• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGELOL AAN PAKAN YANG EFISIEN PADA BUDIDAYA UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei POL A SEMI-INTENSIF DI TAMBAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGELOL AAN PAKAN YANG EFISIEN PADA BUDIDAYA UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei POL A SEMI-INTENSIF DI TAMBAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOL AAN PAKAN YANG EFISIEN

PADA BUDIDAYA UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei

POL A SEMI-INTENSIF DI TAMBAK

Abdul Mansyur dan Hidayat Suryanto Suwoyo

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litkanta@indosat.net.id

ABSTRAK

Ketersediaan pakan udang vaname yang tepat, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan syarat mutlak untuk mendukung pertumbuhannya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi. Namun salah satu kendala di lapangan adalah masih tingginya biaya pakan yang dapat mencapai 60%-70% dari biaya produksi. Hasil penelitian strategi pengelolaan pakan melalui pengurangan ransum pakan secara periodik menunjukkan bahwa pengurangan ransum pakan secara periodik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot biomassa, laju pertumbuhan harian, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan baik skala laboratorium maupun skala lapangan serta mampu meningkatkan efisiensi pakan sekitar 16,04%-21,97% sehingga penghematan penggunaan pakan untuk udang vaname pola semi-intensif dapat dilakukan dengan pengurangan ransum pakan hingga 60%-75% bobot badan/hari/minggu. Selanjutnya untuk kegitan pergiliran pakan protein tinggi dan protein rendah skala lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot rata-rata udang vaname adalah 13,35 g/ekor dan produksi udang mencapai 1.418 kg/ ha. Sedangkan sintasan udang relatif tinggi sekitar 97% serta efisiensi pakan dicapai sekitar 14%-25%.

KATA KUNCI: pengelolaan pakan, efesien, semi-intensif, udang vaname

PENDAHULUAN

Rancangan strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada periode 2010-2014 adalah peningkatan produksi perikanan budidaya 353% pada tahun 2014. Dalam program revitalisasi perikanan budidaya, udang ditempatkan sebagai komoditas unggulan selain rumput laut dan tuna. Hal ini cukup beralasan karena komoditas tersebut merupakan komoditas ekspor dan teknologinya sudah berkembang di masyarakat (Anonim, 2005; Tangko & Pantjara, 2007). Puncak keberhasilan produksi udang budidaya di tambak terjadi pada tahun 1992 dengan volume ekspor mencapai lebih dari 100.000 MT atau senilai dari US$ 760.000. Setelah tahun 1992 produksi udang budidaya tambak cenderung terus menurun hingga mencapai titik datar sekitar 87.000 MT (Ditjenkan, 1995 dalam Ahmad, 1999) sedangkan Sugama (2002) melaporkan bahwa sejak tahun 1995 budidaya udang windu mengalami penurunan produksi dari 100.000 MT menjadi 80.000 MT pada tahun 2001.

Penyebab utama menurunnya produksi udang adalah semakin berkembangnya penyakit terutama yang disebabkan oleh virus dan meledaknya populasi bakteri yang dipicu oleh merosotnya mutu air sumber (Atmomarsono et al., 1995), bahan cemaran dari lingkungan di sekitar tambak sebagai akibat dari kesalahan zonasi daerah pesisir (Atmomarsono & Mansyur, 1997) dan kesalahan dalam manajemen budidaya (Atmomarsono & Ahmad, 1998). Di sisi lain, jumlah kebutuhan konsumsi masyarakat internasional semakin meningkat. Keterbatasan jumlah pasokan dan peningkatan jumlah kebutuhan menyebabkan harga udang semakin naik. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik bagi negara penghasil udang, khususnya Indonesia untuk dapat meningkatkan jumlah produksi udangnya (Ariyanto, 2004). Untuk mencapai sasaran tersebut, pemerintah menetapkan beberapa langkah operasional yang kongkrit di antaranya adalah pengembangan udang vaname di samping udang windu, rostris, dan udang lokal lainnya (Tonnek et al., 2005). Kehadiran udang vaname diharapkan tidak hanya menambah pilihan bagi pembudidaya tambak tapi juga dapat membangkitkan usaha pertambakan nasional yang tadinya sudah lesu (Anonim, 2003). Ada beberapa keunggulan udang vaname antara lain relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa pemeliharaan 100-110 hari),

(2)

sintasan selama pemeliharaan tinggi dan FCR rendah. Sejak diperkenalkannya udang vaname sebagai salah satu komoditas budidaya tambak di Indonesia kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan.

