• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK KETIDAKADILAN GENDER DALAM TRILOGI NOVEL Y.B. MANGUNWIJAYA (ANALISIS WACANA KRITIS SARA MILLS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BENTUK KETIDAKADILAN GENDER DALAM TRILOGI NOVEL Y.B. MANGUNWIJAYA (ANALISIS WACANA KRITIS SARA MILLS)"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

FORMS OF GENDER INFLUENCE IN THE NOVEL TRILOGY Y.B.

MANGUNWIJAYA (SARA MILLS CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

TESIS

Oleh :

DIAUL KHAERAH

Nomor Induk Mahasiswa : 105.04.11.020.20

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022

(2)

i

BENTUK KETIDAKADILAN GENDER DALAM TRILOGI NOVEL Y.B. MANGUNWIJAYA (ANALISIS WACANA KRITIS SARA MILLS)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

DIAUL KHAERAH

Nomor Induk Mahasiswa : 105.04.11.020.20

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v ABSTRAK

Diaul Khaerah. 2022. Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya (Analisis Wacana Kritis Sara Mills), dibimbing oleh Sitti Aida Azis dan Abd. Rahman Rahim.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menguraikan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya menggunakan kajian analisis wacana kritis Sara Mills. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B.

Mangunwijaya diterbitkan oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Data dalam penelitian ini adalah data tulis, yaitu kutipan-kutipan (berupa kata, frasa, klausa, ungkapan, kalimat) yang menunjukkan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya analisis wacana kritis Sara Mills. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini mencakup empat langkah kegiatan, yaitu membaca, mengumpulkan data, menelaah data, dan menarik kesimpulan hasil penelitian dengan menggunakan kajian analisis wacana kritis Sara Mills.

Hasil dalam penelitian ini ditemukan (1) Bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya yang ditinjau dari posisi subjek-objek, yaitu (a) Marginalisasi dalam bentuk pemiskinan dan eksploitasi. (b) Subordinasi dalam bentuk kemampuan, martabat, dan peran. (c) Stereotype dalam bentuk berbahasa, birokrasi, dan adat istiadat. (d) Kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan verbal. (e) Beban Ganda dalam bentuk sektor domestik dan publik. (2) Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi pembaca, yaitu pengarang menggunakan kata ganti kita, kau, dan nama tokoh sehingga pembaca mensejajarkan dirinya dengan karakter utama tersebut di dalam teks.

Kata Kunci : Analisis Wacana Kritis, Ketidakadilan Gender, Novel

(7)

vi

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat-Nya bagi seluruh ciptaan-Nya dan kesejahteraan semoga dilimpahkan Allah Swt., kepada kita semua sehingga Tesis yang berjudul

“Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya (Analisis Wacana Kritis Sara Mills)” dapat diselesaikan.

Keberhasilan penulis dalam penyelesaian Tesis ini tidak luput dari kesulitan dan hambatan. Semua ini dapat diatasi dengan baik berkat kesabaran, ketabahan, ketekunan, kerja keras, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Sitti. Aida Azis, M. Pd., sebagai pembimbing I dan Dr. Abd Rahman Rahim, M.

Hum., sebagai pembimbing II, dengan ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan arahan dan masukan kepada penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Asisten Direktur I, Asisten Direktur II, Asisten Direktur III, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kekhususan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, kepada seluruh Dosen yang telah berjasa memberikan ilmu dan mendidik selama mengikuti pendidikan di Program

(9)

viii

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, serta staf Unismuh yang senantiasa memudahkan pelayanan administrasi kepada penulis selama ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada Kepala Perpustakaan Unismuh dan staf yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

Teristimewa, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua yang telah menjadi sumber semangat penulis. Kepada keluarga tersayang yang selalu menemani penulis ditengah penulis berjuang menyelesaikan Tesis ini. Serta ucapan terima kasih kepada segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan doa serta dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Serta seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas A PPs Unismuh 2020 yang tulus memberikan semangat dan motivasi, membantu penulis menyelesaikan tesis yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga segala bantuan, masukan, motivasi, serta pengorbanan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah Swt., Aaamiiin.

Makassar, 01 Agustus 2022

Diaul Khaerah

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Peneliti Terdahulu ... 12

1. Ketidakadilan Gender dalam Penelitian Terdahulu ... 12

2. Novel Y.B Mangunwijaya dalam Penelitian Terdahulu ... 15

B. Tinjauan Konsep ... 17

a. Gender dan Ruang Lingkupnya ... 17

(11)

x

1. Gender ... 17

2. Jenis-jenis Ketidakadilan Gender ... 19

b. Feminis ... 23

c. Novel ... 25

d. Analisis Wacana Kritis ... 27

e. Model-model Analisis Wacana Kritis ... 32

a) Norman Fairclough ... 32

b) Teun Van Dijk ... 35

c) Sara Mills ... 36

C. Kerangka Pikir ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN ... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. Data dan Sumber Data ... 43

C. Definisi Istilah ... 46

D. Teknik Pengumpulan Data ... 48

E. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Hasil Penelitian ... 50

1. Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya yang ditinjau dari Posisi Subjek-Objek .... 50

2. Analisis Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya yang ditinjau dari Posisi Pembaca ... 85

B. Pembahasan ... 89

(12)

xi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Simpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Kerangka Pikir 41

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

Lampiran 1 SK Permohonan Persetujuan Judul 97

Lampiran 2 Kartu Kontrol Bimbingan 98

Lampiran 3 Halaman Pengesahan 102

Lampiran 4 Izin Penelitian 106

Lampiran 5 Hasil Uji Plagiasi 107

Lampiran 6 LoA 108

Lampiran 7 Foto Trilogi Novel 120

Lampiran 8 Korpus Data 121

Lampiran 9 Biografi Pengarang 127

Lampiran 10 Sinopsis Trilogi Novel 129

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gender dari hakikatnya adalah output pemikiran insan yang mempunyai perkiraan dasar bahwa wanita dengan pria tidak selaras pada hal peran, perilaku, mental, dan karakter secara emosional. Perempuan tak jarang diasosiasikan sebagai makhluk yang lemah, berfikir dari emosional, dan bersikap kurang logis, selagi itu pria diasumsikan menjadi makhluk yang bertenaga dan berkuasa, lebih cerdas dan hebat. Konsep gender ini lahir dari dampak sosial budaya masyarakat.

Pengertian mengenai gender tercatat tidak sama dengan seks. Seks ataupun yang lebih dikenal serupa jenis kelamin melihat disparitas wanita dan pria memandang secara fisik atau biologis, yang sudah dipunyai insan semenjak lahir yang tidak mampu diganti atau telah merupakan kodratnya.

Perempuan dikodratkan untuk melahirkan, sebagai akibatnya mempunyai Rahim, sedangkan pria mereproduksi sperma buat membuahi sel telur.

Konsepsi gender yang bukan dalam tempatnya tersebut, menurut perjalanannya melahirkan ketidakadilan gender yang dicermati berdasarkan sudut pandang perempuan. Fakih berkata bahwa sentral pengikut ilmu sosial permasalahan menggunakan analisis gender buat memeriksa bentuk ketidakadilan struktural dan sistem yang adalah impak berdasarkan gender itu sendiri. Wujud ketidakadilan gender yang

(16)

dimaksud terdiri berdasarkan marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan dan kerja ganda.

Marginalisasi merupakan satu mekanisme yang mendatangkan kemiskinan. Laki-laki juga wanita bisa mengalami marginalisasi, namun marginalisasi lebih banyak terjadi dalam pihak wanita karena adanya disparitas gender akibatnya pihak wanita mengalami pemecahan terutama pada ranah domestik. Hal termaktub sesuai dengan pendapat Fakih yang mengungkapkan bahwa kemiskinan yang muncul sebagai dampak dari marginalisasi pada masyarakat, khususnya mengenai wanita, disebabkan dari dampak pengertian mengenai gender yang kurang benar, tafsir keagamaan dan tata cara semakin memperkuat proses marginalisasi tadi.

