• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN SKRIPSI"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2018-2021

SKRIPSI

Oleh :

INDAH WARMALA DEVI SITOHANG 180100055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2018-2021

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

INDAH WARMALA DEVI SITOHANG 180100055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2018-2021

Nama Mahasiswa : Indah Warmala Devi Br Tohang Nomor Induk : 180100055

Program Studi : Pendidikan dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Komisi Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan dan Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 20 Desember 2021

Pembimbing,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini berjudul “Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberkulosis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2018-2021ˮ. Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat disusun dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. dr. Causa Trisna Mariedina, M.Ked(PA), Sp.PA, selaku Dosen Pembimbing yang penuh perhatian telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan,arahan, dan masukan kepada penulis selama melaksanakan penelitian, sehingga skripsi ini dapat disusun dengan baik.

Semangat, motivasi, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dengan penuh keikhlasan sangat berarti dalam proses penyelesaian penyusunan skripsi ini.

3. dr. Rizky Adriansyah, M.Ked(Ped),Sp.A(K) selaku Ketua Penguji dan Dr. dr. M.Oky Prabudi, M.Ked(OG),Sp.OG(K) selaku Anggota Penguji, yang telah memberikan berbagai arahan, masukan, dan saran kepada penulis dalam penyelesaian dan penyempurnaan penyusunan skripsi ini.

4. dr. Tina Christina L.Tobing, Sp.A(K) selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan, arahan, masukan, dan

(5)

semangat kepada penulis dalam menjalani masa akademik dan penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan baik morilmaupun materiil kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

6. Kepala Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pengambilan data untuk penelitian.

7. Seluruh staf di Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dalam pengambilan data rekam medis untuk penelitian dan penyusunan skripsi penulis.

8. Terima kasih yang tiada tara penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, yaitu papa dan mama yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

11. Sahabat-sahabat penulis, Vega Inriani, Dea Ayunda, Mustika Hia, Felixia Hekopung, Viktris Gracia, Natasya Cornelia, Sabrina Angelina, Millenia Graciella, Nurhana, Evitania, Timotius, Andri, Whira yang senantiasa membantu, memberi semangat dan dukungan dalam penyusunan skripsi penulis.

12. Seluruh teman Fakultas Kedokteran Stambuk 2018, terima kasih atas dukungan dan bantuan berupa kritik dan saran dalam menyelesaikan skripsi penulis.

13. Semua pihak yang telah membantu baik dalam bentuk moril maupun materiilyang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.

(6)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat dalam penyusunan, untuk itu penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Medan, 12 November 2021

Penulis

Indah Warmala Devi Sitohang

180100055

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus ... 4

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 KELENJAR LIMFE ... 5

2.1.1 Anatomi Kelenjar Limfe ... 5

2.1.2 Fisiologi Kelenjar Limfe ... 8

2.2 LIMFADENOPATI ... 10

2.2.1 Definisi ... 10

2.2.2 Klasifikasi ... 11

2.2.3 Etiologi ... 11

2.2.4 Patofisiologi ... 14

2.2.5 Diagnosis ... 14

2.2.6 Tatalaksana ... 17

2.3 LIMFADENITIS TUBERKULOSIS ... 17

2.3.1 Definisi ... 17

2.3.2 Epidemiologi ... 18

(8)

2.3.4 Patogenesis ... 20

2.3.5 Gejala klinis ... 22

2.3.6 Diagnosis ... 23

2.3.7 Tatalaksana ... 29

2.5 KERANGKA TEORI ... 32

2.6 KERANGKA KONSEP ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN ... 34

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ... 34

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 34

3.2.2 Waktu Penelitian ... 34

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 35

3.3.1 Populasi ... 35

3.3.2 Sampel Penelitian ... 35

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 36

3.4 DEFINISI OPERASIONAL ... 36

3.5 INSTRUMEN PENELITIAN ... 39

3.6 PROSEDUR PENGAMBILAN DAN PENGUMPULAN DATA ... 39

3.7 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 39

3.7.1 Pengolahan Data ... 39

3.7.2 Analisis Data ... 39

3.8 ETIKA PENELITIAN ... 40

3.9 ALUR PENELITIAN ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 41

4.2 ANALISIS DATA ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 KESIMPULAN ... 47

5.2 SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 53

Lampiran A. Halaman Pernyataan Orisinalitas ... 55

Lampiran B. Surat Persetujuan Komisi Etik (Ethical Clearance) ... 56

(9)

Lampiran C. Surat Izin Penelitian ... 57 Lampiran D. Output SPSS ... 58

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Kelompok kelenjar limfe leher………...6

Gambar 2.2 Segitiga segitiga di area leher………..……..7

Gambar 2.3 Pembagian level area leher………8

Gambar 2.4 Drainase aliran limfe………...………..9

Gambar 2.5 Mekanisme terbentuknya limfe………...10

Gambar 2.6 Limfadenitis TB servikal………...21

Gambar 2.7 Perbandingan tampilan dark specks (tanda panah) pada limfadenitis supuratif TB (A) dengan limfadentiis akut supuratif (B)……….………25

Gambar 2.8 Multinucleated giant cells (Langhans cells) in TB………….26

Gambar 2.9 Gambaran BTA positif pada jaringan KGB………26

Gambar 2.10 Kerangka teori….……….…..…....….32

Gambar 2.11 Kerangka konsep……….33

Gambar 3.1 Grafik standar pertumbuhan anak menurut WHO………...…38

Gambar 3.2 Alur penelitian………...40

Gambar 4.1 Angka Kejadian Limfadenitis Tuberkulosis di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2018-2021………..…...42

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Etiologi limfadenopati………12 Tabel 3.1 Definisi operasional………36 Tabel 3.2 Cara dan interpretasi BMI………..38 Tabel 4.1 Karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan usia …………43 Tabel 4.2 Karakteristik penderita limfadentis TB berdasarkan jenis kelamin ..43 Tabel 4.3 Karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan status gizi pasien dewasa (BMI)………44 Tabel 4.4 Karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan status gizi pasien anak (CDC)……….……..45 Tabel 4.5 Karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan pemeriksaan

patologi anatomi (PA)……….….45

(12)

DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization TB : Tuberkulosis

FNA : Fine Needle Aspiration

FNAB : Fine Needle Aspiration Biopsy FNAC : Fine Needle Aspiration Citology KGB : Kelenjar getah bening

BMI : Body Mass Index

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome NTM : Nontuberculous myobacteria

AFB : Acid-Fast Bacilli BTA : Bakteri tahan asam

PCR : Polymerase Chain Reaction DNA : Deoxyribo Nucleat Acid NAA : Napthalene Acetic Acid TST : Tuberculin skin test USG : Ultrasonography CT : Computed tomography

MGIT : Mycobacterium Growth Indicator Tubes TBDR : Tuberculosis Drug resistance

RNTCP : Revised National Tuberculosis Control Program NSAID : Nonsteroidal anti-inflammatory drug

PA : Patologi Anatomi

CDC : Centers for Disease Control

(13)

ABSTRAK

Latar belakang. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Mycobacterium tuberculosis) dan paling sering menyerang paru-paru. Limfadenitis TB merupakan TB ekstraparu yang paling sering terjadi dan biasanya dijumpai di kelenjar limfe leher. Penegakan diagnosis limfadenitis TB dapat dilakukan melalui berbagai pemeriksaan Patologi Anatomi yaitu histopatologi dan sitologi. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB di RSUP HAM tahun 2018-2021. Metode. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif dengan desain studi potong lintang (cross-sectional). Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis. Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita limfadenitis TB di RSUP H Adam Malik selama periode 2018-2021. Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan total sampling. Hasil. Karakteristik penderita limfadenitis TB di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2018-2021 berdasarkan kelompok usia terbanyak yaitu 20-60 tahun (66,7%), jenis kelamin pasien terbanyak yaitu laki-laki (68,8%), status gizi pasien dewasa umumnya normal(65,7%), status gizi pasien anak umumnya gizi buruk(53,8%). Berdasarkan pemeriksaan Patologi Anatomi yang paling sering digunakan dalam mendiagnosis limfadenitis TB adalah Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)(62,5%). Kesimpulan. Karakteristik penderita limfadenitis TB di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2018-2021 terbanyak pada usia 20-60 tahun, laki-laki. status gizi pasien dewasa umumnya normal, status gizi pasien anak umumnya gizi buruk dan paling sering didiagnosa melalui Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB).