Perkembangan udang vaname sudah menyebar di sentra-sentra budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Bal, dan Sulawesi Selatan (Poernomo, 2002; Sugama, 2002). Saat ini teknologi budidaya udang vaname berkembang pesat karena didukung ketersediaan benih yang bebas dari patogen, specific

pathogen free (SPF), dapat ditebar dengan kepadatan lebih tinggi, dan memiliki sintasan dan produksi

yang tinggi (Anonim, 2003; Poernomo, 2004). Namun penerapannya terbatas pada golongan masyarakat menengah. Di Indonesia kepadatan tebar udang vaname yang umum dilakukan di berbagai daerah adalah berkisar 80-100 ind./m2 dan dapat ditingkatkan hingga 244 ind./m2, dengan menggunakan probiotik mampu menghasilkan panen 37,5 ton/ha/siklus (Poernomo, 2004). Produksi yang tinggi akan berdampak kepada beban limbah yang dihasilkan baik oleh sisa pakan apabila rasio konversi pakan (FCR) tinggi, maupun kotoran udang. Di samping itu, produksi yang tinggi tidak selamanya diikuti dengan keuntungan yang tinggi pula.

POKOK-POKOK MASAL AH

Pada kegiatan budidaya udang vaname, ketersediaan pakan yang tepat, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan syarat mutlak untuk mendukung pertumbuhannya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi. Dari hasil analisis usaha budidaya udang vaname secara intensif dan semi-intensif menunjukkan bahwa biaya produksi tertinggi adalah pakan yang berkisar 50%-60% dari total biaya produksi udang (Haliman & Adijaya, 2005; Akiyama & Chwang, 1989). Tingginya biaya pakan antara lain disebabkan karena rasio konversi pakan (FCR) cenderung meningkat. Menurut Akiyama & Chwang (1989), bahwa faktor yang mempengaruhi rasio konversi pakan pada budidaya udang windu adalah kualitas dan pengelolaan pakan selama pemeliharaan seperti pendugaan sintasan, dosis, dan waktu pemberian pakan. Dampak lain dari FCR yang tinggi menyebabkan air media dapat tercemar akibat akumulasi sisa pakan dan ekskresi amoniak dengan cepat sehingga perlu diupayakan untuk selalu menekan biaya tersebut melalui penggunaan pakan secara efisien agar udang dapat tumbuh optimal dan pakan yang terbuang seminimal mungkin. Pemberian pakan buatan/komersil baik ukuran dan jumlahnya harus dilakukan secara cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan (underfeeding) atau kelebihan pakan (overfeeding) karena hal ini bisa menyebabkan pertumbuhan udang lambat, tidak seragam, tubuh keropos, dan timbulnya kanibalisme serta menurunnya kualitas air atau pencemaran ke lingkungan budidaya.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan strategi pengelolaan pakan yang baik seperti pengurangan ransum pakan secara periodik (pemuasaan) dan pergiliran pakan dengan kandungan protein berbeda.

Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan budidaya udang vaname. Lokasi yang memenuhi persyaratan teknis dapat memberikan pertumbuhan udang vaname yang cepat. Di samping itu, aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan legal perlu dipertimbangkan untuk memperlancar kegiatan usaha budidaya. Tambak yang akan digunakan untuk budidaya udang vaname pola semi-intensif hampir sama dengan pola intensif dan berbeda dengan tambak untuk budidaya udang vaname pola ekstensif (tradisional).

