan antara terjadinya prevalensi apendisitis berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal, diet, lokasi nyeri, riwayat penyakit dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 - Desember 2014.

2. Untuk mengetahui pola pengobatan secara umum pada pasien apendisitis di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 - Desember 2014 dengan kesesuaian berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline (ASHP, 2013),

(4)

WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanjiet al., 2008).

3. Untuk mengetahui outcome pengobatan setelah pasien diberikan pengobatan pada penyakit apendisitis.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoritis mempunyai manfaat yang dapat digunakan untuk:

1. Mendapatkan informasi mengenai data demografi pasien apendisitis di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta terutama dalam penatalaksanaan pengobatan pasien dan efektifitas pengobatan.

2. Memberikan informasi tentang penyakit apendisitis dengan lebih mendalam, sehingga diharapkan dapat bekerjasama dengan pemerintah atau pihak terkait lainnya dalam menurunkan insidensi apendisitis.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan farmasi di rumah sakit dengan membandingkan pengetahuan farmakoterapi yang rasional.

E. Tinjauan Pustaka 1. Apendisitis

a. Definisi

Apendisitis adalah infeksi dan pembengkakan pada usus buntu yang dapat menurunkan suplai darah ke dinding usus buntu. Hal ini menyebabkan kematian jaringan dan usus buntu bisa pecah atau meledak sehingga

(5)

mengakibatkan bakteri dan tinja masuk ke dalam perut. Kejadian ini disebut usus buntu yang pecah. Sebuah usus buntu yang pecah bisa menyebabkan peritonitis atau disebut infeksi perut. Apendisitis paling sering terjadi pada usia 10 sampai 30 tahun yang merupakan alasan umum untuk operasi pada anak-anak, dan merupakan bedah emergensi yang paling umum terjadi pada kehamilan (Cheng et al., 2014).

Apendiks adalah salah satu bagian organ saluran pencernaan dan terletak pada pangkal usus besar di daerah perut bagian kanan bawah (John et al., 2008). Ukuran apendiks pada orang dewasa berkisar antara 6 sampai 7 cm panjang dan fungsinya masih belum jelas (Robbins et al., 2005).

b. Patofisiologi

Secara klinis, apendisitis ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) Apendisitis akut

Apendisitis yang terjadi dengan diawali oleh nyeri periumbilikal yang diikuti dengan rasa mual dan muntah sehingga bisa menyebabkan anoreksia, dan peningkatan nyeri lokal pada perut bagian kanan bawah. Lamanya rasa nyeri ini berlangsung selama 24 sampai 36 jam. Penyebab apendisitis akut ini adalah adanya obstruksi apendiks dan infeksi hematogen (Craig, 2005).

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mengalami sumbatan, sehingga semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun,

(6)

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan di mana akan menyebabkan peningkatan tekanan intralumen (Anonim, 2000).

2) Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis terjadi apabila ada rasa nyeri di perut bagian kanan bawah yang tidak berat, tetapi bisa menyebabkan aktivitas penderita terganggu dan lebih dari dua minggu. Nyeri yang dirasakan dapat berlangsung secara terus-menerus dan bisa bertambah berat parah kemudian mereda lagi (Sjamsuhidajat et al., 2003).

c. Epidemiologi

Kejadian apendisitis banyak terjadi di negara maju dan di negara yang sedang berkembang dimana diet dipengaruhi oleh gaya barat. Kejadian apendisitis lebih rendah terjadi pada pola makan yang mengonsumsi serat yang tinggi (Addis et al., 1990).

Secara keseluruhan, kadar kematian 0,2 - 0,8% diakibatkan oleh komplikasi penyakit tersebut apabila tidak dilakukan intervensi pembedahan. Kadar kematian meningkat sebanyak 20% pada pasien yang berusia lebih 70 tahun karena penundaan diagnostik dan terapetik. Kadar perforasi lebih tinggi pada pasien yang berusia lebih muda dari 18 tahun dan pasien yang lebih tua dari 50 tahun, berkemungkinan karena penundaan dalam diagnosa (Addis et al., 1990).

