• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Compliance Tax Theory

Definisi kepatuhan perpajakan menurut James yang dikutip oleh Gunadi (2005, 5) menyatakan bahwa :

“Kepatuhan pajak (tax compliance) berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama (obtrusive investigasi) peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.”

Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Safri Nurmantu (2003, 86), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.

(2)

Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2. Deterrence Theory

Deterrence theory merupakan bagian dari teori utilitarian (teori relatif) yang membahas tentang tujuan pemidanaan. Teori utilitarianism diperkenalkan pertama kali oleh Jeremy Bentham. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana bukan merupakan sarana pembalasan melainkan untuk mencegah kejahatan. Pencegahan yang dimaksud disini adalah pencegahan terhadap pengulangan oleh si pembuat (prevensi khusus) maupun pencegahan bagi orang lain yang mungkin (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).

Ide dasar dari deterrence theory adalah sebagai sarana pencegahan maksudnya tujuan menjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera guna mencegah terulangnya kejahatan. Menurut Christiansen beberapa ciri pokok pencegahan yang terdapat dalam teori utilitarian dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. The purpose of punishment is prevention

b. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare

c. Only breaches of the law which are imputable to the perpretator as intent or negligence qualify for punishment

d. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime

e. The punishment is prospective, it points into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for benefit or social welfare

(3)

Pemikiran Cristiansen (1974) diatas secara garis besar mencoba menjelaskan bahwa tujuan pemidanaan bukan semata-mata mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan namun lebih dititikberatkan pada tindakan pencegahan terjadinya pelanggaran hukum dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana yang dapat dipersalahkan harus didasarkan pada tindakan pelanggaran hukum secara sengaja atau karena kelalaian si pelaku. Salah satu unsur utama dalam teori utilitarian adalah mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Apabila manfaatnya lebih besar daripada biaya penghukuman, maka perlu suatu hukuman. Begitu pula sebaliknya apabila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada. Teori utilitarian lebih mengutamakan pembuat kejahatan (actor) daripada perbuatan itu sendiri. Kemanfaatan pidana menjadi prioritas, terutama sebagai sarana pencegah untuk mengurangi sesuatu kejahatan. Paham ini juga menekankan sasaran yang hendak dicapai dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, serta orientasi hukuman itu sendiri sehingga dapat bermanfaat ganda. Penting adanya aspek pencegahan (prevention) yang bersifat forward looking terhadap situasi yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana

Berdasarkan pandangan utilitarian tersebut, teori deterrence dapat dibagi menjadi dua macam yaitu teori special deterrence (pencegahan khusus) dan general deterrence (pencegahan umum). Dalam special deterrence, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan

(4)

terjadi setelah pemidanaan dilakukan, sehingga si terpidana tidak melakukan kejahatan serupa di masa datang. Menurut teori general deterrence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan. Pencegahan ini dilakukan melalui ancaman-ancaman dan juga pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan. Tujuan deterrence itu sendiri dapat dibedakan dalam tiga bagian , yaitu tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik dan tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan. Tujuan yang bersifat publik agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan yang bersifat jangka panjang adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative theory (denunciation theory).

3. Corporate Tax Rate

Sesuai Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak badan dan BUT dikenakan tarif tunggal yaitu sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan 25% untuk tahun pajak 2010 sampai dengan saat ini. Apabila perusahaan telah dikenakan tarif tunggal tersebut maka perusahaan cenderung termotivasi untuk melakukan efesiensi perhitungan pajak.

(5)

Dalam peraturan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia terdapat perbedaan perlakuan yang besar antara bunga pinjaman dan pengeluaran deviden. Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan disebutkan bahwa:

“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;”

Sedangkan pada pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan menyebutkan bahwa:

“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8. biaya administrasi; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;”

Dengan adanya perbedaan perlakuan antara pembayaran dividen yang tidak boleh dikreditkan sebagai pengurang laba kena pajak dan diperbolehkannya bunga sebagai pengurang laba kena pajak tentunya akan memotivasi entitas untuk menambah modalnya melalui utang.