Menurut Haliman & Adijaya (2005) bahwa ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya udang vaname adalah sebagai berikut: 1) Terletak di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang dan surut > 5 m, sebaiknya dasar pantai curam dan terbuka luas, sehingga pembuangan limbah dari tambak lebih mudah masuk ke tandon limbah dan akhirnya dibuang ke laut lepas untuk menghindari merebaknya bakteri patogen pada air sumber, 2) Elevasi lahan tambak > 5 m dari garis air surut terendah sehingga kualitas air dari laut maupun sungai terjamin dan dapat menggunakan pompa. 3) Jenis tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran air. Jenis tanah gambut atau masam biasa menyebabkan pH air menjadi asam, 4) Mempunyai sumber air tawar dengan debit

(3)

atau kapasitas cukup besar sehingga kebutuhan air tawar dapat terpenuhi. Minimal 15% air kolam harus terganti dengan air baru setiap hari. Udang vaname tumbuh optimal pada salinitas 15-20 ppt, 5) Lokasi tambak sebaiknya memiliki green-belt berupa hutan mangrove di antara lokasi tambak dan pantai. Di samping itu, persyaratan non teknis antara lain: 1) Dekat dengan produsen benih udang vaname, 2) Dekat dengan sumber tenaga kerja, 3) Dekat dengan sentra perekonomian sehingga mudah mendapatkan berbagai bahan pokok untuk produksi udang, dan 4) Lokasi bisa dijangkau oleh saluran penerangan dan alat komunikasi.

Menurut Gunarto (2008), menyarankan bahwa untuk keberhasilan dalam budidaya udang vaname antara lain: persiapan tambak harus maksimal, pemilihan dan penanganan benur harus betul, konstruksi tambak didesain sedemikian rupa agar air yang masuk dan keluar lancar. Di samping faktor-faktor tadi harus juga memperhatikan penerapan probiotik sebagai salah satu tuntutan sebagai upaya budidaya ramah lingkungan, monitoring kualitas air, monitoring bakteri, dan penerapan biosekuritas.

Potensi Lahan Budidaya

Potensi lahan budidaya untuk pengembangan komoditas budidaya air payau sekitar 1,2 juta ha dan tersebar di seluruh Indonesia (Nurdjana, 2005), Luasan ini terdiri atas lahan yang telah diusahakan seluas 450.333 ha dan lahan potensial yang belum dikembangkan seluas 773.743 ha. Data potensi lahan budidaya air payau menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 1.

Dari luasan lahan yang telah diusahakan diperkirakan ada 80% digarap oleh petambak kurang mampu bahkan di Pulau Jawa, sampai tahun 1997, lahan tambak “bera” (tidak dioperasikan) sudah mencapai sekitar 70% (Cholik et al., 2008; Kordi, 2007).

Guna memanfaatkan tambak-tambak yang sedang terbengkalai tersebut, pengembangan udang vaname di tambak merupakan salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan.

STATUS BUDIDAYA UDANG VANAME

Kegiatan budidaya di Indonesia menerapkan berbagai jenis teknologi. Menurut tingkat ketergantungannya kepada kondisi alam, teknologi budidaya dapat dibagi atas teknologi ekstensif, semi-intensif, intensif, dan super intensif (Cholik et al., 2005). Dari segi sistem pengelolaan, Kordi (2007) membagi atas 4 sistem pengelolaan berdasarkan padat tebar udang vaname yaitu tradisional, dengan padat tebar < 15 ekor/m2, tradisional plus 15-20 ekor/m2, semi-intensif 25-30 ekor/m2, dan intensif 40-80 ekor/m2.

Tabel 1. Potensi lahan budidaya air payau menurut provinsi di In-donesia

Sumber: Nurdjana (2005)

Eksisting Potensial Total

Sumatera 104,120 324,438 428,558 24.30 Jawa 151,227 15,513 166,740 90.70 Bali-NTB-NTT 30,801 32,527 63,328 48.64 Kalimantan 34,060 252,871 286,932 11.87 Sulawesi 123,876 124,075 247,951 49.96 Maluku-Papua 5,928 24,000 29,928 19.81 J umlah 4 5 0 ,3 3 3 7 7 3 ,7 4 3 1 ,2 2 4 ,0 7 6 3 6 .7 8 Wilayah Luas lahan (ha)

Ting kat pemanfaatan

(4)

Pengembangan budidaya udang vaname cukup potensial, karena memiliki lahan yang luas. Namun demikian, hingga saat ini baru sebagian kecil areal yang dimanfatkan disebabkan beberapa faktor, di antaranya ketersediaan benih, suplai pakan dan harga pasaran yang bervariasi misalnya di Jawa dan di Sulawesi.

