• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN

4.1 Gambaran Umum Lokasi

SDN 04 Dramaga terletak di jalan Sawah baru RT 01/ 08 Desa Babakan Dramaga, Bogor, Jawa Barat. SD N Babakan Dramaga 04 berdiri pada tahun 1977 dengan luas tanah 2.580 m2. SDN 04 Babakan Dramaga berada dekat dengan instansi pendidikan lainnya yaitu SMPN1 Dramaga dan kampus Institut Pertanian Bogor.

Jarak SDN 04 Dramaga dengan pusat pemerintahan kecamatan adalah ±4 km dari ibu kabupaten berjarak ± 35 km, dari ibu kota provinsi ± 125 km. sedangkan dari ibu kota Negara berjarak ± 75 km. SDN 04 Dramaga memiliki 18 kelas, setiap tingkat (kelas 1-6) terdiri dari tiga kelas. Jumlah guru SDN 04 Dramaga ada 22 orang yang 75 persennya telah bergelar sarjana dan sisanya (25 persen) bergelar diploma II (D-II) Beberapa prestasi yang telah diraih SDN 04 Dramaga pada tahun terakhir ini antara lain juara 1 olympiade matematika regional Bogor Barat (2008), juara harapan I drama pupuh SD kesenian daerah tingkat kabupaten (2008), juara harapan I Atletik SD Putera tingkat Kabupaten Bogor (2008), juara I gladi Tangkas Puteri Kwaran Dramaga (2008) dan gladi tangkas putera Kwaran Dramaga (2008).

Berbagai upaya peningkatan mutu telah dilakukan SD N Babakan Dramaga 04, baik yang bersifat akademis maupun nonakademis. Adapun kegiatan yang mengarah pada peningkatan mutu antara lain sebagai berikut:

a. Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS) sesuai dengan rambu-rambu yang ada dengan melibatkan berbagai komponen pendidikan;

b. Meningkatkan standar kelulusan secara bertahap sebagai salah satu parameter peningkatan kualitas lulusan;

c. Mengirim guru untuk mengikuti berbagai pelatihan baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi sebagai upaya menambah wawasan dan memperbaiki kualitas kegiatan belajar mengajar;

(2)

d. Melakukan perbaikan dalam pengolahan manajemen sekolah dengan lebih tertib administrasi dan melakukan pembagian tugas yang sesuai dengan kemampuan individu;

e. Menerapkan efisiensi dan manajemen terbuka/ transparan dalam pengolahan keuangan;

f. Mengirimkan siswa dan guru untuk mengikuti berbagai lomba yang diadakan baik di tingkat gugus, kecamatan, kabupaten maupun provinsi dan

g. Melakukan pembinaan dan monitoring secara berkala untuk meningkatkan dan memperbaiki layanan pendidikan di kelas.

4.2 Karakteristik Individu Responden

Karakteristik responden adalah karakteristik yang dimiliki oleh setiap responden secara personal. Karakteristik individu memiliki sifat yang unik dan berbeda antara responden yang satu dengan responden lainnya. Responden dalam penelitian ini sendiri adalah siswa kelas IV,V dan VI yang masing-masing kelas diambil sebanyak 20 persen per tingkatnya.

Karakteristik individu yang dimiliki dalam penelitian ini dibedakan menjadi umur , uang saku dan waktu luang. Karakteristik responden menurut umur tersaji pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Umur di SDN 04 Dramaga

Umur Jumlah Persentase

10 tahun 39 55,7

11-12 tahun 31 44,3

Tabel 2 memperlihatkan jumlah responden pada rentang umur 0-10 tahun berjumlah 39 tahun dan yang berada pada rentang umur 11-12 tahun berjumlah 31 orang. Dengan kata lain responden pada penelitian ini 55,7 persen berumur 0-10 tahun dan 44,3 persen berumur 11-12 tahun.

Diliat dari waktu luang dan uang saku, terlihat bahwa responden memiliki nilai skor untuk waktu luang sebesar 63,47 dan nilai skor 32, 43 untuk nilai skor

(3)

uang saku. Sehingga dapat dikatakan bahwa responden pada penelitian ini memiliki waktu luang yang tergolong sedang dan jumlah uang jajan yang rendah. Waktu luang yang dimiliki oleh responden tergolong sedang karena kegiatan anak dalam sehari tidak terlalu banyak hanya dihabiskan di sekolah dan satu sampai dua jam untuk kegiatan ekstrakulikuler dan mengerjakan tugas/pekerjaan rumah (PR). Rendahnya uang saku responden dikarenakan sebagian besar responden berasal dari keluarga menengah kebawah sehingga uang saku yang diberikan oleh orang tuanya tidaklah terlalu banyak. Nilai skor untuk waktu luang dan uang saku dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rataan Skor Waktu Luang dan Uang Saku Responden di SDN 04 Dramaga

