• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1156

IMPLEMENTASI ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA YANG TELAH MEMILIKI KEKUATAN HUKUM TETAP YANG DIGUGAT KEMBALI DENGAN SENGKETA OBYEK YANG SAMA TETAPI DENGAN SUBYEK

YANG BERBEDA

Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*

Abstrak

Penulisan ini mengkaji tentang adanya suatu perkara yang dahulu telah terdapat putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, digugat kembali dengan subyek yang berbeda tetapi obyek yang sama. Hal ini dapat membuat rasa kepastian hukum para pencari keadilan menjadi terganggu dikarenakan tidak adanya kepastian hukum yang jelas, karena gugatan yang dahulu telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap jika digugat kembali bertentangan dengan asas nebis in idem.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat digugat kembali walaupun dengan subyek berbeda, mengingat ketentuan pada pasal 1917 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya subyek yang sama dan obyek yang sama yang dapat disebut sebagai nebis in idem lalu Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI tentang nebis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002 yang bertentangan dengan Pasal 1917 KUHPerdata, Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Nebis In Idem1 dan juga untuk mengetahui suatu putusan hakim terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) mengikat para hakim lainnya, mengingat yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang – undangan.

Kata kunci : Nebis In Idem, Yurisprudensi.

1. Pendahuluan

Mengajukan gugatan menjadi suatu cara untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan serta bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah pihak menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

* Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.,MH., Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh

Situbondo.

1

(2)

1157

Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan merupakan permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam gugatan selalu ada pihak pengugat, tergugat, atau turut tergugat, sengketa melalui pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of

Procedur).2

Ketentuan Hukum acara perdata pada dasarnya tidak membebani hak dan kewajiban, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil perdata yang ada atau melindungi hak perseorangan. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Sedangkan hukum materiil sebagaimana terjemahan dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, menjadi pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Tidak sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Diharapkan dengan adanya hukum acara perdata, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui Pengadilan dan tidak menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

Sehubungan dengan tahap pelaksanaan putusan tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang sama. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian dan ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Nebis In Idem. Nebis In Idem adalah sebuah perkara dengan obyek yang sama, para pihak yang sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung Nebis In Idem, harus dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard), namun jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk Nebis In Idem. Pasal 1917 KUHPerdata yang mengatakan hanya subyek dan obyek yang sama dapat disebut sebagai Nebis In Idem. Diperkuat juga oleh Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober 1975. Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar obyek gugatannya sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya tidak sama, tidak ada Nebis In Idem.3

3

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt-sultra.go.id/Download-

(3)

1158

2. Pengertian Sistem Hukum

Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem adalah suatu perangkat komponen yang berkaitan secara terpadu dan dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.4 Pendapat lain tentang sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait mengait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya.5 Sedangkan hukum didefinisikan sebagai suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum, suatu produk kesadaran hukum, yang terdiri atas suatu keseluruhan aturan hukum dan putusan hukum yang saling berkaitan.6 Sedangkan Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil unsur-unsur dalam sistem mencakup antara lain: Seperangkat komponen, elemen, bagian. Saling berkaitan dan tergantung. Kesatuan yang terintegrasi. Memiliki peranan dan tujuan tertentu. Interaksi antar sistem membentuk sistem lain yang lebih besar.7 Hukum sulit didefinisikan karena kompleks dan beragamnya sudut pandang yang akan dikaji. Van Apeldoorn mengatakan bahwa ”definisi hukum sangat sulit dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan”. Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli hukum terkemuka berikut ini8 : Mr. E.M. Meyers, Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya. Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya. Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.9 Simorangkir, dan Woerjono Sastropranoto, Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.10 Dari pengertian sistem dan hukum maka dapat diartikan bahwa : Sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu yang di patuhi dan di taati oleh setiap warganya.11

Dengan konsep sistem hukum tersirat bahwa tata hukum (legal Order) merupakan suatu kesatuan (unity) meskipun seringkali kompleks.12 Meuwissen, mengartikan sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya berbagai

4

http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistem-hukum-di-indonesia/ 5 http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum

6

Bruggink alih bahasa Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal 137 7 http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum 8 http://vjkeybot.wordpress.com/2011/12/03/sistem-hukum-indonesia 9 Ibid 10 Ibid 11 www.slideshare.net, Op.Cit. 12

Julius Stone, Legal system and Lawyers’ Reasoning, hlm 21, (Dikutip dari : Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem

(4)