Sementara Stereotipe merupakan pelabelan negatif terhadap gerombolan eksklusif atau jenis kelamin dan kebanyakan tak jarang berjumpa pada kaum wanita selaku pihak yang dirugikan. Fakih mengutarakan bahwa stereotipe diidentifikasikan menjadi pelabelan yang bersifat negatif terhadap kalangan eksklusif, pada hal ini merupakan wanita. Pelabelan tersebut sudah memberikan banyak batas, memiskinkan, dan tentu saja amat merugikan wanita. Stereotipe mendatangkan pendayagunaan fisik terhadap wanita.

Lain halnya dengan subordinasi ramai terjadi pada wanita.

Masyarakat memberikan label eksklusif terhadap wanita, sebagai akibatnya wanita ditempatkan dalam posisi kedua selepas laki-laki. Hal tadi diperkuat oleh konsep Fakih yang berkata bahwa subordinasi yang

(17)

terjadi dalam wanita bisa terjadi dampak pandangan gender yang berspekulasi bahwa wanita merupakan insan yang irrasional dan berwatak emosional, sebagai akibatnya jenis kelamin ini dipercaya kurang layak untuk menjadi pemimpin.

Beragam bentuk kekejaman kerap terjadi pada wanita. Hal tersebut timbul dampak pemisahan kiprah gender, yang berspekulasi bahwa wanita berada pada bawah kuasa pria. Jannah berkata bahwa bentuk kekejaman yang terjadi pada wanita, terutama dalam rumah tangga yang digolongkan ke dalam empat wujud kekejaman yang terdiri atas kekerasan seksual, psikis, ekonomi, dan fisik. Metode pembentukan sosial dan budaya pada rakyat terutama pada sistem patriarki, menaruh pria pada posisi yang lebih energik dan berkuasa, mengatur wanita, akibatnya wanita dipercaya tidak memiliki kekuatan dan didominasi oleh kaum pria.

Masalah gender bukan saja di dunia nyata dipersoalkan, tetapi pada sastra khususnya novel. Persoalan gender membuat semakin memikat untuk diangkat dalam cerita novel. Gender pada novel terkadang mengisahkan kedudukan perempuan yang selalu dibawah kedudukan laki-laki. Hal ini membuat daya pikat untuk para pembaca yang menikmatkan novel yang mengisahkan masalah gender (Tri Budi Astuti, Lulus Irawati 2021:66–67).

Karya sastra sudah tak asing lagi buat aktivitas manusia. Hal ini diperoleh dari karya-karya yang dilahirkan seperti puisi, prosa, dan drama.

Karya sastra dilahirkan atas asas pengalaman jiwa pengarang berupa

(18)

perihal umum yang menarik sampai-sampai timbul inspirasi khayalan yang dituangkan pada bentuk goresan pena dan karya sastra. Sastra senantiasa menghadirkan citra hayati dan aktivitas itu sendiri, yang merupakan bukti sosial. Dalam hal ini, kehidupan tersebut tentu berisi interaksi antar warga dengan orang seorang, antarmanusia, insan dengan tuhannya, dan antar insiden yang terjadi pada batin seseorang.

Karya sastra untuk membicarakan pikiran mengenai sesuatu yang terdapat pada realitas yang ditemui oleh sang pengarang. Pengetahuan ini adalah argumen seorang atau pengarang dalam melahirkan sebuah karya. Al-Ma‟ruf menelaah karya sastra akan menolong pembaca memahami makna yang termaktub pada pengalaman-pengalaman pengarang yang diilhamkan melalui para tokoh imajinatifnya, dan menunjukkan cara-cara menekuni sepenuh jenis tindakan sosial kemasyarakatan (Heny Roulina Sitepu, T. Silvana Sinar 2019:132).

Novel yang mengurai tentang gender adalah Novel Rara Mendut (selanjutnya disingkat RM), Novel Genduk Duku (selanjutnya disingkat GD), dan Novel Lusi Lindri (selanjutnya disingkat LL). Ketiga novel ini adalah trilogi yang ditulis oleh Y.B. Mangunwijaya. Di dalam novel tersebut Y.B. Mangunwijaya berusaha untuk menceritakan tentang penindasan yang terjadi atas seseorang wanita yang bekerja menjadi seseorang dayang istana. Aktivitas yang benar-benar rumit wajib menangani kemarahan penguasa akibat diduga membantu puannya meronta. Dialah Duku, wanita yang hidup dalam buruan, yang separuh usianya dimata-

(19)

matai telik sandi kerajaan dan separuhnya lagi diabdikan bagi kerajaan.

Menjadi tawanan dan abdi sesungguhnya dua hal yang berlainan namun mempunyai jaminan yang setara yakni kepala di potong. Diburu oleh sang prajurit Wiraguna lantaran sudah menolong puannya membangkang titah panglima, dan menjadi abdi setelah bersetuju dengan Wiraguna lantaran bantuannya mengamankan selir muda Tumenggung. Cerita yang terjadi dirunut berdasarkan pemerintahan Susuhunan Hanyakrakusuma dan awal dari pemerintahan Putra Mahkota.

Usaha untuk menyempurnakan sebuah penelitian tentu dibutuhkan teori analisis wacana kritis yang sesuai dengan fokus permasalahan yang diangkat. Dari permasalahan tersebut tentunya teori Analisis Wacana Kritis yang tepat yang berkaitan dengan persoalan bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam Trilogi novel karya Y.B. Mangunwijaya adalah teori Sara Mills, karena untuk mengetahui suatu bentuk ketidakadilan gender, diperlukan perhatian yang penuh pada bagaimana pembaca memahami teks dan aktor yang terlibat di dalamnya.

Sara Mills menoreh teori tentang artikel yang memfokuskan perhatiannya pada artikel perihal feminisme. Dengan cara apa wanita ditampilkan pada teks, baik pada novel, gambar, foto, maupun pada berita. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Sara Mills kerap jua diklaim menjadi perspektif feminis. Ketertarikan berdasarkan perspektif artikel feminis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bisa menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan pada teks sebagai pihak

(20)

yang salah, Marjinal dibandingkan dengan pihak laki-laki. Dengan begitu, teori Sara Mills ini akan memandang visualisasi wanita pada teks novel.

Sara Mills meletakkan representasi sebagai poin terpenting berdasarkan analisisnya. Bagaimana satu pihak, golongan, insan, ide atau kejadian ditampilkan menggunakan cara tertentu pada dialog novel yang mensugesti pemaknaan saat diterima oleh khalayak. Mills lebih memfokuskan pada bagaimana posisi berdasarkan aneka ragam aktor sosial, posisi gagasan, atau kasus itu diposisikan pada teks. Posisi-posisi tersebut tadi, dalam kesimpulannya menetapkan bentuk teks yang tampak ditengah keramaian. Dengan begitu, posisi-posisi aktor pada teks tadi amat mempengaruhi teks yang akan diberitakan pada keramaian.

Pada konsep Sara Mills yang mesti dikritisi merupakan bagaimana kejadian ini ditampakkan dan bagaimana pihak-pihak yang terjun itu diposisikan pada teks. Posisi disini bermakna siapakah aktor yang dijadikan sebagai subjek yang mendeskripsikan dan melakukan penuturan dan siapakah yang ditampilkan menjadi objek, pihak yang dideskripsikan dan digambarkan keberadaannya oleh orang lain. Dengan demikian, pada sebuah novel akan terdapat aktor yang terjun menjadi subjek dan terdapat aktor yang menjadi objek.

Posisi menjadi subjek atau objek pada perwakilan ini memuat bawaan ideologis eksklusif. Dalam insiden ini bagaimana posisi ini turut memarjinalkan posisi perempuan waktu ditampilkan pada novel. Pertama, posisi ini memperlihatkan pada batasan eksklusif sudut pandang

(21)

pendeskripsian. Kedua, menjadi subjek perwakilan, pihak pria di sini memiliki otoritas penuh dalam meyakinkan pengutaran kejadian tadi pada pembaca. Ketiga, lantaran proses klasifikasi itu bersifat subjektif, tak diragukan lagi sulit menepi kemungkinan penjabaran secara satu pihak peristiwa atau kelompok lain. lantaran itu, teori Sara Mills ini mengkaji posisi aktor yang ditampakkan pada teks. Posisi-posisi ini dalam artian siapa yang merupakan subjek penutur dan siapa yang sebagai objek penuturan. Posisi ini dapat memastikan bagaimana teks didapatkan dan bagaimana teks tadi dimaknai.