Karakteristik individu Rataan Skor

Waktu luang 63,47

Uang saku 32,43

Keterangan: 0,01 - 30,33 = rendah ; 33,34 - 66,66 = sedang ; 66,67 - 100 = tinggi

4.3. Lingkungan Sosial Responden

Dikaitkan dengan lingkungan sosial anak, terdapat beberapa indikator yang turut mempengaruhi terpaan media dan belajar kognitif antara lain guru, teman sekolah, tetangga dan teman sepermainan serta kelurga. Interaksi anak dengan lingkungan sosial tergolong sedang. Hal ini terlihat dari besarnya nilai rataan skor sekolah (65,76), tetangga/ teman sepermainan (55,78) dan keluarga (68,77) yang kesemuanya termasuk dalam rataan skor tinggi. Tingginya nilai rataan skor untuk keluarga didukung oleh kondisi dimana keluarga merupakan bagian lingkungan sosial yang terdekat bagi anak. Interaksi dengan sekolah juga tergolong sedang, karena berdasarkan wawancara dengan beberapa anak dalam satu hari anak dapat menghabiskan waktunya 3-6 jam di sekolah dan 2-3 jam per hari dihabiskan bersama tetangga/ teman sepermainan.

(4)

Rataan skor pendapat anak mengenai lingkungan sosialnya tersaji pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4.Rataan Skor Pendapat Anak Mengenai Lingkungan Sosial di SDN 04 Dramaga

Karakteristik Lingkungan Sosial Rataan skor

Guru dan teman sekolah 65,76

Tetangga dan teman sepermainan 55,78

Keluarga 68,77

Total Rataan skor 64,44

Keterangan: 0,01 - 30,33 = rendah ; 33,34 - 66,66 = sedang ; 66,67 - 100 = tinggi

4.4. Psikologi Responden

Aktivitas belajar kognitif tidak dapat dilepaskan pula dari faktor psikologi yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Jika dilihat secara psikologi, psikologi responden dalam hubungannya dengan belajar kognitif tergolong sedang. Hal ini terlihat dari rataan skor faktor psikologi yang hanya 59,41. Jika dihat per indikator maka diperoleh hasil responden memiliki sikap yang tergolong tinggi terhadap belajar kognitif yang terlihat dari rataan skor yang bernilai 67,38. Selain itu jika dilihat dari indikator bakat maka, responden cenderung memiliki bakat yang tergolong sedang dengan rataan skor yaitu 50,95. Responden juga memiliki minat yang tergolong sedang terhadap belajar kognitif, terlihat dari rataan skor yang bernilai 46,43. Sedangkan faktor psikologi yang paling tinggi dimiliki oleh responden adalah motivasi dengan rataan skor 72,41. Rataan skor pendapat anak mengenai faktor psikologi tersaji pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rataan Skor Pendapat Anak Mengenai Lingkungan Sosial di SDN 04 Dramaga

Faktor psikologi Rataan Skor

Sikap 67,38

Bakat 50,95

Minat 46,43

Motivasi 72,86

Total rataan skor 59,41

(5)

BAB V

HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK

5.1 Terpan Media Televisi pada Anak

Terpaan media (media exposure) televisi adalah, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan media televisi pada seseorang dalam satu hari. Frekuensi menonton televisi yaitu berapa kali seorang anak menonton televisi per harinya. Sedangkan durasi menonton televisi yaitu jumlah jam anak menonton acara/program tertentu di televisi.

Terpaan media pada anak tergolong tinggi, terlihat pada nilai rataan skor terpaan media yang bernilai 77,27. Jika dilihat dari frekuensi, frekuensi menonton pada anak tergolong tinggi terlihat dari nilai skor frekuensi menonton yang bernilai 97,83. Jika dilihat dari durasi, durasi menonton televisi pada anak tergolong tinggi terlihat dari nilai skor durasi menonton yang bernilai 98,74. Namun jika dilihat dari pilihan pesan, diperoleh rataan skor yang bernilai 27,50. Angka ini menunjukan bahwa kecenderungan anak untuk memilih acara yang bersifat informatif tergolong rendah.