1159

norma / kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis konsisten menjadi suatu kesatuan tertentu.13 Sedangkan menurut Bruggink, sistem hukum ialah aturan – aturan hukum dan putusan – putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dalam hubungan saling berkaitan.14 Bruggink menambahkan, hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi. Jika orang meletakkan titik berat pada aspek hukum ini, maka kita sudah berbicara tentang suatu sistem hukum.15 Dan ilmu hukum menurut Bruggink mempunyai tugas menata aturan – aturan hukum dan putusan – putusan hukum sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin menampilkan gambaran keseluruhan yang tertata dalam suatu ikhtisar (overzichtelijke gehelen).16 Jadi sistem hukum sebagai system of reasons pengadilan menurut hemat penulis harus dibaca dalam pengertian sebagaimana yang dikemukan oleh pound yaitu sebagai sebuah ideal tentang apa yang seharusnya meskipun bisa jadi bahwa apa yang seharusnya tersebut sebagian telah ditranformasikan ke dalam bentuk peraturan. Seperti diakui oleh pound, ideal memang memiliki peranan yang tidak bisa diremehkan dalam sejarah perkembangan hukum.17 Maka sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan saja namun peraturan-peraturan-peraturan-peraturan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang sah apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi, dan kebiasaan.18

3. Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia sebagai suatu sistem aturan yang berlaku di negara Indonesia adalah sistem aturan yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur – unsur hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling bertautan, saling mengaruh memengaruhi serta saling mengisi.19 Oleh karenanya membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan suatu organ yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain.20 Sistem hukum Indonesia saat ini masih menganut campuran antara hukum adat, hukum agama, serta sistem hukum eropa. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena sistem hukum Indonesia menganut sebagian besar hukum peninggalan Belanda. Indonesia yang notabene menjadi daerah atau wilayah "jajahan" Belanda selama berabad-abad tentunya tidak bisa lepas dari sistem hukum yang ditinggalkan Belanda.21 Sehingga sistem hukum Indonesia adalah campuran dari sistem hukum agama, hukum adat, dan hukum Eropa yang lebih tepatnya hukum Belanda.22 Menurut penulis sistem hukum Indonesia tersebut terbentuk tidak dengan sendirinya, melainkan hasil dari

13

Meuwissen, Teori Hukum, hlm 20 (dikutip dari : Ibid) 14

Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, hlm 139 (dikutip dari : Ibid) 15 Ibid, hlm 137

16 Ibid 17

Roscoe pound, Law Finding Through Experience And Reason, hlm 1-2 (dikutip : Ibid) 18

ngobrolinhukum.wordpress.com, Op. Cit

19 IIlhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010) hal 39 20 Ibid 21 http://rizroi.blogspot.com/2013/03/sistem-hukum-indonesia-sistem-hukum-di-indonesia-Menganut-Campuran-Sistem-Hukum-Dunia.html 22 Ibid

(5)

1160

perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dominan hukum peninggalan belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.23

Terdapat tiga pilar utama yang mendukung atau mempengaruhi pembentukan sistem hukum di Indonesia, yaitu24 :

1. Sistem hukum barat, ini merupakan warisan dari Belanda yang mana pada saat itu mereka menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sistem hukum yang diterapkan para koloni di Indonesia pada saat itu ialah Burgerlijk Wetboek (BW) yang mengatur hukum perdata di Indonesia dengan menyesuaikan daerah hukum negara Indonesia atau prinsip concordantie. Dan sistem BW tersebut masih diterapkan hingga saat ini di Indonesia karena sampai sekarang, Indonesia belum mampu untuk membuat hukum perdatanya sendiri.

2. Sistem hukum adat, sifat dari sistem hukum ini komunal. Dimana dalam sistem hukum ini terdapat hukum kebiasaan yang menjadi cermin kepribadian bangsa Indonesia serta campuran dari hukum islam. Hukum adat ini tidak tertulis di dalam perundang-undangan, hanya saja hukum adat ini bersifat mutlak di sebagian besar daerah Indonesia yang mayoritas masih menggunakannya. Hukuman yang berlaku dalam sistem hukum ini juga melalui musyawarah warga sekitar atau sudah ditentukan oleh para pendahulu.

3. Sistem hukum islam, sistem hukum ini sudah ada jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Dimana kedatangan agama islam di Indonesia disambut cukup baik oleh masyarakat yang merupakan agama yang berasal dari Arab. Kemudian terdapat kerajaan islam pertama di Indonesia yakni Samudera Pasai, dimana sejak berdirinya kerajaan islam tersebut, sistem hukum islam pun sudah diterapkan.

Menurut Titon Slamet Kurnia, sistem hukum Indonesia, dari perspektif ilmu hukum tidak memiliki keterkaitan dengan rezim kolonial, meskipun untuk mencegah kekosongan dalam tata peraturan sehingga peraturan perundang – undangan produk rezim kolonial tetap diberlakukan.25 Sistem hukum Indonesia sebagai suatu kaidah adalah sesuatu yang abstrak, sementara yang konkret ialah sumber – sumber hukum yang menjelaskan darimana sistem kaidah itu berasal.26

23

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

24 http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/ Sistem_Hukum_di_Indonesia.html 25

Titon Slamet Kurnia, Op. Cit, hlm 20 26

(6)

1161

4. Pengertian Sumber Hukum

Dalam bahasa Inggris, sumber hukum disebut source of law. Perkataan sumber hukum berbeda dengan dasar hukum, landasan hukum atau pun payung hukum. Dasar hukum adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal.27 Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian. Pertama, yang dapat dipahami sebagai source of law ada dua yaitu custom dan statute. Oleh karena itu source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statuary creation of law. Kedua, source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma, moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the source of law.28 Pengertian yang lain bahwa Sumber Hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.29

Menurut Soedikno ada beberapa arti sumber hukum30 : 1. Sebagai asas hukum.

