• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan

Pengertian perjanjian untuk melakukan pemborongan pekerjaan dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata Bab VIIA pada bagian ke Satu, mengenai Ketentuan-Ketentuan Umum. Dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan :“Pemborongan pekerjaan adalah pejanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”25

Beberapa sarjana memberikan definisi dari perjanjian pemborongan, antara lain : Menurut FX. Djumaialdji, pengertian perjanjian pemborongan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan. Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seseorang yang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain tersebut serta adanya suatu pembayaran uang tertentu sebagai harga pemborongan.26Perjanjian perburuhan adalah perjanjian antara seorang „buruh‟ dengan seorang „majikan‟, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang

25

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Penerbit Kencana, Jakarta, 2004, hal 30.

26

(2)

diperjanjikan dan adanya suatu „hubungan diperatas‟ yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.27

Saat ini jasa pemborongan atau jasa konstruksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Yang dimaksud dengan Jasa Konstruksi dalam undang-undang ini adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.28 Sedangkan pengertian Jasa Pemborongan dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menyebutkan bahwa Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna jasa.29

Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam Undang-undang. Sebagai dasar

27

R. Subekti, Op.Cit, hal 58

28

Nazarkhan Yasin. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 18

29

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta, hal 76

(3)

perjanjian pemborongan bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir (b) yang berbunyi: “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.30

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”31

Menurut Subekti, perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua macam yaitu a. dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut, dan b. dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja.32

Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan. Kontrak kerja bangunan dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu:33

1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas.

30

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Alumni Bandung. 1994, hal 17

31

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op.Cit, Pasal 1601 huruf b.

32

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Alumni Bandung, 1995, hal 65

33

(4)

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan.

Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata.34

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu sama- sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan danperjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.35

Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian.36

34

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 8

35

Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982, hal 52

36

(5)

Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak. Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi: kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.37

Di dalam KUH Perdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dengan mana yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.38

Subekti berpendapat bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seorang lain (pihak yang memborongkan pekerjaan) dimana pihak yang satu menghendaki suatu pekerjan yang disanggupi oleh pihak lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang

37

FX Djumaialdji, Op.Cit, hal 26

38

(6)

ditentukan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan didalam KUH Perdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah maupun swasta. Perjanjian pemborongan pada KUH Perdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para pihak dalam perjanjian pemborongan membuat sendiri ketentuan dalam perjanjian pemborongan maka ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata dapat melengkapi apabila ada kekurangannya.39

Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan.

39

(7)

B. Bentuk Perjanjian Pemborongan

Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris). Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus dalam proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja an surat perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan.40

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak lain.41

Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan

40

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal 15

41

(8)

menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris).42

Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus dalam proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja dan surat perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikenal adanya 3 (tiga) bentuk perjanjian pemborongan yaitu:43

1. untuk pengadaan dengan nilai di bawah Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bentuk kontrak cukup dengan kuitansi pembayaran dengan materai secukupnya.

2. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa surat perintah kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan.

3. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ) dengan jaminan pelaksanaan.

Pada umumnya, bantuk perjanjian yang dibuat oleh pihak pengguna jasa dan penyedia jasa dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan adalah berbentuk tertulis. Bentuk perjanjian ini dibuat dalam akta di bawah tangan. Karena yang

42

Ibid, hal 16

43

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta

(9)

membuat perjanjian itu hanya para pihak. Biasanya pihak pengguna jasa telah menyiapkan substansi perjanjian secara sepihak, sedangkan pihak penyedia jasa tinggal mempelajari substansi perjanjian tersebut. Apabila penyedia jasa menyetujuinya maka ia menandatangani perjanjian tersebut. Pada dasarnya, perjanjian kerja pemborong ini dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam perjanjian pemborongan, yang terdiri dari perjanjian kerja pemborong untuk pekerjaan perencanaan, pekerjaan pelaksanaan pemborong dan perjanjian kerja pemborong untuk pekerjaan pengawasan. Namun, tidak tertutup kemungkinan pekerjaan dilakukan secara integrasi antara perjanjian kerja untuk perencanaan, pekerjaan pelaksanaan dan pengawasan.44

Menurut cara penentuan harganya, perjanjian pelaksanaan pemborongan itu dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu

1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.

2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.

3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit.

4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost

plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan

jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.45

C. Macam dan Jenis Perjanjian Pemborongan

Di dalam KUH Perdata dikenal adanya dua macam perjanjian pemborongan yaitu :46

44

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 111

45

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal. 59.