STRATEGI PENGELOL AAN PAKAN

Pengurangan Ransum Pakan Secara Periodik

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengontrol pemberian pakan yang berlebihan adalah dengan cara pengelolaan pakan dengan pengaturan pemberian ransum pakan secara benar. Pemuasaan (starvasi) melalui pengurangan ransum pakan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menurunkan laju metabolisme maupun akumulasi sisa pakan. Dari hasil uji laboratorium menggunakan 12 Akuarium berukuran 50 cm x 75 cm x 60 cm dan dilengkapi dengan sistem aerasi menggunakan hewan uji pasca larva udang vaname dengan bobot awal rata-rata 0,18 ± 0,02 g yang ditebar dengan kepadatan 50 ekor/akuarium. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan terdiri atas tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah: a) Pengurangan ransum pakan 75% bobot badan/hari/minggu, b). Pengurangan ransum pakan 50% bobot badan/hari/minggu, c). Pengurangan ransum pakan 25% bobot badan/hari/minggu, dan d) Kontrol (tanpa pengurangan ransum pakan). Hasil pengamatan pertambahan bobot udang selama 75 hari pemeliharaan bervariasi dan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya waktu pemeliharaan untuk semua perlakuan (Gambar 2), pertambahan bobot biomassa tertinggi diperoleh pada perlakuan C (pengurangan ransum 25%) sebesar 380,85 g, kemudian disusul perlakuan B, D, dan A masing-masing sebesar 368,95 g; 339,28 g; dan 331,83 g. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh pengurangan ransum pakan terhadap pertambahan bobot biomassa udang vaname dalam wadah terkontrol tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0,05). Dari uji laboratorium dilanjutkan di lapangan menggunakan 6 petak tambak pembesaran udang vaname masing-masing berukuran 4.000 m2. Hewan uji adalah pasca larva udang vaname dengan bobot awal rata-rata 0,017 g yang ditebar pada tambak dengan kepadatan 20 ekor/ m2. Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dengan dua ulangan. Perlakuan yang diujicobakan adalah pengurangan ransum pakan (pemuasaan) secara periodik yaitu: A) pengurangan ransum pakan 30%, B) pengurangan ransum pakan 60%, dan C) kontrol (tanpa pengurangan ransum pakan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan ransum pakan secara periodik berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot mutlak, laju pertumbuhan harian, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan (Tabel 2). Hasil yang diperoleh pada percobaaan ini sesuai dengan hasil penelitian Chatakondi & Yant (2001) bahwa pemuasaan melalui mengurangan ransum pakan secara periodik merupakan cara untuk mengurangi asupan pakan tanpa mengurangi produk budidaya. Bahkan pemuasaan dapat meningkatkan produksi ikan lele Ictalurus punctatus,

Gambar 1. Pertambahan bobot biomassa rata-rata udang vaname Sumber: Tahe (2008) 0 50 100 150 200 250 300 350 400 B o b o t U d a n g ( g ) 0 15 30 45 60 75

Waktu Pengamatan (hari) Pengurangan Ransum 75 %

Pengurangan Ransum 50 % Pengurangan Ransum 25 % Tanpa Pengurangan Ransum

(5)

karena ikan yang mengalami pemuasaan dapat tumbuh setara dengan ikan yang diberi pakan secara normal (100%). Efek pemuasaan secara periodik terhadap pertumbuhan udang/ikan sangat mempengaruhi kebutuhan energinya. Pada udang yang mengalami pemuasaan atau pengurangan ransum pakan secara periodik (perlakuan A dan B) tidak dapat memperoleh pakan secara terus-menerus, sehingga udang tersebut akan kelaparan dan dalam beberapa kali daur pemuasaan diduga udang tersebut dapat menyesuaikan kondisi fisiologisnya terhadap berkurangnya asupan pakan, sehingga mampu menghemat energi yang diperolehnya, udang yang mengalami pemuasaan tersebut nampaknya menghemat energi dengan cara menurunkan aktivitas dan metabolisme rutin sebagaimana yang terjadi pada udang yang diberi pakan secara normal (perlakuan C).