Kecuali posisi-posisi aktor pada teks, Sara Mills memusatkan pula perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan pada teks.

Teks merupakan satu output konvensi antara penulis dan pembaca.

Dengan demikian, pembaca di sini tidaklah dipercaya semua sebagai pihak yang hanya memperoleh teks, namun juga melaksanakan transaksi sebagaimana akan tervisibel pada teks. Bagi Mills, membuat suatu contoh yang mempertemukan antara teks dan penulis pada satu sisi dengan teks dan pembaca pada sisi lain, yang mempunyai sejumlah keunggulan.

Pertama, bentuk semacam ini akan secara komprehensif melihat teks bukan hanya bermasalah dengan faktor produksi tetapi juga resepsi.

Kedua, pembaca di sini ditempatkan pada letak yang konsekuensial.

Perihal ini karena teks benar-benar ditujukan buat secara pribadi atau tidak “menginformasikan” dengan khalayak. Dengan demikian, posisi

(22)

pembaca pada teks juga diperhatikan sebab pembaca merupakan orang yang akan memberikan penafsiran terhadap teks berita.

Peletakan posisi pembaca disini umumnya dihubungkan dengan bagaimana penyapaan atau penyebutan itu dilakukan pada naskah. Bagi Mills, penyapaan atau penyebutan itu biasanya bukan eksklusif, akan tetapi melalui penyapaan ataupun penyebutan tidak eksklusif. Hal ini pembaca di tempatkan atau di sapa secara tidak eksklusif. Bagi Sara Mills penyapaan tidak eksklusif ini dapat bergerak melalui dua cara. Mediasi yakni satu naskah biasanya akan membawa tahapan wacana, sehingga posisi kenyataannya diposisikan secara tingkatan akibatnya pembaca akan menyamakan atau mengenali dirinya sendiri dengan kepribadian atau apa yang tersedia di dalam naskah. Kemudian Roland Barthes mendeskripsikan bahwa kode budaya atau kualitas kultur yang dipakai oleh pembaca ketika akan menafsirkan suatu naskah. Dengan demikian, secara tidak eksklusif sesungguhnya pembaca di sapa oleh naskah dan penyapaan inilah yang nantinya akan memastikan posisi pembaca (Viora 2018:54–152).

Analisis Wacana Kritis model Mills berbeda dengan Analisis Wacana Kritis tokoh lain. Tokoh-tokoh Analisis Wacana Kritis tersebut lebih cenderung memusatkan perhatian pada pertarungan politik, kekuasaan dan gender. Seperti Foucault yang menganggap bahwa wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Leeuwen menganalisis bagaimana suatu

(23)

kelompok atau seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam suatu wacana. Sedangkan Mills memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca memengaruhi bagaimana seharusnya teks itu dipahami dan bagaimana aktor sosial ditempatkan. Penceritaan dan posisi yang menjadikan satu pihak legitimate dan pihak lain illegitimate.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti termotivasi untuk mengkaji penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya (Analisis Wacana Kritis Sara Mills)”.

B. Fokus Penelitian

Berlandaskan latar belakang yang telah dijelaskan, maka fokus pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bentuk ketidakadilan gender (a). Marginalisasi, b). Subordinasi, c).

Stereotype, d). Kekerasan, dan e). Beban Ganda) ditinjau dari posisi subjek-objek dalam Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya

2. Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi pembaca

C. Tujuan Penelitian

Berlandaskan fokus penelitian diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu :

1. Mendeskripsikan bentuk ketidakadilan gender (a). Marginalisasi, b).

Subordinasi, c). Stereotype, d). Kekerasan, dan e). Beban Kerja)

(24)

ditinjau dari posisi subjek-objek dalam Trilogi Novel Karya Y.B.

Mangunwijaya.

2. Mendeskripsikan Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya Y.B.

Mangunwijaya ditinjau dari posisi pembaca.

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini dinantikan dapat mewujudkan sintesis tentang ketidakadilan gender yang dianalisis melalui analisis wacana kritis Sara Mills yang mencakup Posisi Subjek-Objek dan Posisi Pembaca dalam trilogi novel karya Y.B. Mangunwijaya. Secara rinci, manfaat teoretis penelitian ini adalah :

1. Melahirkan khazanah baru dalam peningkatan bidang analisis wacana kritis yang mencakup penerapan analisis Sara Mills yang menetapkan Posisi Subjek-Objek dan Posisi Pembaca.

2. Menjadi khazanah baru dalam pengembangan bentuk persoalan ketidakadilan gender dalam Trilogi Novel karya Y.B.

Mangunwijaya.

3. Temuan penelitian yang meliputi bentuk persoalan ketidakadilan gender yang ditinjau dari Posisi Subjek-Objek dan Posisi Pembaca dalam Novel Rara Mendut (selanjutnya disingkat RM), Novel Genduk Duku (selanjutnya disingkat GD) dan Novel Lusi Lindri (selanjutnya disingkat LL) melahirkan sumbangan terhadap peningkatan Teori Analisis Wacana Kritis.

(25)

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti, melalui penelitian ini diharapkan peneliti dapat mendeskripsikan Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis Sara Mills dengan menggunakan teori ketidakadilan gender dan akan meningkatkan pendapat perihal bidang ilmu sastra.

2. Bagi Universitas, Penelitian ini dinantikan bisa mendatangkan literatur baru yang berguna bagi civitas akademik dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar dalam memahami bidang sastra, khususnya dibagian analisis wacana kritis dalam Novel.

3. Bagi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dengan penelitian ini diharapkan dapat melahirkan kesempatan bagi penelitian selanjutnya agar dapat menyampaikan informasi, juga pengetahuan serta memiliki kontribusi dalam pengembangan Ilmu Sastra tentang analisis wacana kritis sara mills dalam Trilogi Novel Y.B. Mangunwijaya.

4. Bagi Mahasiswa, Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dalam bidang sastra sebagai bahan referensi studi analisis wacana pada novel.

(26)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Peneliti Terdahulu

Peneliti-peneliti yang pernah melaksanakan penelitian yang sama atau hampir sama dengan peneliti yang akan dilaksanakan, dapat dilihat sebagai berikut :

1. Ketidakadilan Gender dalam Penelitian Terdahulu

Peneliti yang pernah melakukan penelitian tersebut adalah :

Pertama, Astuti (2018) dalam penelitiannya terhadap

“Ketidakadilan Gender Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki : Kajian Kritik Sastra Feminisme”

menurutnya bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan yang ada dalam novel Genduk, yaitu : Marginalisasi, Subordinasi, Stereotipe, Kekerasan seksual, dan Beban kerja. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak dari segi objek analisis yang menggunakan ketidakadilan gender. Sementara perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada analisis yang digunakan. (Puji Astuti, Widyatmike Gede Mulawarman 2018)

Kedua, Pada penelitian Dewi (2019) yang berjudul

“Ketidakadilan Gender dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari” ditemukan bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam novel RDP seperti kekerasan seksual, eksploitasi perempuan, dan pertahanan sistem kapitalisme. Persamaan penelitian yang akan

(27)

dilakukan dengan penelitian milik Dewi adalah objek yang sama yakni ketidakadilan gender. Sementara perbedaan penelitian milik Dewi dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada subjek penelitian dimana penelitian milik Dewi menggunakan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari sebagai subjek penelitian, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan Novel Trilogi Karya Y.B.

Mangunwijaya. (Dewi 2019)

Ketiga, Muhammad Noor Ahsin (2020) “Representasi Ketidakadilan Gender dalam Kumpulan Cerpen Janji Sri (Analisis Wacana Kritis Sara Mills”. Hasil penelitian ini menunjukkan penulis menampilkan sosok perempuan sebagai subjek yang bercerita sekaligus sebagai objek yang diceritakan, tokoh pada posisi subjek mampu mendefinisikan dirinya sendiri ataupun pihak lainnya, terdapat representasi ketidakadilan gender yang muncul seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype, dan kekerasan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada teknik analisis dan model analisis yang sama yakni Analisis Wacana Kritis Sara Mills.