2. Hukum terdahulu yang memberi bahan. 3. Dasar berlakunya.

4. Tempat mengetahui hukum. 5. Sebab yang menimbulkan hukum.

Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu: Keputusan otoritas yang

berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan.31

Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan. Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang macam, jenis, atau bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya. Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: Keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya,

maupun ekonomi.32 27 http://ratusanmakalah.wordpress.com/hukum-perdata/pengertian-sumber-hukum/ 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid 31 http://www.pustakasekolah.com/sumber-sumber-hukum.html 32 Ibid

(7)

1162

Sumber – sumber hukum juga dapat diartikan sebagai bahan – bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.33 Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian, dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filsufis, dan ilmu hukum, yang masing – masing disiplin mengartikan nya dari perspektifnya terhadap hukum dan melihat hukum dari sudut pandangnya masing – masing.34 Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah.35 Filsuf dan yuris sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai.36 Sumber hukum bisa berupa tulisan, dokumen, naskah, dan lain sebagainya yang kemudian dipergunakan oleh suatu bangsa atau negara untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa dan rakyatnya pada masa tertentu.37

5. Putusan Hakim dan Kekuatan Putusan Hakim

Putusan Hakim menurut Andi Hamzah adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.38 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.39 Bukan hanya yang di ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.40 Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak – pihak yang berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

HIR tidak mengatur secara rinci mengenai kekuatan putusan. Namun para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing. Di antaranya adalah ;

a) Soepomo dalam literaturnya menjelaskan 3 (tiga) kekuatan putusan, yakni41 :

1. Kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat (bindende kracht, binding force).

2. Kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk

33

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, Cet-4 2012) hlm 255 34 Ibid

35

P.Van et al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht. W.E.J. Tjeenk-Willinjk.1985 (dikutip dari : Ibid)

36 Ibid

37 http://www.anneahira.com/sumber-hukum-di-indonesia.htm 38

Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm 485 39

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 206 40

Ibid, hlm 175 41

(8)

1163

eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.

3. Kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power).

b) Sudikno Mertokusumo42, putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan: 1. Kekuatan Mengikat,

Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menentapkan hak itu.Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat kedua belah pihak.

Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberikan dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan,43 yaitu :

a. Teori Hukum Materiil

Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan yang lazimnya disebut ”gezag van gewijisde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan; menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini putusan dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber materiil. Disebut juga ajaran hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat hukum pada putusan. Mengingat bahwa putusan hanya mengikat para pihak dan tidak memberi wewenang untuk mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga dan saat ini ajaran ini telah ditinggalkan.

b. Teori Hukum Acara

Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata- mata hanyalah sumber wewenang prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa.

c. Teori Hukum Pembuktian 42

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 182 43

(9)

1164

Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang di tetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya.

d. Terikatnya para Pihak pada Putusan

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan negatif, yakni ;

1) Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada undang- undang Ps. 1917-1920 BW.

2) Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat hukum:Nebis in idem (ps.134 Rv). Kecuali didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan asas ”litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalam hukum acara kita putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif.

e. Kekuatan hukum yang pasti

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum khusus yakni request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pendapat para ahli hukum lain, ada yang berpandangan bahwa suatu putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat yang negatif kalau belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan sejak mempunyai kekuatan hukum yang pasti memperoleh kekuatan hukum yang positif, maka putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang dijatuhkan harus dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak harus menghormati dan mentaatinya.

2. Kekuatan Pembuktian

Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau

(10)

1165

pelaksanaannya. Putusan itu sendiri merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti.

3. Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu putusan memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di Indonesia yang menganut ”Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 4 ayat 1 Undang – undang No. 4 tahun 2004) dan semua putusan pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang berbunyi ”Demi Keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 435 Rv jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004)44

6. Upaya Hukum Terhadap Putusan

Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kehilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kehilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.45

Sifat dan berlakunya upaya hukum, bergantung pada apakah itu merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa46 :

a) Upaya hukum biasa, pada asasnya terbuka setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah :

1. Perlawanan (verstek),

Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Ps. 125 ayat 3 jo Ps. 129 HIR, Ps. 149 ayat 3 jo Ps. 153 Rbg.). Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding. 44 Ibid, hlm 184 45 Ibid, hlm 232 46 Ibid, hlm 233

(11)

1166 2. Banding,

Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan dalam dua tingkat itu disandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan pada tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.

3. Kasasi.

Terhadap putusan – putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan – pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan Banding dapat dimintakan Kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Kehakiman, Pasal 43 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Jadi apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat atau hak memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh Pengadilan Tinggi, permohonan pemeriksaan Kasasi tidak dapat diterima (Pasal 43 Undang- undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung).