(6)

4. Tingkat Utang (Leverage)

Leverage merupakan salah satu rasio solvabilitas yaitu rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan itu dilikuidasi. Rasio solvabilitas yang lain adalah dalam bentuk Debt to Equity Ratio (DER), yaitu suatu perbandingan antara nilai seluruh hutang (total debt) dengan total ekuitas. Rasio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Baik Leverage maupun Debt to Equity Ratio (DER) sama-sama sebagai alat pengukur kinerja perusahaan yang dipakai dalam analisis laporan keuangan, perbedaan keduanya terletak pada tujuan analisisnya. Informasi Leverage diperlukan kreditor untuk mengetahui resiko ketidakmampuan perusahaan dalam membayar semua kewajibannya. Sedangkan informasi Debt to Equity Ratio (DER) diperlukan oleh pemegang saham apabila terdapat penurunan dalam DER menunjukkan bahwa sebagian besar investasi yang dilakukan oleh perusahaan harus didanai dari ekuitas pemegang saham. Ketentuan dalam peraturan perpajakan membatasi perbandingan antara utang dengan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan yaitu maksimal 3 dibanding 1. Pembatasan dimaksudkan untuk mengatur maksimal pinjaman yang

(7)

diperbolehkan agar tidak semua biaya bunga dapat dikurangkan sehingga penghasilan kena pajak menjadi besar dalam posisi perusahaan laba. Ketentuan ini disebut dengan thin capitalization selain untuk mencegah adanya modal terselubung juga bertujuan untuk mendorong perusahaan melakukan investasi melalui equity karena untuk mencegah perusahaan berada dalam kesulitan keuangan (financial distress).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini serta untuk membatasi pembahasan yang berkaitan dengan tingkat utang atau rasio utang maka rasio yang akan digunakan sebagai proxy adalah Debt to Equity Ratio (DER) karena rasio ini digunakan untuk menangkal adanya Thin Capitalization. Sementara leverage tidak digunakan sebagai proxy pada penelitian ini karena akan mencerminkan total asset serta memperlebar lingkup penelitian.

Pembahasan utang tidak terlepas dari teori struktur modal (capital structure theory), teori tersebut telah dipelopori oleh Franco Modigliani dan Merton Miller. Pada tahun 1958 Modigliani dan Miller menemukan teori keuangan yang disebut teori struktur modal yang kemudian dikenal dengan MM-Theory dengan Preposisi I dan II atau Dalil I dan II. Dalam dalil I Mogdiliani-Miller yang disebut irrelevansi leverage yaitu nilai perusahaan dengan leverage sama dengan nilai perusahaan yang tanpa leverage. Teori klasik Mogdiliani-Miller I tahun 1958 adalah membahas sebuah perusahaan dengan asumsi tanpa pertumbuhan, tanpa investasi dan

(8)

tanpa dikenakan pajak. Oleh karena itu Mogdiliani-Miller mengasumsikan tidak ada pajak dan menyimpulkan bahwa nilai (value) perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modal. Atau nilai perusahaan (v) adalah sama dengan Earning Before Interest and Tax dibagi biaya modal (k0) atau VL = VU = EBIT/Biaya Modal (k0). Dalam dalil II pada tahun 1977 Mogdiliani-Miller menyebutkan bahwa nilai perusahaan dengan leverage lebih tinggi daripada nilai perusahaan yang tanpa leverage. Perbedaan nilai tersebut karena adanya perlindungan pajak(tax shield) yang dinyatakan oleh pengurangan pajak atas bunga hutang sehingga perbedaan nilai sama dengan nilai utang dikalikan dengan tarif pajak penghasilan yang berlaku atau VL = VU + TD(Tax shield)

Miller (1977) mengembangkan pendapat bahwa perusahaan dapat memperoleh manfaat dari tingkat utang yang dilakukan dalam hal pengurangan pajak yang dibayar atau disebut debt tax shield . Sebagai implikasinya, peningkatan pajak akan meningkatkan penggunaan utang perusahaan (Shuetrim et al., 1993:5).