(7)

Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendisitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon (Treutner et al., 1997).

d. Etiologi

Etiologi dan patogenesis apendisitis masih belum jelas. Namun, obstruksi lumen apendiks, oleh sebab apapun, dengan hasil penggelembungan dan gangguan aliran darah, masih tetap diperkirakan faktor utama dalam patogenesis apendisitis. Faktor lain yang berpengaruh termasuk makanan yang rendah serat, bakteri dan infeksi kuman (Prem et al., 2009). Faktor yang paling berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks (Bernard, 2006). Keadaan obstruksi akan mengakibatkan terjadinya proses inflamasi. Terdapat beberapa peningkatan tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks serta obstruksi vena dan arteri yang nantinya akan menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan infeksi bakteri (Way, 2005).

(8)

Tabel I. Bakteria yang sering terisolasi pada apendisitis perforasi

Tipe Bakteria Pasien (%)

Anaerobik Bacteroide fragilis 80 Bacteroides thetaoitaomicron 61 Bilophila wadworthia 55 Peptostreptococcus spp. 46 Anaerobik Escheria coli 77 Streptococcus viridans 43 Group D streptococcus 27 Pseudomonas aeruginosa 18 (Bennion, 1995). Flora pada apendiks normal mirip dengan usus besar yang mempunyai berbagai jenis bakteri aerobik dan anaerobik. Escherichia coli, Streptococcus viridans, dan Bacteriodes dan Pseudomonas spp. adalah diantara beberapa jenis bakteri yang sering terisolasi dan akan terbiak pada organ dalam yang lain (Gladman et al., 2004).

e. Patogenesis

Apendisitis diinisiasi oleh obstruksi lumen yang disebabkan oleh tinja atau fekalith. Hal ini menjelaskan tentang epidemiologi yang mengatakan apendisitis berasosiasi dengan asupan serat makanan yang rendah (Philip, 2007).

Penyebab ulkus masih tidak diketahui meskipun etiologi virus telah dipostulatkan. Infeksi organisme Yersinia dapat menyebabkan penyakit, karena merupakan komplemen tinggi titer antibodi fiksasi yang ditemukan pada 30% kasus positif usus buntu. Reaksi inflamasi yang disertai dengan

(9)

ulserasi cukup untuk menghalangi lumen usus buntu kecil bahkan kelihatan tidak jelas. Obstruksi paling sering disebabkan oleh fekalith, yang dihasilkan dari akumulasi dan penebalan logam tinja sekitar serat sayuran (Felson, 2008). Kasus usus buntu dari obstruksi lumen apendiks menyebabkan infeksi dan peradangan. Sebuah fekalith yang menghambat, sering terlihat setelah dilakukan operasi. Awalnya, usus buntu menyebabkan nyeri peri-pusar, mual dan muntah. Hal ini karena saraf visceral dari struktur pertengahan usus menyebabkan nyeri ke daerah peri-pusar dan merangsang pusat muntah. Ketika peradangan berkembang bisa mencapai luar usus buntu, dari serabut saraf peritoneum parietal membawa informasi spasial yang tepat ke korteks somatosensori dan nyeri terlokalisasi pada fosa iliak kanan, melapisi usus buntu inflam. Setelah diobati, usus buntu dapat berkembang membentuk abses apendiks atau pecah ke dalam rongga peritoneum, menyebabkan peritonitis (Satish, 2004).

Nyeri dapat berbeda untuk setiap orang, karena usus buntu bisa terjadi pada organ yang berbeda. Hal ini dapat membingungkan dan sulit untuk mendiagnosa apendisitis. Paling sering sakit dimulai di sekitar pusar dan kemudian pindah ke perut bagian bawah kanan. Nyeri yang dirasakan bisa lebih terasa sakitnya apabila berjalan atau berbicara. Selama kehamilan letak usus buntu lebih tinggi pada bagian perut, sehingga rasa sakit mungkin bisa datang dari perut bagian atas. Pada orang tua, gejala sering tidak terlihat karena ada sedikit pembengkakan (Stewart, 2014).