Rataan skor untuk frekuensi dan durasi menonton televisi dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan Skor Terpaan Media di SDN 04 Dramaga

Terpaan Media Rataan Skor

Frekuensi 97,83

Durasi 98,74

Pilihan pesan 27,50

Jumlah rataan skor 77,27

Keterangan: 0,01 - 30,33 = rendah ; 33,34 - 66,66 = sedang ; 66,67 - 100 = tinggi

5.2 Hubungan Karakteristik Individu, Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi

Karakteristik individu dan lingkungan sosial turut mempengaruhi terpaan media televisi itu sendiri. Karakteristik individu meliputi umur, waktu luang dan uang saku sedangkan lingkungan sosial meliputi keluarga, sekolah dan tetangga/ teman

(6)

sepermainan. Hubungan karakteristik individu, tersebut dan lingkungan sosial dengan terpaan media televisi tersaji pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Hubungan Karakteristik Individu, Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi

Variabel Terpaan Media Televisi (Thitung SEM)

Karakteristik individu 2,10* • Umur 0,40 • Uang saku 0,20 • Waktu Luang 0,24 Lingkungan sosial 2,63* • Keluarga 0,96 • Tetangga/teman sepermainan 0,23 • Sekolah/teman sekolah 0,67

Keterangan: *Berhubungan signifikan pada p<0,05 (Ttabel =1,96)

5.2.1. Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media

Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media. Hal ini dibuktikan dengan nilai Thitung (2,10) yang lebih besar daripada Ttabel 0,05 (1,96). Sedangkan jika diliat dari hubunga korelasi antara indikator terlihat bahwa terdapat hubungan lurus antara karakteristik individu dan terpaan media.

5.2.1.1. Hubungan Umur dengan Terpaan Media

Pada kasus SDN 04 Dramaga diperoleh hasil kooefisien korelasi yang bernilai positif antara umur dengan terpaan media yaitu 0,4. Dengan kata lain semakin rendah umur seseorang maka semakin rendah pula frekuensi dan durasi seseorang menonton suatu program untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya. Pada anak, motivasi untuk menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif masih rendah. Hal itu karena anak-anak umumnya menonton televisi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan semata. Hal serupa dinyatakan oleh Testiandini (2006) yaitu bahwa jika diliat dari sisi umur, semakin rendah umur responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif.

(7)

5.2.1.2 Hubungan Uang Saku dengan Terpaan Media

Pada kasus SDN 04 Dramaga, responden memiliki uang saku yang tergolong rendah. Oleh karena itu terlihat anak cenderung tidak memiliki uang lebih untuk disisikan guna memperoleh kesenangan lainnya seperti bermain Playstation atau intenet. Dengan kata lain semakin rendah uang saku seseorang maka semakin tinggi terpaan media televisi pada orang tersebut. Hal serupa dikatakan oleh Bajjari dalam Testiandini (2006) yang menyatakan bahwa jika dilihat dari sisi uang saku semakin tinggi uang saku ternyata semakin seseorang menyisihkan televisi karena kesenangan non media yang lebih luas.

Hal berbeda terlihat pada nilai korelasi antara uang saku dengan terpaan televisi yang bernilai positif yaitu 0,20. Nilai tersebut menyatakan sebaliknya bahwa semakin tinggi uang jajan maka semakin tinggi pula terpaan media televisi yang terjadi pada anak tersebut. Perbedaan perhitungan ini dimungkinkan terjadi karena nilai korelasi tingkat hubungan antara uang saku dengan terpaan media televisi yang tidaklah tinggi atau dengan kata lain tidak memiliki keterhubungan yang kuat (tidak high significant). Hal ini karena pada anak Sekolah Dasar umunya uang jajan lebih sering digunakan untuk membeli makanan atau mainan daripada mencari hiburan lain selain televisi. Selain itu umunya anak Sekolah Dasar belum memiliki ketertarikan yang banyak pada media hiburan lain seperti Playstation ataupun internet.

5.2.1.3 Hubungan Waktu Luang dengan Terpaan Media

Pada kasus SDN 04 Dramaga ini terlihat bahwa korelasi antara waktu luang dengan terpaan media bernilai positif yaitu 0,24. Dapat dijelaskan bahwa anak-anak umunya belum memiliki banyak kegiatan dalam satu harinya sehingga waktu luang yang mereka miliki kebanyakan dipergunakan untuk menonton televisi. Dengan kata lain semakin banyak waktu luang seseorang maka semakin tinggi terpaan media pada orang tersebut. Hal serupa juga dikatakan oleh Testiandini (2006) yang menyatakan kan bahwa semakin banyak waktu luang seseorang semakin tingi pula kecenderungan seseorang menonton televisi. Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak cenderung digunakan untuk beristirahat bukan untuk menonton televisi. Sebaliknya

(8)

orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak meluangkan waktunya untuk menonton televisi.