Dalam meninjau alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan Kasasi, dipakai sebagai dasar Pasal 30 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yaitu karena :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang – undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

b) Upaya hukum istimewa, digunakan untuk putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum yang pasti dan sudah tidak dapat diubah serta tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Upaya hukum ini hanyalah dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam Undang-undang saja. Yang termasuk upaya hukum istimewa ialah

1. Peninjauan Kembali (request civil),

Diatur dalam Pasal 66 Undang-undang No. 4 tahun 2004 Kehakiman. Permohonan PK dapat diajukan secara tertulis maupun lisan oleh para pihak sendiri (ayat 1) kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan satu kali saja. 2. Perlawanan dari pihak ketiga (derdenverzet).

Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW). Akan tetapi apabila pihak

(12)

1167

ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (Pasal 378 Rv).

7. Tinjauan Umum Tentang Nebis Ins Idem

Nebis in idem adalah asas hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum perdata, asas ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Pengertian dari kamus hukum tentang nebis in idem adalah asas yang menyatakan bahwa tidak boleh satu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan.47 Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk nebis in idem. Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung nebis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar nebis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan nebis in idem. Sebuah perkara yang nebis in idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.48

Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana: 1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,

2. Telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seperti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, “antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikut sertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi”.

3. Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama49

47

Dzulkifli Umar & Utsman Handoyo, Op. Cit, hlm 279 48

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091011085032AAsqjgM 49

(13)

1168

Pengertian tentang asas nebis in idem terdapat pada ketentuan pasal 1917 Kitab Undang – undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula dimajukan oleh dan terhadap pihak – pihak yang sama didalam hubungan yang sama pula”. Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan objek yang sama pula.

Dalam perkembangan asas nebis in idem, kadang sering muncul perkara yang mirip dengan asas nebis in idem, yaitu pekara yang digugat kembali dengan objek yang sama tetapi subyek berbeda. Karena itu, agar tidak menjadi kesimpang siuran kaidah hukum yang tidak jelas, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI tentang nebis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002, dengan majelis hakim sebagai berikut :

1. H. Suharto, SH

2. H. Achmad Syamsudin, SH 3. H. A. Kadir Mappong, SH

Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Nebis In Idem50

Pada dasarnya asas nebis in idem dapat terlaksana dengan baik dan demi kepastian bagi pencari keadilan, maka sesuai dengan SEMA No. 3 TAhun 2002, Ketua MA telah meminta agar Pengadilan tingkat pertama untuk mempertimbangkan mengenai perkara serupa yang pernah diputus dimasa lalu, baik dalam eksepsi maupun dalam pokok perkara.51

Tetapi ada hal yang menarik berkaitan dengan yurisprudensi, yaitu pertentangan antara yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya tentang Nebis In Idem, Menurut kamus istilah hukum Foekema Andreal, Belanda-Indonesia :Nebis In Idem penunjukan yang berlaku untuk asas bahwa satu sengketa atau satu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diserahkan untuk diputuskan oleh Pengadilan. Tetapi Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Juli 1973 No.102 K/Sip/1972 apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak- pihak dalam perkara yang sudah diputus lebih dahulu, maka tidak ada Nebis In Idem. Dan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober 1975. Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar obyek gugatannya sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya tidak sama, tidak ada Nebis In Idem.52 Jika terjadi pertentangan antara yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya, maka menurut penulis, yurisprudensi yang terakhirlah yang digunakan sebagai pedoman sumber hukum bagi para hakim.

50

http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=18&lang=in&act=view&cat=AskExpert/105 51

Varia Peradilan, Hal. 161, bulan Pebruari 2011

52

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt-sultra.go.id/Download-document/52-Putusan-Perkara-Perdata-No.-25-Tahun

(14)

1169

Dalam hukum acara perdata juga, berlaku asas Nebis in Idem, dalam artian putusan dengan objek sengketa, subjek yang terlibat sengketa, dasar hukum yang sama dan telah mendapat kekuatan hukum tetap tidak dapat dipersengketakan ulang di pengadilan. Namun untuk beberapa kasus spesifik tertentu, keberlakuan asas Nebis in Idem yang mendasarkan diri pada asas kepastian hukum dapat disimpangi dengan asas keadilan dan kemanfaatan. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menutup diri untuk menguji materiil undang-undang atau pasal yang sama dengan yang dahulu pernah diuji-materiil-kan, dengan ketetuan pengajuan uji materiil memaparkan argumentasi dan dasar bernalar yang berbeda dari sebelumnya dengan suatu alasan yang memadai yang mampu menyimpangi kemutlakan asas Nebis in Idem.53 sedangkan menurut penulis, jika ditemukan suatu bukti baru yang kuat, maka nebis in idem pun bisa disimpangi.

8. Hakim dan Yurisprudensi

Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, sehingga tanpa hakim pengadilan tidak layak dikatakan sebagai lembaga peradilan. Bahkan dalam perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh keberadaan hakim dalam lembaga peradilan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu fungsi hakim yang sangat penting adalah mengembangkan yurisprudensi.