46

(10)

1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja. 2. Perjanjian pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga

menyediakan bahan-bahannya.

Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal tanggungjawabnya si pemborong atas hasilnya pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut. Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya.47 Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikul pada pundaknya pihak yang memborongkan ini. Subekti Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian itu, hal mana harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, maka si pemborong dapat dipertanggungjawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. Kemudian dalam halnya si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja. Dalam Pasal 1607 KUH Perdata dikatakan bahwa jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan

47

(11)

menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.48

Perjanjian pemborongan pekerjaan dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan

memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut. Dalam hal si pemborong diwajibkan memberikan bahannya dan kemudian pekerjaannya itu dengan cara bagaimanapun musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUH Perdata). Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahanbahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang memborongkan ini. Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadia itu, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, dengan demikian si pemborong dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya itu mengakibatkan bahanbahan tersebut musnah.

2. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Dalam hal si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, di dalam Pasal 1607 Kitab Undang-Undang Hukum

48

(12)

Perdata disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan pekerjaan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang atau pekerjaan itu disebabkan oleh suatu cacad dalam bahannya.

Sedangkan menurut cara terjadinya, ada tiga jenis perjanjian pemborongan, yaitu49

1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.

2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.

3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit.

4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost

plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan

jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.

Kontrak pengadaan barang dapat dibedakan berdasarkan bentuk imbalan, jangka waktu dan jumlah penggunaan barang (Pasal 30 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003). Ketiga pembagian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kontrak Berdasarkan Imbalan

Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan bentuk imbalannya, merupakan kontrak yang dibuat berdasarkan atas imbalan atau biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak pengadaan barang berdasarkan imbalannya dibagi menjadi 5 (lima) macam, yaitu :

49

(13)

a. Kontrak Lump Sum, adalah :

Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap dan semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya di tanggung oleh penyedia barang/jasa

b. Kontrak Harga Satuan, adalah :

Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiran sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang.

c. Kontrak Gabungan Lump dan Harga Satuan, adalah :

Kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.

d. Kontrak Terima Jadi, adalah :

Kontrak pengadaan barang pemborongan, atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.

e. Kontrak Presentase, adalah :

Kontrak pelaksanaan jasa konsultasi dibidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, di mana konsultan yang bersangkutan menerima

(14)

imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.

2. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jangka Waktu

Pelaksanaan Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan jangka waktu pelaksanaan, merupakan kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, di mana dalam kontrak itu ditentukan lamanya kontrak pengadaan dilaksanakan. Kontrak ini dibagi menjadi :

a. Kontrak Tahun Tunggal, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa satu tahun anggaran.

b. Kontrak Tahun Jamak, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan :

1) Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN

2) Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi Bupati atau Walikota untuk pengadaan barang yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.

3. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jumlah Penggunaan Barang/Jasa Kontrak pengadaan barang/jasa ini, merupakan kontrak pengadaan barang/jasa didasarkan pada jumlah lembaga atau institusi yang menggunakan barang tertentu. Kontrak pengadaan barang/jasa ini dibagi menjadi :

a) Kontrak Pengadaan Tunggal, adalah : Kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyediaan barang tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.

(15)

b) Kontrak Pengadaan Bersama, adalah : Kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyediaan barang tertentu, untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.50

D. Hak dan Kewajiban para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan

Hukum perjanjian yang sifatnya timbal balik dimana hak pada satu pihak merupakan kewajiban pihak lain dan sebaliknya. Hak dan kewajiban para pihak adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa dalam melaksanakan kontrak.

Ada pun hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan menurut Pasal 32 ayat (1) – ayat (5) KEPPRES Nomor 80 Tahun 2003 adalah :

1. Setelah penandatangan kontrak pengguna barang/jasa segera melakukan pemeriksaan lapangan bersama-sama dengan penyedia barang/jasa dan membuat berita acara keadaan lapangan/serah terima lapangan;

2. Penyedia barang/jasa dapat menerima uang muka dari pengguna barang/jasa; 3. Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan seluruh pekerjaan utama dengan

mensubkontrakan kepada pihak lain;

4. Penyedia barang/Jasa dilarang mengalihkan tanggungjawab sebagian pekerjaan utama dengan mengsubkontrakan kepada pihak lain dengan cara

50

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT. RajaGrafindo, Edisi I, Jakarta, 2006, hlm. 267-268

(16)

dan alas an apapun kecuali disubkontrakan kepad penyedia barang/jasa spesialis;

5. Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.