Indikator karakteristik individu yang paling mempengaruhi terpaan media televisi adalah umur. Pada Tabel 7 terlihat bahwa nilai korelasi antara umur dan terpaan media televisi adalah 0,40 lebih tinggi dari pada nilai korelasi antara waktu luang dengan terpaan media televisi (0,24) dan nilai korelasi antara uang saku dengan terpaan media televisi (0,20). Tingginya pengaruh umur terhadap terpaan media televisi dibandingkan dengan indikator lain (waktu luang dan uang saku) terlihat dimana umur menentukan pilihan acara yang akan ditonton.

Anak umur SD umumnya akan lebih memilih acara yang memiliki unsur hiburan daripada acara yang bersifat informatif. Sehingga jika dalam satu hari tersebut televisi banyak menampilkan acara yang berunsur hiburan maka anak akan meluangkan banyak waktu untuk menonton televisi. Jika dalam satu hari televisi tidak banyak menampilkan acara yang bersifat menghibur, maka anak cenderung enggan menonton televisi. Hal ini akan mempengaruhi tinggi/rendahnya terpaan media televisi pada anak. Indikator waktu luang tidak lebih tinggi mempengaruhi terpaan media televisi dibandingkan indikator umur karena umumnya anak SD memiliki waktu luang yang cukup banyak dan walaupun anak tersebut sibuk dengan kegiatan lainnya seperti sekolah dan les, anak tersebut akan tetap menyempatkan dirinya untuk menonton televisi.

Indikator uang saku tidak tinggi mempengaruhi terpaan media televisi dibandingkan indikator umur dan waktu luang karena uang saku yang dimiliki oleh anak SD kadang tidak terlalu mempengaruhi terpaan media televisi karena uang saku yang dimiliki oleh anak umumnya tidak dipergunakan untuk menikmati media lain selain televisi, namun kebanyakan uang saku anak SD digunakan untuk membeli makanan atau mainan.

5.2.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media

Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dengan terpaan media. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai Thitung (2,63) yang lebih besar dari pada Ttabel 0,05

(9)

(1,96). Sedangkan jika diliat dari koofesien korelasi terlihat bahwa terdapat hubungan positif antara indikator lingkungan sosial dengan terpaan media. Dengan kata lain semakin tinggi pengaruh lingkungan sosial maka semakin tinggi pula terpaan media televisi yang terjadi pada seseorang.

5.2.2.1 Hubungan Keluarga dengan Terpaan Media

Hasil penelitian di SDN 04 Dramaga terlihat kofesian hubungan antara keluarga dengan terpaan televisi bernilai positif yaitu 0,96,. Jadi semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak menonton televisi. Dengan kata lain semakin tinggi keluarga mendukung (sering menonton/menganjurkan) terpaan media televisi maka semakin tinggi pula terpaan media televisi pada anak. Hal serupa dikatakan oleh Kurniasih (2006) yang menyatakan bahwa ketika menonton televisi, biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Oleh karena itu terpaan media televisi pada anak tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua.

5.2.2.2 Hubungan Teman Sepermainan/Tetangga dengan Terpaan Media

Hasil penelitian di SDN 04 Dramaga memperlihatkan bahwa kofesian hubungan antara keluarga dengan terpaan televisi bernilai positif yaitu 0,23. Hal ini dapat dijelaskan dimana semakin sering teman mengajak menonton dan menceritakan kembali jalan cerita maka semakin tinggi pula kemungkinan seorang anak untuk menonton televisi sehingga berpengaruh pada tingginya terpaan media pada anak. Hal serupa dinyatakan Kurniasih (2006) yaitu bahwa lingkungan teman juga dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu misalnya melalui cerita-cerita dengan teman sepermainan.

5.2.2.3 Hubungan Sekolah dengan Terpaan Media

Lingkungan sekolah pun tak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan terpaan media televisi. Terdapat korelasi yang bersifat positif antara sekolah dan terpaan media yaitu 0,67. Angka ini menjelaskan bahwa jika lingkungan sekolah mendukung atau menganjurkan program tertentu maka siswa cenderung akan menonton program

(10)

tersebut. Dengan kata lain tingginya ajuran/dukungan guru terhadap suatu program di televisi akan meningkatkan terpaan media televisi pada anak tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak-anak cenderung untuk mengikuti apa yang dikatakan guurunya karena menganggap guru mengetahui banyak hal.

Diantara faktor lingkungan sosial berupa keluarga, sekolah dan tetangga/teman sepermainan yang paling mempengaruhi terpaan media televisi adalah keluarga. Pada Tabel 7, nilai korelasi antara keluraga dan terpaan media televisi adalah 0,96 lebih tinggi dari pada nilai korelasi antara sekolah dengan terpaan media televisi (0,67) dan nilai korelasi antara tetangga/teman sepermainan dengan terpaan media televisi (0,23).