Dalam kepustakaan hukum anglo saxon perkataan yurisprudensi mengandung arti yang lebih luas dari perkataan yurisprudensi dalam hukum Eropa Kontinental. Di dalam kepustakaan anglo saxon, yurisprudensi selain bermakan hukum (dalam putusan) hakim, juga bermakna filsafat hukum dalam ilmu hukum. Sedangkan dalam kepustakaan Eropa kontinental dan dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang disebut yurisprudensi adalah kumpulan keputusan Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijaksanaan) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir sama. Beberapa literatur mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang selalu diikuti oleh hakim lain (sesudahnya) dalam hal memutus sesuatu perkara yang sifatnya sama.

Secara garis besar yurisprundensi (dilihat dari daya ikatnya) bagi hakim lain, dibagi menjadi dua, yaitu yurisprudensi yang bersifat tetap dan yurisprudensi tidak tetap.54

a. Yurisprundensi tetap, yurisprudensi dapat dikatakan yurisprudensi tetap, apabila keberadaannya selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Ini berarti, bentuk yurisprudensi ini sudah menjadi kaidah hukum. Contoh dari yurisprudensi tetap ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 47/kr/28 Maret 1957 yang

53

http://hery-shietra.blogspot.com/2013/04/nebis-in-idem-tidak-berlaku-mutlak.html 54

(15)

1170

menyatakan bahwa yang menjadi dasar keputusan oleh Pengadilan Negeri adalah surat dakwaan dan bukan surat tuduhan yang dibuat oleh polisi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

b. Yurisprudensi tidak tetap, putusan hakim dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tidak tetap, apabila tidak selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Sebagai catatan, seringkali putusan-putusan yang dimaksud dalam yurisprudensi tersebut di atas, baikyang bersifat tetap atau yang tidak tetap biasanya sangat tergantung dari hakim MA lebih menguntungkan. Kemungkinan seperti ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa masih banyak pihak yang untuk memperoleh keadilan hukum selalu berupaya sampai ke Mahkama Agung, sehingga putusannya dianggap solid.

Pengembangan yurisprudensi selain menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Dalam konteks tersebut, yurisprudensi sebagai sumber hukum atau inspirasi hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-perkara nyata yang dihadapi masyarakat. Selain itu yurisprudensi juga dapat dikategorikan sebagai fatwa hakim yang mempunyai integritas keilmuan yang tidak diragukan. Oleh karena itu, yurisprudensi merupakan hasil ijtihad seorang hakim sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Yurisprudensi dalam kategori ini, di antara cirinya ialah bersifat kasuistik, karena merupakan respon atau jawaban atas kasus yang diajukan oleh pencari keadilan. Kaitannya dengan pengembangan yurisprudensi, hakim mempunyai peranan yang penting dan strategis. Tentunya hakim dalam hal ini adalah hakim dalam lembaga peradilan secara fungsional. Dikatakan demikian karena hakim dalam melaksanakan tugas-tugasnya senantiasa berhadapan dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat tidak semua mempunyai ketentuan hukum secara normatif dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi adakalanya bahkan di antara kasus-kasus yang diajukan pada hakim banyak yang tidak mempunyai dasar hukum secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang. Terhadap kasus-kasus yang demikian inilah hakim mempunyai tanggung jawab dan dituntut untuk berijtihad sesuai dengan ilmunya. Ijtihad atau fatwa hakim dalam memberikan putusan terhadap suatu kasus yang tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang itulah yang kemudian disebut dengan istilah yurisprudensi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi hakim yang penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Oleh karena itu, yang paling penting bagi hakim dalam mengembangkan yurisprudensi adalah kemampuan hakim itu sendiri. Dalam artian bahwa hakim hendaknya mempunyai integritas keilmuan yang diandalkan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan yurisprudensi.

Ada beberapa alasan para hakim mengikuti keputusan hakim lain, dalam memutuskan perkara yang sifatnya sama. Alasan pertama adalah alasan psikologi, yang kedua adalah alasan bersifat praktis dan ketiga adalah persesuaian pendapat.55

a. Alasan psikologis 55

(16)

1171

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya. Dalam kenyataannya, keputusan hakim juga dapat dan mampu menyusun pendapat umum (Publik Opini) bahwa yang diputuskan adalah benar adanya. Sehingga semua pihak yang berkecimpung dalam masalah hukum tertentu yang sejenis dengan perkara yang serupa dengan perkara yang telah diputuskan oleh hakim tadi secara tidak langsung dirinya merasa terikat di dalamnya. Termasuk di dalamnya para hakim itu sendiri. Lebih-lebih, hakim yang secara organisasi berada dalam stuktur di bawah hakim yang memutuskan perkara tadi (misalnya putusan hakim Mahkamah Agung). Keputusan hakim Mahkamah Agung apabila tidak diikuti oleh hakim yang berada dalam tingkat yang lebih rendah, akan menimbulkan beban psikologis yang tidak menguntungkan bagi hakim yang bersangkutan. Meskipun tidak ada satu ketentuan pun yang mengharuskan agar ia harus selalu berpedoman pada keputusan hakim yang ada di atasnya. Dalam hal keputusan yang diputuskan oleh hakim Mahkamah Agung, hal yang demikian dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk pengawasan yang tidak langsung kepada para hakim yang berada di bawahnya.