Tabel 2. Pertambahan bobot, laju pertumbuhan harian, rasio konversi pakan, efesiensi pakan, sintasan, dan produksi udang vaname pada masing-masing perlakuan

Nilai dalam baris yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Sumber: Mansyur et al. (2009)

3 0 6 0 Kontrol

Kepadatan (ekor/ m2) 20 20 20

Lama Pemeliharaan (hari) 96 96 96

Berat Awal (g) 0.017 0.017 0.017

Berat Akhir (g) 9,22 ± 0,424 10, 98 ± 3,917 14,25 ± 0,297

Pertumbuhan Mutlak (g) 9,20 ± 0,424a 10,96± 3,917 a 14,23 ± 0,297a Laju Pertumbuhan Harian (%) 7,49 ± 0,049a 7,66 ± 0,431 a 8,01 ± 0,028a

Sintasan (%) 82,64a 83,72a 87,07a

Rasio konversi pakan (FCR) 1,34 ± 0,127a 1,37± 0,148a 1,24± 0,092a

Efisiensi Pakan (%) 74,74 ± 8,138a 72,42 ± 1,223a 83,57 ± 1,322a

Produksi (kg ) 712,95 ± 120,42a 832,75± 307,24a 970,00 ± 327,39a

Peubah

Per lakuan peng urang an ransum pakan (per sentasi bobot badan/hari/ming g u)

Gambar 2. Grafik pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei) sampai umur 112 hari yang diamati setiap 14 hari

Sumber: Tahe et al. (2010)

0 0.15 1.4 3.29 3.84 4.96 5.9 10.22 13.89 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Umur (hari) B o b o t (g ) Pertumbuhan

(6)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengurangan ransum pakan secara periodik selama pemeliharaan udang vaname di tambak (Tabel 2) tidak berpengaruh nyata terhadap rasio konversi pakan dan nilai efisiensi pakan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa nilai rasio konversi pakan udang vaname yang dikurangi pakannya maupun tidak dikurangi pakannya relatif sama dan mampu meningkatkan efisiensi pakan sekitar 7,71%-22,39% dari perlakuan kontrol atau sekitar 72,42%-74,74%. Menurut Susilo et al. (2002), bahwa efisiensi pakan dapat dicapai bila pada pembesaran ikan/udang memperhatikan manajemen pemberian pakan, sebab pakan yang dikonsumsi organisme budidaya pada gilirannya akan digunakan untuk tumbuh. Oleh karena itu, pakan yang kurang dari kebutuhan minimal organisme budidaya untuk mempertahankan bobot badan akan berakibat penurunan bobot akibat cadangan makanan dalam tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi akitivitasnya.

Pergiliran Pakan Protein Tinggi dan Protein Rendah

Salah satu alternatif mengurangi biaya produksi pada budidaya udang vaname semi-intensif adalah pergiliran pakan yaitu pakan yang berprotein tinggi digilir dengan pakan yang berprotein rendah karena nilai protein yang terkandung dalam pakan merupakan salah satu komponen pakan yang paling mahal. Pengurangan proporsi protein pada pakan tanpa mengurangi laju pertumbuhan pada spesies yang dibudidayakan dapat berpengaruh pada berkurangnya efiensi biaya produksi sehingga marjin pendapatan yang didapat dari penjualan akan semakin tinggi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tambak percobaan Takalar menunjukkan bahwa pergiliran kualitas pakan (pro-tein tinggi dan rendah) sesuai hasil percobaan terbaik uji laboratorium (Tahe et al., 2010) yaitu pergiliran pakan tiap 3 hari dalam 10 hari pemeliharan menunjukkan bahwa selama pemeliharan 112 hari, udang yang diberi pakan dengan dosis 100%-2% dari total berat biomassa/hari pertumbuhan bobot rata-ratanya diperoleh 13,35 g/ekor (Gambar 2) dan produksinya mencapai 1.418 kg dengan sintasan sekitar 97% dan efisiensi pakan dicapai sekitar 14%-25% (Tabel 3).