Tingginya nilai korelasi indikator keluarga dibandingkan dengan indikator lain (tetangga dan sekolah) disebabkan karena keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak. Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama keluarga lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan di sekolah maupun bersama tetangga/teman sepermainnya. Selain itu keluarga merupakan bagian lingkungan sosial yang paling sering menonton bersama dengan anak. Oleh karena itulah keluarga lebih mampu untuk mengontrol terpaan media televisi dibandingan lingkungan sekolah maupun tetangga/ teman sepermainan. Selain itu, anak SD cenderung masih sangat menuruti perkataan orang tua/keluarganya.

Faktor kedua yang cukup tinggi mempengaruhi terpaan media televisi adalah lingkungan sekolah karena waktu yang dihabiskan anak di sekolah juga cukup tinggi. Di sekolah anak berinteraksi dengan guru dan teman sekolahnya yang turut mempengaruhi terpaan media televisi. Urutan ke-tiga yang mempengaruhi terpaan media televisi adalah tetangga/teman sepermainan. Hal ini karena waktu yang dihabiskan anak bersama tetangga atau teman sepermainan tidaklah sebanyak waktu yang dihabiskan anak bersama keluarga guru dan teman sekolah. Dalam satu hari, sebagian anak hanya menghabiskan waktu bersama tetangga/ teman sepermainana hanya 2-3 jam perhari.

Diantara faktor-faktor diatas seperti karakteristik individu dan lingkungan sosial faktor yang paling mempengaruhi terpaan media televisi pada anak Sekolah

(11)

Dasar adalah adalah lingkungan sosial. Hal ini terlihat dari besarnya T-hitung hubungan lingkungan sosial dengan terpaan media dibandingkan dengan hubungan karakteristik individu dengan terpaan media yaitu 2,63 dibandingakan 2,05. Besarnya T-hitung hubungan terpaan media dengan belajar kognitif dikarenakan karena pada anak, peran orang tua, sekolah serta teman sepermainan masih sangatlah kuat. Kegiatan-kegiatan mereka sehari tidak dapat dilepaskan dari ketiga pihak tersebut yaitu orang tua, guru dan teman sepermainan. Dalam lingkungan keluarga, anak umur Sekolah Dasar masih sangat diperhatikan oleh orang tuanya ketika menonton, orang tua pun kadang menemani anaknya saat menonton serta memilihkan tayangan yang diperbolehkan untuk ditonton. Sedangkan sosok seorang guru bagi anak merupakan sosok “serba tahu” bahkan tak jarang anak-anak lebih mempercayai perkataan yang disampaikan gurunya di sekolah daripada apa yang disampaikan orang tuanya. Selain seperti dijelaskan sebelunya kebiasaan yang cukup tinggi pada anak untuk menceritakan kembali tayangan yang sedang “in” bersama teman sekolah atau sepermainnya juga meningkatkan kecenderungan anak untuk menonton tayangan tersebut.

Pengaruh lingkungan sosial terhadap terpaan media televisi mengalahkan faktor pengaruh karakteristik individu itu sendiri misalnya waktu luang. Karena suatu tayangan sedang sering menjadi bahan perbincangan bersama teman sekolah atau sepermainnya, maka walaupun anak tersebut tidak memiliki waktu yang cukup untuk menonton,anak tersebut akan cenderung berusaha untuk menonton acara tersebut. Bahkan dalam Hidup (2008) dikatakan bahwa beberapa orang siswa sebuah sekolah bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi.

5.3 Belajar Kognitif pada Anak

Belajar kognitif adalah proses untuk mengetahui atau mengelolah dan menggunakan pengetahuan. Banyaknya materi acara yang dikuasai/ dipahami oleh anak yaitu jumlah keseluruhan materi yang diperoleh anak Sekolah Dasar dari satu acara/ program tertentu yang ditontonnya. Tambahan pengetahuan yang didapat yaitu peningkatan pengetahuan dari pengetahuan awal ke pengetahuan sekarang.

(12)

Belajar kognitif pada anak tergolong rendah terlihat pada rataan skor belajar kognitif yang hanya bernilai 29,61. Jika dilihat dari tingkat penguasaan materi/ pemahaman, penguasaan materi/pemahaman menonton pada anak tergolong rendah terlihat dari nilai skor penguasaan materi/pemahaman yang bernilai 32,67. Jika dilihat dari penambahan pengetahuan pada anak setelah memonton televisi juga tergolong rendah terlihat dari nilai skor penambahan pengetahuan yang hanya bernilai 26,56.