b. Alasan praktis

Kesan yang akan timbul apabila seorang hakim yang memutus perkara yang jenisnya sama yang tidak sesuai dengan keputusan hakim yang diputuskan oleh hakim yang berada di atasnya adalah seakan-akan ia memutuskan tanpa mengindahkan norma-norma hukum yang ada. Alangkah janggalnya, apabila suatu putusan hakim yang lebih rendah secara administrasi akan bertentangan dengan keputusan hakim yang secara administrasi sementara jenis dan sifat dari jenis perkara tersebut adalah sama. Sebab, apabila seseorang terlibat dalam sebuah perkara tidak puas, maka tentunya ia akan mengajukan banding kepada Pengadilan yang lebih tinggi. Yang menyebabkan keputusan hakim terdahulu akan dibatalkan.

c. Persesuaian Pendapat

Persesuaian pendapat ini bukan hanya menyangkut bagi para hakim itu sendiri melainkan untuk rasa sekarang semua pihak (para praktisi dan akademis) telah menganggap bahwa apabila sebuah kasus ditangani tanpa berdasarkan yurisprudensi (keputusan hakim yang telah ada), akan menimbulkan reaksi yang tidak sedikit, ini berarti bahwa pada dasarnya semua pihak mengingkari adanya persesuaian pendapat tetang yurisprudensi sebagai sumber hukum.

Di samping beberapa alasan yang menyebabkan yurisprudensi itu diikuti oleh hakim yang lainnya, yurisprudensi dapat berperan untuk menciptakan standar hukum dan pembinaan landasan hukum yang sejenis.56

56

(17)

1172 a. Menciptakan standar hukum

Dengan adanya yurisprudensi ini diharapkan akan menciptakan standar hukum yang benar-benar mengandung unsur-unsur aktual, dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi pada sebuah Negara (peradilan) pada sebuah Negara.

b. Membina landasan hukum yang sama

Keseragaman hukum yang sama pada suatu yurisprudensi yang akan mampu menciptakan standar hukum yang sama, dengan sendirinya akan berperan dan berfungsi membina dan mewujudkan landasan hukum yang sama. Apabila terjadi persamaan-persamaan persepsi yang sama terhadap sebuah kasus yang sama, baik oleh praktisi dan akedemisi dan para pencari keadilan dan hakim yang telah menjadikan yurisprudensi sebagai landasannya, yang demikian itu akan sangat berpengaruh pada pembinaan hukum yang sama dalam hal mengadili dan memeriksa kasus yang sifat dan jenisnya berbeda. dengan adanya landasan hukum yang sama yang secara tidak langsung juga dibina bersama, keefektivitasan dalam menangani sebuah kasus akan tercapai. Ini merupakan salah satu bentuk pengisisan hukum oleh hakim.

9. Daya ikat yurisprudensi terhadap para Hakim, mengingat yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang – undangan.

Para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing, namun dapat diambil garis besar bahwa kekuatan putusan antara lain57 :

1. Kekuatan mengikat,

Sifat mengikat ini bertujuan untuk menetapkan suatu hak atau suatu hubungan hukum antara para pihak yang berperkara. Dalam hukum acara kita putusan mempunyai kekuatan mengikat baik dalam arti positif maupun negatif. Yakni dapat dijelaskan sebagai berikut :

i. Dalam arti positif, bahwa pada prinsipnya putusan pengadilan itu untuk menyelesaikan perselisihan antara mereka yang sebagaimana yang mereka kehendaki. Pihak-pihak tersebut harus tunduk dan patuh kepada putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Dan tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan putusan tesebut, karena putusan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berperkara (Pasal 1917-1920 BW).

ii. Sedangkan dalam arti negatif, bahwa kekuatan mengikat pada suatu putusan ialah hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan tersebut dapat mengakibatkan ”Nebis in Idem” (Pasal 134 RV). 2. Kekuatan pembuktian

Tujuannya adalah untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk eksekusi. Sehingga putusan harus dibuat secara tertulis, dan juga merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Sekalipun putusan tidak mempunyai kekuatan

57

(18)

1173

mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian terhadap putusan pidana, diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, namun tentang kekuatan pembuktian putusan perdata tidak ada ketentuannya. Menurut pasal 1916 ayat 2 Nomer 3 BW maka putusan hakim adalah persangkaan. Putusan hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar : apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habateur). Adapun kekuatan pembuktian putusan perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian putusan terdahulu.58

3. Kekuatan Eksekutorial.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power). Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).Terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dapat dilanjutkan pada tahap eksekusi. Menurut M. Yahya Harahap,eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemerikasaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang bersinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara Perdata.59

