• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

2.1.1 Definisi

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta biasanya menyala. Proses pembakaran ini menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar hutan seperti: serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon besar untuk tingkat terbatas. Proses kebakaran merupakan proses perombakan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) menjadi karbondioksida

(CO2) dan uap air (H2O)

Suatu kebakaran hutan dapat digambarkan sebagai segitiga api (Gambar 1). menjelaskan proses kebakaran akan terjadi apabila terdapat tiga unsur yang saling mendukung yaitu bahan bakar, sumber panas (api) dan oksigen. Brown dan Davis (1973) menggambarkan suatu kebakaran hutan sebagai segitiga api yang disusun oleh ketiga unsur tersebut yaitu bahan bakar, sumber panas (api) dan oksigen.

Oksigen (O2) Sumber panas

Bahan Bakar

Gambar 1 Segitiga api (Brown dan Davis 1973)

2.2 Titik Panas (Hotspot)

Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas (Anderson et al. 1999 dalam Heryalianto 2006). Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang

(2)

telah ditentukan oleh data digital satelit. Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) adalah metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Hotspot adalah titik panas yang dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit.

Salah satu perangkat yang digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satelitte, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Menurut Davis et al. (2009) titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). Lintasan orbit satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada pagi hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada siang hari menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002 (FIRMS 2012). Satelit Terra melintasi Provinsi Riau pada jam 15.00−16.00 setiap hari, sementara satelit Aqua melintasi Provinsi Riau pada jam 18.00−19.00.

MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 330 K untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (FIRMS 2012).

2.3 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan

Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah (Sukmawati 2006). Menurut Triani (1995) faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luas areal terbakar adalah musim kemarau yang terlalu panjang.

(3)

Sebagian besar hujan terjadi akibat penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara suatu tempat dengan tempat yang lain. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.

Menurut Bruce dan Clark (1997) dalam Ambarwati (2008) curah hujan merupakan adalah salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia. Curah hujan memiliki keragaman yang besar menurut ruang dan waktu. Keragaman ruang curah hujan menurut ruang dan waktu sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Aldrian dan Susanto (2003) membagi pola iklim di Indonesia menjadi tiga yaitu zona A (selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia baratdaya, Sumatra bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut), dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi) (Gambar 2).

Gambar 2 Pembagian wilayah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari (DJF) dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September (JAS). Hal ini mengilustrasikan dua rezim monson: monson basah dari November hingga Maret (NDJFM) dan monson kering dari Mei hingga September (MJJAS). Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember (OND) dan juga pada bulan

Lint

ang

(4)

Maret/April/Mei (MAM). Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli (Gambar 3) (Aldrian dan Susanto 2003).

(a) (b) (c)

Gambar 3 Grafik Curah hujan pada 3 zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003): (a) zona A, (b) zona B, (c) zona C

Tjasyono (2004) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi tiga iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun yaitu:

1) Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan), musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kemarau pada bulan Juni−Juli−Agustus (JJA).

2) Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober.

3) Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun ( Gambar 4).

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar (Syaufina 2008). Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan

(5)

yaitu iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan (Syaufina 2008).

Gambar 4 Pola penyebaran curah hujan di Indonesia (Tjasyono 2004)

Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang bahkan tidak ada sama sekali sebaliknya pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan maka jumlah hotspot akan meningkat (Syaufina 2008). Semakin tinggi curah hujan maka kelembaban bahan bakar akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya jika curah hujan sedikit maka tingkat kelembaban bahan bakar menjadi rendah. Semakin rendah kelembaban bahan akan memudahkan dalam terjadinya proses pembakaran (Septicorini 2006). Menurut Suratmo (1985) dalam Handayani (2005) menyatakan bahwa cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peranan dari hujan. Rastioningrum (2004) yang menunjukkan bahwa bahan bakar dengan kadar air sebesar 30%, 20% dan 10% dapat terbakar lebih baik dari 50%. Pada kadar air 10% bahan bakar daun dapat terbakar 100%. Menurut Mackinno et al. (1997) bulan basah ditandai dengan curah hujan >200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan <100 mm/bulan.

(6)

2.4 SST dan Anomali SST

Suhu permukaan laut (SST) adalah suhu air dekat dengan permukaan laut. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat bergantung pada jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Daerah-daerah yang menerima sinar matahari terbanyak adalah daerah yang berada pada lintang 0o oleh karena itu suhu air laut tertinggi adalah di equator (Weyl 1970 dalam Pardede 2001). Suhu permukaan air laut biasanya berkisar 27oC−29oC di daerah tropis dan 15oC−20oC di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur menurut kedalaman. Suhu air laut relatif konstan antara 2oC−4oC di kedalaman lebih dari 1000 m (King 1963 dalam Pardede 2001).

Perubahan SST terjadi pada siang hari, seperti udara di atasnya, tetapi untuk tingkat yang lebih rendah karena panas yang lebih tinggi. Suhu air di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28oC−38oC. Di lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai 25oC, ini disebabkan karena air yang dingin di lapisan bawah terangkat ke atas permukaan (Pardede 2001). SST dekat pinggiran suatu daratan, angin lepas pantai menyebabkan naiknya massa air di bawah permukaan air laut ke permukaan air laut, yang dapat menyebabkan pendinginan yang signifikan, namun di perairan dangkal atas sering hangat. Angin darat dapat menyebabkan pemanasan yang cukup besar bahkan di daerah yang peningkatannya cukup konstan, seperti pantai barat laut Amerika Selatan. Nilai-nilainya yang penting dalam memprediksi cuaca SST sebagai pengaruh atmosfer atas, seperti dalam pembentukan angin laut. Hal ini juga digunakan untuk mengkalibrasi pengukuran dari satelit cuaca (Anonim 2011).