Sementara perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada sumber data yang diteliti. (Muhammad Noor Ahsin 2020)

Keempat, Winda Puji Hastuti (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Kartini Karya Abidah EL Khaleqy : Kajian Sastra Feminis dan Relevansinya Sebagai Bahan

(28)

Ajar Sastra di SMP”. Hasil yang diperoleh Winda Puji Hastuti menunjukkan 1) Latar sosiohistoris, 2) Struktur novel kartini terdiri dari tema, alur campuran, terdiri dari tokoh utama dan beberapa tokoh lain, dan memiliki latar tempat, latar waktu dan latar budaya, 3) Ketidakadilan gender dalam novel Kartini karya El Khalieqy terdiri dari gender dan marginalisasi, gender dan subordinasi, gender dan stereotipe, dan gender dan beban kerja, 4) Hasil penelitian ini relevan dengan pembelajaran sastra di SMP pada KD 3.11 dan 3.12 kelas VIII dan KD. 3.11 kelas IX. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari segi objek analisis yang menggunakan ketidakadilan gender. Sementara perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada jenis analisis dan sumber data yang digunakan. (Hastuti 2019)

Kelima, pada penelitian Maria Botifar (2021) yang berjudul

“Refleksi Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban : Perspektif Gender dan Feminisme”. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan Maria Botifar, hasil penelitiannya menunjukkan ketidakadilan gender berada dalam tiga lingkaran, yaitu 1) Lingkaran kekuasaan, 2) Lingkaran anggapan, dan 3) Lingkaran patriarki. Untuk itu sikap feminisme dalam novel ini tergambar dalam perilaku tokoh.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek yang sama yakni ketidakadilan gender. Sementara perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan

(29)

dilakukan terletak pada sumber data dan analisis yang digunakan.

(Maria Botifar 2021)

2. Novel Y.B Mangunwijaya dalam Penelitian Terdahulu Peneliti yang pernah melakukan penelitian tersebut adalah :

Pertama, Andi Anugrah Batari Fatimah (2021) “Analisis Wacana Kritis Novel Genduk Duku Karya Y.B. Mangunwijaya dan Relevansinya dengan Pembelajaran Literasi Sastra Berbasis Gender di SMA”. Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa karakter perempuan dalam novel baik tokoh utama, Genduk Duku, dan tokoh pendukung, Putri Arumardi dan Tejarukmi, masing-masing secara bergilir berposisi sebagai aktor yang bercerita maupun yang diceritakan, semua mengalami bentuk ketidakadilan gender, dalam hal a) Marginalisasi, b) Subordinasi, c) Stereotipe, d) Kekerasan Verbal, e) Beban ganda. Kajian ini dapat diintegrasikan dengan pembelajaran literasi sastra berbasis gender di SMA dalam hal pemberian gambaran mengenai wacana yang menampilkan praktik ketidakadilan gender dan sikap kritis yang mesti dilakukan peserta didik memerangi praktek ketidakadilan gender tersebut. (Andi Anugrah Batari Fatimah, Syamsudduha 2021)

Kedua, Dalam penelitiannya Nurwahidah (2021) yang berjudul

“Relasi Tanda pada Karakter Tokoh dalam Novel Rara Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya dan Kontribusinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas” ditemukan bahwa tokoh Rara Mendut

(30)

sebagai ikon wanita pemberani dan teguh pendirian, tokoh Pranacitra sebagai ikon manusia yang cerdik, dan tokoh Tumenggung Wiraguna sebagai ikon penguasa semena-mena. Indeks yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi, penolakan tokoh dan bentuk simbol. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi sebagai salah satu alternatif materi ajar pembelajaran sastra di SMA. (Nurwahidah, Kembong Daeng 2021)

Ketiga, Penelitian berikutnya dilakukan oleh Estuning Dewi Hapsari (2018) dalam penelitiannya terhadap “Nilai Sosial Budaya dan Nasionalisme dalam Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B.

Mangunwijaya ”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa 1) Wujud nilai sosial budaya dalam novel Burung-burung Manyar ada tiga, yaitu ideas, activitis, dan artifact. 2) Wujud nasionalisme dalam novel Burung-Burung Manyar adalah jiwa semangat dan nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak, serta budi pekerti luhur. 3) Hubungan nilai sosial budaya dan nasionalisme. Perilaku lain dalam mengisi kemerdekaan berupa memerangi masalah kemiskinan, pola hidup rakyat, pejabat, serta penyelewengan yang dilakukan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. (Estuning Dewi Hapsari 2018)

Keempat, Andi Batara Indra (2021) meneliti tentang

“Dekonstruksi Kuasa Patriarki Novel Rara Mendut Karya Y.B.

Mangunwijaya Perspektif Feminisme Eksistensialis”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel “Rara Mendut” Karya Y.B. Mangunwijaya

(31)

menunjukkan wujud kuasa patriarki yang melekat di dalam masyarakat, serta menunjukkan dekonstruksi kuasa patriarki melalui feminisme eksistensialis dalam bentuk penolakan dan perlawanan.

(Andi Batara Indra, Sabaruddin, Fajrul Ilmy Darussalam, M. Ilham 2021)

Kelima, Rodhiyatan Mardhiyyah (2020) dengan judul “Kajian Feminis Novel Lusi Lindri Karya Y.B. Mangunwijaya”. Hasilnya menjelaskan bahwa ditemukan tokoh utama yang bernama Lusi Lindri seorang perempuan yang mampu melakukan perlawanan terhadap ideologi patriarkis yang menjadi sumber dari penindasan perempuan.

(Mardhiyyah 2020)

Dari kelima penelitian diatas, ditemukan persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun persamaannya adalah dari segi objek penelitian yang berupa novel Karya Y.B. Mangunwijaya.

Sementara perbedaan antara penelitian diatas dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode, sumber data, dan teori yang digunakan.

B. Tinjauan Konsep a. Gender dan Ruang Lingkupnya

1. Gender

Gender merupakan konsep kultural yang berusaha mewujudkan perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara pria dan wanita yang bertumbuh di dalam

(32)

masyarakat. Gender juga semata-mata membahas mengenai perempuan, akan tetapi juga mengupas mengenai konstruk sosial yang terikat pada pria dan wanita. Gender merupakan seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita feminim atau maskulin.

Gender serta sex sangatlah berbeda. Sex ialah pemberian tipe kelamin secara biologis yang melekat pada tipe kelamin tertentu. Contohnya, laki- laki ialah insan yang mempunyai penis, jekala, serta bisa memproduksi mani. Sebaliknya wanita, mempunyai perlengkapan reproduksi sel telur, Rahim, Miss V, serta perlengkapan menyusui. Alat- alat tersebut secara biologis hendak menempel pada perempuan ataupun dengan laki-laki.

Gunanya tidak dapat dipertukarkan serta secara permanen tidak berganti, dan ialah syarat biologis ataupun syarat Tuhan.

Sedangkan konsep gender merupakan sesuatu watak yang menempel pada kalangan pria ataupun wanita yang dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Gender ialah selaku harapan- harapan budaya terhadap pria serta wanita. Misalnya, wanita diketahui dengan lemah lembut, menawan, emosional, serta keibuan. Sedangkan pria dikira kokoh, rasional, jantan, serta perkasa. Identitas dari watak itu ialah watak yang bisa dipertukarkan, misalnya terdapat pria yang lemah lembut, terdapat

(33)

wanita yang kokoh, rasional serta perkasa. Pergantian karakteristik dari sifat- sifat tersebut bisa terjalin dari waktu ke waktu serta dari tempat ke tempat lain. Oleh sebab itu, gender dari waktu ke waktu serta dari tempat ke tempat bisa berganti.

Singkatnya, gender membicarakan pria serta wanita dari sudut pandang yang non biologis.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah, selama tidak mengarah pada ketimpangan gender. Namun persoalannya sekarang, ternyata perbedaan gender membawa kepada segala macam ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan khususnya bagi perempuan.

Oleh karena itu, gender adalah ilmu tidak hanya tentang perempuan, tetapi juga tentang kodrat manusia. Gender adalah sebuah konsep yang menawarkan praktik baru hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta berimplikasi pada aspek kehidupan lain yang lebih luas.