Aturan-aturan inilah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi. Namun dalam pelaksanaan nya tidak terlepas dari dari peraturan lain seperti yang terdapat pada asas-asas hukum, yurisprudensi maupun praktik peradilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam konkreto.60

Daya ikat yurisprudensi terhadap hakim sangat tinggi sekali, walaupun yurisprudensi berada diluar aturan perundang - undangan. Keduanya merupakan sumber hukum yang diakui. Berdasarkan pembentukannya sumber hukum61 :

a. Undang – undang

Menetapkan hukum secara in – abstracto, yang berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang. Pembentukan UU :

1. Alasan politis 2. Alasan praktis

3. Alasan cost benefit principles, Yang artinya menjangkau masa yang akan datang.

b. Yurisprudensi

Pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim:

58

Ida Iswojokusumo dalam Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 183

59

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 1 60

Ibid

61

(19)

1174

1. Pasal 14 UU no. 14 tahun 1970 jo UU no. 4 tahun 2004 jo UU no. 48 tahun 2009

2. Pasal 27 UU no. 14 tahun 1970 jo pasal 28 UU no. 4 tahun 2004 jo pasal 5 UU no. 48 tahun 2009.

Dari dasar hukum tadi, hakim memiliki kewenangan untuk membuat hukum dalam bentuk rechtvinding, dengan mendasarkan pada :

1. Pertimbangan filosofis 2. Pertimbangan yuridis

3. Pertimbangan social, psikologis, ekonomis, politis,

Dan berdasarkan daya berlakunya, yurisprudensi memiliki daya ikat concreto yaitu daya ikatnya hanya berlaku bagi yang berperkara saja Sedangkan Undang – undang memiliki daya ikat abstarcto yaitu tidak hanya yang berperkara saja tetapi berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang.

Para hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, Bahkan dalam perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh keberadaan hakim dalam lembaga peradilan. Maka fungsi hakim yang sangat penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Yurisprudensi sebagai sumber hukum atau inspirasi hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-perkara nyata yang dihadapi masyarakat.

Ada beberapa alasan para hakim mengikuti keputusan hakim lain, dalam memutuskan perkara yang sifatnya sama. Alasan pertama adalah alasan psikologi, yang kedua adalah alasan bersifat praktis dan ketiga adalah persesuaian pendapat.

a. Alasan psikologis

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya. Dalam kenyataannya, keputusan hakim juga dapat dan mampu menyusun pendapat umum (Publik Opini) bahwa yang diputuskan adalah benar adanya. Sehingga semua pihak yang berkecimpung dalam masalah hukum tertentu yang sejenis dengan perkara yang serupa dengan perkara yang telah diputuskan oleh hakim tadi secara tidak langsung dirinya merasa terikat di dalamnya. Termasuk di dalamnya para hakim itu sendiri. Lebih-lebih, hakim yang secara organisasi berada dalam stuktur di bawah hakim yang memutuskan perkara tadi.(misalnya putusan hakim Mahkamah Agung). Keputusan hakim Mahkamah Agung apabila tidak diikuti oleh hakim yang berada dalam tingkat yang lebih rendah, akan menimbulkan beban psikologis yang tidak menguntungkan bagi hakim yang bersangkutan. Meskipun tidak ada satu ketentuan pun yang mengharuskan agar ia harus selalu berpedoman pada keputusan hakim yang ada di atasnya. Dalam hal keputusan yang diputuskan oleh hakim Mahkamah Agung, hal yang demikian dapat ditafsirkan sebagai

(20)

1175

salah satu bentuk pengawasan yang tidak langsung kepada para hakim yang berada di bawahnya.

b. Alasan praktis

Kesan yang akan timbul apabila seorang hakim yang memutus perkara yang jenisnya sama yang tidak sesuai dengan keputusan hakim yang diputuskan oleh hakim yang berada di atasnya adalah seakan-akan ia memutuskan tanpa mengindahkan norma-norma hukum yang ada. Alangkah janggalnya, apabila suatu putusan hakim yang lebih rendah secara administrasi akan bertentangan dengan keputusan hakim yang secara administrasi sementara jenis dan sifat dari jenis perkara tersebut adalah sama. Sebab, apabila seseorang terlibat dalam sebuah perkara tidak puas, maka tentunya ia akan mengajukan banding kepada Pengadilan yang lebih tinggi. Yang menyebabkan keputusan hakim terdahulu akan dibatalkan.

c. Persesuaian Pendapat

Persesuaian pendapat ini bukan hanya menyangkut bagi para hakim itu sendiri melainkan untuk rasa sekarang semua pihak (para praktisi dan akademis) telah menganggap bahwa apabila sebuah kasus ditangani tanpa berdasarkan yurisprudensi (keputusan hakim yang telah ada), akan menimbulkan reaksi yang tidak sedikit, ini berarti bahwa pada dasarnya semua pihak mengingkari adanya persesuaian pendapat tetang yurisprudensi sebagai sumber hukum.