5. Thin Capitalization

Thin capitalization adalah praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih besar dengan utang berbunga daripada dengan modal saham (Gunadi, 1994:198). Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini merupakan pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak peminjam

(9)

(Gunadi, 1994:279). Menurut Gunadi (2007:279), pemberian pinjaman dalam praktik thin capitalization dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: l) direct loan, 2) back to back loan dan 3) paralel loan. Pada direct loan (pinjaman langsung), investor (pemegang saham) WPLN langsung. Sementara itu pada pendekatan back to back loan investor menyerahkan dananya kepada mediator sebagai pihak ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak perusahaan dengan memberinya imbalan. Terakhir pada pendekatan paralel loan investor mancanegara mencari mitra perusahaan Indonesia yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor.

Thin capitalization adalah pembentukan struktur permodalan suatu perusahaan dengan kontribusi hutang sebanyak mungkin dan modal sesedikit mungkin. Praktik thin capitalization didasarkan pada adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas bunga (sebagai imbalan atas hutang) dan dividen (sebagai imbalan atas modal). Biaya bunga merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan dividen bukan merupakan unsur pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Dengan praktik thin capitalization ini, yang biasanya melibatkan holding company di negara dengan tarif pajak rendah, pajak yang seharusnya menjadi hak suatu negara dapat dialihkan ke negara lain. Modusnya adalah bahwa dalam membiayai subsidiary-nya, suatu holding company akan memberikan kontribusi berupa hutang (bukan modal).

(10)

Dengan demikian subsidiary akan terbebani biaya bunga yang merupakan unsure pengurang dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak, sehingga pajak yang ditanggung oleh subsidiary tersebut dapat ikut mengecil.

Indonesia mengadopsi prinsip Thin Capitalization Rules ini melalui UU PPh-nya. Dalam Pasal 18 (1) UU PPh diatur bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Peraturan yang kemudian dikeluarkan oleh Menteri Keuangan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Dalam keputusan ini diatur bahwa:

a. Perbandingan antara hutang dan modal tidak boleh melebihi 3:1. Tiga untuk hutang, dan satu untuk modal.

b. Untuk menghitung perbandingan tersebut, jumlah hutang dimaksud adalah jumlah rata-rata hutang pada tiap akhir bulan (yang meliputi hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang). Sedangkan jumlah modal adalah sebesar penyertaan modal oleh pemegang saham pada akhir tahun (termasuk Laba Ditahan).

c. Apabila perbandingan antara hutang dan modal tersebut melebihi 3:1, maka biaya bunga yang dapat menjadi unsur pengurang harus dihitung kembali dengan mengoreksi terlebih dahulu jumlah hutang yang diizinkan sebesar 3 x jumlah modal.

(11)

Diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985, dengan alasan bahwa penentuan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 dikuatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha, maka

pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

1002/KMK.04/1984 ditangguhkan sampai saat yang ditentukan kemudian oleh Menteri Keuangan.

Dalam upaya mengidentifikasi dan pencegahan adanya praktik penghindaran pajak yang mengacu pada penggelapan pajak (tax evasion), praktik melanggar hukum yang dilakukan oleh perusahaan Multinasional, umumnya suatu negara menerbitkan peraturan perundang-udangan perpajakan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) SAAR (Spesific Anti Avoidance Rule), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti: transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan CFC (Controlled Foreign Corporation).

2) GAAR (General Anti Avoidance Rule), yaitu ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum dengan tujuan sebagai antisipasi praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam SAAR.

(12)

Dalam praktik ini di beberapa negara berjalan efektif dalam pencegahan praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak (Thuronyi 1998, 193).

6. Non Debt Tax Shield

Non debt tax shields sebagai penentu struktur modal bukan dari hutang, berupa pembebanan biaya depresiasi dan amortisasi tehadap laba dan rugi. Depresiasi dan amortisasi sebagai pendorong bagi perusahaan untuk mengurangi hutang, karena depresiasi dan amortisasi merupakan cash flow sebagai sumber modal dari dalam perusahaan sehingga dapat mengurangi pendanaan dari hutang.