(10)

Bedah apendisitis sering disebut juga dengan apendektomi. Apendektomi merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun dan banyak pada dekade kedua (10 - 19 tahun) atau ketiga (20 - 29 tahun), akan tetapi dapat terjadi pada semua usia (Grace et al., 2006).

f. Faktor risiko

Risiko terkena apendisitis juga dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada usia dan gaya hidup seseorang. Terdapat beberapa faktor risiko yang dilihat pada pasien apendisitis secara umumnya seperti berikut (Anonim, 2007):

1) Umur

Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih umum pada usia 10 hingga 30 tahun.

2) Jenis kelamin

Lelaki lebih dominan, dengan rasio laki-laki : perempuan (1,4:1) dan secara menyeluruh, risiko seumur hidup untuk laki-laki adalah 8,6% dan perempuan 6,7%.

3) Diet

Individu yang kurang asupan makanan berserat dan kaya dalam asupan karbohidrat berisiko tinggi untuk terkena apendisitis.

(11)

4) Genetika

Posisi tertentu usus buntu yang merupakan predisposisi untuk infeksi, berjalan dalam keluarga tertentu. Memiliki riwayat keluarga apendisitis dapat meningkatkan risiko anak untuk mendapat penyakit.

5) Infeksi

Infeksi gastrointestinal seperti Amebiasis, Gastroenteritis Bakteria, Beguk, Coxsackievirus B dan Adenovirus cenderung untuk individu tersebut terkena apendisitis.

g. Tanda-tanda dan gejala klinis

Gejala klinis apendisitis yang dipresentasi oleh pasien tergantung pada lokasi apendiks, pada tingkat patologi apendiks yang mengalami inflamasi dan pada umur serta jenis kelamin pasien. Walaupun pada dasarnya apendiks timbul dari dinding posteromedial usus besar, apendix juga terdapat pada retrocecal, subcecal, retroileal, preileal, panggul dan bagian bawah panggul. Sebagai akibat, lokasi yang bervariasi ini bisa mempengaruhi presentasi klinis pada pasien dengan sangkaan apendisitis dan perbedaan diagnosis. Gejala klinis apendisitis yang paling akurat adalah nyeri pada kuadran kanan bawah, rigiditas dan periumbilical yang bermigrasi ke kuadran kanan bawah (Birnbaum, 2000).

(12)

Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien apendisitis: 1) Nyeri pada abdomen atau bagian perut

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri sering terasa pada bagian tengah abdomen karena stimulasi aksi yang mendalam pada bagian tengah kanal alimentari. Secara umum, nyeri terasa apabila terjadi obstruksi atau penggelembungan, tetapi nyeri bisa menjadi lebih konstan pada kasus yang non-obstruksi. Nyeri bertambah parah dan beralih ke arah kanan iliac fossa apabila proses inflamatori berlanjutan dan melibatkan parietal peritoneum (Courtney et al., 2008).

Rasa sakit yang sering dirasai adalah di sekitar epigastrum, daerah periumbilikus, diseluruh abdomen atau kuadran kanan bawah dan setelah 4 jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang dan beralih ke kuadran kanan bawah dan rasa sakitnya itu menetap dan bertambah berat dan semakin dirasakan sakitnya apabila penderita bergerak (Theodore, 1993), dan batuk (Courtney et al., 2008).

2) Mual dan Muntah

Mual dan muntah yang berlarutan, 1-3 kali sehari. Mual dan muntah ini dikarenakan obstruksi usus kecil dan juga infeksi virus gastroenteritis (Silen, 2000). Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah (Philip, 2007).