Di samping beberapa alasan yang menyebabkan yurisprudensi itu diikuti oleh hakim yang lainnya, yurisprudensi dapat berperan untuk menciptakan standar hukum dan pembinaan landasan hukum yang sejenis.

a. Menciptakan standar hukum

Dengan adanya yurisprudensi ini diharapkan akan menciptakan standar hukum yang benar-benar mengandung unsur-unsur aktual, dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi pada sebuah Negara (peradilan) pada sebuah Negara.

b. Membina landasan hukum yang sama

Keseragaman hukum yang sama pada suatu yurisprudensi yang akan mampu menciptakan standar hukum yang sama, dengan sendirinya akan berperan dan berfungsi membina dan mewujudkan landasan hukum yang sama. Apabila terjadi persamaan-persamaan persepsi yang sama terhadap sebuah kasus yang sama, baik oleh praktisi dan akedemisi dan para pencari keadilan dan hakim yang telah menjadikan yurisprudensi sebagai landasannya, yang demikian itu akan sangat berpengaruh pada pembinaan hukum yang sama dalam hal mengadili dan memeriksa kasus yang sifat dan jenisnya berbeda.dengan adanya landasan hukum yang sama yang secara tidak lagsung juga dibina bersama, keefektivitasan dalam menangani sebuah kasus akan tercapai. Ini merupakan salah satu bentuk pengisisan hukum oleh hakim.

(21)

1176

10. Penutup

Berdasarkan uraian mengenai Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang digugat kembali dengan sengketa obyek yang sama dan subyek yang berbeda, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hakim MA mengeluarkan yurisprudensi Nomor : 1226 K/Pdt/2001 walaupun subyek berbeda tetapi objek sama tetap dikatakan sebagai Nebis In Idem yang mana berbeda dengan Pasal 1917 KUHPerdata yang mengatakan hanya subyek dan obyek yang sama dapat disebut sebagai Nebis In Idem tidak saling bertentangan, justru adanya yurisprudensi tersebut semakin menutup celah hukum yang ada pada pasal 1917 KUHPerdata tentang apa yang disebut sebagai asas nebis in idem, dan juga semakin memperkuat kepastian hukum.

2. Bahwa daya ikat yurisprudensi terhadap para hakim sangat tinggi, walaupun yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang – undangan. Karena berdasarkan daya berlakunya, yurisprudensi memiliki daya ikat concreto yaitu daya ikatnya hanya berlaku bagi yang berperkara saja Sedangkan Undang – undang memiliki daya ikat abstarcto yaitu tidak hanya yang berperkara saja tetapi berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA 1. Literatur

Bruggink alih bahasa Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011

Ida Iswojokusumo dalam Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta : Liberty, 1998

Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, (mengutip dari Julius Stone, Legal system and Lawyers’ Reasoning)

IIlhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010 Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Liberty, 1986

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1998 Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita,

1993

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana, Cet-4 2012

(22)

1177 http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=18&lang=in&act=view&cat=AskExpert/ 105 http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt sultra.go.id/Download-document/52-Putusan-Perkara-Perdata-No.-25-Tahun 2011.html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en& ct=clnk http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistem-hukum-di-indonesia/ http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum http://vjkeybot.wordpress.com/2011/12/03/sistem-hukum-indonesia http://rizroi.blogspot.com/2013/03/sistem-hukum-indonesia-sistem-hukum-di-indonesia-Menganut-Campuran-Sistem-Hukum-Dunia.html http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/ Sistem_Hukum_di_Indonesia.html http://nizarlaw08.blogspot.com http://violetence.blogspot.com/2011/09/sumber-sumber-hukum-formal-dan-materiil.html http://hery-shietra.blogspot.com/2013/04/nebis-in-idem-tidak-berlaku-mutlak.html http://advokatku.blogspot.com/2008/01/nebis-in-idem.html 3. Media Cetak

Varia Peradilan, bulan Pebruari 2011 4. Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Kehakiman

Referensi

Dokumen terkait

Karena aliran metal yang kurang teratur pada kecepatan potong yang rendah dan bila daya adhesi atau afinitas antar material benda kerja dan material pahat cukup kuat maka akan

Dapat dilihat berat tongkol tanpa kelobot per plot jagung dengan pemberian mol keong mas dan ampas sagu tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan dan produksi tanaman

Indeks Williamson dengan angka diatas 0,4 menunjukkan bahwa Kabupaten Magelang masuk dalam wilayah dengan ketimpangan pendapatan yang tinggi, tingginya ketimpangan ini salah

Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).Eksekusi putusan

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menjawab rumusan masalah yang bertujuan untuk mengetahui „Motif penonton laki-laki di Surabaya dalam menonton program

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan atribut yang mendasari butir soal dan ketuntasan atribut yang dilakukan oleh peserta pada kategori isi, proses, dan keterampilan ujian

Pondasi Biokimiawi Tubuh Manusia (Atom, ikatan kimia dan komponen organik). Struktur dan Fungsi Karbohidrat dan

Kegiatan penyediaan ruang terbuka hijau itu sendiri yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembuatan taman kota atau hutan kota baru di Kota Tegal..