Rataan skor untuk penguasaan materi/pemahaman dan tambahan pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Rataan Skor Belajar Kognitif di SDN 04 Dramaga

Belajar kognitif Rataan Skor

Penguasaan materi/pemahaman 32,67

Penambahan 26,56

Total Rataan skor 29,61

Keterangan: 0,01 - 30,33 = rendah ; 33,34 - 66,66 = sedang ; 66,67 - 100 = tinggi

5.4. Hubungan Lingkungan Sosial, Faktor Psikologi dan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif

Hubungan lingkungan sosial dengan belajar kognitif, faktor psikologi dengan belajar kognitif dan terpaan media dengan belajar kognitif pada anak tersaji pada Tabel 9 berikut ini.

(13)

Tabel 9. Hubungan Lingkungan Sosial, Faktor Psikologi dan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif

Variabel Belajar Kognitif (Thitung SEM)

Lingkungan social -2,03*

• Keluarga -0,22

• Tetangga/ teman sepermainan -0,04

• Sekolah -0,45 Faktor Psikologi -0,24- Terpaan Media -2,10* • Frekuensi -0,15 • Durasi -0,54 • Pilihan pesan -3,52

Keterangan: *berhubungan signifikan pada p<0.05 (T-tabel= 1,96)

5.4.1 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif

Lingkungan sosial memiliki hubungan signifikan dengan belajar kognitif. Hal ini dibuktikan dengan nilai Thitung (2,03) yang lebih besar daripada Ttabel 0,05 (1, 96) sedangkan jika diliat dari koofesien korelasi terlihat bahwa terdapat hubungan negatif antara lingkungan sosial dan belajar kognitif.

5.4.1.1 Hubungan Keluarga dengan Belajar Kognitif

Tabel 10 memperlihatkan nilai korelasi antara keluarga dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,22. Hal ini menunjukan bahwa walaupun keluarga mendukung kegiatan belajar kognitif anak tidak selalu mau bersemangat mengikuti belajar kognitif. Rendahnya belajar kognitif pada anak tersebut dapat disebabkan karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung sehingga anak memiliki semangat yang rendah untuk belajar kognitif. Hal serupa disebutkan juga oleh Syah (2003) yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.

(14)

5.4.1.2 Hubungan Teman Sepermainan/ Tetangga dengan Belajar Kognitif

Tabel 10 memperlihatkan nilai korelasi antara teman/ tetangga dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,04. Dapat dikatakan bahwa dorongan dari teman atau tetangga untuk belajar tidak selalu memberikan dampak meningkatnya kegiatan belajar siswa terutama dalam hal kognitif. Rendahnya belajar kognitif pada anak tersebut dapat pula disebabkan karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung sehingga anak memiliki semangat yang rendah untuk belajar kognitif. Hal serupa disebutkan juga oleh Syah (2003) yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.

5.4.1.3 Hubungan Sekolah dengan Belajar Kognitif

Penelitian di SDN 4 Dramaga memperlihatkan nilai korelasi antara sekolah dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,45 sehingga dapat dikatakan semangat guru yang tinggi tidak menimbulkan semangat yang tinggi pula pada siswanya. Namun hal berbeda dinyatakan Syah (2003) yaitu bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Perbedaan ini terjadi karena adanya faktor lain yang mempengaruhi belajar kognitif pada anak seperti faktor kesehatan. Kondisi kesehatan yang tidak mendukung menyebabkan anak tidak memiliki semangat untuk belajar kognitif. Faktor kesehatan ini juga disebutkan dalam Syah (2003) yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.

Faktor lingkungan sosial yang paling mempengaruhi belajar kognitif adalah sekolah. Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai korelasi antara sekolah dan belajar kognitif adalah 0,45 lebih tinggi dari pada nilai korelasi antara keluarga dengan belajar kognitif (0,22) dan nilai korelasi antara tetangga/teman sepermainan dengan

(15)

belajar kognitif (0,04). Tingginya hubungan korelasi antara sekolah dengan belajar kognitif didukung oleh kebiasaan beberapa guru yang sering menghubungkan antara materi pelajaran/kehidupan sehari-hari dengan tayangan televisi yang sering di tonton oleh anak. Kebiasan menghubungkan antara materi pelajaran/ kehidupan sehari-hari dengan tayangan yang ditonton anak masih tergolong jarang dilakukan oleh orang tua apalagi oleh tetangga/teman sepermainan. Oleh karena itu korelasi antara keluarga dan tetangga/teman sepermainan dengan belajar kognitif tidak lebih kuat dibandingkan korelasi sekolah dengan belajar kognitif.