Dalam Lampiran I KEPPRES Nomor 80 Tahun 2003 disebutkan bahwa hak dan kewajiban pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban pihak pengguna barang/jasa

1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa;

2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak penyedia barang/jasa;

3) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga kontrak yang telah ditetapkan kepada pihak penyedia barang/jasa;

4) Memberikan fasilitas berupa sarana dan pra sarana yang dibutuhkan oleh pihak penyedia barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak.

b. Hak dan Kewajiban pihak penyedia barang/jasa

1) Menerima pembayaran untuk pelaksaan pekerjaan sesuai denga harga yang telah ditentukan dalam kontrak;

2) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan pra sarana dari pihak pengguna barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan kontrak;

(17)

3) Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodic kepada pihak penguna barang/jasa;

4) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan yang telah ditentukan dalam kontrak;

5) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan pelaksanaan yang dilakukan oleh\ pihak pengguna barang/jasa;

6) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

7) Kontraktor harus mengambil langkah-langkah yang cukup memadai untuk melindungi lingkungan di dalam maupun di luar tempat kerja dan membatasi perusakan dan pengaruh/gangguan kepada masyarakat maupun miliknya, sebagai akibat polusi, kebisingan dan kerusakan lain sebagai akibat kegiatan kontraktor.

E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seorang:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat

(18)

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.51 Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji.52

Dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu perjanjian perlu dijaga prinsip umum berlakunya hukum perjanjian. Dengan demikian antara hak dan kewajiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan kewajiban tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak, maka terjadi konflik kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi. Apabila terjadi ingkar janji atau wanprestasi diperlukan instrumen hukum perjanjian untuk menyelesaiannya bahkan penyelesaiannya memerlukan putusan hakim.53 Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.54

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.55 Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian. R. Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (Debitur) tidak melakukan apa

51

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan Ketuju, Penerbit Kencana, Jakarta 2014, hlm 41

52

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 53

53

Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Cetakan Kedua, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2012, hlm 50-77

54

J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 3

55

(19)

yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.” 56

Pengertian umum mengenai wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si Debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”.57 Wanprestasi sebagai “ketiadaan suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam Hukum Perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.58

Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.59

56

Ibid

57

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta 2009, hal 40

58

Wirjono Prodjodiko, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal 38

59

(20)

Prestasi atau yang dalam Bahasa Ingris disebut juga dengan istilah

“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan

hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengingatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach

of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban

sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.60

Ketentuan lain dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik”. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan, bahwa perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak adalah mengikat untuk pihak-pihak yang melakukan perjanjian pemborongan dan akan membawa akibat hukum bagi keduanya. Menegaskan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini telah memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian, para pihak dapat menciptakan sendiri

60

Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 87-88

(21)

bentuk dari perjanjian asalkan perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian, supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa adanya pelaksanaan dalam suatu perjanjian, yaitu :

1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1234 KUH Perdata).

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241 KUH Perdata). 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUH Perdata).

Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian tidak dapat kembali selain dengan kata sepakat diantara para pihak atau kerena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pekerjaan tersebut.

Dalam pelaksanaan pekerjaan kemungkinan timbul wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikian, berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian kerugian atau pemenuhan. Pada umumnya wanprestasi baru terjadi apabila salah satu pihak dinyatalan telah lalai

(22)

untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada bila salah satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka salah satu pihak dipandang perlu untuk memperingatkan atau menegur agar segera memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie.

Pada dasarnya, tidak semua kerugian yang dimintakan penggantian. Undang-Undang menentukan, bahwa kerugian yang harus dibayar sebagai akibat dari wanprestasi, adalah sebagai berikut :

1. Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut Pasal 1247 KUH Perdata, bahwa debitur harus diwajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.

2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi. Menurut Pasal 1248 KUH Perdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam, yaitu : 1. Tidak melaksanakkan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlamat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.61

61

(23)

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:62 a. Perikatan tetap ada.

Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.