KESIMPUL AN

Strategi pengelolaan pakan yang efisien dapat dilakukan melalui pengurangan ransum pakan secara periodik dan pergiliran pakan protein tinggi dan protein rendah. Pengurangan ransum pakan secara periodik mampu meningkatkan efisiensi pakan sekitar 16,04%-21,97% sehingga penghematan penggunaan pakan untuk udang vaname pola semi-intensif dapat dilakukan dengan pengurangan ransum pakan hingga 60%-75% bobot badan/hari/minggu. Sedangkan untuk pergiliran pakan protein tinggi dan protein rendah tiap 3 hari dalam 10 hari, sintasan udang vanamei mencapai 97% serta efisiensi pakan yang dicapai sekitar 14%-25%.

Tabel 3. Pertumbuhan, sintasan, laju pertumbuhan harian, produksi, serta rasio konversi pakan udang vaname pada akhir penelitian

Peubah Petakan tambak 4 .0 0 0 m2

Kepadatan (ekor) 100,000

Lama Pemeliharaan (hari) 112

Bobot awal (g) 0.0012

Bobot Akhir (g) 13.35

Pertambahan Biomassa (g) 13.348

Laju Pertumbuhan rata-rata (%/hari) 0.2

Rasio konversi pakan 1.36

Sintasan (%) 106

Produksi (kg) 1,418

Efisiensi pakan (%) 14-25

(7)

DAFTAR ACUAN

Ahmad, T. 1999. Pemanfaatan mangrove sebagai biofilter dan bioremidiator budidaya udang. Makalah

disampaikan pada Rapat Kerja Teknis dan Pembahasan Hasil-Hasil Penelitian Tahun Anggaran 1998/1999. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Wisma Kinasih Gemilang Bogor, 16-17 Maret 1999,

16 hlm.

Akiyama, D.M. & Cwang, N.L.M. 1989. Shrimp feed requirements and feed management. In Akiyama, D.M. (Ed.). Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management Workshop. American Soy-bean Association, Singapore, p. 75-82.

Anonim. 2003. Usaha pertambakan udang vaname prospektif. Forek@forek.or.id. 23 April 2003, 5 hlm.

Anonim. 2005. Membangun kembali udang di Indonesia. Sinar Tani. Edisi Mei 2005, 3,098: 11-17. Ariyanto, D. 2004. Dinamika budidaya udang di Indonesia. Warta Penelitian Prikanan Indonesia, 1:

6-10.

Atmomarsono, M., Muliani, & Ismawati, S. 1995. Prospek penggunaan tandon dan biofilter pada budidaya udang windu. Aplikasi paket teknologi. Aplikasi Paket Teknologi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Wonocolo Surabaya, 2-4 Juli 1995, 10 hlm.

Atmomarsono, M. & Mansyur, A. 1997. Shrimp disease outbreak: A result of poor zonation in coastal area. Proceeding, Internacional Seminar on The Sea and is Environment, Ujung Pandang, p. 81-86. Atmomarsono, M. & Ahmad, T. 1998. Managemen Lingkungan Tambak Udang. Balai Penelitian

Perikanan Pantai, Maros, 7 hlm.

Chatakondi, N.G. & Yant, R.D. 2001. Application of compestory growth to enchance production in channel catfish, Ictalurus punctatus. J. of the World Aquaculture Society, 32: 278-285.

Cholik, F., Azwar, Z.I., & Sutarmat, T. 1998. Bertambak udang yang sehat. dalam Sudradjat et al., 1998. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai,. Puslitbangkan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol-Bali bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency. Bali, 6-7 Agustus 1998, hlm. 17-22.

Cholik, F., Jagatraya, A.G., Poernomo, R.P., & Fauzi, A. 2005. Akuakultur tumpuan harapan masa depan bangsa. Diterbitkan atas kerja sama Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Taman Akuarium Nusantara Taman Mini Indonesia Indah. Jakarta, 415 hlm.

Gunarto. 2008. Beberapa aspek penting dalam budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan sistem pemupukan susulan di tambak (tradisional plus). Media Akuakultur, 3(2): 15-24.

Haliman, R.W. & Adijaya, D.S. 2005. Udang vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta, 75 hlm.