5.5. Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif

Pada kasus SDN 4 Dramga diperoleh data bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan belajar kognitif. Hal ini dibuktikan dengan nilai Thitung (0,24) yang lebih kecil daripada Ttabel 0,05 (1, 96). Hal ini bertentangan dengan pendapat Syah (2003) yang menyatakan bahwa sikap, bakat, minat dan motivasi mempengaruhi belajar kognitif. Syah (2003) juga menyatakan kan bahwa sikap positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut sedangkan bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Dalam perspektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.

Sikap positif terhadap pelajaran tidak selalu mempengaruhi mudahnya suatu pelajaran diterima oleh siswa. Siswa yang awalnya memiliki sikap negatif namun karena siswa tersebut berusaha untuk menyukai pelajaran tersebut dan terus belajar maka pelajaran tersebut akan tetap dapat diterima bahkan mendapatkan nilai yang baik. Sebaliknya siswa yang awalnya bersikap positif terhadap suatu pelajar tidak menjamin nilainya untuk pelajaran tersebut pasti baik. Sikap positif jika tidak didukung oleh belajar giat maka tidak menjamin prestasi siswa tersebut akan baik pula.

(16)

Begitu juga dengan bakat, umumnya siswa yang berbakat dibidang tertentu akan memperoleh prestasi di bidang tersebut. Namun jika siswa yang sebelumnya tidak berbakat tapi terus berlatih tidak menutup kemungkinan siswa tersebut juga dapat berprestasi bahkan melebihi siswa yang berbakat. Sebaliknya siswa yang berbakat namun bakatnya tersebut tidak terus diasah maka dapat saja prestasinya kalah tidak sebaik siswa yang tidak berbakat namun terus berusaha mengasah bakatnya. Jika diliat dari sisi motivasi, umumnya siswa yang memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki prestasi yang baik namun hal tersebut perlu juga didukung dengan kondisi kesehatan yang baik. Jadi walaupun motivasi belajar siswa tinggi namun jika tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang baik tidak akan menjamin prestasi yang baik pula. Kondisi kesehatan yang tidak mendukung menyebabkan anak tidak memiliki semangat untuk belajar kognitif. Faktor kesehatan ini juga disebutkan dalam Syah (2003) yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.

5.6 Hubungan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif

Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan belajar kognitif. Hal ini dibuktikan dengan nilai Thitung (2,10) yang lebih besar daripada Ttabel 0,05 (1, 96). Sedangkan nilai korelasi antara indikator (frekuensi, durasi dan pilihan pesan) dengan belajar kognitif adalah negatif yaitu -0,15 untuk frekuensi, -0,54 untuk durasi dan -3,52 untuk pilihan pesan. Dapat dikatakan bahwa jika terpaan media televisi tinggi maka belajar kognitif menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa umumnya anak pada usia SD menonton televisi hanya sekedar untuk mendapatkan hiburan semata dan menyampingkan pemenuhan kebutuhan kognitif seperti disebutkan oleh Testiandini (2006) yang menyatakan bahwa jika diliat dari sisi umur, semakin rendah umur responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif.

Siregar (2001) dalam Testiandini (2006), isi siaran televisi dibagi menjadi dua yaitu faktual dan fiksional. Isi berita faktual memiliki fungsi primer dari materi

(17)

faktual adalah sebagai media informalsional dan fungsi hiburan hanya bersifat sukender maka pada sosial (informasional) sedangkan pada isi beri fiksional fungsi primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur) dan fungsi informasional hanya bersifat sukender. Anak umur SD umumnya akan lebih memilih menonton suatu acara yang isinya yang bersifat fiksional daripada yang bersifat faktual. Sehingga dapat dikatakan bahwa isi pesan acara yang paling banyak mereka tangkap adalah pesan yang menghibur dan sedikit sekali pesan yang bersifat informatif.

Anak cenderung hanya menonton acara televisi yang menghibur seperti film kartun dan film anak lainnya. Jarang sekali anak yang suka menonton acara televisi yang bersifat informatif seperti berita. Hal ini sejalan dengan Hoffman (199) dalam Testiandini (2006) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi televisi adalah hiburan, fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton.

Diantara faktor-faktor diatas seperti lingkungan sosial, faktor psikologi dan terpaan media, faktor yang paling mempengaruhi belajar kognitif pada anak Sekolah dasar adalah terpaan media. Hal ini terlihat dari paling besarnya T-hitung terpaan media dibandingkan dengan lingkungan sosial dan faktor psikologi yaitu 2,10. Jika diliat perindikator maka pilihan pesanlah yang paling mempengaruhi perilaku belajar pada anak Sekolah Dasar dengan nilai korelasi -3,52. Angka ini lebih besar lebih besar dari dan nilai korelasi durasi dengan belajar kognitif yaitu -0,54 dan nilai korelasi frekuensi dengan belajar kognitif yang hanya -15. Tingginya nilai korelasi pilihan pesan didukung karena anak SD cenderung untuk memilih pesan televisi yang bersifat menghibur daripada yang bersifat informatif sehingga kurang mendukung belajar kognitif pada anak.