2. Jenis-jenis Ketidakadilan Gender

Menurut (Fakih 1996), jenis-jenis ketidakadilan gender termanifestasikan dalam bermacam wujud ketidakadilan, yaitu :

a. Marginalisasi

Proses marginalisasi sebetulnya banyak sekali terjalin dalam warga serta Negeri. Walaupun tidak tiap marginalisasi wanita diakibatkan oleh ketidakadilan gender, hendak namun

(34)

yang dipersoalkan dalam analisis gender merupakan marginalisasi yang diakibatkan oleh perbandingan gender.

Marginalisasi terjalin telah semenjak dalam rumah tangga serta didukung secara kultur, agama, apalagi Negeri. Contoh marginalisasi yang kerap terjalin merupakan marginalisasi yang terjalin dalam rumah tangga, ialah diskriminasi atas anggota keluarga pria ataupun wanita, wanita tidak memperoleh hak waris yang sama dengan pria, kesempatan kerja yang cenderung lebih mengutamakan pria buat dipekerjakan dari pada wanita.

b. Subordinasi

Subordinasi merupakan asumsi tidak berarti dalam keputusan. Asumsi kalau wanita itu irasional ataupun emosional, sehingga wanita tidak dapat tampak mengetuai yang berdampak timbulnya perilaku yang menempatkan wanita pada posisi yang tidak berarti. Sepanjang sebagian abad kemudian, atas alibi agama, kalangan wanita tidak boleh mengetuai apapun, tercantum permasalahan duniawi. Contoh dari subordinasi merupakan asumsi kalau wanita tidak butuh sekolah tinggi-tinggi, sebab tumbangnya tentu kedapur, apalagi pemerintah sempat membagikan peraturan, apabila suami hendak berangkat belajar jauh dapat mengambil keputusan sendiri, sebaliknya apabila wanita yang hendak

(35)

belajar jauh wajib memperoleh izin dari suami. Perihal semacam ini terjalin sebab terdapatnya pemahaman gender yang tidak adil.

c. Stereotip

Stereotip merupakan pelebelan ataupun penandaan pada sesuatu kelompok tertentu. Stereotip senantiasa memunculkan ketidakadilan. Salah satu stereotip itu merupakan yang bersumber dari pemikiran gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap tipe kelamin tertentu yang bersumber dari penandaan yang didekatkan kepada mereka.

Dalam warga banyak sekali stereotip yang dilabelkan pada wanita sehingga berdampak menghalangi, menyulitkan, serta merugikan kalangan wanita. Contoh dari stereotip merupakan pemikiran kalau wanita berdandan sebab mau menarik atensi kalangan lelaki, sehingga tiap terjalin pelecehan intim ataupun apalagi pemerkosaan, warga cenderung menyalahkan korban sebab dikira berpenampilan tidak sewajarnya.

d. Kekerasan

Kekerasan merupakan serbuan ataupun invasi terhadap raga ataupun intergritas mental psikologi seorang.

Kekerasan yang diakibatkan oleh bias gender pada dasarnya diakibatkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang terdapat dalam warga. Wujud kejahatan yang dikategorikan selaku

(36)

kekerasan gender merupakan pemerkosaan, tindak pemukulan, wujud penyiksaan dalam organ kelamin, kekerasan dalam wujud prostitusi, pornografi serta pelecehan intim. Pada dasarnya kekerasan terjalin sebab perbandingan gender serta sosialisasi gender yang amat lama. Sehingga timbul asumsi kalau secara raga wanita itu lemah serta pria itu kokoh. Sesungguhnya perihal tersebut tidak memunculkan permasalahan selama asumsi lemah tersebut tidak mendesak pria buat berlagak seenaknya terhadap wanita. Tetapi, kerapkali terbentuknya kekerasan terhadap wanita dikira diakibatkan oleh wanita itu sendiri. Contoh wujud kekerasan yang kerap terjalin merupakan kekerasan psikologis, ialah ujaran ataupun siulan yang kerap dicoba para lelaki terhadap wanita kala wanita melalui didepan perkumpulan lelaki, perihal semacam ini tidaklah pujian untuk wanita, melainkan wujud pelecehan terhadap mereka (Rahmawati 2018:17–23).

e. Beban Ganda

Ada anggapan bahwa perempuan berpendidikan, pekerja keras dan tidak layak menjadi kepala rumah tangga.

Artinya, semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Oleh karena itu, banyak wanita bekerja keras untuk waktu yang lama untuk menjaga rumah mereka tetap rapi (Sari 2017:17–18).

(37)

b. Feminis

Feminis adalah kelompok aktivis perempuan yang menuntut kesetaraan dengan laki-laki atau kesetaraan kebebasan dan hak. Dari bahasa Latin, feminisme adalah femina, yang berarti perempuan.

Pada tahun 1890-an, istilah berikut digunakan untuk merujuk pada teori kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan pada gerakan atau organisasi untuk hak-hak perempuan. Secara etimologi feminis berasal dari kata femme yang berarti wanita (Prihatini 2019:18).

Feminisme adalah gerakan yang berupaya mewujudkan penindasan dan ketidakadilan hak-hak perempuan dan berupaya mengubah situasi ini menjadi sistem yang lebih adil. Perhatian utama di kalangan feminis adalah untuk menciptakan keadilan yang setara dalam tatanan sosial.

Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpalan gender. (Azis 2014:3)

Gerakan perempuan pada hakikatnya adalah gerakan untuk perubahan, bukan gerakan balas dendam terhadap laki-laki. Namun, kaum feminis menolak gagasan bahwa ketidaksetaraan antara laki-

(38)

laki dan perempuan adalah wajar dan tak terelakkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gerakan transformasi perempuan merupakan proses gerakan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang lebih baik, tanpa memandang status gender.

Bagi analisis feminis, ketidakadilan gender tersebut timbull sebab terdapatnya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Sekalipun kata gender serta seks secara bahasa memanglah memiliki arti yang sama, ialah tipe kelamin. Konsep seks, untuk para feminis merupakan sesuatu watak kodrati, natural, dibawa semenjak lahir serta tidak dapat di ubah- ubah. Konsep seks cuma berhubungan dengan tipe kelamin serta fungsi- fungsi dari perbandingan tipe kelamin itu saja. Semacam, kalau wanita itu dapat berbadan dua, melahirkan, menyusui, sedangkan pria tidak.

Ada pula konsep gender bagi feminisme, tidaklah sesuatu watak yang kodrati ataupun natural, namun ialah hasil konstruksi sosial serta kultural yang sudah berproses selama sejarah manusia.

Secara historis, kita hidup dalam warga yang didominasi pria, wanita lebih kerap dijadikan objek kala pencipta pengetahuan. Perihal ini berdampak pada banyaknya perihal yang diwariskan selaku pengetahuan objektif menimpa dunia sesungguhnya dihasilkan oleh kalangan pria serta dibingkai oleh posisi mereka yang khas dalam warga. Metode teorisasi feminis menggugat metode mengenali yang

(39)

bertabiat androsentris, dengan mempertanyakan hierarki berbasis gender dalam warga serta budaya (Uljannah 2017:15–17).

c. Novel

Novel berasal dari bahasa Italia, novella, yang secara harfiah berarti hal kecil yang baru, dan kemudian dibaca sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novella memiliki arti yang sama dengan novel dalam bahasa Indonesia, artinya sebuah karya fiksi prosa yang tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online menyebutkan bahwa novel adalah karangan prosa panjang yang berisi rangkaian cerita tentang kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya, menonjolkan watak dan sifat masing-masing pelaku (Wardani 2020:56).

Bagi Abdullah Ambary, novel merupakan cerita yang menggambarkan sesuatu peristiwa luar biasa dari kehidupan pelakunya yang menimbulkan pergantian perilaku hidup ataupun memastikan nasibnya. Sebaliknya bagi P.Suparman, novel merupakan cerita realita dari ekspedisi hidup seorang. Novel pula ialah salah satu karya sastra yang berupa prosa dimana karya seni yang dikarang bagi standar kesusastraan. Kesusastraan yang diartikan merupakan pemakaian kata yang indah serta style bahasa dan style cerita yang menarik (Uljannah 2017:44).

