iii ABSTRACT
This research was conducted to determine the extent of emotional independence in adolescents enrolled in boarding school X in the city. Self-reliance is the state of a person who can stand alone in determining the actions and behavior. According to Steinberg (cited in Fleming, 2005). Four aspects of emotional independence is de-idealized, authority figures as people, non-dependency, Individuated.
This research was conducted with descriptive methods, to gain insight about emotional independence, the survey method. Researchers calculate the validity and find 5 items that are not valid. Validity ranges from 0.057 to 0.788. This means that the processing of the data obtained 31 valid items. Reliability with Cronbach alpha values obtained for 0.838, which means items that are used quite reliable.
From research result obtained, that the majority of teens students have a low degree of emotional independence, only a small percentage have high emotional independence. This means that most of the respondents have a high emotional dependency to the parent figures and their environment.
ii ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemandirian pada remaja yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren X di kota Jakarta. Kemandirian adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri dalam menentukan tindakan dan perilaku. Menurut Steinberg (dikutip Fleming,2005). Empat aspek kemandirian emosional yaitu de-idealized,
authority figure as people, Non- dependency, Individuated.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, untuk mendapatkan gambaran mengenai kemandirian emosional, dengan metode survey. Peneliti melakukan perhitungan validitas dan menemukan 5 item yang tidak valid. Validitas berkisar antara 0.057 sampai dengan 0.788. Hal ini berarti dalam pengolahan data didapat 31 item yang valid. Nilai reliabilitas dengan Alpha Cronbach didapat sebesar 0.838, yang berarti item-item yang digunakan cukup reliabel.
Dari hasilpenelitian didapat, bahwa sebagian besar remaja santri memiliki derajat kemandirian emosional yang rendah, hanya sebagian kecil yang memiliki kemandirian emosional yang tinggi. Hal ini berarti sebagian besar responden memiliki ketergantungan emosional yang tinggi kepada figur orangtua dan lingkungannya.
vi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 9
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 9
1.3.1 Maksud ... 9
1.3.2 Tujuan ... 10
I1.4 Kegunaan penelitian ... 10
1.4.1 Kegunaan ilmiah ... 10
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10
vii
1.6 Asumsi penelitian... 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19
2.1 Pengertian Kemandirian... 19
2.1.1 Definisi kemandirian ... 22
2.1.2 Dimensi kemandirian emosional ... 24
2.1.3Faktor yang mempengaruhi kemandirian emosional ... 24
2.2 Perkembangan Remaja... 38
2.2.1 Tugas-tugas perkembangan ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41
3.1 Rancangan Penelitian ... 41
3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 41
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operational ... 42
3.3.1 Variabel Penelitian ... 42
3.3.2 Definisi Konseptual ... 42
3.3.3Definsi Operational ... 42
3.4 Alat Ukur ... 44
3.4.1 Tabel dimensi indikator alat ukur kemandirian ... 44
3.4.2 Data Penunjang ... 47
viii
3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 47
3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 49
3.6 Populasi dan Teknik penarikkan sampel... 51
3.6.1 Populasi Sasaran ... 51
3.6.2 Karateristik Sampel ... 51
3.6.3 Teknik Penarikkan Sampling ... 51
3.7 Teknik Analisa Data ... 52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
4.1 Ganbaran respondern ... 53
4.1 Tabel berdasarkan jenis kelamin ... 53
4.2 Tabel berdasarkan kelas ... 54
4.3 Tabel ke pesantren atas dasar ... 54
4.4 Tabel keberadaan orang tua ... 55
4.5 Tabel urutan keluarga ... 55
4.6 Tabel kemandirian emosional ... 56
4.7 Tabel dimensi kemandirian emosional... 56
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
5.1 Kesimpulan ... 62
5.2 Saran teoritik ... 62
5.2.1 Saran praktis... 62
5.3 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan kerangka pikir kemandirian ... 17
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh
sangat besar bagi tumbuh kembang remaja. Dengan kata lain, secara ideal
perkembangan remaja akan optimal apabila tumbuh dan berkembang bersama
keluarganya yaitu keluarga yang utuh, dengan kedua orang tua berperan secara
optimal untuk memfasilitasi berbagai kebutuhan fisik dan psikologis remaja.
Keadaaan zaman yang diwarnai oleh kemajuan teknologi dalam berbagai
bidang kehidupan akan berdampak pada mudahnya individu mengakses
informasi-informasi yang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhannya atau mengakses informasi-informasi
yang kurang sesuai, sehingga menimbulkan ekses sampingan yang kurang
menguntungkan. Misalnya, remaja dengan leluasa mengakses situs situs pornografi
tanpa pengawasan orang dewasa atau orangtuanya dan mengakibatkan dampak
negatif yang seringkali kurang terantisipasi. Memang tidak seluruhnya remaja
memanfaatkan teknologi informasi secara salah dan keliru, karena kenyataannya
banyak juga remaja yang dapat mengakses informasi untuk kepentingan-kepentingan
konstruktif bagi pengembangan diriya.
Menyiasati dampak negatif dari teknologi informasi yang tidak sehat itu,
banyak orangtua yang memutuskan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke
2
dengan peraturan yang ditetapkan pihak pengelola pesantren, dan mengantisipasi
pentingnya dasar–dasar agama sebagai penangkal dari efek samping teknologi yang
kurang menguntungkan, agaknya menjadi pertimbangan utama para orangtua untuk
berpaling menyekolahkan anak-anak kependidikan model pesantren.
Pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan berbasis agama Islam
berasrama (Islamic boarding school). Pesantren merupakan lembaga pendidikan
tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Para santri tidak hanya belajar tentang
pokok–pokok bahasan ilmu-ilmu agama saja melainkan belajar ilmu-ilmu umum
sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional, ditambah ketrampilan-ketrampilan
khusus seperti komputer, menjahit, beternak hewan, bertani, olah raga, dan musik.
Selama keberadaannya di pondok pesantren, para santri dihadapkan pada
sejumlah peraturan-peraturan tata tertib yang jauh berbeda dengan sekolah-sekolah
pada umumnya. Terlebih karena para santri ini menjalani kesehariannya tanpa
kehadiran orangtua. Tujuan utama dari diterapkannya segala bentuk peraturan
tata-tertib di pondok pesantren ini, tidak lain adalah untuk menegakkan disiplin kepada
para santri dalam menjalani kehidupan kesehariannya ditengah-tengah keberadaanya
dalam satu komunitas teman sebaya dan sistem tertentu. Aktivitas santri di pondok
pesantren harus mengikuti jadwal terstruktur sebagaimana ditetapkan, dan secara
bahu-membahu bersama-sama santri lainnya menyelesikan berbagai tugas yang
menjadi tanggung jawab masing-masing. Setiap santri tidak boleh mengabaikan tugas
3
pesantren tetap terpelihara dengan baik. Tentu saja setiap santri yang berasal dari latar
belakang beragam ini harus beradaptasi dengan tata-tertib yang ditetapkan pihak
pengelola pesantren bagi kepentingan bersama.
Untuk lebih mendalaminya, penulis mencoba menggambarkan urutan-urutan
kegiatan rutin yang harus dijalankan para santri dalam kesehariannya, sejak terjaga
pada pukul 4 dini hari hingga istirahat di ruang masing-masing pada pukul 22.00.
Seluruh aktivitas santri diawali dengan bangun dan mandi pagi sekitar pukul 4, di
lanjutkan dengan menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah di masjid pesantren
pada pukul 4.30. Para santri akan dikenakan sanksi bila terlambat ke mesjid. Setelah
mereka sholat berjamaah dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah (siraman
rohani) yang disampaikan oleh seorang kyai yang berlangsung sekitar satu jam.
Setelah itu para santri beristirahat selama satu jam, yang umumnya digunakan untuk
membuat sarapan, lalu melanjutkan mengaji selama satu jam. Setelah itu para santri
diperbolehkan untuk beristirahat.
Jam delapan para santri memulai kegiatan sekolah. Materi pelajaran sekolah
60% adalah materi keagamaan dan 40% materi pelajaran umum. Jadwal sekolah
berakhir jam 11.30, para santri bersiap-siap untuk melaksanakan sholat zhuhur yang
dilanjutkan dengan istirahat hingga jam13.30. Setelah itu para santri berkumpul
kembali di masjid untuk mengaji hingga pukul 16.30. Lalu para santri memiliki
waktu bebas hingga masuk waktu sholat maghrib. Ketika waktu bebas tersebut
4
pria, sedangkan untuk santri perempuan digunakan untuk bersantai atau mengobrol
selain itu ada juga yang melakukan aktivitas olah raga, membaca. Masuk waktu
maghrib para santri melakukan sholat berjamaah dan dilanjutkan dengan mengaji
tafsir Al’quran hingga pukul delapan malam. Setelah itu santri bebas kembali ke
kamar masing-masing, waktu tersebut biasanya digunakan oleh para santri untuk
mengerjakan tugas yang diberikan oleh ustad mereka masing-masing. Tepat pukul
22.00 para santri wajib untuk tidur, tidak diperbolehkan melakukan aktifitas apapun
juga di dalam kamar, untuk itu ada ustad yang bertugas mengontrol kamar
masing-masing dari para santri tersebut.
Berdasarkan paparan tentang kegiatan para santri di pondok pesantren, penulis
memahami bahwa salah satu faktor yang menentukan kemampuan penyesuaian diri
para santri di kehidupan pesantren adalah kemampuan para santri utuk menumbuhkan
kemandirian. Bila dicermati, hampir semua aktivitas yang harus dilaksanakan para
santri dalam kesehariannya di pondok pesantren mengharuskannya untuk mandiri.
Steinberg (2001) membagi kemandirian remaja ke dalam tiga bentuk, yaitu
kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai. Menurut
Steinberg, kemandirian emosional akan berkembang mendahului
kemandirian-kemandirian lainnya atau tepatnya mulai berkembang pada fase remaja awal.
Kemandirian berikutnya yang akan dikembangkan remaja adalah kemandirian
perilaku yang bedrlangsung pada fase remaja madia, dan terakhir kemandirian nilai
5
masa remaja, bukan berarti prosesnya dimulai dan diakhiri pada masa remaja.
Perkembangan kemandirian akan terus berproses sekalipun individu telah memasuki
masa dewasa. Akan tetapi yang ingin ditekankan oleh Steinberg adalah bahwa
kemandirian emosional akan melandasi berkembangnya kemandirian lainnya, dan
karenanya memosisikan kemandirian emosional sebagai “modal” remaja untuk
menegakkan kemandirian secara utuh dan menyeluruh.
Pendidikan di dalam pesantren menjadi pijakan berikutnya dari penegakan
kemandirian siswa. Setelah sebelumnya siswa pondok pesantren ini beranjak dari
lingkungan keluarga dengan pola pendidikan informal tertentu yang diterapkan oleh
orangtuanya dan telah meletakkan dasar-dasar pembentukan kemandirian, tidak
terkecuali kemandirian emosional. Saat memasuki kehidupan di pondok pesantren
dan kehidupan berasrama, maka siswa kembali dihadapkan pada satu keadaan yang
menuntutnya untuk beradaptasi. Sebagaimana telah diilustrasikan di atas tentang
rangkaian-rangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa di awal pergantian hari, di
setiap hari di dalam pondok pesantren - secara langsung atau tidak langsung -
kedaan ini akan menghadapkan kemandirian emosional yang telah terbangun
sebelumnya di lingkungan keluarga dan akan semakin mengembangkannya
mengingat pada dasarnya lingkungan pesantren berupaya untuk menenggakkan dan
meningkatkan kemandirian emosional para santri sehingga menjadi pribadi yang
6
Sebagai bentuk kemandirian yang berkembang lebih dulu, maka penegakan
kemandirian emosional memegang peranan penting dan membawa dampak positif
bagi remaja apabila berkesempatan mengembangkannya secara konstruktif di bawah
arahan lingkungan yang kondusif. Remaja dengan kemandirian emosional tinggi
memerlihatkan upaya yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan permasalahan
yang dijumpai, khususnya di lingkungan pesantren, tanpa perlu tergesa-gesa meminta
bantuan orang lain. Kemandirian emosioan akan memampuka remaja untuk bersaing
dengan teman sebayanya dalam pengertia positif, memampukannya pula untuk
mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukannya tanpa menunggu orang
lain mengambilkan keputusan baginya. Sesuai dengan visi dan misi pondok
presantrena yang berkeinginan menyiptakan manusia berakhlak mulia dan memiliki
kemampuan intelektual yang sejalan dengan ajaran Islam, sehingga dapat menjalani
kehidupan di luar pesantren (kelak) sesuai dengan tuntunan agama.
Telah pula diungkapkan sebelumnya bahwa pembentukan kemandirian
emosional dapat diartikan sebagai suatu proses yang panjang, berawal dari
lingkungan keluarga dan akan berlanjut terus hingga seseorang memasuki lingkungan
yang lebih luas. Kenyataam ini ditunjukkan oleh beberapa hasil studi terkini tentang
kemandirian emosiolnal menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian emosional
terjadi pada rentang waktu yang cukup lama. Perkembangannya dimulai pada awal
masa remaja (early inadolescene) dan dilanjutkan secara lebih sempurna pada masa
7
pondok pesantren siswa tetap akan mengembangkan kemandirian emosionalnya dan
aturan-aturan dalam pondok pesantren dapat dipandang sebagai faktor pemicunya.
Menurut Steinberg ada empat aspek kemandirian emosioanl, yaitu(1)
sejauhmana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, (2)
sejauhmana remaja mampu memandang orang tua sebagai orang dewasa pada
umumnya (parent as people), (3) sejauhmana remaja tergantung kepada
kemampuannya sendiri tampa mengharapkan bantuan emosional pada orang tuanya
(non dependency), (4) sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di
dalam hubungannya dengan orang tua. Untuk memeroleh kejelasan tentang gambaran
kemandirian emosional siswa di pondok pesantren ini, berikut penulis akan
memaparkannya.
Survai awal yang telah penulis lakukan di pondok pesantren ”X” Kota
Tangerang, memperoleh gambaran. santri yang beranjak remaja merasakan bahwa
mereka tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui
segala-galanya atau menguasai segala-segala-galanya. Dalam artian mereka mulai dapat
memikirkan kembali apa yang orang tuanya katakan, mereka tidak langsung
menyetujui semua apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Hal ini dilihat dari perilaku
santri yang tidak langsung percaya dengan pendapat yang diberikan oleh orang
tuanya. Mereka berusaha untuk mencari informasi tambahan dengan mengakses
informasi dari internet atau bertanya kepada orang lain sehingga dapat diperoleh
kejelasan suatu informasi. santri masih memandang orang tua mengetahui
segala-galanya dan menguasai segala-segala-galanya. Mereka masih berangapan orang tua
selamanya tahu, benar, dan berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit sekedar
untuk menerima pandangan bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.
Santri memandang bahwa orang tua adalah sebagai orang pada umumnya,
8
bebas berinteraksi dengan orang tua, misalnya mereka bebas untuk mengungkapkan
pendapat dan mampu berdiskusi dengan orang tua mengenai permasalahan yang
dihadapi. Dengan demikian, mereka merasa bahwa orang tua merupakan orang yang
menyenangkan dan mampu memahami perasaan yang dialami oleh anaknya. Santri
merasakan bahwa orang tuanya tidak sama seperti orang lain pada umumnya. Santri
merasa bahwa orangtua adalah orang yang selalu benar tidak pernah salah semua
pendapatnya benar,ada batasan antara dirinya dengan orang tua, mereka merasa
bahwa hubungan mereka dengan orang tua tidak dapat sebebas seperti mereka
berhubungan dengan yang lainnya. mereka mengangap orang tua adalah orang yang
sangat dipatuhi.
Sementara itu bahwa santri yang memiliki kemandiriannya rendah
mengungkapkan masih tergantung kepada orang tuanya terutama saat mengalami
kesedihan, kekecewaan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku santri saat sedang
mengalami masalah di pesantren, mereka langsung menelepon untuk meminta saran
kepada orang tuanya.
Sedangkan santri yang lainnya berupaya untuk tidak meminta bantuan kepada
orang tuanya. Hal ini dilihat dari perilaku santri ketika sedang mendapatkan masalah,
mereka berupaya untuk menyelesaikan sendiri dengan cara memikirkan permasalahan
dan mencari jalan keluarnya. Misalnya ketika ia dimarahi oleh gurunya, ia tidak
menghubungi kedua orang tuanya namun ia merenung atas kesalahannnya dan
apabila telah mengetahui letak kesalahannya, mereka berusaha untuk memperbaiki
dan meminta maaf kepada gurunya sehingga masalahnya dapat teratasi dengan cara
demikian.
Perilaku individuasi yang dapat dilihat ialah mampu melihat perbedaan antara
padandangan orang tua dengan pandangan sendiri tentang dirinya. Berdasarkan
wawancara, santri mampu mengelola keuangannya, seperti santri diberikan uang
9
mereka tidak menghabiskan uang bulanan semuanya. Namun mereka mensisihkan
sisa dari pengeluarannya itu dengan menabungnya, mereka ikut dalam koperasi yang
ada dipondok dan uang mereka tabung di koperasi tersebut.
Sementara santri yang tidak memiliki (individuated) Santri cenderung
menghabiskan uang bulanan mereka, menurut santri hal tersebut merupakan haknya
dan santri merasa perlu untuk membeli segala keperluannya. Apabila uang tersebut
habis sebelum waktunya mereka dapat meminta lagi kepada orang tuanya, dan orang
tuanya memberikan permintaan dari anaknya tersebut.
Berdasarkan fakta yang terjadi peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
kemandirian terutama kemandirian secara emosional pada santri yang berada di
Pondok Pesantren “X” di KotaTangerang.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemandirian pada
remaja yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren X di kota Tangerang.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud
Bertitik tolak dari masalah yang ada, maksud dari penelitian ini adalah untuk
memeroleh gambaran mengenai kemandirian anak yang menjalani pendidikan di
10
1.3.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kemandirian pada
remaja, yang sedang menjalani pendidikan di pondok pesantren X di kotaTangerang.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
1) Menambah informasi bagi pengembangan psikologi khususnya bidang
psikologi perkembangan, mengenai kemandirian pada anak remaja yang
sedang menjalani pendidikan di pondok pesantren.
2) Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut
mengenai kemandirian, terutama pada anak yang berusia remaja ditempat lain.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1) Memberikan masukan kepada santri pondok pesantren tentang cara
bagaimana agar dapat mengembangkan kemandirian emosional.
2) Memberikan masukkan kepada para orang tua yang memiliki anak yang
sedang menjalani atau yang akan mengirimkan anaknya pada pendidikan di
pondok pesantren.
3) Memberikan informasi kepada pihak pondok pesantren mengenai kemandirian
11
pesantrennya dengan menerapkan kurikulum yang tepat sesuai dengan kondisi
anak didiknya.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kemandirian merupakan aspek yang penting dalam kehidupana remaja,
karena kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang harus
dicapai guna memersiapkan diri untuk menuju kematangan orang dewasa. Steinberg
mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan individu dalam bertingkah laku,
merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendaknya sendiri.
Kenyataan ini dimungkinkan mengingat pada masa remaja terjadi peningkatan
tanggung jawab, kemandirian, dan menurunnya tingkat ketergantungan terhadap
orangtua. Oleh karena itu, kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan
yang penting pada periode remaja.
Kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan
remaja berfungsi otonom dan berusaha ke arah prestasi pribadi dan tercapainya suatu
tujuan. Berdasarkan definisi di atas mandiri/ kemandirian dan otonom / autonomy
memunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan terhadap orang
lain, memunyai tanggung jawab pribadi, serta mampu menyelesaikan masalah sendiri
tanpa bantuan orang lain.
Menegakkan kemandirian, menurut Steinberg (2005), sama pentingnya
12
mampu menguasai dan mengatur diri sendiri yang sekaligus merupakan salah satu
tugas perkembangan paling mendasar dalam tahun-tahun pertama masa remaja.
Pencapaian kemandirian bagi remaja merupakan proses yang tidak mudah, mengingat
pada periode perkembangan sebelumnya seorang anak sedemikian bergantung kepada
orangtuanya dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya. .
Hal ini dapat terjadi pada santri yang menjalani pendidikan di pondok
pesantren X di Kota Jakarta. Santri dituntut mampu menyelesaikan tugas-tugasnya,
termasuk apabila dirinya bermasalah dengan penyelesaian tugas tersebut.
Keterpisahannya dari orangtua karena mereka tinggal terpisah dengan kedua orang
tuanya. Di pesantren X di Kota Jakarta terdapat 70 % santri berada pada tahap
perkembangan remaja. Kehidupan di pondok pesantren pada awal mulanya memang
sangat sulit diatasi oleh para santri yang mengenyam pendidikan di dalamnya, mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa suka atau tidak suka mereka tetap harus menjalani
pendidikan di dalam pondok pesantren tersebut. Mereka tidak memiliki pilihan lain
selain menerima dan harus menjalani hidup terpisah dengan keluarganya. Namun
dengan berjalannya waktu pada akhirnya para santri yang menjalani hidup di pondok
pesantren tersebut mulai dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan peraturan yang ada di dalam asrama.
Ketika remaja tersebut harus beradaptasi dengan lingkungan baru mereka
tidak lagi terombang-ambing dengan hal-hal yang mereka temui dilingkungan
prinsip-13
prinsip positif. Kemandirian pada remaja berkembang melalui proses yang panjang,
yang dimulai sejak remaja awal sampai usia remaja akhir. Steinberg (2005)
mengungkapkan bahwa kemandirian emosional merupakan dasar dari perkembangan
kemandirian.
Emotional autonomy (kemandirian emosi) yaitu aspek kemandirian yang
berhubungan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional
individu, terutama dengan orangtua. Ketika seorang anak telah memasuki usia
remaja, maka hubungan antara anak dengan orangtua akan terasa berubah, seiring
dengan timbulnya kemandirian seorang anak, terutama dalam hal mengurus dirinya
sendiri. Maka waktu yang diluangkan untuk kebersamaan orangtua terhadap anaknya
akan semakin berkurang. Interaksi sosial pada seorang remaja yang awalnya lebih
banyak terjadi dalam lingkungan keluarganya akan bergerak menuju ke lingkungan di
luar keluarganya. Jika selama ini seorang anak remaja ketika masih dalam masa
kanak-kanak interaksi sosialnya terbatas hanya dalam lingkungan keluarga, maka
pada masa remaja hal ini mulai berkurang seiring dengan bertambah luasnya
lingkungan sosial atau pertemanan dari remaja yang didapatnya.
Keterikatan seorang remaja dengan orangtuanya akan semakin berkurang, ia
akan berubah menjadi dirinya sendiri dan berusaha mencari model yang sesuai
dengan keinginannya. Meskipun ikatan emosional sebagai seorang anak terhadap
orang tuanya tidak serta merta dapat diputuskan (Rice,1996). Kemandirian emosional
14
berprilaku dan nilai. Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan
untuk melihat pandangan orang tua secara lebih obyektif sedangkan kemandirian
perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam berperilaku yang dapat
dipertanggunga jawabkan. Kemandirian nilai dapat menjadi bekal bagi remaja dalam
upaya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan kepadanya
(Steinberg,2005). Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung
belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Remaja akhir
merupakan kesempatan bagi bagi remaja untuk melakukan koreksi-koreksi,
penegasan kembali, dan menilai ulang terhadap keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai
yang mereka warisi sejak masih berada dalam masa kanak-kanaknya.
(Steinberg,2005). Empat aspek kemandirian emosional yaitu de-idealized, authority
figure as people, Non- dependency, Individuated.
Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah de –idealized. De–
idealized adalah kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Remaja
yang mandiri tidak serta merta lari kepada orangtua ketika mereka dirundung
kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan. Santri yang
memiliki de-idealized yang tinggi adalah santri yang dapat menempatkan de-idealized
terhadap orang tuanya pada proposi yang wajar. Santri tersebut dapat menerima
apabila ada orang lain yang lebih baik dari pada orangtuanya, dan santri tidak
langsung meminta bantuan kepada orangtuanya ketika menghadapi suatu
15
sedang dihadapinya. Sedangkan santri yang memiliki de-idealized rendah, maka
santri tersebut sangat mengidolakan orang tuanya. Ketika santri tersebut menemui
kesulitan maka dia akan lari meminta bantuan kepada orang tuanya untuk dapat
membantunya memecahkan masalahnya.
Aspek kedua adalah authority figure as people yaitu kemampuan remaja
dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Remaja tidak
lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau
menguasai segala-galanya. Santri yang memiliki figure as people tinggi tidak
memandang bahwa orang tua adalah sehgala-galanya, orang tua itu adalah sama
seperti orang yg lain pada umumnya. Sedangkan santri yang memiliki figure as
people yang rendah. Memandang bahwa orangtuanya mengetahui segala-galanya
sehingga apa pun yang dikatakan oleh orang tua santri akan mempercayainya.
Aspek berikutnya adalan Non dependency yaitu, remaja tidak bergantung
pada orang lain (figur otoritas) yakni suatu derajat dimana remaja lebih bergantung
kepada dirinya sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk meminta bantuan.
Remaja sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan
hubungan-hubungan diluar keluarga dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih
dekat dengan teman-teman daripada orangtua. Santri yang meiliki non dependency
tinggi tidak akan bergantung kepada figur otoritas, santri tersebut lebih memiliki
kepercayaan kepada dirinya sendiri dan tidak meminta pertolongan kepada orang
16
sangat bergantung kepada orangtuanya dan tidak mempercayai akan kemampuan
dirinyasendiri.
Terakhir adalah Individuated yaitu remaja memiliki derajat individuasi dalam
hubungan dengan orang tua (Individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih ber
tanggung jawab, didalam berperilaku dapat terlihat ialah remaja tersebut mampu
melihat perbedaan antara pandangan orang tua dengan pandangan nya sendiri tentang
dirinya, menunjukkan perilaku yang lebih bertanggung jawab. Remaja mempu
memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai orang pada umumnya, bukan
semata-mata sebagai orang tua. Santri yang memiliki individuated tinggi, santri
tersebut memiliki rasa tanggung jawab yang baik dengan apa yang di perbuatnya dan
santri dapat membedakan mana yang merupakan pandangan dari orang tuanya dan
mana yang menjadai pandangan dari pribadinya sendiri. Berkaitan dengan
kemandirian emosionalnya itu, pada dasarnya saat memaski lingkungan ponpes para
santri sudah memiliki dasar – dasar kemandirian emosional sebagai hasil dari gaya
pengasuhan orang tuanya dirumah. Kemandirian emosional yang telah terbentuk itu
kemudian harus diadaptasikan dengan, tuntas keadilan yang tuntas dilingkungan
Ponpes. Ini artinya,akan terjadi dinamika antara dasr-dasar kemandirian emosional
yang telah terbentuk melalui lingkungan keluarga dengan kemandirian emosional
yang dibentuk melalui lingkungan ponpes. Ada beberapa akibat dari dinamika diatas,
yaitu siswa bertambah kuat kemandirian emosionalnya, atau sebaliknya. Melaui
17
terhadap orang tua menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah
stress dan depresi. Berprestasi baik dan disukai oleh lingkungan dan masyarakat.
Dari uraian diatas dapat digambarkan melalui skema kerangka pemikiran
seperti berikut :
BAB III
1.1.Skema Kerangka Pemikiran
Kemandirian emosional Santri Di Pondok
Pesantren X di Kota Jakarta
Aspek kemandirian emosional :
- De-Idealized
- Authority figure as people
- Non dependency
- Individuated
Rendah Tinggi Faktor yang
mempengaruhi:
- Pola asuh
18
1.6 Asumsi penelitian.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah diuraikan diatas, diajukan beberapa
asumsi sebagai berikut :
1. Setiap remaja memiliki kecenderungan untuk mandiri, karena merupakan
salah satu aspek tugas perkembangan.