Kata kunci : limfadenitis TB, histopatologi, FNAB

(14)

ABSTRACT

Background. Tuberculosis (TB) is a disease caused by bacteria (Mycobacterium tuberculosis) and most often attacks the lungs. Tuberculous lymphadenitis is the most common extrapulmonary TB and is usually found in the lymph nodes of the neck. The diagnosis of TB lymphadenitis can be made through various anatomical pathology examinations, namely histopathology and cytology. Aim.

This study aims to determine the characteristics of patients with TB lymphadenitis at the HAM Hospital in 2018-2021. Method. This type of research is a retrospective descriptive study with a cross-sectional study design. This study uses secondary data in the form of medical records. The sample of this study was all patients with TB lymphadenitis at RSUP H Adam Malik during the 2018- 2021 period. The sampling technique is using total sampling. Results. Characteristics of TB lymphadenitis sufferers at H.Adam Malik Hospital Medan in 2018-2021 based on the most age group, namely 20-60 years (66.7%), the sex of the most patients is male (68.8%), nutritional status of adult patients generally normal (65.7%), the nutritional status of pediatric patients is generally poor (53.8%). Based on the Anatomical Pathology examination, the most frequently used in diagnosing TB lymphadenitis is the Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) (62.5%). Conclusion.

The characteristics of patients with TB lymphadenitis at H.Adam Malik Hospital Medan in 2018- 2021 were mostly in the 20-60 year age group, male. The nutritional status of adult patients is normal, the nutritional status of children with malnutrition is poor and most often diagnosed through a Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB).

Keywords : TB lymphadenitis, histopathology, FNAB

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya (Kemenkes RI, 2019).

Menurut data WHO (World Health Organization) setiap tahunnya sebanyak 10 juta orang yang terkena TB. Meskipun ini merupakan penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, akan tetapi sebanyak 1,5 juta orang meninggal karena TB setiap tahunnya, sehingga menjadikan TB sebagai pembunuh infeksius teratas di dunia (WHO, 2020) .

Dalam 15-20% kasus aktif, adanya penyebaran infeksi hingga ke luar organ pernapasan dan menyebabkan tuberkulosis ekstraparu (TBEP). Dari 50%

pasien dengan TB aktif ditemukannya penyakit TBEP dan 25% dari pasien yang memiliki riwayat TB dengan terapi yang tidak adekuat (Alam et al., 2020).

Menurut penelitian Rezeki dkk (2014), kejadian TB ekstraparu sangat tinggi yaitu 60,51% dari total kasus TB. Dan menurut lokasi terjadinya ditemukan bahwa lokasi terbesar di kelenjar getah bening (KGB) yaitu 64,47% dari total kejadian TB ekstraparu. Ini membuktikan bahwa limfadenitis TB merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu (Rezeki et al., 2014).

Pembesaran KGB yang biasanya disebut limfadenitis merupakan salah satu manifestasi klinis dari pasien pasien yang terinfeksi bakteri TB. Hal ini disebabkan karena adanya reaksi inflamasi lokal antara aktivitas bakteri dengan antibodi. Salah satu lokasi limfadenitis didapati di daerah leher (WHO, 2020) .

(16)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemenkes, didapati kasus TB di Indonesia sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa hal. Salah satunya adalah diagnosis yang tidak tepat. Diagnosis pasti TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya bakteri M.tuberculosis pada beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan sputum, bilasan lambung atau cairan dan juga biopsi jaringan tubuh lainnya. (Kemenkes RI, 2016).

Ciri-ciri penderita limfadenitis TB berdasarkan jenis kelamin lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Sedangkan berdasarkan usia adalah pasien dengan rentang usia terbanyak adalah 17–25 tahun (Husni et al., 2017) .

Diagnosis limfadenitis TB dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan, antara lain Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB), kultur serta histopatologi. Diagnosis rutin yang sering dilakukan secara histopatologi gambarannya mirip pada penyebab penyakit lain, sehingga diperlukan adanya pemeriksaan penunjang yang secara cepat mampu mendiagnosis infeksi tuberkulosis. Pemeriksaan histopatologi dapat disertai dengan pemeriksaan FNAB.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh Fadiya dkk tahun 2014, tes Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) lebih banyak dilakukan kepada pasien TB ekstraparu dengan spesifikasi limfadenitis TB. Hal ini dikarenakan diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas ditemukan pada sediaan aspirasi, untuk membedakan limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif (Eliandy and Lubis, 2018).

FNAB merupakan teknik bermanfaat yang biasa digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, seperti pada lymph node, tulang, cold abscess dan di lokasi manapun di tubuh. Selain itu FNAB juga merupakan teknik yang sederhana, sensitif dalam mendiagnosis limfadenitis TB. Kasus-kasus ini menjadi prevalensi TB hampir setiap hari (Goel and Budhwar, 2008).

Gambaran FNAB terdiri dari histiosit epiteloid dengan latar belakang limfosit, multinucleated giant cell tipe langhans dengan atau tanpa adanya nekrosis.

Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas tersebut di atas ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak

(17)

3

dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif (Goyal, Kaur Brar and Sehgal, 2017).

Dalam studi diagnostik yang dilakukan Lubis dkk sebelumnya ditemukan adanya gambaran lain dari limfadenitis TB, yaitu adanya bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dari aspirat limfadenopati. Dan ternyata apabila sediaan ini dikultur dengan teknik Kudoh, ternyata 83% kasus memberikan kultur positif (Lubis et al., 2008).

FNAB pada KGB dinilai efektif dalam menentukan diagnosis awal limfadenopati. FNAB disertai pemeriksaan histopatologi telah cukup dikenal dan merupakan metode yang efektif dalam membantu menentukan diagnosis berbagai kasus penyakit dengan limfadenopati(Hadadi et al., 2014).

Pada berbagai kasus dengan limfadenopati, pemeriksaan histopatologi, FNAB dapat membantu bagian analis laboratorium Patologi Anatomi Universitas Sumatera Utara untuk membedakan antara infeksi, metastasis suatu keganasan, atau limfoma maligna. Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, pemeriksaan tersebut cukup sering digunakan dalam pemeriksaan pembesaran KGB dengan dugaan limfadenitis TB. Sebagian besar hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan proses TB.

Dikarenakan penelitian mengenai karakteristik penderita limfadenitis TB masih sedikit dijumpai, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik limfadenitis TB di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2018-2021.

(18)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana karakteristik penderita limfadenitis TB di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2018-2021?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB di RSUP HAM tahun 2018-2021.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan usia

2. Mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan jenis kelamin 3. Mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan status gizi 4. Mengetahui karakteristik penderita limfadenitis TB berdasarkan pemeriksaan

Patologi Anatomi (PA)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sebagai berikut:

1. Bagi peneliti

Menambah wawasan peneliti tentang limfadenitis TB serta meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.

2. Bagi mahasiswa

Menambah pengetahuan dan memperluas wawasan mahasiswa mengenai limfadenitis TB.

3. Bagi peneliti lain

Sebagai bahan masukan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan limfadenitis TB.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KELENJAR LIMFE

2.1.1 Anatomi Kelenjar Limfe

Sistem limfatik terdiri dari pembuluh darah besar yang berbentuk seperti anggur dan berkelompok yang disebut kelenjar limfe atau kelenjar getah bening (KGB). Pembuluh darah tersebut membawa cairan yang tak berwarna (getah bening) dan sel kekebalan tubuh (limfosit) ke seluruh tubuh. Selanjutnya, kapiler akan membawa getah bening ke dalam 2 pembuluh darah yang lebih besar, yang akhirnya bermuara ke pembuluh darah yang lebih besar di pangkal leher. Sistem limfatik juga memiliki banyak fungsi, termasuk menyaring, mengangkut cairan, dan inisiasi respon imun. Pembuluh darah dari sistem limfatik juga bertanggung jawab untuk menyerap dan menyaring cairan yang mengelilingi sel dan jaringan tubuh (Arthur, James and Dorothy, 2010).

Kelenjar limfe juga memiliki struktur seperti kantung kecil di sepanjang pembuluh limfatik.Mereka adalah rumah bagi limfosit. Kelenjar limfe menyimpan limfosit dan menstimulasi aktivitas limfosit untuk membuatnya bersentuhan dengan benda asing (antigen), dengan demikian dapat membantu mengontrol respon imun.

Semua limfosit berasal dari sel induk di sumsum tulang, tetapi tidak semua sel memiliki efek yang sama. Dua jenis utama limfosit adalah sel B dan sel T. Sel B berkembang di sumsum tulang. Sel T meninggalkan sumsum tulang dalam kondisi belum matang dan terus berkembang di timus dan organ lain. Sel T dan sel B memiliki peran yang berbeda dalam sistem kekebalan dan fungsinya (Arthur, James and Dorothy, 2010).

(20)

Menurut Roezin, ada sekitar 75 kelenjar limfe di setiap sisi leher, yang sebagian besar terletak di area evaluasi yaitu di dalam leher dan di sumsum tulang belakang (Gambar 2.1). Pada daerah tersebut terdapat juga beberapa pembuluh darah yaitu vena jugularis interna. Vena jugularis interna dibagi menjadi tiga kelompok yaitu atas, tengah dan bawah. Kelenjar limfe juga terdapat pada daerah lain atau kelompok lain yaitu di daerah mandibula, leher superfisial, faring posterior, paratrakeal, tulang belakang aksesori, skalena anterior dan supraklavikula (Paul et al., 2020).

Gambar 2.1 Kelompok kelenjar limfe leher

Kelompok kelenjar limfe di leher dibagi ke dalam bentuk segitiga-segitiga yang dipisahkan oleh otot sternokleidomastoideus. Segitiga tersebut terbagi lagi menajadi dua bagian yaitu segitiga anterior dan posterior (Gambar 2.2). Segitiga posterior dibatasi oleh otot trapezius, klavikula, serta sternokleidomastoideus.

Sedangkan segitiga anterior dibatasi oleh otot sternohioid, digastrikus, dan sternokleidomastoideus. Segitiga-segitiga tersebut kemudian terbagi lagi menjadi segitiga-segitiga yang lebih kecil. Pada segitiga posterior terdapat segitiga supraklavikula dan segitiga oksipital. Pada segitiga anterior terbagi atas submandibula, karotid, dan segitiga muskular. Pembagian kelompok kelenjar limfe leher bervariasi dan salah satu sistem klasifikasi yang sering dipergunakan adalah menurut Sloan Kettering Memorial Center Cancer (Paul et al., 2020).

(21)

7

Gambar 2.2 Segitiga-segitiga di area leher (Paul et al., 2020)

Kemudian dimodifikasi dan diperbaharui pada tahun 2002 (Gambar 2.3).

Klasifikasi tersebut merupakan modifikasi dari Memorial Sloan Kettering Cancer Center berdasarkan pada lokasi topografi tertentu daerah leher sesuai pola konsisten kelenjar limfe yang ada. Pembagian ini mengakibatkan acuan kelenjar limfe sesuai levelnya. Contohnya kelompok kelenjar limfe jugular inferior terletak di area IV sementara kelenjar jugulodigastrik berada di level II (Wardhani, 2015).

Menurut klasifikasi ini, daerah leher dibagi atas 6 level yaitu level I hingga VI dan tiap-tiap levelnya menaungi kelompok kelenjar limfe spesifik. Level I akan dibagi menjadi level IA dan IB, level II menjadi IIA dan II B, dan level V menjadi level VA dan VB, lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Level IA merupakan tempat kelenjar limfe submental dan submandibula.

2. Level II A berlokasi di anteromedial saraf spinal assessorius, sementara level II B berlokasi di bagian posteromedialnya.

3. Level III dan level IV terletak sepanjang rantai jugular tengah dan bawah 4. Level V membatasi kelompok kelenjar di segitiga posterior. Level VA dan VB dipisah oleh garis horizontal yang terletak di inferior kartilago krikoid.

(22)

5. Level VI merupakan kompartemen sentral yang berisi kelenjar paratrakea, retrosternal, prekrikoid, dan pretiroid (Wardhani, 2015).

Gambar 2.3 Pembagian level area leher

2.1.2 Fisiologi Kelenjar Limfe

Sistem limfe merupakan suatu jalan tambahan yakni tempat cairan dapat mengalir dari ruang interstisial ke dalam darah sebagai transudat, dimana selanjutnya ia berperan dalam respon imun tubuh (Wardhani, 2015).

Secara umum sistem limfatik memiliki tiga fungsi yaitu:

a. Mempertahankan konsentrasi protein yang rendah dalam cairan interstisial sehingga protein-protein darah yang difiltrasi oleh kapiler akan tertahan dalam jaringan, memperbesar volume cairan jaringan dan meninggikan tekanan cairan interstitial. Peningkatan tekanan menyebabkan pompa limfe memompa cairan interstisial masuk ke dalam kapiler limfe dan membawa protein berlebih yang terkumpul tersebut. Jika sistem ini tidak berfungsi maka dinamika pertukaran

(23)

9

cairan pada kapiler akan menjadi abnormal dalam beberapa jam hingga menyebabkan kematian,

a. Absorpsi asam lemak, transpor lemak dan kilus (chyle) ke sistem sirkulasi, b. Memproduksi sel-sel imun (seperti limfosit, monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang disebut sel plasma). Selanjutnya nodus limfoid akan mempersiapkan area tempat limfosit akan menerima paparan pertamanya terhadap antigen asing (virus, bakteri, jamur) yang akan mengaktivasi limfosit untuk melaksanakan fungsi imunitas (Wardhani, 2015).

1. Drainase sistem limfe tubuh

Drainase limfe merupakan organisasi dua area drainase yang terpisah dan tidak sama, yaitu area drainase kanan dan kiri. Secara normal aliran limfe tidak akan melewati aliran drainase sisi yang berseberangan. Struktur-struktur dari tiap area akan membawa limfe ke tujuan masing masing, kembali ke sistem sirkulasi.

Area drainase bagian kanan menerima aliran limfe dari sisi kanan kepala, leher, bagian lengan kanan, serta bagian kuadran kanan atas tubuh. Aliran limfe dari daerah-daerah tersebut akan mengalir ke duktus limfatikus kanan yang akan mengalirkan limfe ke sistem sirkulasi melalui vena subklavia kanan.

Area drainase kiri membawa limfe yang berasal dari sisi kiri daerah kepala, leher, lengan kiri dan kuadran kiri atas tubuh, tubuh bagian bawah serta kedua tungkai. Cisterna chyli secara temporer menyimpan limfe saat mengalir ke atas dari bagian bawah tubuh. Duktus torasikus membawa limfe ke atas menuju duktus limfatikus kiri yang akan mengalirkan limfe ke sistem sirkulasi melalui vena subklavia (Gambar 2. 4) (Wardhani, 2015).

Gambar 2.4 Drainase aliran limfe

(24)

2. Pembentukan cairan limfe

Cairan limfe berasal dari plasma darah arteri yang kaya nutrisi. Pada ujung kapiler aliran darah melambat sehingga plasma keluar menjadi cairan jaringan yang disebut cairan interseluler atau interstisial. Cairan jaringan ini membawa nutrien, oksigen dan hormon yang dibutuhkan oleh sel (Gambar 2.5).

Sekitar 90% cairan jaringan kemudian akan mengumpulkan hasil produk metabolisme sel kembali ke kapiler menjadi plasma sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke sirkulasi vena. Cairan limfe ini merupakan 10% dari cairan jaringan yang tertinggal. Jika peran cairan interstitial membawa nutrisi yang dibutuhkan sel maka peranan limfe adalah membawa produk metabolisme untuk dibuang. Kapiler limfe sangat permeabel dan mengumpulkan cairan jaringan dan protein. Limfe terus menerus bersirkulasi sehingga cairan yang tadinya jernih menjadi kaya protein karena melarutkan protein dari dan antar sel (Wardhani, 2015).

Gambar 2.5 Mekanisme terbentuknya limfe

2.2 LIMFADENOPATI 2.2.1 Definisi

Limfadenopati merupakan suatu istilah yang mengarah pada pembengkakan kelenjar getah bening yang memiliki nodul dan konsistensi yang tidak normal (misalnya, lebih besar dari 1 cm). Yang biasanya pembengkakan ini dapat teraba di daerah supraklavikula, simpul poplitea, iliaka, dan epitrochlear node dengan ukuran > 5 mm atau biasa dianggap abnormal (Gaddey et al., 2016).