Novel muncul selaku hasil kegelisahan pengarang terhadap suasana serta keadaan yang terjalin di area warga. Tiap peristiwa

(40)

yang terjalin hendak dipotret oleh pengarang. Potret kehidupan tersebut diambil serta dibangun sedemikian menariknya oleh pengarang. Pengarang hendak memakai seluruh kreatifitas yang dimilikinya buat menggambarkan tiap sisi kehidupan warga dalam novel. Sisi kehidupan warga dalam novel sangat erat kaitannya dengan pengarang dan penikmat sastra, sehingga warga mempengaruhi pula terhadap pertumbuhan novel.

Novel biasanya terdiri dari beberapa bab yang mempunyai perbandingan cerita dalam tiap babnya. Pada tiap bab di dalam suatu novel terkadang mempunyai ikatan karena akibat ataupun ikatan kronologis. Bila kita membaca secara acak hingga kita tidak hendak memperoleh cerita secara lengkap. Perihal ini disebabkan keutuhan suatu cerita dalam novel meliputi tiap bab yang tercantum di dalamnya. Novel mengacu pada suatu kenyataan yang besar, dan mempunyai sisi psikologi yang lebih mendalam. Tidak hanya itu di dalam suatu novel wujud yang jadi gambaran cerminan tokoh berangkat dari kenyataan sosial yang terdapat (Wardani 2020:57–58).

Dengan penjelasan diatas, bisa disimpulkan kalau novel ialah media menuangkan benak, perasaan serta gagasan penulis dalam karangan prosa yang menggambarkan kehidupan manusia yang menimbulkan pergantian perilaku pelakunya, alur cerita dalam novel yang umumnya mengisahkan kehidupan seseorang tokoh, ialah suatu yang luar biasa terjalin dalam hidupnya yang memunculkan konflik

(41)

yang menjurus kepada pergantian nasib sang tokoh. Umumnya novel ditulis bersumber pada kehidupan individu ataupun kehidupan di area penulis yang ialah pengalaman sang pengarang serta secara tidak langsung membagikan suatu pesan.

d. Analisis Wacana Kritis

Dalam analisis wacana, bahasa dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu positivisme empiris, konstruktivisme, dan analisis kritis.

Pandangan positivis ditandai dengan pemisahan pikiran dan realitas.

Dalam pandangan ini, yang penting adalah kebenaran gramatikal dan sintaksis tanpa memperhatikan makna atau nilai subjektif di balik penggunaannya.

Konstruktivisme adalah pandangan yang tidak memisahkan subjek dan objek bahasa. Bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek murni. Dalam pandangan ini, bahasa diatur dan dimotivasi oleh pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan menciptakan makna dan mengungkapkan identitas pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana merupakan pembongkaran makna tersembunyi di balik bahasa yang digunakan.

Pemikiran kritis ialah wujud koreksi dari pemikiran konstruktivisme yang belum hingga pada proses penciptaan serta reproduksi arti yang terjalin secara historis ataupun institusional.

Analisis wacana dalam pemikiran kritis tidak dipusatkan pada struktur

(42)

tata bahasa ataupun proses pengertian, melainkan pada konstelasi kekuatan yang terjalin pada proses penciptaan serta reproduksi arti.

Orang tidak dikira selaku subjek yang netral yang dapat menafsirkan secara leluasa cocok dengan pikirannya. Orang sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang terdapat dalam warga. Bahasa, dengan demikian tidak dimengerti selaku medium netral di luar diri pembicara, melainkan selaku representasi yang berfungsi dalam membentuk subjek, tema, serta strategi tertentu. Analisis wacana digunakan buat memecahkan kuasa yang terdapat dalam tiap proses bahasa. Dengan pemikiran kritis, bahasa dalam suatu wacana terletak dalam ikatan kekuasaan, paling utama dalam pembuatan subjek dan tindakan- tindakan representasi dalam warga. Analisis wacana dalam pemikiran kritis lebih diketahui dengan sebutan analisis wacana kritis ataupun critical discourse analysis/CDA.

Analisis wacana kritis (AWK) ataupun critical discourse analysis (CDA) merupakan sesuatu tipe analisis wacana yang paling utama menekuni praktik-praktik penyalahgunaan kekuatan sosial, dominasi, serta ketidaksetaraan yang diterapkan, direproduksi, serta dipertahankan dalam bacaan serta pula pembicaraan dalam konteks sosial serta politik. Objek AWK merupakan wacana publik, semacam kabar pesan berita serta propaganda politik. Tujuannya merupakan buat mengeksplorasi ikatan antara bahasa, pandangan hidup, serta kekuasaan.

(43)

El Saj mengemukakan kalau AWK itu menekuni contoh-contoh yang nyata serta pula kerap lebih luas dari interaksi-interaksi sosial.

Tidak hanya itu, dalam AWK secara spesial dipelajari hal-hal yang berkaitan dengan ikatan antara bahasa serta warga, serta ikatan antara analisis serta aplikasi yang dianalisis. Lebih jauh dia mengemukakan kalau dalam AWK dikaji wujud, struktur, serta konten dari tata bahasa serta lapisan kata yang digunakan dalam penciptaan penerimaan serta interpretasi oleh khalayak yang lebih luas. Dalam permasalahan Oprah Winfrey, misalnya kenyataan menarik sudah terungkap dengan memakai kata ubah individu. Oprah sukses mewakili dirinya sendiri serta orang lain. Ini meyakinkan kalau opsi kata tercantum kata ubah individu merupakan salah satu aspek utama dalam mempertahankan pertukaran yang baik dalam aktivitas obrolan, yang bawa diskusi jadi pertukaran dinamis sepanjang proses diskusi itu sendiri.

Bagi Chen Hua, kerangka AWK digunakan buat menguji anggapan ide sehat tentang masalah-masalah sosial yang mendasari pemakaian bahasa dalam rasa serta kesanggupan merasa pengguna bahasa. Dalam AWK diakui kalau anggapan ide sehat membolehkan manusia buat menafsirkan bahasa serta menguasai dunia sosial, pada dikala yang sama anggapan ini pula menyerap dengan pandangan hidup yang berkontribusi terhadap pembangunan serta revalidasi ikatan kekuasaan yang tidak setara.

(44)

Bahasa merupakan aspek berarti dalam AWK. Bahasa digunakan buat memandang ketimpangan kekuasaan yang terjalin dalam warga. Perihal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Fairclough serta Wodak kalau analisis wacana kritis menyelidiki gimana lewat bahasa kelompok sosial yang terdapat silih bertarung serta mengajukan versinya tiap-tiap. Jadi, bahasa merupakan medium netral yang terletak dari luar sisi sang pembicara. Bahasa dimengerti selaku representasi yang berfungsi dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun strategi-strategi di dalamnya.

Dalam AWK bahasa tidak ditatap sebatas struktur serta kaidah kebahasaan, hendak namun dilihat pula hubungannya terhadap konteks, dominasi kelompok, kesenjangan sosial, serta aspek yang lain. Konteks yang dimaksudkan merupakan kalau bahasa dipakai buat tujuan serta aplikasi tertentu, tercantum di dalamnya aplikasi kekuasaan.

Van Dijk merumuskan analisis wacana kritis selaku kajian relasi antara wacana, kuasa, dominasi, ketidaksetaraan sosial, serta posisi analisis wacana dalam kedekatan sosial itu. Lebih jauh dikatakan kalau dalam analisis wacana kritis ditekankan pada konstelasi kekuatan yang terjalin pada proses penciptaan serta reproduksi arti sehingga analisis kitis ini mengaitkan bermacam disiplin ilmu/

multidisiplin. Perihal ini dimaksud kalau orang tidak dikira selaku subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara leluasa cocok

(45)

dengan pikirannya, sebab sangat berhubungan serta dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang terdapat dalam warga.

Senada dengan itu, Hodge melaporkan kalau analisis wacana kritis dimulai oleh pertumbuhan analisis sosial semiotik sehingga timbul teori dialektika Fairclough yang melaporkan kalau wacana selaku aplikasi sosial bisa memunculkan ikatan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan suasana, institusi, serta struktur sosial yang membentuknya. Bagi pemikiran Fairclough analisis wacana kritis pada hakikatnya merupakan analisis terhadap 3 ukuran wacana, ialah bacaan bahasa baik lisan ataupun tulisan, instan kewacanaan berbentuk penciptaan serta interpretasi bacaan, dan instan sosiokultural yang ketiganya ialah satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Kesimpulannya dalam wacana memanglah digunakan bahasa dalam bacaan buat dianalisis, namun bahasa yang dianalisis sedikit berbeda dari riset bahasa dalam penafsiran linguistik tradisional.

Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, namun pula menghubungkan dengan konteks. Bahasa dipakai buat tujuan serta aplikasi tertentu, tercantum di dalamnya aplikasi kekuasaan/tujuan politik. Tidak hanya itu, aplikasi wacana kritis bisa menunjukkan dampak pandangan hidup. Dia bisa memproduksi serta mereproduksi ikatan kekuasaan yang tidak imbang antarakelas sosial, pria serta wanita, kelompok kebanyakan serta

(46)

minoritas lewat perbandingan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan (Suciati 2018:26–30).

Perihal yang berarti dalam AWK merupakan sifatnya yang holistis serta kontekstual. Mutu AWK dinilai dari segi keahlian menempatkan bacaan dalam konteksnya yang utuh serta holistik lewat pertautan antara analisis pada jenjang bacaan serta analisis pada konteks pada jenjang yang lebih besar.

e. Model-Model Analisis Wacana Kritis 1. Norman Fairclough (1998, 1992, 1995)

Norman Fairclough diketahui selaku tokoh yang kerap berhubungan dengan pendekatan pergantian sosiokultural dalam analisis wacana. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Meter.

Foucoult tentang orders of discourse, Julie Kristeva tentang intertekstualitas, serta Meter. Bakhtin tentang kekuasaan bahasa.

Dia membangun sesuatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik serta pemikiran sosial serta politik yang secara universal diintegrasikan pada pergantian sosial. Model Fairclough ini lebih diketahui selaku model pergantian sosial sebab memandang konsumsi bahasa selaku aplikasi sosial.

Fairclough mengemukakan kalau aplikasi sosial wacana dibagi ke dalam tiga ukuran ialah text, discourse practice, serta sociocultural practice.

(47)

1) Dimensi Teks

Dalam pemikiran kritis, bacaan dibentuk dari beberapa piranti linguistis. Dalam pelaksanaannya, analisis wacana kritis menggunakan piranti linguistis buat memerikan kepemilikan struktur linguistik dalam bacaan. Bagi Fairclough, pemerian ini berbentuk analisis terhadap kosakata, gramatika, serta struktur bacaan.

2) Dimensi Praksis Wacana

Discourse practice (praksis wacana) ialah ukuran yang berhubungan dengan proses penciptaan serta mengkonsumsi bacaan, misalnya pola kerja, serta bagan kerja.

Ukuran praksis wacana tercantum dalam sesi interpretasi. Identitas tekstual jadi nyata beroperasi secara sosial kala bacaan dilekatkan dalam interaksi sosial tempat bacaan itu dibuat serta ditafsirkan. Pengertian dicoba buat mengungkap ikatan antara penciptaan serta interpretasi proses diskursif. Sesi ini berkaitan dengan urutan-urutan wacana, ialah praksis diskursif suatu institusi serta ikatan antarpraksis itu.

Bagi Fairclough, interpretasi dihasilkan lewat campuran apa yang terdapat dalam bacaan dengan apa yang terdapat dalam penafsir. Dari sudut pandang penafsir, fitur-fitur resmi bacaan ialah petunjuk ataupun isyarat yang menggerakkan

(48)

elemen-elemen sumber ataupun bahan-bahan partisipan tempat pengertian itu dihasilkan lewat silih pengaruh secara dialektis antara petunjuk serta bahan-bahan partisipan itu.

Interpretasi konteks meliputi ikatan konteks suasana serta jenis wacana, ikatan konteks antartekstual dengan presuposisi, serta tindak ujaran.

3) Dimensi Praksis Sosiokultural

Ukuran yang terakhir, sociocultural practice merupakan ukuran yang berhubungan dengan konteks di luar bacaan, misalnya konteks suasana, budaya warga serta budaya politik tertentu yang hendak mempengaruhi terhadap bacaan dalam karya sastra. Ulasan aplikasi sosial budaya meliputi 3 tingkatan, ialah situasional, berkaitan dengan penciptaan serta konteks situasinya : institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal ataupun eksternal; serta sosial budaya, berkaitan dengan suasana yang lebih makro, semacam sistem politik, sistem ekonomi, serta sistem budaya warga secara totalitas.

Ikatan antara bacaan serta struktur sosial dimediasikan oleh konteks sosial wacana. Wacana hendak beroperasi secara sosial selaku bagian dari proses perjuangan institusional serta warga. Anggapan ide sehat wacana bermuatan pandangan hidup cocok dengan ikatan sosial

(49)

tertentu. Ikatan wacana dengan proses-proses perjuangan serta ikatan kekuasaan ialah bagian dari prosedur analisis wacana kritis sesi ketiga, ialah eksplanasi.

Tata cara eksplanasi digunakan buat membagikan uraian tentang ikatan fitur- fitur tekstual yang heterogen dengan proses pergantian sosiokultural, baik pergantian warga, institusional, serta cultural. Bagi Fairclough tujuan sesi eksplanasi merupakan memotret wacana selaku bagian proses sosial, selaku praksis sosial, yang menampilkan bentukan wacana oleh struktur sosial serta reproduksi yang pengaruhi wacana secara kumulatif.

2. Teun Van Dijk (1977, 1997, 2006)

Teun van Dijk merupakan seseorang mahaguru pada Universitas Amsterdam. Namanyaacapkali dikaitkan dengan pendekatan kognisi sosial pada analisis wacana kritis. Karenanya, model van Dijk acapkali dianggap sebagai “kognisi sosial”.

Menurutnya penelitian perihal wacana relatif hanya berdasarkan dalam analisis teks semata, lantaran teks hanyalah output menurut suatu praktik produksi yang wajib pula diamati. Dalam hal ini wajib ditinjau bagaimana suatu teks diproduksi, sebagai akibatnya diperoleh suatu pengetahuan mengapa teks eksklusif menjadi seperti itu. Model van Dijk lebih menekankan kognisi sosial individu yang menghasilkan teks tersebut. Van Dijk melihat

(50)

bagaimana struktur sosial, penguasaan dan grub kekuasaan yang terdapat pada warga dan bagaimana kognisi/pikiran dan pencerahan yang membangun dan berpengaruh terhadap teks eksklusif.

Wacana berdasarkan van Dijk mempunyai tiga bangunan, teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk merupakan penggabungan ketiga dimensi wacana tersebut ke pada kesatuan analisis. Bagaimana struktur teks dan taktik wacana yang digunakan buat menegaskan suatu tema eksklusif yang merupakan analisis perihal wacana pada level teks. Pada level kognisi sosial dianalisis proses produksi teks yang melibatkan kognisi individu politikus. Sementara itu, bangunan wacana yang berkembang pada masyarakat pada suatu masalah dianalisis pada level konteks. Ketiganya sebagai satu kesatuan yang saling bekerjasama dan saling mendukung satu sama lain.

3. Sara Mills (2007)

Sara Mills merupakan salah satu penulis teori wacana yang banyak memusatkan perhatiannya pada wacana feminisme, yakni bagaimana wanita ditampilkan pada teks termasuk pada karya sastra. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh Mills juga disebut perspektif feminis. Titik perhatian wacana feminis yaitu bagaimana teks menampilkan wanita. Pemikiran Mills ini tidak terlepas pada Michael Foucault, terutama berkaitan pada diskursus.

(51)

Sebagaimana diketahui, karya-karya Foucault ini sangatlah penting bagi perkembangan berbagai teori yang secara luas dikelompokkan di bawah istilah diskursus.

Seperti halnya dengan analisis wacana lain. Mills menempatkan representasi pada bagian terpenting pada analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Akan tetapi, berbeda dengan tradisi critical linguistic yang memusatkan pada struktur kata, kalimat, atau kebahasaan.

Mills disini lebih menekankan bagaimana posisi berbagai tokoh sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan di dalam teks.

Mills melihat bagaimana posisi tokoh ditampilkan pada teks.

Posisi ini dimaksudkan menjadi siapa sebagai subjek penceritaan dan siapa yang sebagai objek penceritaan. Keduanya akan memilih struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan pada teks secara keseluruhan. Selain posisi tokoh pada teks, Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan pada teks. Bagaimana penempatan pembaca dan tokoh pada teks akan berpengaruh terhadap pemahaman teks.

