• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan- keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 2009:v).

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah- kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2005:5).

Penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan (Satjipto Raharjo, 2009:24).

Masalah penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, yakni sebagai berikut : a. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi hanya

undang-undang saja. Undang-undang dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat sah oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Undang-undang mencakup :

1) Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.

2) Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja (Soerjono Soekanto, 2005:11).

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Penegak hukum dalam hal ini akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

(2)

bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance (Soerjono Soekanto, 2005:19).

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya (Soerjono Soekanto, 2005:37).

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

“Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut” (Soerjono Soekanto, 2005:45).

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi- konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan” (Soerjono Soekanto, 2005:60).

2. Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen

Surat adalah lembaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan kata, frasa dan/atau kalimat yang terdiri huruf-huruf dan/atau angka dalam bentuk apapun dan dibuat dengan cara apapun yang tulisan mana mengandung arti dan/atau makna tersebut harus mendapat perlindungan hukum. Surat sebagai suatu pengungkapan dari buah pikiran tertentu harus mendapat kepercayaan masyarakat. Tindak pidana pemalsuan surat ini ditujukan bagi perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran mengenai isi surat-surat tersebut. Tindak pidana pemalsuan surat ini dibentuk untuk memberi perlindungan hukum terhadap kepercayaan yang diberikan oleh umum pada surat (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014:135).

Hukum pidana Belanda yang mengikuti Code Penal mengenai pemalsuan, yang memakai istilah faux en encritures, maka pemalsuan hanya dapat dilakukan dalam surat-surat, yang diartikan sebagai tiap-tiap penciptaan pikiran yag dituliskan dalam perkataan yang dibuat dengan cara apapun, dan

(3)

surat-surat yang dapat menjadi objek tidak semua jenis surat, ialah hanya terhadap empat surat saja (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014:136).

Pemalsuan surat (valshheid in geschriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276, yang bentuk-bentuknya adalah:

a. Pemalsuan surat dalam bentuk standar atau bentuk pokok (eenvoudige valschheid in geschriften), yang juga disebut sebagai pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263).

b. Pemalsuan surat yang diperberat (gequalificeerde valshheids in geschriften) (Pasal 264).

c. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266).

d. Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan 268).

e. Pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, 270, dan 271).

f. Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik (Pasal 274).

g. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275).

Pasal 272 dan 273 telah dicabut melalui Stb. 1926 No.359 jo 429.

Sementara Pasal 276 tidak memuat rumusan tindak pidana, melainkan tentang ketentuan dapatnya dijatuhkan pidana tambahan terhadap si pembuat yang melakukan pemalsuan surat dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 268, berupa pencabutan hak-hak tertentu (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 136).

1) Pemalsuan surat dalam bentuk standar atau bentuk pokok (eenvoudige valschheid in geschriften), yang juga disebut sebagai pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263).

Pasal 263 merumuskan sebagai berikut:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pemalsuan surat dalam Pasal 263 terdiri dari dua bentuk tindak pidana, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan unsur perbuatannya pemalsuan surat ayat (1), disebut dengan membuat surat palsu dan memalsu surat. Sementara pemalsuan surat dalam ayat (2) disebut dengan memakai surat palsu atau surat yang dipalsu.

Meskipun dua bentuk tindak pidana tersebut saling berhubungan, namun masing-masing berdiri sendiri-sendiri, yang berbeda tempos dan

(4)

locus tindak pidananya serta dapat dilakukan oleh si pembuat yang tidak sama (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 136-137).

a) Membuat Surat Palsu dan Memalsu Surat (Pasal 263 Ayat (1)) Unsur-unsur tindak pidana yang dapat diuraikan dari rumusan ayat (1) adalah sebagai berikut :

Unsur subyektif :

(1) Perbuatannya : (a) membuat palsu; (b) memalsu

(2) Obyeknya : (a) surat yang dapat menimbulkan suatu hak;

(b) surat yang menimbulkan suatu perikatan;

(c) surat yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;

(d) surat yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal

(3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian Unsur obyektif :

(4) Kesalahan : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsu (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014:

137-138).

b) Sengaja Memakai Surat Palsu dan Surat yang Dipalsu (Pasal 263 Ayat (2))

Pasal 263 Ayat (2) merumuskan bahwa, “diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsu seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”. Bila dirinci, maka di dalam rumusan tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur-unsur Obyektif : (1) Perbuatannya : memakai;

(2) Objeknya : (a) surat palsu; (b) surat yang dipalsu;

(3) Seolah-olah asli.

Unsur subyektif :

(4) Kesalahan : dengan sengaja (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 159).