Kordi, K.M.G.H. 2007. Pemeliharaan Udang Vanname. Penerbit Indah Surabaya, 100 hlm.

Mansyur, A., Suwoyo, H.S., & Rachmansyah. 2009. Pengaruh pengurangan ransum pakan secara periodik terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (Litopenaeus vanamei) pola semiintensif di tambak. Laporan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 15 hlm. Nurdjana, M.L. 2005. Iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan akuakultur di Indonesia.

Disampaikan pada Konferensi Nasional Akuakultur, kerja sama Masyarakat Akuakultur Indonesia,

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut. Makassar, 23-25 November 2005, 23-25 hlm.

Poernomo, A. 2002. Perkembangan udang putih vaname (Penaeus vannamei) di Jawa Timur. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang. Makassar, 19 Oktober 2002, 26 hlm.

Poernomo, A. 2004. Teknologi Probiotik Untuk Mengatasi Permasalahan Tambak udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pengembangan Ilmu dan Inovasi

Teknologi dalam Budidaya. Semarang, 27-29 Januari 2004, 24 hlm.

Sugama, K. 2002. Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air tawar. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang. Makassar, 19 Oktober 2002, 7 hlm.

(8)

Susilo, U., Hariyadi, B., & Rachmawati, F.N. 2002. Laju tumbuh harian, laju makan, pemeliharaan tubuh dan efisiensi pakan ikan patin, Pangasius spp., pada frekuensi pemberian pakan berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhammadiyah. Sains Akuatik. J. Ilmu-Ilmu

Perairan, 2(2): 33-37.

Tahe, S. 2008. Pengaruh starvasi ransum pakan terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) dalam wadah terkontrol. J. Ris. Akuakultur, 3(3): 401-412. Tahe, S., Nawang, A., & Mansyur, A. 2010. Aplikasi pergiliran pakan terhadap pertumbuhan, sintasan

dan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei). Laporan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 12 hlm.

Tangko, A.M. & Pantjara, B. 2007. Dinamika pertambakan perikanan di Sulawesi Selatan kurun waktu 1990-2005. Media Akua kultur, 2(2).

Tonnek, S., Mangampa, M., Hendrajat, E.A., & Suwoyo, H.S. 2005. Kesiapan teknis dalam mendukung revitalisasi perikanan dan kelautan Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Teknis Petugas Inbud se-Sul-Sel di Makassar, 26 Oktober 2005, 10 hlm.

Gambar

Gambar  1. Pertambahan  bobot  biomassa  rata-rata  udang  vanameSumber: Tahe  (2008)050100150200250300350400Bobot Udang (g)01530456075
Gambar  2. Grafik  pertumbuhan  udang  vaname  (Litopenaeus  vannamei) sampai  umur 112  hari  yang  diamati setiap  14  hari

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis korelasi yang memiliki hubungan erat dan tingkat keseragamaan yang paling dekat antara kualitas air terhadap konversi pakan adalah

Berdasarkan hasil uji berganda Ducan laju pertumbuhan udang vaname yang diberi perlakuan pengurangan pakan 10 % tidak memilki perbeda yang nyata dengan perlakuan

Selain itu, sampling juga berfungsi untuk memperkirakan jumlah pakan yang akan digunakan dalam waktu satu priode kedepan atau 7 hari dihitung berdasarkan biomassa udang

Manajemen pakan dalam budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dilakukan secara intensif merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan baik dari segi penentuan jenis

moulting sering menjadi penyebab pemberian pakan berlebih yang akan berpengaruh terhadap rasio konversi pakan. Pengaruh jumlah titik aerasi dasar terhadap

moulting sering menjadi penyebab pemberian pakan berlebih yang akan berpengaruh terhadap rasio konversi pakan. Pengaruh jumlah titik aerasi dasar terhadap

Penghematan penggunaan pakan untuk udang vaname dapat dilakukan dengan cara pergiliran pakan dua hari pakan protein rendah (28%) digilir dengan pakan protein tinggi (37%-39%) yang

Pertumbuhan udang vaname selama penelitian memperlihatkan pertumbuhan yang semakin meningkat yaitu dari bobot awal 0,23gram/ekor meningkat 1,42 gram/ekor dan 3,59