Suhu muka laut di perairan Indonesia dapat digunakan sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin maka uap air di atmosfer menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas maka uap air di atmosfer banyak. Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia (kecuali sebelah barat Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam) mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26°C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31,5°C pada bulan Februari–

(7)

Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu berkisar 29,0°C hingga 31,5°C dan waktu terjadinya minimum dan maksimumnya tidak sama di setiap perairan (BMG 2010). Anomali suhu permukaan laut (SST) diukur dari perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox 2000; Nicholls dan Beard 2000 dalam Irawan 2005).

Nilai positif pada anomali SST mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia lebih dingin. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hujan di wilayah Indonesia (Gutman et al. 2000). Sebaliknya nilai negatif mengindikasikan bahwa SST Pasifik Equator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah dari rata-ratanya yang berimplikasi bahwa laut Indonesia menjadi lebih panas.

Data anomali SST yang digunakan untuk memprediksi curah hujan yaitu Nino 3.4. Menurut Boer et al. (1999) dalam Ambarwati (2008) anomali SST di wilayah Nino 3.4 (5oLU−5oLS dan 160oBT−150oBB) memiliki hubungan yang kuat terhadap anomali curah hujan bulanan dibandingkan dengan anomali SST di zona Nino 1 (5−10o

LS dan 80o−90oBB), Nino 2 (5−10oLS dan 80o−90oBB), Nino 3 (5oLU−5oLS dan 90o−150oBB), Nino 4 (5oLU−5oLS dan 150oBB−260oBT). Hal ini diperkuat oleh Ambarwati (2008) yang menyatakan bahwa anomali SST yang mempunyai pengaruh nyata terhadap wilayah Indonesia adalah Nino 3.4.

Menurut Philander (1992) dalam Swarinoto (2009) nilai anomali SST Indonesia dan anomali SST Nino 3.4 dihitung berdasarkan hasil pengurangan antara nilai SST aktual dengan nilai SST rerata tempat bersangkutan. Jika anomali SST bernilai positif maka nilai aktual SST berharga lebih tinggi daripada rerata SST tempat yang bersangkutan. Sebaliknya jika anomali SST bernilai negatif maka nilai aktual SST berharga lebih rendah daripada rerata SST tempat yang bersangkutan.

2.5 El-Nino dan La-Nina

El-Nino adalah sebuah fenomena alam yang diketahui oleh nelayan Peru sebagai arus balik di sepanjang pesisir perairan dari Equador sampai ke Peru (Irmudyawati 2000). Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya subur

(8)

dan kaya akan ikan (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrient dari dasar) menjadi sebaliknya. Pemberian nama El-Nino pada fenomena ini disebabkan oleh karena kejadian ini sering kali terjadi pada bulan Desember. El-Nino (bahasa Spanyol) sendiri dapat diartikan sebagai “anak lelaki”. Di kemudian hari para ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut, terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La-Nina (juga bahasa Spanyol) yang berarti “anak perempuan. Fenomena ini memiliki periode 2 sampai dengan 7 tahun (As-Syakur 2007).

El-Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik Tengah dan Timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Pada bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dari normal (As-Syakur 2007).

Menurut Trenberth (1987) dalam Putra EI, Hayasaka H (2011) El-Nino dapat terjadi pada daerah dengan nilai SST anomali lebih besar dari +0,50C selama sedikitnya enam bulan berturut-turut. Fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan pada saat musim hujan, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat (Irianto 2003). Gejala munculnya El-Nino biasanya dicirikan dengan meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox 2000; Nicholls dan Beard 2000 dalam Irawan 2005).

La-Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan suhu permukaan laut Samudra Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Akibat dari La-Nina adalah hujan turun lebih banyak di Samudra Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia sehingga terjadi hujan lebat dan banjir besar di Indonesia. Pada saat Fenomena La-Nina jumlah curah hujan meningkat sekitar 50 mm dari curah hujan

(9)

rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari, dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata (Effendy 2001). Peristiwa El-Nino dan La-Nina merupakan suatu proses timbal balik antara laut dan atmosfir maka banyak unsur-unsur baik pada atmosfir maupun di laut yang menunjukkan perubahan antara lain adalah suhu permukaan laut, arus, suhu, salinitas dan densistas air laut (Irmudyanti 2000).

Gambar

Gambar 3  Grafik Curah  hujan pada 3 zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto  2003): (a) zona A, (b) zona B, (c) zona C
Gambar 4  Pola penyebaran curah hujan di Indonesia (Tjasyono 2004)

Referensi

Dokumen terkait

 korosi sumuran pada bagian yang tidak tertutup oleh oksida aluminium  bocor Untuk tube SS 316L. defleksi + tegangan akibat tekanan

Pada pasien yang mengalami kehilangan gigi, dapat dilakukan perawatan restoratif untuk menggantikan gigi yang hilang dengan gigi tiruan Salah satu bahan yang saat ini mulai

Perusahaan harus selektif dalam mengeluarkan modal untuk investasi pada aset tetap sebab investasi jangka panjang membutuhkan dana yang relatif besar dan keterikatan dana

Indikator pengaruh yaitu konsumsi normatif, persentase penduduk dibawah garis kemiskinan, persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih, dan persentase padi

pengambilan sampel dilakukan hanya satu periode, yaitu pada waktu surut. Lokasi penelitian dibagi atas 3 stasiun pengamatan, stasiun I dengan ciri-ciri mangrove yang tumbuh

Tendangan merupakan salah satu jenis serangan dengan menggunakan tungkai atau kaki didalam olahraga beladiri pencak silat, yang bertujuan untuk meraih point dan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu citra spekel tetesan air dapat dihasilkan menggunakan metode LSI, nilai intensitas