Yang pada akhirnya cara penceritaan dan penempatan tokoh dalam posisi eksklusif pada teks akan memilih satu pihak sebagai legitimate dan pihak lain sebagai illegitimate.

(52)

Dalam membentuk teori tentang posisi pembaca, Mills mendasarkan dalam teori ideologi yang dikemukakan Althusser yang mengombinasikan teori marxis dan psikoanalisis. Gagasan Althusser yang digunakan Mills, sebagaimana diungkapkan Eriyanto terdiri dari dua hal penting. Gagasan Althusser tentang interpelasi yang berhubungan dengan pembentukan subjek ideologi pada warga merupakan hal yang pertama. Argumentasi dasarnya merupakan aparatus ideologis (ideological state aparatus) merupakan organ yang secara tidak eksklusif mereproduksi syarat-syarat produksi pada warga. Lewat gagasan ini individu ditempatkan menjadi subjek. Gagasan ini memberikan kesadaran mengenai posisi individu pada warga. Individu menjadi subjek pada dua dunia, subjek menjadi individu dan subjek dari Negara/kekuasaan. Subjek dan pengakuan akan posisi ini dihubungkan menggunakan syarat interaksi individu menggunakan holistik produksi makna yang terdapat pada warga.

Althusser menyebutnya interpelasi, melalui apa seorang akan ditempatkan posisinya pada warga. Gagasan Althusser yang kedua merupakan kesadaran. Kesadaran berhubungan dengan penerimaan individu mengenai posisi-posisi itu sebagai suatu kesadaran. Orang-orang yang mengalami interpelasi akan mendapat suatu kenyataan dan suatu kebenaran.

(53)

Gagasan Althusser inilah yang banyak mengilhami terutama pada analisis teks. Bagaimana pembaca diposisikan pada teks, bagaimana penulis melalui teks yang dibuat menempatkan dan memposisikan pembaca pada subjek tertentu dalam keseluruhan jalinan teks. Mills mengungkapkan teks merupakan suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca dipandang tidak hanya pasif menerima teks, tetapi ikut juga melakukan transaksi sebagaimana yang dilihat pada teks.

Analisis model Mills dapat dikategorikan sebagai analisis wacana feminis yang berpijak pada teori wacana Foucault yang mendapat pengaruh analisis wacana kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Fairclough dan Wodak. Ide Foucault mengenai relasi kekuasaan memberi inspirasi pada kaum feminis yang kemudian meminjamnya dalam formulasi analisis wacana feminis (AWF). AWF dapat dikatakan pertemuan antara feminisme (postrukturalis), Foucault dan AWK. Perbedaan antara AWK dan AWF terletak pada fokus perhatiannya, sementara itu metode yang digunakan tidak terlampau berbeda. Fokus AWF ditujukan pada pemberdayaan perempuan dan keadilan gender, oleh karena itu, ia banyak menggunakan teori gender dan feminis (postrukturalis) dalam mengungkapkan manifest relasi kekuasaan dan ideologi dalam wacana.

(54)

Pijakan teoretis AWF di antaranya adalah kepercayaan bahwa bahasa mengkonstruksi identitas termasuk gender.

Dengan demikian, gender bersifat diskursif, artinya gender dikonstruksi baik secara sosial maupun individual dalam wacana.

Dalam pengertian ini relasi gender individu atau kelompok masyarakat dapat dilihat melalui pembacaan kritis terhadap wacana yang berkembang. Dalam pengertian ini FDA tidak hanya meyakini bahwa wacana selalu bersifat opresif melainkan dapat bersifat empowering atau memberdayakan.

Pengaruh feminisme postrukturalis dalam AWF terletak pada perhatiannya yang besar terhadap isu-isu yang bersifat personal dan individual, tapi sekaligus majemuk, yang kurang pendapat perhatian pada gerakan feminisme lainnya. Seperti diketahui feminis postrukturalis atau yang dalam tataran praksis sering pula disebut sebagai feminisme gelombang ketiga di antaranya memiliki slogan bahwa „personal is political‟, yang memberi perhatian pada isu-isu yang tadinya dianggap kurang penting seperti pengasuhan anak, ketenagakerjaan domestik, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hak-hak reproduksi perempuan. Slogan personal is political yang kemudian memberi roh feminisme postrukturalis ini sesungguhnya berlandaskan pada pendapat Foucault yang menyatakan bahwa segala sesuatunya bersifat politis (everything is political).

(55)

Pandangan ini sangat berguna karena memberi ruang sekaligus harapan bagi kaum perempuan untuk melakukan penolakan dan resistensi politis terhadap tekanan-tekanan yang mereka hadapi melalui kegiatan sehari-hari serta suara-suara personal mereka. Mereka juga melihat bahwa percakapan sehari- hari kaum perempuan, suara-suara dan bahkan kediamdirian yang selama ini mereka pendam karena merasa tidak berguna dapat menjadi alat dan sarana yang kuat untuk memperjuangkan hak- hak politik perempuan (Suciati 2018:30–47).

C. Kerangka Pikir

Karya sastra terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Puisi, Prosa Fiksi, dan Drama. Berdasarkan dari ketiga karya sastra tersebut, penelitian ini akan mengkaji tentang jenis prosa yaitu Novel yang berjudul “Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri” Karya Y.B. Mangunwijaya. Kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk ketidakadilan gender dengan menggunakan teori analisis Sara Mills. Teori Sara Mills membahas tentang masalah Posisi Subjek-Objek dan Posisi Pembaca.

Kemudian kedua hal tersebut dianalisis kemudian mendapatkan temuan.

Kerangka pikir penelitian digambarkan dalam bentuk sebagai berikut :

(56)

Gambar Bagan Kerangka Pikir

Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya

(Analisis Wacana Kritis Sara Mills)

Karya Sastra

Puisi Prosa Fiksi Drama

Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya

Ketidakadilan Gender

Teori Sara Mills

Posisi Subjek-Objek Posisi Pembaca

Temuan Marginalisasi, Subordinasi, Stereotype,

Kekerasan dan Beban Kerja

(57)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, yakni bertujuan untuk menguraikan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara Mendut (selanjutnya disingkat RM), Genduk Duku (selanjutnya disingkat GD) dan Lusi Lindri (selanjutnya disingkat LL) karya Y.B. Mangunwijaya. Penelitian ini merupakan metode penelitian yang digunakan untuk memeriksa kondisi objek yang alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang konvensional dan tidak dimanipulasi oleh peneliti. Hasil penelitian kualitatif lebih memusatkan makna ketimbang generalisasi (Sugiyono 2011).

B. Data dan Sumber Data a. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini berbentuk kata, frasa, klausa, ungkapan, kalimat dan seluruh isi Trilogi Novel karya Y.B.

Mangunwijaya dengan menelusuri bentuk ketidakadilan gender dalam novel tersebut yang meliputi posisi subjek-objek dan posisi pembaca.

Untuk memastikan data-data, peneliti memakai buku-buku referensi, jurnal dan artikel yang relevan sebagai data pendukung.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah Trilogi Novel Karya Y.B. Mangunwijaya, yaitu Novel Rara Mendut (selanjutnya disingkat

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran peran keluarga dalam perawatan lansia menurut budaya melayu dan

Upaya-upaya khusus yang dilakukan Pe- merintah Sumatera Selatan adalah meningkat- kan komitmen kepala daerah dan stakeholder untuk dapat melaksanakan kegiatan penanaman

Disampaikan kepada masyarakat luas Kelurahan Kudaile Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal melalui Pejabat Pengadaan telah melakukan proses Pengadaan Langsung pekerjaan konstruksi

Alasan peneliti memilih corporate advertising “I #LoveLife Karena Aku Perempuan Indonesia” oleh PT Astra Aviva Life Indonesia dikarenakan adanya kecenderungan bias gender

Jenis Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dengan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan legalitas formal dan pendekatan sosial. Data ini diproleh

Dari konsep tasawuf yang sudah di jelaskan para pakar pendekatan yang di pakai syekh Abul Hasan asy Syadzili, yang tertuang dalam kitab ini menggunakan pendekatan Tasawuf

Menurut Sugiyono (2012 ) “instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang