BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR
DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Deskripsi Teoretis
1. Hakikat Fisika dan Hasil Belajar Fisika
Pada hakikatnya belajar adalah proses perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan, dimana tujuan kegiatan adalah
perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap , bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Menurut Winkel (1991) bahwa belajar adalah
aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Jadi hasil belajar berbentuk perubahan perilaku yang terjadi setelah orang (individu) melakukan aktivitas belajar tertentu. Perubahan itu baik
dalam kemampuan kognitif, psikomotor, maupun afektif yang akan nampak pada saat orang melakukan sesuatu.
Snelbecker (1974) menyebutkan bahwa perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar mempunyai karakteristik sebagai hasil interaksi aktif atau pengalaman individual dengan objek belajar dan
perubahan itu bersifat menetap atau relatif permanen. Artinya perubahan yang terjadi adalah karena interaksi aktif individu dengan
belajar, bukan karena proses pertumbuhan dan atau kematangan,
serta perubahan itu bersifat relatif konstan yang berbekas. Hal ini selaras dengan konsep belajar yang dikemukakan oleh Wittig bahwa belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku
organisme yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman (Gagne, 1977), maupun konsep belajar dari Gagne yang menyatakan bahwa belajar
adalah perubahan dalam disposisi dan kapabilitas manusia yang bertahan dalam kurun waktu tertentu dan bukan merupakan hasil dari pross pertumbuhan. Perubahan perilaku hasil belajar dapat berarti
berubah ke arah yang lebih baik ataupun ke arah yang lebih buruk. Kalau mengacu pada taksonomi tujuan pendidikan, maka hasil
belajar itu dapat berupa perubahan dalam hal kemampuan kognitif, psikomotorik, maupun dalam kemampuan afeksi, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pola perilaku maupun sikap manusia yang
telah belajar. Hasil belajar tidak dapat diketahui secara langsung tanpa orang (yang telah belajar) melakukan sesuatu yang merupakan
perwujudan (penampakan) dari kemampuan yang telah diperoleh dari belajarnya. Itu berarti bahawa perubahan perilaku yang terjadi disebut sebagai hasil belajar apabila pengetahuan, keterampilan, dan sikap
atau nilai-nilai baru itu diperoleh setelah individu melakukan aktivitas belajar bukan yang telah dimiliki sebelum orang memasuki situasi
Perubahan kemampuan yang diakibatkan oleh pengalaman
belajar, merupakan proses mental dan emosional untuk merespon perlakuan sehingga mampu menerapkan dan mengkomunikasikannya. Prinsip ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Winataputra (2001)
bahwa belajar adalah suatu proses mental dan emosional atau proses berfikir dan merasakan. Selanjutnya Pidarta (1997) menekankan
bahwa belajar adalah perubahan prilaku yang relatif permanent sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang
lain. Menurut Snelbecker (1984) mengatakan bahwa ciri-ciri tingkah laku yang diperoleh dari hasil belajar adalah: (a) terbentuknya tingkah
laku baru berupa kemampuan actual maupun potensial, (b) kemampuan baru itu berlaku dalam waktu yang relative lama, dan (c) bahwa kemampuan baru itu diperoleh dari hasil usaha. Usaha untuk
memperoleh kemampuan baru itu diperoleh lewat usaha belajar. Berarti bahwa perubahan tingkah laku dapat disebut sebagai hasil
belajar yang diperoleh sebagai hasil usaha belajar untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mendapatkan hasil belajar atau mutu yang maksimal
sesuai dengan yang dituntut tujuan pembelajaran suatu mata pelajaran, tentunya mengacu pada karakteristik mata pelajaran
menggunakan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan
karakteristik bidang studi fisika.
Mata pelajaran fisika di SMU bertujuan untuk menggunakan fisika sebagai wahana untuk memahami konsep-konsep fisika dan
saling keterkaitannya, serta mampu menerapkan konsep-konsep fisika dalam metode ilmiah yang melibatkan keterampilan proses untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hasi serta mengembangkan sikap dan nilai-nilai ilmiah. Dengan demikian pembelajaran fisika di SMU meliputi proses penanaman pemahaman
konsep-konsep fisika, mengembangkan kemampuan pemahaman konsep untuk memecahkan masalah, mengembangkan kemampuan
dan kemampuan melaksanakan eksperimen, mengembangkan sikap dan nilai-nilai ilmiah, mengembangkan minat dan motivasi, mengenalkan penggunakan fisika dalam kehidupan sehari-hari dan
teknologi. Proses belajar mengajar fisika sekurang-kurangnya meliputi pemberian informasi dan pemahaman konsep, mengerjakan soal-soal
latihan serta melakukan percobaan di laboratorium. Namun demikian, proses belajar mengajar fisika yang sering ditemukan bukanlah usaha pemahaman konsep fisika, melainkan pemberian informasi mengenai
gejala-gejala fisika dan rumus-rumusnya serta latihan cara menggunakan rumus-rumus tersebut. Oleh sebab itu siswa hanya
2. Hakikat Model Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang guru untuk membantu siswa dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diberikan diharapkan dapat mendewasakan
siswa dari segi intelekualitasnya. Kedewasaan intelektualitas yang terbentuk akan dapat mempengaruhi tingkah laku, kepribadian, dan
sikap ilmiah pada diri siswa.
Pembelajaran menurut Dimyanti dan Mudjiono (1999) adalah kegiatan guru yang secara terprogram dalam desain instruksional,
untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986)
menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan
perancangan pembelajaran. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan yang dirancang oleh guru
untuk membantu siswa mempelajari ilmu pengetahuan dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar.
Proses pembelajaran merupakan hal yang penting bagi seorang siswa. Untuk itu pembelajaran yang dilakukan harus diupayakan
berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran. Untuk
mengatasi berbagai problematika dalam pembelajaran tentu diperlukan model-model pembelajaran yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru dalam melaksanakan tugas mengajar dan
juga kesulitan siswa. Model secara umum diartikan sebagi suatu tipe atau desain yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
kegiatan (Komarudin, 2000). Lebih jauh Komarudin menyatakan bahwa kesimpulan para peneliti tentang model adalah : (1) suatu tipe atau desain, (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan
untuk membantu visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati, (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan
informasi-informasi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa, (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas
yang disederhanakan, (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner, dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat
menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya. Dikaitkan dengan pembelajaran, pengertian model di atas dapat disimpulkankan sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan
prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan
Nasution dan Surianto (1991) menjelaskan bahwa model
pembelajaran merupakan pola yang menerangkan suatu proses penyebutan dan suatu situasi lingkungan yang menyebabkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan khusus pada diri mereka.
Senada dengan pendapat di atas Twelker (dalam Napitupulu, 2004) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah cara yang sistematis
dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi seperangkat materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya Gagne dan Briggs (1974) menyebutkan
model pembelajaran sebagai serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Sesuai
dengan rumusan pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa ada empat karakteristik yang harus dimiliki oleh setiap model pembelajaran, yaitu: (1) berorientasi pada tujuan, (2)
kondisi, (3) sistematik, (4) evaluasi dan revisi.
Bertolak dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian
bahwa untuk mencapai kemampuan sebagai hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, diperlukan suatu model pembelajaran. Model tersebut disusun dengan memasukkan
elemen-elemen seperti metode, teknik, materi, pentahapan, prosedur, organisasi dan lingkup. Model ini disusun sedemikian rupa sehingga
Joyce dan Weil (1986) menggolongkan model-model
pembelajaran ke dalam empat rumpun. Keempat rumpun model pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut: (1) rumpun model-model pemerosesan informasi, (2) rumpun model-model-model-model
pribadi/individual, (3) rumpun model-model sosial, dan (4) rumpun model prilaku. Pengajaran sains pada umumnya akan lebih efektif bila
diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemerosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pembelajaran pemerosesan informasi menekankan pada bagaimana
seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Menurut Downey (dalam Joice dan Weil, 1986)
bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Esensi dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi teka-teki. Dengan demikian,
hal itu dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan,
bagaimana hal itu diajarkan, dan jenis kondisi belajar.
Model-model pembelajaran dalam rumpun ini bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi, yaitu yang merujuk pada
cara-cara bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah, dan mencoba mencari
rumpun ini berhubungan dengan kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah, dengan demikian dalam belajar, siswa menekankan pada produktivitas berpikir. Sedangkan beberapa model pembelajaran lainnya berhubungan kemampuan intelektual secara
umum, dan sebagian lagi menekankan pada konsep dan informasi yang berasal dari disiplin ilmu secara akademis.
Jenis-jenis model pembelajaran yang termasuk kedalam rumpun pemerosesan informasi, dalam Joice dan Weil (1986) adalah: (1) Model Pemerolehan Konsep, (2) Model Berpikir Induktif , (3) Model
Latihan Inkuiri, (4) Model Pembelajaran Presentasi, (5) Model Memorisasi, (6) Model pemgembangan intelektual, (7) Model Inkuiri
Biologi. Model pembelajaran latihan inkuiri menitikberatkan partisipasi aktif dari siswa sebagai peserta belajar dalam inkuiri ilmiah (Richard Schuman dalam Joyce dan Weil, 1986). Schuman (dalam Mappa dan
Basleman, 1994) mengembangkan model penyelidikan ilmiahnya dengan menganalisis metode-metode yang digunakan tenaga–tenaga
peneliti yang kreatif. Latihan inkuiri ini dirancang untuk mengajak siswa secara langsung dalam proses ilmiah dengan latihan-latihan yang diringkas melalui proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif
singkat (Indrawati, 1999).