2. Remaja memiliki tuntutan internal dari dalam dirinya untuk mencari jati
dirinya sebagai remaja yang mandiri.
3. Kemandirian emosional pada remaja berkembang lebih dulu sebagai dasar
perkembangan, karena kemandirian tingkah laku dan kemandirian nilai mulai
berkembang dengan mempersyaratkan kemandirian emosional yang cukup.
4. Kemandirian emosional remaja tumbuh atau berkembang sejak awal
kebidupan dimasa kanak-kanak, melalui kedekatan hubungan emosional
dengan orang tuanya. Sehingga perkembangan kemandirian emosional tidak
terlepas dari interaksinya dengan orangtuanya.
5. Kemandirian emosional remaja dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pola
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ternyata data yang didapat
menunjukkan :
1. Kemandirian emosional pada remaja dipondok pesantren “X” dikota
Tangerang lebih banyak yang rendah daripada yang tinggi.
2. Dari hasil data yang diperoleh ternyata santri yang duduk dikelas VIII dan
kelas VII yang memiliki kemandirian emosional rendah
3. Dari hasil pengolahan data santri yang memiliki tipe pola asuh
authoritative ternyata menghasilkan kemandirian emosional rendah.
5.2. SARAN TEORITIK
- Peneliti menyarankan pada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan
penelitian dalam jumlah yang besar, sehingga hasil penelitian dapat
digeneralisasiikan.
- Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat menambah data
63
- Peneliti menyarankan untuk dapat mencoba metode-metode penelitian seperti
korelasi, untuk dapat melihat hubungan-hubungan antara faktor-faktor lain
terhadap kemandirian emosional, sehingga proses dinamika terjadinya
kemandirian emosional dapat dilihat.
5.2.1 SARAN PRAKTIS
- Peneliti menyarankan kepada pihak pondok pesantren untuk dapat
memberikan kesempatan pada para santri mengikuti kegiatan-kegiatan yang
positip seperti mengadakan perlombaan antar santri baik itu perlombaan
dalam bidang studi, maupun bidang ektrakulikuler lainnya.
- Peneliti menyarankan kepada pihak pengasuh untuk dapat memberikan
kesempatan bagi para santri untuk melibatkan dan meminta pendapat
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tata tertib dipondok pesantren.
Sehingga santri merasa dihargai dan diharapkan akan dapat membantu santri
64
santri yang duduk pada bangku SMP dari kelas VII,VIII dan IX, yang secara
teoritik usia mereka ada pada tahap perkembangan awal. Yang mana pada tahap
perkembangan tersebut santri tengah berjuang untuk menegakkan kemandirian
emosional. Hal ini sejalan dengan pandangan teorotik dari Steinberg (2002) yang
menyatakan bahwa perkembangan kemandirian emosional merupakan proses yang
berlangsung panjang dan lama bahkan hingga dewasa muda.
5.3 SARAN
- Peneliti menyarankan pada peneliti selanjutnya untuk dapat
melakukan penelitian faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi
kemandirian emosional.
o Peneliti menyarankan kepada pihak pondok pesantren untuk dapat
memberikan kesempatan pada para santri untuk dapat menjalin
hubungan emosional yang kuat satu sama lainnya, dengan harapan
mereka dapat saling meningkatkan kemandirian emosionalnya, dan
mengurangi ketergantungan kepada orangtuanya.dengan cara banyak
DAFTAR PUSTAKA
Steinberg, Laurence D. Adolecent. Third Edition 1993.Ruttle, Shaw & wetheril, Inc North
American
Bert, Laura. Child Development. 2003. Allyn & Bacon. Boston
Rice, F Philip. The Adolescent, 1998. Allyn 7 Bacon. Needham Heights, Ma 02194
DAFTAR RUJUKKAN