(13)

3) Demam

Demam yang tidak terlalu tinggi antara 37,5 dan 38,8⁰C (Philip, 2007), yang disertai dengan kekakuan otot (Theodore, 1993).

4) Lain-lain

Pada beberapa kasus, juga muncul gejala seperti diare dan konstipasi (Insecu, 2004). Pada bayi dan anak-anak, nyeri yang terjadi akan bersifat menyeluruh, di semua bagian perut (Tucker, 2004). Pada pasien lanjut usia, gejala-gejalanya tidak senyata pasien yang lebih muda. Pada wanita hamil, rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya (Theodore, 1993).

Tabel di bawah ini menerangkan gejala klinis dan tanda-tanda yang dirasakan pada anak, prasekolah dan remaja.

Tabel II. Gejala Klinis Apendisitis

Golongan umur Gejala Klinis Tanda-tanda yang ditemukan

Anak Muntah, diare, tidak

nyaman sehinggakan menangis terus, rasa kurang selesa pada panggul kanan

Peningkatan temperatur, nyeri perut

Prasekolah Nyeri perut, demam, muntah, “hamburger sign”, muntah yang disertai nyeri

Kuadran kanan bawah lebih sering nyeri

Usia sekolah dan remaja Nyeri periumbilikalis yang melokalisasi ke kuadran kanan bawah, berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia

Nyeri bagian kuadran kanan bawah, nyeri yang terasa dan kemudian mereda lagi

(14)

h. Diagnosis

Diagnosis apendisitis dapat dilakukan mendasari pada gambaran klinis dan temuan pada hasil radiografis. Antara diagnosis yang sering dilakukan adalah seperti:

1) Gejala/keluhan utama

Rasa nyeri di sekitar epigastrum menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan berlaku selama beberapa jam (Robbinset al., 2005). Keluhan yang menyertai antara lain, mual dan muntah yang bisa menyebabkan anoreksia, serta panas (Philip, 2007).

2) Pemeriksaan fisik

Rasa nyeri lepas tekan dilakukan dengan menekan perlahan pada bagian perut menggunakan satu jari. Hal ini dilakukan untuk mendekteksi bagian mana yang dirasakan nyeri. Apabila diminta supaya batuk, pasien bisa menyatakan dengan jelas di mana rasa nyerinya, sehingga, itu merupakan tanda adanya iritasi pada bagian peritoneal. Ketuk dengan perlahan juga bisa menimbulkan rasa nyeri (Lawrence et al., 2001).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan, meliputi: a) Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegang perutnya, terutama bagian kanan bawah. Perut kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi (Anonim, 2000a).

(15)

Apabila diminta supaya batuk, penderita bisa menyatakan dengan jelas di mana rasa nyerinya, sehingga itu merupakan tanda adanya iritasi pada bagian peritoneal (Lawrence et al., 2001).

b) Palpasi

Nyeri lepas tekan (rebound tenderness) adalah nyeri pada abdomen di kuadran bagian kanan bawah, setelah nyeri tersebut dilepaskan (Hardin, 1999).

c) Perkusi

Rasa nyeri yang dialami apabila diketok dengan perlahan di bagian abdomen (Lawrence et al., 2001).

3) Pemeriksaan laboratorium

Terdapat tiga cara untuk mendapatkan pemeriksaan laboratorium yaitu:

a) Hematologi

Moderat leukosit (10,000 – 20,000/µL) dengan neutrofilia adalah biasa. Mikroskopik hematuria dan pyuria hadir pada satu per empat pasien (Lawrence et al., 2001).

b) Urinalisis

Urinalisis adalah normal, walaupun pasien dengan retrocaecal atau apendisitis pelvik berpotensi untuk punya leukosit atau sel darah merah dalam urin (disebabkan iritasi kemih kencing atau ureter yang berdekatan dengan inflamasi). Mikroskopi urin akan mengidentifikasi jalan perkencingan yang

(16)

terinfeksi sekiranya terdapat tanda-tanda klinis yang tidak jelas (John et al., 2008).

c) Tes kehamilan

Tes kehamilan adalah vital pada setiap wanita yang bisa mereproduksi supaya tidak termasuk pada penyebab ginecologis (John et al., 2008).

4) Gambaran radiologi

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran radiologi, yaitu seperti berikut:

a) Computed tomography (CT) scanning

Metode ini dapat digunakan dalam mendiagnosis diameter apendiks, lokasi apendiks (orthotopic, retrocecal, medoceliac atau pelvic), peningkatan dinding apendiks, lemak yang terkumpul, dan keberadaan apendikolith (Martin et al., 2014).

b) Magnetic resonance imaging (MRI)

Sembilan visual MRI telah pun di teliti: diameter apendiks >7 mm, apendikolith, infiltrasi lemak peri-apendiks, cairan peri-apendiks, tidak adanya gas di apendiks, kerusakan dinding apendiks, pembatasan difusi pada dinding apendiks, lumen atau fokal pengumpulan cairan (Marjolein et al., 2013).

c) Ultrasonography

Metode ini sangat membantu dalam untuk mendeteksi jaringan tubuh yang bernanah atau yang berkumpul (abscess or mass), atau patologi non-apendiks,

(17)

namun tidak bisa diandalkan untuk menunjukkan apendisitis yang rumit (Philip, 2007).

d) X-rays (Foto sinar X)

Metode ini tidak perlu dilakukan pada pasien apendisitis, kecuali pada kondisi tertentu seperti keterangan patologi abdomen yang membingungkan setelah diobservasi. Metode ini dapat langsung memvisualisasikan sejumlah gas bebas yang keluar dari apendiks yang bolong (apendisitis perforasi) (Philip, 2007) dan tidak tampak terjadi kelainan spesifik pada foto polos abdomen, karena menggambarkan adanya fekalith pada apendiks (Santacrose et al., 2006).

i. Prognosis

Tingkat kematian dari apendisitis yang kompleks adalah sangat rendah sekali. Bahkan, tingkat kematian apendisitis perforasi dalam kebanyakan kelompok hanya 0,2%, meskipun mendekati 15% pada awalnya (Lawrence et al., 2001).

Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosa dan penanganan pembedahan. Pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor Alvarado yang tinggi (Imam, 2006).

(18)

Bermacam sistem skor digunakan untuk meningkatkan akurasi diagnos klinis pada pasien apendisitis. Skor Alvarado merupakan sistem skor yang paling dikenali namun hasilnya masih terlalu bervariasi (Philip, 2007).

Tabel III. Sistem skor untuk diagnosis apendisitis akut menggunakan Skor Nyeri bermigrasi dari bagian tengah perut ke kanan

ilia fosa 1

Anoreksia 1

Mual atau muntah 1

Nyeri pada bagian kanan ilia fosa 2

Nyeri lepas tekan 1

Peningkatan temperatur (≥ 37,5⁰C) 1 Peningkatan bilangan leukosit ≥ 10 x 10⁰/L 2

Neutrofilia ≥ 75% 1

Total 10

(Philip, 2007). j. Tatalaksana terapi

Terapi apendisitis adalah apendektomi yaitu operasi bedah yang dilakukan untuk memindahkan apendiks yang terinfeksi (Santacroce et al., 2006). Penatalaksanaan apendisitis meliputi tiga tahap:

1) Persiapan sebelum operasi

Setelah timbulnnya keluhan, dilakukan observasi apendisitis dalam waktu 8 hingga 12 jam, apabila tanda dan gejala apendisitis yang dialami masih belum jelas (Anonim, 2000). Jika diagnosis masih belum pasti, maka

(19)

pasien harus diamati dan diperiksa abdomen serta pelvis pada interval waktu tertentu karena tidak ada gunanya memperpanjang waktu observasi dan tidak ada yang boleh diberikan lewat mulut. Jika diperkirakan ada perforasi atau plebilitis maka diberikan antibiotik intravena. Demam tinggi, terutama yang terjadi pada anak-anak, harus diturunkan terlebih dahulu sebelum anak tersebut diberi anestesi. Selang nasogastrik dimasukkan jika abdomen kembung atau pasien mengalami keracunan (Theodore, 1993).