Lebih lanjut Schuman menyatakan bahwa latihan inkuiri ini
pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu
mereka. Latihan inkuiri diawali dengan suatu “teka-teki” (puzzling event) (Richard Schuman, dalam Joyce dan Weil, 1986). Schuman percaya bahwa individu yang dihadapkan dengan situasi teka-teki
akan termotivasi untuk mencari makna yang ada dari suatu peristiwa. Secara alamiah siswa berusaha untuk memahami lebih baik
bagaimana menerapkan konsep-konsep tersebut kearah identifikasi sebab akibat. Untuk dapat memahami situasi teka-teki, siswa harus memahami kompleksitas pemikirannya dan memahami bagaimana
merangkai data ke dalam konsep dan bagaimana menerapkan konsep tersebut ke arah identifikasi dari prinsip-prinsip sebab akibat. Menurut
Mappa (1994) bahwa asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa individu, apabila diberi teka-teki membutuhkan waktu untuk menyelidiki data yang menyelubungi teka-teki tersebut dan kemudian
mengolah data bersama-sama menurut cara baru.
Schuman (dalam Indrawati, 1999) menyebutkan bahwa dengan model pembelajaran seperti ini, ia mengharapkan siswa untuk bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi kemudian siswa melakukan kegiatan, mencari jawaban, memproses data secara logis, sampai akhirnya siswa mengembangkan strategi pengembangan intelektual yang dapat digunakan untuk menemukan mengapa suatu fenomena bisa terjadi.
Suharto (2003) menyebutkan tujuan atau kegunaan metode pembelajaran inkuiri antara laian adalah : (1) mengembangkan sikap dan keterampilan siswa untuk mampu memecahkan masalah serta mengambil keputusan yang objektif dan mandiri, (2) mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, (3) membina dan mengembangkan rasa ingin tahu penalaran dan cara berfikir objektif, baik secara indivisual maupun kelompok, (4) dapat menangkap matra kognitif maupun afektif.
Selanjutnya, model pembelajaran ini menuntut guru untuk
melibatkan siswa untuk memulai inkuiri sedapat mungkin. Peran guru adalah menyeleksi atau menciptakan situasi masalah. Mewasiti prosedur inkuiri, memberikan respon terhadap inkuiri yang
ditunjukkan siswa, membantu siswa memulai inkuiri, dan memfasilitasi diskusi siswa. Adapun faktor pendukung yang harus
strategi berpikir, dan bahan-bahan yang menjadi sumber untuk
memecahkan masalah.
Model pembelajaran latihan inkuiri ini memiliki lima fase sebagai sintaks pembelajarannya. Adapun kelima fase tersebut adalah: (1) guru menghadapkan siswa dengan masalah yang kemudian menjelaskan prosedur inkuiri serta menyajikan peristiwa yang membingungkan bagi siswanya, (2) siswa melakukan pengumpulan data untuk verifikasi yang selanjutnya siswa menemukan sifat objek dan kondisi menemukan terjadinya masalah, (3) siswa melakukan pengumpulan data dalam eksperimen kemudian siswa mengenali variabel-variabel yang relevan, merumuskan hipotesis dan mengujinya, (4) Siswa merumuskan penjelasan sehubungan dengan permasalahan yang dihadapkan pada siswa, (5) guru dan siswa bersama-sama menganalisis proses inkuiri agar selanjutnya dapat dikembangkan menjadi lebih efektif.
Gambar 1. Efek langsung dan Pengiring dari pembelajaran dengan menggunakan model latihan inkuiri. (Diadapatasi dari Indrawati, 1999, hal : 24. Model Model Pembelajaran IPA, Bandung. Dirjen Dikdasmen P3G IPA ) mendapatkan perubahan dalam dirinya baik dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik. Siswa dikatakan berhasil dalam belajar, jika dalam dirinya sudah terjadi perubahan pada ke tiga hal pokok tersebut.
Model pembelajaran merupakan suatu pola pendekatan menyeluruh yang digunakan untuk mendesain pengajaran. Model yang diterapkan oleh guru bertujuan untuk mempermudah proses belajar dalam diri siswa. Dalam pembelajarannnya, siswa diajak untuk memahami konsep-konsep abstrak untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam melakukan pembelajaran fisika, guru perlu merancang model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran fisika.
Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran fisika adalah model pembelajaran latihan inkuiri yang dikembangkan oleh Richard Schuman. Model pembelajaran fisika yang sampai saat ini masih sering digunakan dalam pembelajaran fisika adalah model pembelajaran konvensional. Jika dibandingkan kedua model pembelajaran ini, ada beberapa aspek yang dapat ditinjau meliputi : (1) tujuan penggunaan model, (2) proses belajar, (3) peran guru, dan (4) peran siswa.
menyeluruh dengan penyampaian secara verbal. Keempat : Peran Siswa. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran latihan inkuiri, siswa bertugas menemukan objek dari permasalahan “teka-teki” yang diajukan guru, mengenali masalah dari permasalahan yang diajukan, selanjutnya merumuskan hipotesis dari masalah, serta menguji berkenaan dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya. Sedangkan peran siswa dalam model pembelajaran konvensional, siswa menerima secara aktif informasi yang diberikan guru, merekam dan mencatat informasi tersebut dengan bahasanya sendiri serta menjawab pertanyaan yang diajukan guru serta manyatakan kembali ide pokok dari bahan pelajaran baik secara lisan maupun tulisan.
C. Hipotesis Tindakan