Dalam kaitannya dengan pajak, perusahaan telah memperoleh keuntungan pajak atas pembayaran bunga pinjaman (interest tax shield/dbet tax shield). Disamping itu perusahaan juga dapat pula memperoleh keuntungan pajak yang lain disebut Non-debt Tax Shield yaitu keuntungan pajak yang diperoleh perusahaan selain bunga pinjaman yang dibayarkan. Menurut Mackie-Mason (1990) Non-debt tax shield dikelompokkan menjadi dua yaitu : tax loss carry forward dan investment tax credit. Tax loss carry forward dapat berupa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun yang akan datang. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 Ayat (1) huruf (2) :

(13)

“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. “

Dari peraturan perpajakan tersebut bahwa kerugian perusahaan dapat dikompensasikan terhadap laba selama lima tahun ke depan. Karena adanya kerugian tersebut maka perusahaan dapat menunda pembayaran pajaknya lima tahun ke depan (Tax loss carry forward).

Investment tax credit adalah fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Fasilitas tersebut merupakan perangsang penanaman modal yang diberikan sebesar 5 % dari jumlah pengeluaran untuk penanaman modal dalam rangka fasilitas PMA/PMDN. Fasilitas ini terdapat dalam Ordonasi Pajak Perseroan 1925 Pasal 46. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, kemudian fasilitas perangsang penanaman modal untuk PMA/PMDN tersebut ditiadakan.

Menurut Bradley, Jarrel dan Kim (1984) Non-debt tax shield adalah dalam bentuk depresiasi aktiva tetap. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan:

“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta

(14)

berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun ………….”

Oleh karena itu perusahaan yang mempunyai jumlah aktiva tetap yang tinggi akan semakin banyak memperoleh keuntungan pajak yaitu berupa biaya depresiasi/penyusutan yang dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak terutang. Keuntungan pajak yang berupa biaya depresiasi/penyusutan yang dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak disebut juga dengan Non-debt tax shield. Dalam biaya depresiasi juga mencerminkan tingkat jumlah aset tangible yang dimiliki oleh perusahaan, aset tangible tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai aset kolateral untuk jaminan utang pada waktu mengajukan utang, Tirsono (2008). Karena perusahaan mempunyai asset kolateral yang tinggi maka perusahaan tersebut akan dengan mudah mendapatkan utang baru sehingga ada kecenderungan untuk menambah utang lagi.

7. Tax Haven

Tax haven countries merupakan sebuah negara-negara yang memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak negara lain dan penghasilannya dari Wajib Pajak negara lain tersebut dapat diarahkan ke negara yang tergabung dalam tax haven. Selain itu, tax haven juga menawarkan tidak adanya pajak ataupun pajak yang dikenakan atas transaksi tertentu dan pengenaan tarif rendah antar laba yang bersumber dari Luar Negeri dan atau adanya perlakuan khusus dari tipe transaksi yang terhutang pajak

(15)

(Spitz, 2001). Tax haven dalam UU PPh yaitu dalam pasal 18 (3c) UU PPh nomor 36 tahun 2008 sebagai berikut:

"Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia."

Dalam penjelasan pasal 18 (3c) tersebut juga digunakan contoh sebagai berikut :

"X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X."

Di dalam penelitian Irfansyah (2010) menjelaskan mengenai hasil pertemuan G-20 pada tanggal 2 April 2009, negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menetapkan daftar negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country:

a. Negara-negara yang sepakat atau berkomitmen menerapkan perjanjian perpajakan internasional, diantaranya: Argentina, Australia, Barbados, Kanada, Cina, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Guernsey, Hongaria, Islandia, Irlandia, Isle of Man, Itali, Jepang, Jersey, Korea, Malta, Mauritius, Meksiko, Belanda , New

(16)