Akibat Hukum Pada Perjanjian Pekerjaan Pemborongan Bagi Para Pihak: 1. Early Warning System Dalam Kontrak Konstruksi

Bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa di katakan, sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally Concluded Contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana diketahui, untuk setiap kontrak

62

Romadijawis, Ketentuan-Ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Kontrak Bisnis (Perjanjian), melalui https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/. Diakses tanggal 21 Februari 2016

(24)

bahwa kontrak dapat saja tidak terlaksana/tidak dilaksanakan dengan semestinya seringkali terjadi. Ketidakterlaksanakan kontrak tersebut mempunyai graduasi yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut :

a. Tidak terlaksana pada tingkat yang sangat ringan, sehingga tidak perlu diperbaiki sama sekali oleh pihak kontraktor.

b. Tidak terlaksana ringan, sehingga perlu diperbaiki pada saat serah terima atau pada masa perawatan oleh pihak kontraktor.

c. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu diperbaiki pada saat sedang berlangsungnya pembangunan tanpa harus mengubah kontrak. d. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu perbaikan pada saat

sedang berlangsungnya pembangunan dengan dilakukannya penyesuaian/perubahan penbangunan dengan dilakukannya penyesuaian/perubahan kontrak.

e. Tidak terlaksana yang berat, sehingga pelaksanaan kontrak harus ditunda. f. Tidak terlaksana yang sangat berat, sehingga kontrak boleh diputus

(terminasi) oleh salah satu pihak.63

Merupakan tindakan yang sangat baik, jika ketidakterlaksanaan kontrak dapat dideteksi sejak dini, sehingga masih mudah untuk diperbaiki atau dapat dengan segera diperbaiki. Untuk itu, perlu secepatnya dianalisis gejala-gejala ketidakberesan dalam pelaksanaan proses pembangunan proyek tersebut, sehingga perlu segera dibicarakan dengan pihak kontraktornya. Early

warning system dari ketidakberesan pelaksanaan pekerjaan proyek dapat

dideteksi dengan dua cara sebagai berikut : Dengan mengamati bangunan secara fisiknya, sehingga jika ada penyimpangan atau ketidakberesan dapat segera diobservasi. Dengan mengamati dokumen yang ada, sebab banyak dokumen yang dibuat dalam proses pelaksanaan suatu pekerjaan proyek tersebut.

2. Ketidakterlaksanaan Kontrak Konstruksi

63

(25)

Adapun macam-macam ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi sebagai suatu rencana manusia, tentunya tidak semua dari rencana tersebut kesampaian apa adanya seperti yang direncanakan. Demikian juga dengan Rencana Pembangunan suatu proyek yang dituangkan dalam kontrak tertentu tidak semuanya tercapai. Banyak hal yang dipengaruhi oleh kehendak manusia atau di luar kehendak yang mempengaruhi jalannya suatu kontrak yang dapat menyebabkan rencana tersebut diubah di tengah jalan atau kemudian bahkan rencana tersebut harus batal sama sekali. Demikianlah akhirnya, berkembang teori dan praktek hukum mengenai ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi dengan berbagai konsekuensinya.

3. Pemutusan Kontrak

Salah satu bentuk ketidaklaksanaan suatu kontrak konstruksi, adalah dilakukannya pemutusan kontrak konstruksi, adalah dilakukannya pemutusan kontrak (terminasi) oleh salah satu kedua belah pihak dalam kontrak tersebut. Tindakan pemutusan kontrak ini, merupakan salah satu akibat hukum dari adanya suatu perjanjian yang tidak memenuhi prestasi.

Referensi

Dokumen terkait

Terlebih dahulu saya mengucapkan terima kasih di atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan kata-kata aluan di dalam “Buku Panduan Pengikraran Berkualiti Borang Kastam”

Single mode dapat membawa data dengan bandwidth yang lebih Single mode dapat membawa data dengan bandwidth yang lebih besar dibandingkan dengan multi mode fiber

Berikut ini akan dipaparkan analisis variasi jawaban siswa pada indikator memeriksa ide- ide:(a)Jawaban kode MFH kategori sedang: Dari hasil pengerjaannya dapat dilihat

cukup lama, jauh sebelum menjadi Presiden di negeri ini, saya berpikir dan bahkan bertanya, "apakah konflik di Aceh tidak dapat kita selesaikan?" Apakah bangsa yang besar

Location Based Service (LBS) atau dalam bahasa indonesia diartikan sebagai Layanan Berbasis Lokasi adalah layanan informasi yang dapat diakses menggunakan piranti mobile

Penilaian untuk menentukan staf selama ini dilakukan secara manual dan tentunya penilaian tersebut masih bisa dipengaruhi dengan factor yang lain, maka dari itu penelitian

Dari tabel tersebut dapat diartikan bahwa cluster 1 dicirikan dengan pH, salinitas, dan tebal lumpur yang rendah serta suhu yang sedang dan oksigen terlarut yang

Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik phasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai pos itif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus yang