Besarnya T-hitung hubungan terpaan media dengan belajar kognitif daripada T-hitung hubungan faktor lain dengan belajar kognitif adalah karena televisi saat ini sangat sulit dipisahkan dari anak Sekolah Dasar. Menurut Hidup (2008) disebutkan bahwa seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi bahkan tak sedikit anak yang menonton televisi lima sampai enam jam perhari atau lebih pada hari-hari tertentu, seperti Sabtu dan Minggu.

(18)

Dengan kata lain waktu tersebut hampir menyaingin bahkan melebihi waktu yang anak habiskan di sekolah ataupun bersama teman sepermainannya. Hal ini pun terjadi pada responden peneletian ini umumnya responden menonton televisi lebih dari lima jam sehari. Waktu mereka menonton televisi adalah sehabis pulang sekolah sampai malam. Bahkan beberapa responden sering menonton beberapa program acara di televisi yang tayang pada pukul 22.00 WIB ke atas sehingga ini juga mengurangi waktu tidur anak dan menggangu kegiatan esok harinya seperti mengantuk di sekolah.

Thamrin (2008) bahkan menyatakan bahwa televisi telah menjadi kotak tandingan bagi sekolah berdasarkan perbandingan antara waktu menonton televisi dengan waktu belajar anak di sekolah. Berdasarkan data UNICEF 2007 para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Tingginya terpaan media televisi dibandingkan dengan waktu belajar juga terjadi pada anak SDN04 Dramaga, seperti disebutkan sebelumnya bahwa umunya anak SDN04 Dramaga menonton televisi hampir lebih dari 5 jam dalam sehari. Padahal seperti disebutkan juga oleh Thamrin (2008) anak-anak seharusnya hanya menonton televisi selama 1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus, dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang sekolah, dan satu jam lagi setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari. Hal ini diperparah dengan kecenderungan anak SD anak SD untuk memilih pesan televisi yang bersifat menghibur daripada yang bersifat informatif

Perilaku anak menonton televisi secara berlebihan seperti disebutkan sebelumnya juga menyita waktu anak khususnya untuk belajar, apalagi untuk anak umur SD yang umumnya menonton televisi hanya sebagai hiburan tanpa memperhatikan kebutuhan kognitif. Dengan kata lain tingginya terpaan televisi pada anak Sekolah Dasar telah menyebabkan penurunan tingkat belajar kognitif pada anak tersebut.

Gambar

Tabel 3. Rataan Skor Waktu Luang dan Uang Saku Responden di SDN 04  Dramaga
Tabel 4.Rataan Skor Pendapat Anak Mengenai Lingkungan Sosial di SDN 04 Dramaga
Tabel 6. Rataan Skor Terpaan Media di SDN 04 Dramaga
Tabel 7.  Hubungan Karakteristik Individu, Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media  Televisi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya progam kerja yang di buat dalam praktek mengajar bagi mahasiswa PPL sebelum memulai praktek mengajara di kelas terlebih dahulu mengadakan observasi di kelas, dan

Jawaban itu harus didasarkan pada kenyataan dan fakta-fakta yang muncul berdasarkan hasil studi pendahuluan kita, kemudian dari berbagai fakta tersebut dirumuskan keterkaitannya

Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,007 dan nilai C.R (2,678) yang lebih besar dari nilai standar 1,979 menunjukkan

Terkait dengan tujuan penulisan kitab hadis sekunder di masa depan, penulis merekomendasikan tiga hal kepada siapapun yang hendak menulis kitab hadis sekunder; yaitu (a)

Hasil analisis regresi menggunakan Fhitung = 8,847 &gt; Ftabel = 2,46 dengan tingkat signifikan adalah adalah 0,000 &lt; 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak atau Ha

Berdasarkan fenomenamrasio - rasiomkeuangan diatas yang masihmfluktuatif maka perlu adanya pengujian pengaruh dari ukuran perusahaan (SIZE), likuiditas (CR), dan struktur

perbedaan yang signifikan force jangkauan serang antara atlet UKM UPI dan atlet Kota Bandung cabang olahraga anggar jenis senjata floret, dan Tidak terdapat perbedaan yang

Semakin tinggi tingkat permintaan yang tidak tetap dan adanya perubahan permintaan yang cukup fluktuatif dari konsumen di tambah dengan banyaknya bahan baku yang diperlukan