(25)

11

2.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan luas, limfadenopati terbagi menjadi 2 yaitu:

A. Generalisata: limfadenopati terdapat pada 2 atau lebih regio anatomi yang berbeda.

Limfadenopati generalisata dapat disebabkan baik karena kelainan jinak, maupun keganasan. Kelainan jinak yang dapat menyebabkan limfadenopati generalisata termasuk infeksi, penyakit autoimun, reaksi hipersensitif, sarkoidosis dan amiloidosis. Kelainan limfoproliferatif yang jarang seperti Kikuchi’s disease, Rosai-Dorfman dan transformasi progresif inti germinal, Castelman’s disease dan papulosis limfomatoid juga harus dipertimbangkan (Hidayat et al., 2016).

B. Lokalisata: limfadenopati terdapat pada 1 regio.

Dari semua kasus pasien yang berobat ke sarana layanan kesehatan primer, sekitar 3/4 penderita datang dengan limfadenopati lokalisata dan 1/4 sisanya datang dengan limfadenopati generalisata (Mohseni et al., 2014) 2.2.3 Etiologi

Limfadenopati meskipun relevan, mungkin tidak spesifik. Terdapat beberapa potensi penyebab terjadinya limfadenopati, bisa karena infeksi, autoimun, keganasan, dan limfoproliferatif.

Penyebab terjadinya limfadenopati juga bervariasi.yang pertama yaitu infeksi. Ada berbagai macam etiologi infeksi, termasuk organisme bakteri, jamur, virus, mikobakteri, spirochetal, dan protozoa. Selain itu gangguan autoimun yang mungkin berkontribusi termasuk tetapi tidak terbatas pada sarkoidosis, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, dan granulomatosis eosinofilik dengan poliangiitis. Penyakit ganas seperti limfoma, leukemia, kanker metastasis, dan kanker kepala dan leher juga merupakan penyebab umum terjadinya limfadenopati. Gangguan limfoproliferatif seperti limfohistiositosis hemofagositik juga dapat bermanifestasi dengan pembesaran kelenjar limfe (Stöckli and Nüesch,

(26)

Secara umum penyebab terjadinya limfadenopati dapat disingkat dengan CHICAGO(Cancer, Hypersensitivity syndromes, Infections, Connective tissue diseas, Atypical lymphoproliferative disorders, Granulomatous disorders, dan Other unusual causes of lymphadenopathy (Tabel 2.1) (Stöckli and Nüesch, 2001).

Tabel 2.1 Etiologi limfadenopati

Causes of lymphadenopathy : CHICAGO Cancers

Hematologic malignancies : Hodgkin disease, non-hodgkin lymphoma, acute and chronic leukemia, waldenstrom macroglobulinemia, multiple myeloma (uncommon), systemic mastocytosis

Metastatic “solid” tumors: breast, lung, renal cell, prostate, other Hypersensitivity syndromes

Serum sickness

Drug sensitivity : diphenylhydantoin, carbamazepine, primidone, gold, allopurinol, indomethacin, sulfonamides, others

Silicone reaction Vaccination related Graft-vs-host disease Infections

Viral: infectious mononucleosis (Epstein - Barr virus), cytomegalovirus, infectious hepatitis, postvaccinial lymphadenitis, adenovirus, herpes zoster, human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency virus syndrome, human T-lymphotropic virus 1

Bacterial : cutaneous infections (staphylococcus, streptococcus), cat- stratch disease, chancroid, melioidosis, tuberculosis, atypical mycobacteria, primary and secondary syphilis

Chlamydial : lymphogranuloma venereum Protozoan : toxoplasmosis

Mycotic : histoplasmosis, coccidioidomycosis Rickettsial : scrub thypus

(27)

13

Helminthic : filariasis Connective tissue disease

Rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematous, dermatomyositis, mixed connective tissue disease, Sjogren syndrome

Atypical lymphoproliferative disorders

Angiofollicular (giant) lymph node hyperplasia (castleman disease), angioimmunoblastic lymphadenopathy with dysproteinemia, angiocentric, immunoproliferative disorders, lymphomatoid granulamatosis

Granulomatous disorders

Tuberculosis, histoplasmosis, mycobacterial infections, cryptococcus, cilicosis, berylliosis, cat-stratch fever

Other unusual causes of lymphadenopathy

Inflammatory pseudotumor of lymph nodes, hystiocystic necrotizing lymphadenitis (Kikuchi lymphadenitis), sinus histiocytosis with massive lymphadenopathy (Rosai Dorfman disease), vascular transformation of sinuses,progressive transformation of germinal centers

Limfadenopati bisa terlokalisasi ataupun menyebar. Sekitar 75% dari kebanyakan limfadenopati terlokalisasi, dan sekitar 50% terjadi di daerah kepala dan leher. Umumnya limfadenopati yang melibatkan dua atau lebih daerah yang tidak berdekatan atau bersebelahan, dilaporkan terjadi pada 25% limfadenopati.

Dalam menjelaskan etiologi limfadenopati bisa menjadi sebuah tantangan.

Melakukan diagnosis dengan tepat yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh merupakan salah satu langkah terpenting dalam menentukan penyebab limfadenopati (Ferrer, 1998).

Etiologi limfadenopati dapat ditentukan berdasarkan kelompok kelenjar

(28)

servikal posterior dapat timbul dengan adanya infeksi bakteri dan virus yang terlokalisasi serta limfoma. Limfadenopati aksila juga dapat dikaitkan dengan adanya limfoma atau keganasan pada payudara, tetapi dapat juga disebabkan oleh infeksi seperti penyakit cakaran kucing. Terakhir, limfadenopati inguinalis dapat dipengaruhi oleh infeksi menular seksual lokal, limfoma, serta keganasan panggul (Ferrer, 1998).

2.2.4 Patofisiologi

Getah bening masuk melalui sistem limfatik aferen, dan filtrasi dari sinus subcapsular atau sinus marginal melalui korteks dan parakorteks, melalui sinus trabekular, menuju ke hilus. Pada penyakit inflamasi, difusi normal dari proses ini adalah lebih mungkin untuk menyebabkan bentuk nodul dan hilus yang ekogenik.

Pada penyakit ganas, karsinoma memasuki kelenjar limfa melalui sistem limfatik aferen, menembus kapsul, dan memasuki sinus subkapsular. Penyakit metastatik ditahan di pinggiran kelenjar, menyebabkan pembesaran korteks, yang mungkin eksentrik. Karena itu, tonjolan korteks umumnya sering mendahului pembesaran korteks dan distorsi atau kerusakan arsitektur dalam kelenjar, dengan hilangnya hilus. Namun, tumor mikroskopis mungkin tidak menyebabkan perubahan morfologi kelenjar limfa, dan akibatnya mungkin tidak terlihat pada Ultrasonography(USG). Sebagai tambahan, beberapa fitur morfologis yang besar yang terlihat pada kelenjar ganas dapat diamati juga kelenjar inflamasi hipertrofik yang jinak (Whitman et al., 2011).

2.2.5 Diagnosis 1. Anamnesis:

a) Umur penderita dan lamanya limfadenopati

Insidensi terjadinya keganasan sangat rendah pada anak dan akan meningkat seiring bertambahnya usia. Normalnya kelenjar getah bening akan teraba pada periode neonatus sedangkan pada sebagian besar anak sehat juga akan teraba kelenjar getah bening di daerah servikal, inguinal dan aksila.

(29)

15

Sebagian besar penyebab terjadi limfadenopati pada anak adalah infeksi dan penyebab lain namun yang bersifat jinak. Berdasarkan sebuah laporan, pada 628 orang yang menjalani biopsi karena limfadenopati, penyebab yang jinak dan swasirna (self-limiting) didapati pada 79% penderita yang berusia kurang dari 30 tahun, 59% penderita yang berusia antara 31-50 tahun, dan 39% penderita yang berusia di atas 50 tahun (Rasyid, Wulan and Prabowo, 2018).

Di sarana layanan kesehatan primer, penderita yang berusia 40 tahun atau lebih dengan limfadenopati memiliki risiko keganasan sekitar 4%. Pada usia di bawah 40 tahun, resiko terjadinya limfadenopati sebesar 0,4-2%. Progresivitas limfadenopati yang rendah akan ditemukan pada pasien yang mengalami limfadenopati selama kurang dari 2 minggu. hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan keganasan menjadi etiologi limfadenopati sangat kecil (Rasyid, Wulan and Prabowo, 2018).

b) Paparan

Riwayat paparan penting dalam menentukan penyebab limfadenopati.

Paparan gigitan hewan dan serangga, penggunaan obat, kontak dengan orang yang terinfeksi, serta riwayat infeksi berulang sangat penting dalam menilai limfadenopati persisten. Selain itu, penting juga untuk mengetahui riwayat perjalanan atau berpergian dan vaksinasi hal ini dikarenakan kemungkinan adanya hubungan dengan limfadenopati persisten. Seperti tuberkulosis, trypanosomiasis, tifus semak, leishmaniasis, tularemia, brucellosis, wabah, dan antraks. Paparan rokok, alkohol, dan radiasi ultraviolet mungkin juga berkaitan dengan terjadinya kanker metastasis viseral, kanker kepala dan leher, kanker kulit, paparan silikon dan berilium juga dapat menyebabkan limfadenopati. Riwayat kontak seksual penting untuk menentukan penyebab limfadenopati inguinal dan serviks yang ditularkan secara seksual. Selain itu, penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome(AIDS) juga memiliki beberapa kemungkinan penyebab limfadenopati, seperti meningkatnya risiko tumor ganas, sarkoma kaposi, dan limfoma maligna non- Hodgkin. Riwayat keluarga yang mengalami tumor ganas, seperti kanker payudara

(30)

c) Gejala yang menyertai

Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam juga sering menyertai limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis. Pada limfoma Hodgkin tipe B didadapati gejala berupa demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10%. Pasien limfoma Hodgkin tipe B memiliki presentase insidensi sekitar 8% pada pasien stadium I dan 68% pasien stadium IV. Selain itu, limfoma tipe B juga ditemukan pada 10% pasien limfoma non-Hodgkin. Gejala artralgia, kelemahan otot, atau ruam dapat juga menandakan adanya kemungkinan penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus, Nyeri pada pada pasien limfadenopati yang mengonsumsi alkohol merupakan hal yang jarang, tetapi spesifik pada limfoma hodgkin.

2. Pemeriksaan Fisik

Karakter dan ukuran kelenjar getah bening

Kelenjar getah bening yang konsistensinya keras dan tidak nyeri akan meningkatkan kemungkinan penyakit ganas atau granulomatosa. Pembesaran kelenjar getah bening yang disebabkan oleh virus bersifat bilateral, dapat bergerak, tidak nyeri dan berbatas tegas. Kelenjar getah bening yang bengkak dan bersifat nyeri biasanya disebabkan karena adanya peradangan yang disebabkan oleh infeksi.

Dalam kasus yang jarang terjadi, nyeri pada limfadenopati yang disebabkan oleh penyebaran tumor yang progresif, perdarahan gonad nekrotik atau tekanan pada kantung kelenjar. Biasanya, kelenjar getah bening yang normal memiliki ukuran diameter 1 cm, tetapi beberapa penulis telah menunjukkan bahwa kelenjar yang diekstrak menggunakan supernatan dengan ukuran lebih besar dari 0,5 cm atau kelenjar getah bening pada inguinal yang memiliki ukuran lebih besar dari 1,5 cm dianggap abnormal (Rasyid, Wulan and Prabowo, 2018).

Terdapat laporan bahwa pada 213 pasien dewasa, tidak didapati keganasan pada pasien yang memiliki ukuran kelenjar di bawah 1 cm sedangkan pasien dengan ukuran kelenjar 1-2,25 cm didapati keganasan sekitar 8% dan pada pasien dengan ukuran kelenjar di atas 2,25 cm didapati sebanyak 38%. Pada anak, kelenjar getah bening yang berukuran lebih besar dari 2 cm disertai adanya gambaran radiologi

(31)

17

toraks abnormal namun tanpa diikuti gejala penyerta seperti kelainan pada telinga, hidung dan tenggorokan menunjukkan gambaran penyakit granulomatosa (tuberkulosis, cats cratch disease atau sarkoidosis) atau kanker (terutama limfoma).

Namun tidak ada batasan mutlak mengenai ukuran kelenjar yang menjadi tanda kecurigaan adanya keganasan. Didapati sebuah laporan yang menunjukkan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm dan 1,5 cm namun hal ini masih memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya keganasan dan penyakit granulomatosa (Rasyid, Wulan and Prabowo, 2018).

2.2.6 Tatalaksana

Penanganan dalam mengatasai limfadenopati ialah dengan melakukan biopsi kelenjar. Sebelum tindakan biopsi dilakukan, beberapa nilai diagnostik harus terpenuhi, seperti mengklasifikasikan kelenjar getah bening berdasarkan ukurannya, kecurigaan adanya keganasan atau tidak dan lokasinya untuk menentukan aksesnya. Kelenjar getah bening inguinal memiliki nilai diagnostik yang paling rendah. Sedangkan kelenjar getah bening supraklavikula memiliki nilai diagnostik paling tinggi. Teknik pewarnaan imunohistokimia dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam melakukan biopsi aspirasi jarum halus, tetapi biopsi eksisi tetap menjadi pilihan yang paling tepat dalam melakukan prosedur diagnostik (Society and Surgery, 2015).

2.3 LIMFADENITIS TB 2.3.1 Definisi

Limfadenitis TB merupakan bentuk TB ekstraparu pada anak yang paling sering terjadi dan banyak terdapat pada kelenjar limfe leher. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang memiliki kelompok kelenjar limfe (Janmeja and Mohapatra, 2009).

(32)

2.3.2 Epidemiologi

Dilaporkan ada hampir 9 juta kasus baru dan 2 juta kematian akibat tuberkulosis di seluruh dunia yang terjadi setiap tahunnya. Insidensi limfadenitis TB meningkat seiring dengan peningkatan angka kejadian infeksi TB di seluruh dunia. Limfadenitis TB terlihat pada hampir 35 persen TB ekstraparu yang jumlahnya sekitar 15 sampai 20 persen dari semua kasus TB. Kelenjar getah bening servikal merupakan lokasi yang paling umum terjadi pembesaran dan sekitar 60%- 90% pasien ini biasanya didapati dengan atau tanpa keterlibatan jaringan limfoid lainnya. Limfadenitis servikal disebut juga dengan skrofula yang merupakan salah satu manifestasi sistemik penyakit TB atau penyakit lainnya di leher (Janmeja and Mohapatra, 2009).

M. tuberculosis merupakan etiologi paling umum terjadinya limfadenitis di India. Insiden limfadenitis TB berhubungan dengan endemisitas dari bakteri M.

tuberculosis. Limfadenopati akibat Non Tuberculous Mycobacteria (NTM) jarang ditemukan di India. Pada limfadenitis NTM, Mycobacterium avium complex (MAC) merupakan agen penyebab paling umum. Limfadenitis TB paling sering ditemukan pada pasien yang berusia sekitar 20 tahun tetapi tidak menutup kemungkinan pada segala usia (Janmeja and Mohapatra, 2009).

Dalam sebuah penelitian, didapati adanya pengaruh ras, etnis, gender, warna kulit terhadap kejadian limfadenitis TB. Orang asia dan orang dengan kulit hitam lebih rentan terkena limfadenitis TB dibandingkan dengan individu berkulit putih non-hispanik. Ditemukan adanya peningkatan insidensi limfadenitis TB paru maupun ekstra paru pada populasi asia (Janmeja and Mohapatra, 2009).

2.3.3 Faktor Risiko

Pasien Limfadenitis TB lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki serta banyak diderita oleh pasien dengan rentang usia terbanyak adalah 17–25. Penelitian yang dilakukan oleh Viegas dkk juga menunjukan hasil yang sama, di mana penderita limfadenitis TB terbanyak berada dalam rentang usia antara 18–45 tahun. Hal ini disebabkan karna rentang usia tersebut adalah usia produktif dimana usia produktif mempengaruhi risiko tinggi

(33)

19

untuk terkena TB karena kecenderungan untuk berinteraksi dengan orang banyak di wilayah kerja lebih tinggi dibandingkan dengan bukan usia produktif sehingga insidensi TB banyak terjadi pada usia tersebut (Soekotjo, Sudarwati and Alam, 2019).