Zealand, Norwegia, Polandia, Portugal, Rusia, Federation Seychelles, Slovak Republic, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Turki, United Arab Emirates, United Kingdom, Amerika Serikat, US Virgin Islands.

b. Daftar negara yang telah bekomitmen mengikuti standar perjanjian pajak internasional, namun belum menerapkannya. Negara ini dikategorikan abu-abu yaitu: Andorra, Anguilla, Antigua and Barbuda, Aruba, Bahamas, Bahrain, Belize, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Island, Cook Islands, Dominica, Gibraltar, Grenada, Liberia, Liechtenstein, Marshall Island, Monaco, Montserrat Nauru, Netherlands Antilles, Niue, Panama, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, Samoa, San Marino, Turks and Caicos Islands, Vanuatu, Austria, Belgium, Brunei, Chile, Guatamala, Luxembourg, Singapura, Switzerland.

c. Daftar Black List Tax Haven Country. Diantaranya: Kosta Rika, Malaysia, Filipina, Uruguay.Data tersebut berbeda sedikit dengan versi terkini OECD dan National Bureau of Economic Research yang telah mengeluarkan Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia sebagai tax haven karena telah menyatakan kesediannya untuk bersikap kooperatif. Kosta Rika dan Uruguay juga sudah dikeluarkan dari daftar tax haven karena sikap serupa (http://www.oecd.org/dataoecd/50/0/43606256.pdf )

8. Multinationality

Perusahaan dengan operasi luar negeri yang luas atau yang memperoleh pendapatan secara proporsional dari sumber-sumber asing memiliki cakupan yang lebih besar dan insentif untuk terlibat dalam

(17)

penghindaran pajak, Rego (2003). Perusahaan multinasional, misalnya, memiliki kesempatan untuk mengurangi pajak perusahaan dengan menempatkan operasi dalam yurisdiksi pajak rendah, dengan cara menggeser pendapatan dari yurisdiksi pajak tinggi ke yurisdiksi pajak yang rendah, dan dengan memanfaatkan perbedaan dalam aturan pajak negara yang berbeda (Slemrod, 2001). Rego (2003) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional cenderung memiliki lebih banyak kesempatan untuk menghindari pajak perusahaan, dan lebih sukses, dibanding perusahaan domestik murni. Hanlon et al. (2005) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan memiliki lebih dari dua kali lipat tingkat non-kepatuhan pajak dari perusahaan-perusahaan domestik yang dikendalikan. Dyreng et al. (2008) mengamati bahwa perusahaan dengan eksposur internasional yang lebih besar memiliki lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam penghindaran pajak.

9. Penelitian Terdahulu

No .

Peneliti Dependen Independen Hasil Penelitian

1. YoungRok Choi (2003) Leverage  Tax  Non-debt tax shield  Volatility  financial distress  Size  Profitability  tangibility of  Tax, Size, Profitability, tangibility of assets berpengaruh positif signifikan terhadap leverage

(18)

assets  Non-debt tax shield, Volatility, financial distress berpengaruh negatif signifikan terhadap leverage 2. Taylor & Richardso n (2013) Thin Capitalizatio n  Multinationalit y  tax haven utilization  withholding taxes, dan  tax uncertainty. Adanya hubungan positif dan signifikan antara thin capitalization terhadap Multinationality , tax haven utilization, withholding taxes, dan tax uncertainty. 3. Nuraini (2014) Thin Capitalizatio n Ukuran perusahaan, multinational company, kepemilikan institusioanal, tax haven, withholding tax. Adanya pengaruh signifikan antara thin capitalization terhadap Multinationality , tax haven utilization, withholding taxes, dan kepemilikan institusional.

(19)

B. Rerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Corporate Tax Rate, Non Debt Tax Shield, Profitabilitas, multinationality, pemanfaatan tax haven, pemotongan pajak (withholding taxes) dan kepemilikan institusional terhadap thin capitalization. Alasan perusahaan melakukan penghindaran pajak melalui thin capitalization perlu diketahui agar tidak menuju ke pengelakan pajak.

Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran

Corporate Tax Rate (X1) (X1)

Non Debt Tax Shield(X2) Multinationality (X3) Tax Haven (X4) Kepemimpinan Institusional (X5)

Thin

Capitalization (Y)

Variable Control:

Ukuran Perusahaan (Size) Profitabilitas (ROA)

(20)

C. Hipotesis

1. Pengaruh Corporate Tax Rate Terhadap Thin Capitalization

Adanya tarif tunggal pph badan yang dikenakan kepada perusahaan di Indonesia sebesar 25% mendorong perusahaan melakukan efesiensi pajak melalui cara-cara yang diperbolehkan dan tidak melanggar ketentuan perpajakan Indonesia. Sesuai Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak badan dan BUT dikenakan tarif tunggal yaitu sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan 25% untuk tahun pajak 2010 sampai dengan saat ini. Apabila perusahaan telah dikenakan tarif tunggal tersebut maka perusahaan cenderung termotivasi untuk melakukan efesiensi perhitungan pajak. Hal ini dikarenakan semakin tinggi laba perusahaan maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan (Tirsono; 2008). Oleh karena itu penerapan tarif pajak yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk melakukan penghematan pembayaran pajak yaitu salah satunya dengan jalan menambah utang.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Homaifer et al. (1994) menyatakan adanya hubungan positif antara corporate tax rate dengan utang (struktur modal). Tetapi Barclay Smith (1995) dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan dan pengaruh signifikan pajak (corporate tax) dengan utang (leverage).

Sesuai juga dengan hasil yang telah dilakukan penelitian oleh YoungRok Choi, (2003) yang menyatakan terdapat hubungan yang positif

(21)

antara tarif pajak dan rasio utang (leverage ratio). Perusahaan dengan tarif pajak marjinal yang tinggi memiliki insentif lebih banyak untuk mengajukan utang karena mendapatkan keuntungan dari pengurangan bunga atas utang tersebut sehingga pajak yang dibayar akan menjadi lebih kecil. Penerapan tarif pajak tunggal sebesar 25% membawa pengaruh bagi perusahaan untuk melakukan efesiensi pembayaran pajak tahun mendatang atau tarif pajak tunggal tahun lalu (t-1) akan membawa pengaruh terhadap utang perusahaan tahun sekarang ( t ).

Dari hasil penelitian secara empiris dari peneliti sebelumnya dan sesuai ulasan teori, hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam bentuk alternatif adalah:

H1 : Corporate Tax Rate berpengaruh positif terhadap Thin

Capitalization

2. Pengaruh Non Debt Tax Shield Terhadap Thin Capitalization

Dalam melakukan efesiensi penghitungan pajak selain dengan membebankan biaya bunga utang, perusahaan dapat memanfaatkan keuntungan/perlindungan pajak melalui fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah atau disebut dengan ‘nondebt tax shield. Bradley, Jarrel dan Kim (1984), menemukan jenis non-debt tax shield dalam bentuk depresiasi. YoungRok Choi (2003) dalam penelitiannya menemukan hubungan bahwa perusahaan dengan aktiva tangible cenderung mengajukan utang lebih banyak. Perusahaan yang memiliki

(22)

biaya depresiasi tinggi mencerminkan bahwa perusahaan tersebut mempunyai aktiva tetap yang besar. Karena mempunyai aktiva tetap yang besar maka perusahaan tersebut dapat memanfaatkan sebagai jaminan utang (asset collateral) sehingga perusahaan cenderung melakukan utang atau dapat dikatakan bahwa biaya depresiasi aktiva tetap berpengaruh positif dengan rasio hutang perusahaan. Penelitian hubungan antara non-debt tax shield dengan keputusan leverage yang dapat digunakan sebagai pengurang laba kena pajak perusahaan telah dilakukan YoungRok Choi (2003) dengan hasil non-debt tax shield berpengaruh positif dengan tingkat hutang. Sesuai dengan hasil penelitian secara empiris dan ulasan teori, hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam bentuk alternative adalah:

H2: Non Debt Tax Shield berpengaruh positif terhadap Thin

Capitalization

3. Pengaruh Multinationality terhadap Thin Capitalization

Penghindaran pajak ini sering dilakukan oleh perusahaan multinasional mengingat bahwa perusahaan multinasional biasanya menerapkan perencanaan pajak yang efisien di seluruh entitas kelompok karena perusahaan multinasional memperoleh pendapatan dari berbagai sumber asing yang lebih besar, sehingga terlibat dalam kegiatan penghindaran pajak. Menurut Huizinga, et al (2008), kebijakan utang perusahaan multinasional berkaitan erat dengan tarif pajak badan dalam

(23)

negeri. Artinya perusahaan multinasional yang berada di Negara yang memiliki tarif pajak rendah cenderung mengalihkan utang mereka ke Negara-negara dengan tarif pajak tinggi. Bahkan, Rego (2003) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat lebih berhasil menghindari pajak korporasi dari perusahaan murni domestik. Untuk menguji pada multinationality terhadap thin capitalization dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3: Multinationality berpengaruh positif terhadap thin capitalization.

4. Pengaruh Pemanfaatan Tax Haven terhadap Thin Capitalization

Desai dan Hines (2002) menunjukkan bahwa perusahaan yang tergabung dalam tax havens mampu menggeser pendapatan dari yurisdiksi pajak yang tinggi ke pajak yang rendah melalui tranfer pricing, utang antar perusahaan dan pengalihan aset tidak berwujud. Bahkan, sebuah perusahaan multinasional bisa menggunakan badan pembiayaan di tax haven untuk pemotongan pajak yang aman untuk pembayaran utang bunga oleh anak perusahaan di negara-negara berpajak tinggi (Richardson et al., 1998; Slemrod dan Wilson, 2009). Untuk menguji pada pemanfaatan tax haven terhadap thin capitalization dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4: Pemanfaatan Tax haven berpengaruh positif terhadap thin capitalization.

(24)

5. Kepemilikan Institusional terhadap Thin Capitalization

Crutchley et al., (1999) kepemilikan institusional bertindak sebagai pihak memonitoring perusahaan dan dapat menurunkan biaya agency. Dilihat dari adanya monitoring dan biaya agency dapat disimpulkan bahwa peranan utang perusahaan dijadikan alat monitoring bagi manajer, sehingga dengan adanya pengawasan yang efektif oleh pihak institusional dapat menurunkan penggunaan utang perusahaan, Nuraini (2014). Tindakan pengawasan perusahaan yang dilakukan oleh pihak investor institusional, dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku mementingkan diri sendiri (opportunistic). Tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor institusional dapat membatasi perilaku para manajer, sehingga fungsi monitoring yang diberikan oleh investor institusional dapat memastikan bahwa manajer akan bertindak yang terbaik bagi kepentingan stakeholder.

Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat

(25)

dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Jansen dan Meckling, 1976).

H5: Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap thin

Gambar

Gambar 2.1  Rerangka Pemikiran Corporate Tax Rate (X1)

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan karakter bangsa dalam pendidikan berpedoman pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hidayati dan Murni (2009), yang menemukan bahwa peluang pertumbuhan tidak berpengaruh terhadap ERC karena objek

1) Pesantren menerapkan aturan yang harus ditaati oleh setiap santri, apabila terjadi pelanggaran, santri akan mendapatkan hukuman dari riang sampai ke berat,

Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah dapat mengetahui perbandingan performansi antara Fair Scheduler dan Hadoop Fair Sojourn Protocol Scheduler (HFSP) pada

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang

Efektivitas dan kenyamanan dalam penggunaan ekstrak etanolik bunga kembang sepatu pada kulit dapat ditingkatkan dengan cara diformulasikan menjadi bentuk sediaan gel,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufik, serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penggunaan Permainan

Selain dokumen persiapan proyek lainnya (seperti Feasibility Study atau FS), Klien harus mempersiapkan dan mengungkapkan dokumen-dokumen Perlindungan Lingkungan dan Sosial