2) Apendektomi (Operasi Apendisitis)

Apendektomi merupakan satu-satunya pengobatan apendisitis sederhana atau apendisitis perforasi yang disertai peritonis kalau tersedia fasilitas serta personalitas yang adekuat. Kalau tidak sebagai gantinya diberikan antibiotik intravena dosis tinggi. Abses pada apendiks diobati dengan antibiotik intravena (Theodore, 1993).

Apendektomi terbagi kepada dua tipe (Santacroseet al., 2006): a) Apendektomi terbuka (Open Appendectomy)

Satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah kanan perut, melewati kulit, dinding usus, dan peitonium. Setelah ditemukan, apendiks dipisahkan dari organ-organ dengan hati-hati dan dikeluarkan. Sayatan akan lebih besar, sebesar 7 sampai 8 cm (Sabiston, 2001) jika usus buntu telah mengalami perforasi (Santacrose et al., 2006).

(20)

b) Apendektomi Laparoskopi

Apendektomi laparoskopi telah menjadi prosedur standar yang secara selektif digunakan untuk mengalihkan apendiks. Rongga peritonium akan dipompa dengan gas karbon dioksida untuk menggelembungkan dinding perut supaya kelihatan. Laparoskop dilewatkan melalui sayatan kecil pada dinding perut anterolateral (misalkan, yang berdekatan dengan umbilikus) (John et al., 2011).

3) Pasca Operasi

Observasi tanda-tanda vital dilakukan untuk mengetahui perdarahan di dalam abdomen, syok, hipertemia atau gangguan pernafasan. Sekiranya setelah 12 jam tidak terjadi gangguan, maka pasien dikatakan baik dan selama waktu itu, pasien dipuasakan. Selama 4 sampai dengan 5 jam, pasien diberikan minum mulai 15ml/jam, lalu baru dinaikkan menjadi 30ml/jam (Anonim, 2000a).

Apabila tidak terdapat komplikasi pada apendisitis, maka pemberian diet harus segera disarankan untuk pasien setelah operasi dan pasien dapat keluar dari rumah sakit setelah dietnya dapat ditoleransi (Santacrose et al., 2006).

k. Obat-obat apendisitis

Apendisitis yang sering digunakan pada pasien yang menderita apendisitis adalah golongan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida dan metronidazol. Juga turut diberikan obat antiemetik.

(21)

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay et al., 2002).

Klasifikasi antibiotika antara lain: a) Penisilin

Penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Obat ini disekresi ke urin dalam kadar terapetik. Probenesid menghambat ekskresi penisilin dalam tubulus ginjal sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan masa kerjanya lebih panjang (Anonim, 2000).

b) Sefalosporin

Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif tapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi. Farmakologi sefaloposrin mirip dengan penisilin, ekskresi terutama melalui ginjal dan dapat dihambat oleh probenesid (Anonim, 2000).

Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v karena menimbulkan iritasi pada pemberian i.m. Kebanyakan sefalosporin diekskresi

(22)

dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Oleh karena itu, dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Anonim, 2000).

Generasi pertama bersifat sensitif terhadap enzim β-laktamase, dan berspektrum sempit. Dalam hal ini, berspektrum sempit adalah relatif karena sebenarnya aksinya atau spektrum sefalosporin generasi pertama sama dengan penisilin spektrum luas. Contoh dari generasi pertama adalah sefazolin dan sefaleksin. Generasi kedua mempunyai stabilitas yang lebih baik, dan aktivitasnya terhadap bakteri gram bakteri negatif lebih tinggi. Contoh dari generasi kedua adalah sefaklor, sefamandol dan sefoksitin. Generasi ketiga mempuyai spektrum lebih luas dan lebih resisten terhadap enzim β-laktamase. Contoh dari generasi ketiga adalah sefotaksim, seftazidim dan seftriakson (Burgess et al., 2000). Generasi keempat mempunyai aktivitas baik terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif, dan mempunyai resistensi terhadap enzim β-laktamase yang lebih baik. Contoh dari generasi keempat adalah sefepim dan sefpirom (Kong et al., 2010).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang, kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksik dibandingkan

(23)

dengan aminoglikosida dan polimiksin. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Anonim, 2000).

c) Aminoglikosida

Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan aktif terhadap bakteria gram positif dan gram negatif. Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara parenteral. Ekskresi terutam melalui ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi akumulasi. Sebagian besar efek samping tergantung dari besarnya dosis, oleh karena itu dosis perlu diperhatikan dengan cermat dan pengobatan sebaiknya jangan melebihi 7 hari (Anonim, 2000).

Aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya harus dihindari dari pada miastenia gravis. Dosis besar yang diberikan dapat menimbulkan sindrom miastenia, walaupun sebelumnya tidak ada gangguan neurologis. Efek samping yang paling sering adalah ototoksisitas, nefrotoksisitas yang biasanya terjadi pada orang tua atau pasien gangguan fungsi ginjal (Anonim, 2000).

d) Metronidazol

Metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dengan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup Trikomonas vaginalis, vaginosis bakterialis (terutama Gardrenella vaginalis). Aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus bedah (Anonim, 2000). Antiemetik atau obat mual adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa mual dan muntah. Antiemetik secara khusus digunakan

(24)

untuk mengatasi mabuk perjalanan dan efek sampai dari analgesik golongan opiat, anestesi umum, dan kemoterapi yang digunakan untuk melawan kanker, juga untuk mengatasi vertigo (pusing) atau migren (Mutschler et al., 1991).

Tujuan keseluruhan dari terapi anti-emetik adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah, seharusnya tanpa menimbulkan efek samping. Terapi antiemetik untuk pasien dengan gangguan elektrolit akibat sekunder dari muntah, anoreksia berat, memburuknya status gizi atau kehilangan berat badan.

(25)

Di bawah ini disertakan juga algoritme pengobatan apendisitis (Courtney et al., 2012):

Gambar

Tabel I. Bakteria yang sering terisolasi pada apendisitis perforasi
Tabel II. Gejala Klinis Apendisitis
Tabel III. Sistem skor untuk diagnosis apendisitis akut menggunakan  Skor  Nyeri bermigrasi dari bagian tengah perut ke kanan
Gambar 1: Algoritme Pengobatan Apendisitis

Referensi

Dokumen terkait

Babadan 05 Ngajum Malang Siti

Melaksanakan penyiapan penyusunan kebijakan teknis, rencana, pelaksanaan dan pengembangan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pelatihan di bidang sumber daya

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh suku bunga riil Indonesia, Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang terhadap kredit untuk nasabah Bank Mandiri..

Perubahan sikap terhadap produk susu Batita pada ibu rumah tangga yang menonton iklan susu Batita lebih positif dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak menonton iklan

Dimana hal ini dikarenakan adanya peningkatan biaya dalam proses produksi sehingga menyebabkan target produksi meningkat dari RKAP, (2) Apabila dilakukan perhitungan

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis atribut kualitas pelayanan yang dianggap paling penting oleh konsumen

Head pompa adalah energi per satuan berat yang harus disediakan untuk mengalirkan sejumlah zat cair yang direncanakan sesuai dengan kondisi instalasi pompa, atau tekanan untuk

Berdasarkan grafik 4.1 menunjukkan adanya peningkatan persentase kemampuan toileting anak spekrum autis setelah diberikan metode pivotal response treatment berbantuan