Penelitian berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Clevenbergh dkk. yang menunjukkan limfadenitis TB lebih banyak diderita oleh laki-laki. Berdasarkan beberapa penelitian hal ini disebabkan karena terdapat beberapa faktor risiko mendukung penelitian bahwa TB paru dan TB ekstraparu sering terkena pada laki-laki di antaranya karena laki-laki mempunyai kebiasaan merokok yang lebih sering dibandingkan dengan perempuan (Soekotjo, Sudarwati and Alam, 2019).

Dikarenakan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut mucociliary clearance. Pajanan asap rokok juga dapat merangsang pembentukan mucus dan menurunkan pergerakan silia yang berdampak terhadap penimbuan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri sehingga dapat menimbulkan infeksi (Susanti, 2013), sumber lain mengatakan bahwa rokok juga menyebabkan perubahan imunitas sel alami maupun didapat yang dapat berakibat terhadap makrofag dan leukosit(Chuang et al., 2015).

Selain dari faktor usia, jenis kelamin, dan gaya hidup terdapat faktor lain yang memengaruhi seseorang terkena limfadenitis TB yaitu riwayat kontak dan riwayat TB sebelumnya. Riwayat kontak serumah dengan penderita TB mempunyai peranan penting dalam penyebaran TB. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Viegas dkk. didapatkan 33,3% pasien TB limfadenitis memliki riwayat kontak erat dengan penderita TB (Soekotjo, Sudarwati and Alam, 2019).

Penelitian berdasarkan status gizi, dari 404 pasien dengan kasus TB didapatkan sebanyak 24% pasien TB mengalami malnutrisi berat. Malnutrisi dan TB merupakan dua hal yang saling berkesinambungan, malnutrisi dapat meningkatkan risiko terjadinya TB dan pasien TB dengan malnutrisi memiliki masa pemulihan yang lebih lambat dan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan

(34)

Namun, meskipun malnutrisi dikatakan meningkatkan risiko TB, kenyataannya, hasil data rekam medis menunjukkan 66% pasien TB tidak mengalami malnutrisi. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Soegiarto dkk. Seseorang dengan status gizi baik masih dapat terinfeksi kuman TB apabila mengalami gangguan fungsi imunitas selular salah satunya akibat status mikronutrien yang kurang baik (Soekotjo, Sudarwati and Alam, 2019).

Hal ini didukung dengan pernyataan Pryjambodo, bahwa anak dengan intensitas kontak yang lama atau kontak dengan penderita TB lebih dari 6 bulan dengan penderita TB dewasa tetap menyebabkan anak terinfeksi kuman tuberkulosis dan tetap berkembang menjadi infeksi meskipun dalam keadaan status gizi baik. Status gizi tidak mempengaruhi suatu infeksi dikarenakan infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat.

Menurut Arsin dkk, penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi kurang dapat mempermudah terjadinya infeksi (Soekotjo, Sudarwati and Alam, 2019).

2.3.4 Patogenesis

Hingga saat ini, patogenesis limfadenitis TB masih belum dipahami secara keseluruhan. Dan masih menjadi perdebatan apakah ini termasuk penyakit yang disebabkan oleh lokal atau sistemik. Sedangkan pada limfadenitis non TB penyebaran dapat melalui karies gigi, mukosa orofaring, kelenjar saliva, tonsil, ginggifa dan konjungtiva (Handa, Mundi and Mohan, 2012).

Limfadenitis TB dapat terjadi secara primer atau melalui reaktivasi dari bakteri TB yang dorman di paru-paru kemudian menyebar secara limfogen ke KGB regional. Selanjutnya bakteri akan menyebar ke kelenjar getah bening lainnya melalui sistemik (Asano, 2012). Selain itu, penyebaran bakteri dapat melalui aliran darah atau hematogen. Bakteri akan dibawa oleh sel monosit melalui KGB hingga mencapai aliran darah yang kemudian dapat menyebar ke seluruh organ. KGB pada daerah hilus, mediastinum dan paratrakeal merupakan kelenjar getah bening pertama dalam penyebaran M. tuberculosis dari parenkim paru (Handa, Mundi and Mohan, 2012).

(35)

21

Limfadenitis TB supraklavikula merupakan manifestasi dari penyebaran secara limfogen karena adanya drainase limfatik dari parenkim paru. Sedangkan limfadenitis TB servikal dapat terjadi akibat penyebaran dari fokus primer pada tonsil, adenoid, sinusoid atau osteomyelitis dari tulang etmoid. Pada pasien TB yang tidak mendapatkan terapi, didapati pembesaran kelenjar getah bening pada hilus dan paratrakeal yang menunjukkan gambaran pada rontgen dada dengan jelas.

Pada stadium awal pembesaran kelenjar getah bening superfisial menunjukkan adanya multiplikasi yang progresif dari M. tuberculosis, terjadi reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang diikuti dengan hiperemi, pembengkakan, nekrosis dan kaseosa di inti nodus. Hal ini diikuti dengan adanya inflamasi, pembengkakan yang progresif dan melekat pada nodus dan membentuk suatu kelompok. Perlekatan dengan kulit disekitarnya menyebabkan adanya indurasi dan perubahan warna kulit menjadi keunguan. Pada bagian tengah kelenjar yang membesar didapati konsistensi yang kenyal dan kaseosa dapat ruptur dan masuk ke jaringan sekitarnya atau melalui kulit dengan membentuk sinus. Seperti pada (Gambar 2.6) berikut ini (Janmeja and Mohapatra, 2009).

(36)

2.3.5 Gejala klinis

Limfadenitis merupakan gambaran klinis, paling umum dari TB ekstraparu dan dapat menjadi manifestasi lokal dari suatu penyakit sistemik. Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikal. Seperti pada (gambar 2.3).

Diikuti dengan kelenjar getah bening pada mediastinum, aksila, mesenterium, portal hepatik, perihepatik dan inguinal. Diagnosis banding TB harus dibedakan berdasarkan lokasi pembengkakan terutama di daerah endemik. Lama berlangsungnya gejala berkisar dari beberapa minggu hingga beberapa bulan.

Pembengkakan dapat muncul hanya satu benjolan saja (single) maupun lebih dari satu (multiple) pada satu sisi ataupun kedua sisi. Benjolan dapat berkembang secara lambat dalam kurun waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan tanpa rasa nyeri. Benjolan paling sering didapati di daerah servikal posterior dan paling jarang didapati di daerah supraklavikula. Nodus tunggal terutama di daerah segitiga jugulodigastrik kemungkinan besar bukan merupakan suatu limfadenitis TB(Gandhare and Mahashur, 2017).

Pembentukan fistula ditemukan sekitar 10% pada pasien limfadenitis TB servikal. Pembesaran nodus servikal di daerah submandibular sering dijumpai pada pasien anak. Pada pasien anak juga paling sering ditemukan lesi tunggal. Rujukan biasanya dilakukan apabila terdapat kecurigaan adanya neoplasma, limfadenitis bakterial atau adenopati reaktif (Bayazit, Bayazit and Namiduru, 2004).

Pada limfadenitis TB, gejala sistemik sering dijumpai. Pasien umumnya datang dengan keluhan demam, penurunan berat badan, kelelahan dan keringat malam. Umumnya pasien datang dengan demam ringan, penurunan berat badan dan kelelahan. Batuk bukanlah ciri yang spesifik dari pasien limfadenitis TB. Lebih dari 57% pasien dengan limfadenitis TB tidak memiliki gejala sistemik. Multiplisitas, perlekatan antar nodus dan kaseosa merupakan tiga temuan penting yang dijumpai pada limfadenitis TB (Thakkar, Ghaisas and Singh, 2016).

Jones dan Campbell mengklasifikasikan limfadenitis TB perifer menjadi lima stadium

1. stadium 1, ada pembesaran kelenjar, padat, dapat bergerak, nodus diskrit yang menunjukkan non-spesifik hiperplasia reaktif

(37)

23

2. stadium 2, nodus berukuran besar, kenyal dan melekat pada jaringan sekitar karena periadenitis

3. stadium 3, konsistensi kenyal pada bagian sentral karena terjadi pembentukan abses

4. stadium 4, pembentukan collar-stud abscess

5. stadium 5, pembentukan saluran sinus (Neelakantan et al., 2013)

Gambaran klinis tergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe biasanya tidak memiliki nyeri tekan kecuali:

(i) adanya infeksi bakteri sekunder

(ii) progresivitas kelenjar secara cepat atau

(iii) infeksi HIV (Human immunodeficiency viruses) yang terjadi bersamaan.

Abses kelenjar getah bening dapat pecah namun jarang menyebabkan sinus kronik yang menetap dan pembentukan ulkus. Umumnya, sinus TB memiliki tepi yang tipis, berwarna kebiruan, dan dengan sedikit discharge yang encer.

Skrofuloderma merupakan manifestasi dari infeksi bakteri TB yang penyebarannya melalui lapisan bawah kulit (Neelakantan et al., 2013).

Limfadenitis TB mediastinum paling sering ditemukan pada anak-anak dan jarang didapati pada pasien dewasa. Manifestasi klinis pada pasien limfadenitis TB mediastinum meliputi disfagia, pembentukan fistula pada esofagomediastinal dan fistula pada trakeo-esofagus. Kelenjar getah bening pada abdomen bagian atas dan mediastinum dapat menyebabkan obstruksi pada duktus toraks dan kilotoraks, penumpukan chylous atau chyluria. Pada kasus yang jarang, obstruksi bilier akibat pembesaran kelenjar getah bening dapat menyebabkan ikterus obstruktif.

Tamponade jantung juga dapat ditemukan karena adanya limfadenitis TB mediastinum (Neelakantan et al., 2013).

2.3.6 Diagnosis

Riwayat paparan pada pasien yang menderita TB paru sangat mempengaruhi resiko terjadinya limfadenitis TB dalam suatu kondisi klinis tertentu. Diagnosis limfadenitis TB dapat ditegakkan dengan bebrapa pemeriksaan

(38)

Modalitas diagnostik dapat dibagi menjadi beberapa : a. Sitologi (FNAB)

Fine needle aspiration biopsy (FNAB) merupakan salah satu prosedur untuk mendiagnosis limfadenitis TB yang simpel, aman, dan murah. Selain memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 78,95% dan 90,32.

Menurut penelitian dari Qasmi dkk (2012), pemeriksaan FNAB dilakukan apabila ditemukan adanya tanda – tanda dari pemeriksaan fisik berupa pembesaran pada KGB dari tubuh pasien. Namun, dibalik kemudahan yang diberikan dari prosedur FNAB ini, terdapat kejadian tertentu untuk mendapatkan hasil negatif palsu dan positif palsu (Qasmi et al., 2012).

Diagnosis pasti dari limfadenitis TB adalah melalui tindakan aspirasi jarum halus atau biopsi bedah, didapatkan hasil positif sebanyak 50%. FNAB memiliki keakuratan sebesar 94% dalam mendiagnosis limfadenitis TB. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil yang khas dari pemeriksaan FNAB pada kelenjar getah bening di leher berupa yaitu lesi granulomatosa berupa epiteloid dan multinucleated giant cell sebanyak 71% (Dsuryadi, Delyuzar and Soekimin, 2018).

Pada 242 kasus pasien anak dengan limfadenopati menggunakan FNAB didapatkan sebanyak 163 (67,4%) kasus limfadenitis TB, 59 (24,4%) radang tidak spesifik, 5 (2,1%) limfoma maligna, 1 (0,4%) metastasis karsinoma dan 14 (5,8%) aspirat tidak representatif. Sebanyak 26 kasus yang dapat dijadikan sampel.

kemudian didapati 73,1% kasus dengan pembesaran kelenjar multiple dengan ukuran 1cm atau lebih, riwayat kontak TB yang tidak jelas sebanyak 17 (65,4%), status gizi 17 (65,4%). Normalnya, riwayat demam dan batuk tidak ada pada 53,8%

dan 57,7% penderita. Penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran klinis pada pasien dengan limfadenitis TB tidak selalu sesuai untuk diagnosis klinis infeksi TB (Ammari, Bani Hani and Ghariebeh, 2003).

Lubis et al, pada studi diagnostiknya menemukan adanya gambaran lain dari aspirat limfadenopati dan non limfoid (servikal, axillary, inguinal, breast, skin/soft tisssue, intraabdominal dan testis) yaitu berupa bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik (Lubis et al., 2008).

(39)

25

Gambar 2.7 perbandingan tampilan dark specks (tanda panah) pada limfadenitis supuratif TB (A) dengan limfadentiis akut supuratif (B)

Menurut penelitian (Suryadi, Delyuzar and Soekimin, 2018), yang dilaksanakan di Departemen Patologi Anatomi FK USU dengan menggunakan 97 sampel, dari pemeriksaan sitologi disimpulkan bahwa keakuratan alat diagnostik FNAB memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis limfadenitis TB. Dengan perhitungan sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menunjukkan nilai sensitivitas 92,5%, spesifisitas 96,49%, akurasi 94,87%, nilai prediksi positif 94,87 dan nilai prediksi negatif 94,83%. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa FNAB direkomendasikan sebagai tes diagnostik yang lebih murah dan akurat dalam mendiagnosis limfadenitis TB (Dsuryadi, Delyuzar and Soekimin, 2018).

b. Histopatologi

Secara histologi, tempat keterlibatan aktif ditandai dengan reaksi peradangan granulomatosa khas yang membentuk tuberkel perkijuan dan non perkijuan. Setiap tuberkel berukuran mikroskopis, jika menyatu dalam jumlah banyak, barulah granuloma tersebut terlihat secara makroskopis. Granuloma biasanya terbungkus dalam satu cincin fibroblastik disertai limfosit, pada granuloma, ditemukan multinucleatid giant cell (Dukomalmamo et al., 2017).

(40)

Gambar 2.8 Multinucleated giant cells (Langhans cells) in TB

Gambar 2.9 Gambaran BTA positif pada jaringan KGB

c. Biopsi kelenjar getah bening

Dalam penelitian dari negara maju, bakteri M.tuberculosis biasanya dikultur dari biopsi eksisional pada sekitar 70-90% kasus. Biopsi eksisional lebih sering digunakan daripada biopsi insisional. Pada kelenjar getah bening mediastinum, biopsi dengan panduan Computed tomography (CT) atau biopsi dengan panduan Ultrasonography-Endobronchial (USG-EBUS) dan mediastinoskopi yang jarang digunakan.

d. Kultur

Isolasi mikobakteri dengan kultur masih merupakan pemeriksaan utama dalam mendiagnosis TB. Meskipun kultur dapat menggunakan spesimen yang diaspirasi, angka positif pada spesimen yang diaspirasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan spesimen yang dibiopsi (17%: 80%) dalam sebuah penelitian dari Hong Kong. Meskipun kultur digunakan untuk mendiagnosis

(41)

27

secara pasti, dibutuhkan waktu untuk pertumbuhan mikobakteria sehingga kurang cocok digunakan untuk pemeriksaan rutin. Oleh karena itu, beberapa metode pemeriksaan yang cepat telah banyak dikembangkan, termasuk deteksi mikrokoloni pada media padat, metode pemeriksaan septik Acid-Fast Bacilli (AFB), observasi kultur kaldu secara mikroskopis, sistem BACTEC 460 radiometrik, sistem BACTEC MGIT 960, sistem MB / BacT, dan sistem kultur ESP II. Dari seluruh pemeriksaan diatas, Mycobacterium Growth Indicator Tubes (MGIT) merupakan standar emas.

e. Tes molekuler

Diagnosis molekuler atau amplifikasi asam nukleat (NAA) digunakan untuk mendeteksi DNA (deoxyribonucleic acid) bakteri TB daripada deteksi bakteri TB secara langsung. Pemeriksaan molekuler memiliki sensitivitas lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan metode konvensional dalam mengidentifikasi spesies bakteri dan resistensi obat.

(1) Amplifikasi tes molekuler untuk mendeteksi M. tuberculosis

Pemeriksaan ini merupakan teknik cepat dan bermanfaat dalam menggambarkan fragmen DNA bakteri TB pada pasien yang memiliki gejala klinis dengan kecurigaan limfadenitis TB. Target yang paling umum digunakan dalam Polymerase chain reaction (PCR) adalah IS6110. Tinjauan sistematis NAA menggunakan teknik PCR pada limfadenitis TB menunjukkan variabel yang beragam dan hasil yang tidak konsisten (sensitivitaS: 2-100%) (spesifisitas 28- 100%), dengan kinerja yang lebih baik dari uji komersial dan dengan ukuran sampel lebih dari 0,20 uL. Dikarenakan hasil inkonsisten pemeriksaan yang berbasis PCR ini tidak direkomendasikan dan TB Gene Xpert lebih dipilih (Peto et al., 2009).

(2) Tes untuk mendeteksi resistensi obat terhadap M.tuberculosis

Tes ini dilakukan pada kultur isolat TB atau secara langsung pada spesimen primer dari pasien yang belum mendapatkan pengobatan. Beberapa pemeriksaan (Cepheid Xpert dan INNOLIPA) telah didesain untuk mendeteksi bakteri TB dan resistensi terhadap rifampisin saja, sedangkan pada pemeriksaan yang lain (GenoTip MTBDR plus) mampu mendeteksi resistensi isoniazid dan

(42)

Sistem TBDR plus TB dan GenoTip semuanya telah disetujui untuk deteksi TB pada sputum oleh pihak yang berwenang. Meskipun tidak semua pemeriksaan disetujui untuk digunakan pada pasien TB ekstraparu, pada tahun 2013 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung penggunaan Cepheid GeneXpert untuk diagnosis TB ekstraparu. Sebuah penelitian meta analisis mengenai sampel FNAC untuk pemeriksaan Cepheid GeneXpert telah menunjukkan sensitivitas 50–100%

dengan nilai sensitivitas gabungan 83,1% dan nilai spesifisitas gabungan 93,6%.

Sensitivitas gabungan INNOLIPA untuk sampel ekstraparu sedikit lebih rendah sekitar 63-68%. Sesuai pedoman RNTCP, TB Gene Xpert direkomendasikan untuk digunakan pada setiap sampel FNAC atau sampel biopsi kelenjar getah bening karena nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis TB dan resistensi rifampisin. Beberapa pemeriksaan tambahan sebagai berikut :

a. Tuberculin skin test

Tes kulit tuberkulin (TST) positif pada sebagian besar (74-100%) pasien dengan limfadenitis TB tanpa disertai HIV, meskipun TST positif tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. TST negatif kurang membantu dalam mendiagnosis terutama pada pasien imunosupresan atau pada pasien dengan imun yang rendah (Prasad et al., 2007).

b. Interferon-gamma release assays (IGRA)

Tes pelepasan interferon - gamma (IGRA) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis limfadenitis TB, tetapi hasil tes positif kurang cukup untuk menegakkan diagnosis. Pada tahun 2012 pemerintah India melarang pemeriksaan serologi antibodi, Standards for TB Care in India (STCI) dan International Standards for TB Care (ISTC) (Prasad et al., 2007).

c. Sputum smear and culture

Kultur sputum positif jarang terjadi (0-14%) pada kondisi limfadenitis TB.

Gambaran rontgen dada yang menunjukkan hasil konsisten pada pasien TB paru aktif harus segera dilakukan kultur sputum; jika hasil kultur positif perlu dilakukan evaluasi untuk kecurigaan adanya TB milier (Prasad et al., 2007).

(43)

29

e Endobronchial ultrasound‑guided transbronchial needle aspiration and biopsy (EBUS-TBNA)

Modalitas ini mungkin berguna dalam kondisi limfadenopati intratoraks terisolasi. Area kelenjar getah bening 2, 4, 7, 10, dan 11 dapat djadikan sampel pada EBUS-TBNA. Pada kasus TB, EBUS-TBNA menunjukkan sensitivitas 85%. Gahlot dkk menyimpulkan bahwa EBUS-TBNA memiliki keakuratan yang tinggi (hasil diagnostic 92%) dan merupakan prosedur yang aman untuk mendiagnosis limfadenopati mediastinum dan limfadenitis TB (Prasad et al., 2007).

f. Blood culture

Kultur darah untuk bakteri M. tuberculosis jarang menunjukkan hasil positif tetapi bisa didapati pada pasien TB diseminata terutama pada pasien dengan HIV dan kondisi imun rendah lainnya (Prasad et al., 2007).

2.3.7 Tatalaksana

Antituberkulosis merupakan terapi yang biasa diberikan dalam mengobati pasien limfadenitis TB. Program Tuberkulosis Nasional di seluruh dunia mengikuti pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berdasarkan pedoman, WHO merekomendasikan pengobatan TB menggunakan dosis obat yang telah ditetapkan (fixed dose) dengan regimen obat yaitu isoniazide (H), rifampicin (R), pyrazinamide (Z), ethambutol (E) selama 2 bulan diikuti oleh isoniazide (H), rifampicin (R), ethambutol selama 4 bulan pada pasien yang peka terhadap pengobatan TB (WHO/RNTCP 2017). Pengobatan selama 6 bulan direkomendasikan berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pengobatan selama 6 bulan dan 9 bulan dengan rasio sembuh (89-94%) dan rasio relaps (3%) (Fontanilla, Barnes and Von Reyn, 2011).

Pada pasien TB dengan resistensi obat pengobatan harus berdasarkan pedoman WHO terbaru yang sesuai dengan pola resistensi obat.

(44)

a. Respon terapi

Pasien limfadenitis TB secara karakteristik memiliki respon yang lambat terhadap pengobatan dan kelenjar getah bening dapat membesar selama pengobatan atau setelah pengobatan (Fontanilla, Barnes and Von Reyn, 2011).

b. Reaksi peningkatan paradoksik

Terapi antimikobakteri dapat memicu reaksi paradoks atau peningkatan ukuran kelenjar getah bening atau pembesaran hingga 20% selama atau setelah penghentian pengobatan. Kebanyakan reaksi paradoks terjadi antara 3 minggu hingga 4 bulan setelah dimulainya pengobatan. Hasil kultur biasanya negatif dan reaksi ini bukan merupakan indikasi kegagalan pengobatan (Fontanilla, Barnes and Von Reyn, 2011).

Reaksi paradoks berkaitan dengan respon imun terhadap kematian bakteri M.tuberculosis. Manifestasi klinisnya berupa pembesaran kelenjar getah bening (12%), fluktuasi (11%), eritema pada kelenjar getah bening dan atau sekret spontan (7%). Gejala konstitusional jarang ditemukan pada reaksi paradoks ini (Fontanilla, Barnes and Von Reyn, 2011).

Tidak ada pedoman konsensus mengenai penatalaksaan reaksi paradoks, pendekatan harus didasari pada ada tidaknya rasa kurang nyaman pada pasien.

Pilihan pengobatan dapat berupa observasi, aspirasi, eksisi bedah, atau uji coba nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAID) atau kortikosteroid. Infliximab juga dapat digunakan dalam kondisi pasien ini. Spesimen dari FNA pada pemeriksaan kultur BTA bisa juga dilakukan untuk membedakan antara reaksi paradoks dan kegagalan pengobatan (Fontanilla, Barnes and Von Reyn, 2011).

c. Surgical management

Indikasi tindakan pembedahan pada pasien limfadenitis TB meliputi:

1. Kegagalan pengobatan

Tindakan pembedahan bermanfaat untuk mendiagnosis dan menatalaksana pasien dengan resistensi bakteri terhadap obat.

2. Terapi tambahan pada kasus pasien yang masih sensitif obat

Referensi

Dokumen terkait

 Amalan gaya hidup sihat memang banyak kepentingannya kepada manusia. Dengan mengamalkan gaya hidup sihat, seseorang akan sentiasa sihat, cergas dan bertenaga.Oleh itu, setiap

184.. ahli bid'ah atau yang membela mereka, memuji mereka, menyanjung-nyanjung kitab-kitab mereka, atau ia dikenal sebagai pembantu dan penolong mereka, atau ia turut mem- benci

Tentukanlah besarnya momentum sudut dari sebuah piringan VCD yang massanya 50 gram, jari-jarinya 6 cm ketika sedang berotasi dengan sumbu putar melalui titik pusat massa dan tegak

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka fokus dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah integrasi nilai-nilai pendidikan

 Decibel adalah pengukuran umum yang digunakan pada bidang elektronika untuk menentukan loss atau gain (penguat) sebuah system.  Decibel merupakan perbandingan daya,

[r]