2) Pemalsuan surat yang diperberat (gequalificeerde valshheids in geschriften) (Pasal 264)

Pasal 264 merumuskan sebagai berikut :

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap :

1. Akta-akta autentik;

(5)

2. Surat hutan atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan dan maskapai;

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian (Pasal 264 KUHP).

Pemalsuan surat dalam Pasal 264 merupakan lex specialis dari pemalsuan Pasal 263 Ayat (1). Oleh karena itu, istilah pemalsuan dalam Pasal 264 ayat (1) mengandung unsur yang sama dengan ketentuan Pasal 263 Ayat (1). Sementara dasar pemberatan pidananya diletakkan pada jenis-jenis surat, yang menurut sifatnya mengandung alasan pemberatan (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 163).

Pasal 264 Ayat (1) merumuskan dua macam tindak pidana, dalam Ayat (1) dan Ayat (2). Pemalsuan surat dalam Pasal 264 Ayat (1) mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a) Unsur perbuatan dan unsur kesalahan Pasal 264 Ayat (1):

(1) Perbuatan : membuat surat palsu; dan

(2) Kesalahan : maksud untuk memakai atau menyuruh memakai;

b) Unsur objeknya : (1) Akta-akta autentik;

(2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara,bagian negara, suatu lembaga umum;

(3) Surat sero atau hutan atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

(4) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

(5) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

Unsur-unsur tindak pidana memakai surat palsu atau dipalsu dalam Pasal 264 Ayat (2) adalah sebagai berikut:

a) Unsur-unsur objektif : (1) Perbuatannya : memakai;

(2) Objeknya : surat-surat yang disebutkan dalam Ayat (1);

(6)

(3) Seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu;

(4) Pemakaian surat dapat menimbulkan kerugian.

b) Unsur subjektif :

(5) Kesalahan : dengan sengaja (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 164-165).

3) Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266)

Ketentuan Pasal 266 merumuskan sebagai berikut:

(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Ketentuan Pasal 266 mengandung dua tindak pidana, pertama dalam Ayat (1) : tindak pidana yang melarang menyampaikan keterangan palsu pada pejabat pembuat akta autentik untuk dimuat dalam akta autentik yang dibuatnya; kedua terdapat dalam Ayat (2) : tindak pidana yang melarang menggunakan akta autentik yang dibuat pejabat pembuat akta autentik yang dimaksud dalam Ayat (1).

Apabila kedua rumusan tindak pidana tersebut dirinci, maka dapat diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut :

Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Ayat (1), terdiri dari : a) Unsur Objektif:

(1) Perbuatan : menyuruh memasukkan ke dalam akta autentik;

(2) Objeknya : keterangan palsu mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu;

(3) Jika pemakaian akta autentik itu dapat menimbulkan kerugian.

b) Unsur Subjektif

(4) Kesalahan : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.

Unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam ketentuan Ayat (2) adalah sebagai berikut:

a) Unsur-unsur Objektif (1) Perbuatan : memakai;

(7)

(2) Objeknya : akta autentik yang dimaksud dalam Ayat (1);

(3) Seolah-olah isinya benar.

b) Unsur subjektif

(4) Kesalahan : dengan sengaja (Adami Chazawi & Ardi Ferdian, 2014: 167-168).

3. Tenaga Kerja Indonesia

a. Definisi Tenaga Kerja Indonesia

Tenaga Kerja Indonesia atau yang sekarang berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia disebut sebagai Pekerja Migran Indonesia merupakan setiap warga negara Indonesia yang akan sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyebutkan bahwa Pekerja Migran Indonesia meliputi :

(1) Pekerja Migran Indonesia meliputi:

a. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan hukum;

b. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja perseorangan atau rumah tangga; dan

c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.

(2) Tidak termasuk sebagai Pekerja Migran Indonesia dalam Undang- Undang ini, yaitu:

a. warga negara Indonesia yang dikirim atau dipekerjakan oleh badan internasional atau oleh negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas resmi;

b. pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri;

c. warga negara Indonesia pengungsi atau pencari suaka;

d. penanam modal;

e. aparatur sipil negara atau pegawai setempat yang bekerja di Perwakilan Republik Indonesia;

f. warga negara Indonesia yang bekerja pada institusi yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara; dan g. warga negara Indonesia yang mempunyai usaha mandiri di luar

negeri.

b. Syarat menjadi Tenaga Kerja Indonesia

(8)

Setiap warga negara Indonesia tidak bisa begitu saja menjadi Tenaga Kerja Indonesia dan bekerja di luar negeri. Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan jelas merumuskan mengeenai persyaratan untuk bisa menjadi Tenaga Kerja Indonesia atau Buruh Migran. Berikut persyaratan untuk menjadi Pekerja Migran sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia :

Setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus memenuhi persyaratan:

a. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun;

b. memiliki kompetensi;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan Jaminan Sosial; dan memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan.

c. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Indonesia

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga mengatur mengenai hak dan kewajiban yang melekat pada Pekerja Migran Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6, yakni :

(1) Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak:

a. mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai dengan kompetensinya;

b. memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan pelatihan kerja;

c. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri;

d. memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja;

e. menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut:

f. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau Perjanjian Kerja;

g. memperoleh pelindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan

(9)

peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan;

h. memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja;

i. memperolehakses berkomunikasi;

j. menguasai dokumen perjalanan selama bekerja;

k. berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan penempatan;

l. memperoleh jaminan pelindungan keselamatan dan keamanan kepulangan Pekerja Migran Indonesia ke daerah asal; dan/atau memperoleh dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia”.

(2) Setiap Pekerja Migran Indonesia memiliki kewajiban:

a. menaati peraturan perundang-undangan, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan penempatan;

b. menghormati adat-istiadat atau kebiasaan yang berlaku di negara tujuan penempatan;

c. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan Perjanjian Kerja; dan

d. melaporkan kedatangan, keberadaan, dan kepulangan Pekerja Migran lndonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan.

(3) Setiap Keluarga Pekerja Migran Indonesia memiliki hak:

a. memperoleh informasi mengenai kondisi, masalah, dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia;

b. menerima seluruh harta benda Pekerja Migran Indonesia yang meninggal di luar negeri;

c. memperoleh salinan dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan memperoleh akses berkomunikasi.

d. Dokumen yang dipersyaratkan untuk menjadi Pekerja Migran

Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyebutkan dokumen- dokumen apa saja yang harus dimiliki oleh seorang calon pekerja migran yang akan bekerja ke luar negeri. Ketentuan Pasal 13 tersebut mengharuskan calon pekerja migran Indonesia memilik dokumen, antara lain :

1) Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan fotokopi buku nikah;

2) Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah;

(10)

3) Sertifikat kompetensi kerja;

4) Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

5) Paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat;

6) Visa Kerja;

7) Perjanjian penempatan pekerja migran Indonesia; dan 8) Perjanjian Kerja.

B. Kerangka Pemikiran

Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-

undang

Pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan persyaratan menjadi TKI

Penegakan Hukum

Fasilitas Pendukung

Penegakan Hukum Aparat

Penegak Hukum Faktor

Hukum atau UU

Pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana pemalsuan dokumen untuk mempermudah pengiriman Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) ke luar negeri

Solusi

Kebudayaan Masyarakat

(11)

Keterangan :

Kerangka pemikiran di atas digambarkan untuk menjelaskan alur pemikiran penulis atau konsep penelitian penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan permasalahan yang diteliti.

Kerangka pemikiran di atas menggambarkan bahwa pokok permasalahan bermula dari adanya calon Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi syarat tersebut kemudian diupayakan untuk bisa diberangkatkan ke luar negeri dengan dilakukannya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen terkait. Pemalsuan tersebut dapat dilakukan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran atau oleh calon Tenaga Kerja Indonesia itu sendiri. Hal tersebut memang bisa mengirim calon Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri, akan tetapi apabila terdapat masalah pada Tenaga Kerja Indonesia yang bersangkutan akan sulit untuk melacak identitas yang sebenarnya, selain itu pemalsuan dokumen dalam pengiriman Tenaga Kerja Indonesia Indonesia ke luar negeri dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana pemalsuan dokumen merupakan tindak pidana yang sering menyertai Tenaga Kerja Indonesia, akan tetapi pencegahan dan penanggulangannya belum maksimal.

Oleh karena itu, berdasarkan pokok permasalahan berikut, penulis akan melakukan penelitian terkait penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan dokumen untuk mempermudah pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Data yang diperoleh dari penelitian langsung di lapangan akan menunjukkan bagaimana penegakan hukum yang telah berjalan dalam menangani tindak pidana pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), serta akan didapatkan pula solusi dan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian tarik sambungan dengan berbagai arah gaya terhadap arah serat didapatkan bahwa kekuatan lem lebih tinggi dari kekuatan bahan (kayu kamper) dan kerusakan yang

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan

The B / Beijing / 93-like mutant, HA Thr 189 Ile, NA Arg 152 Lys, isolated from an immunocom- promised child had significantly reduced infectiv- ity in mice, and although

Pendekatan integratif (terpadu) dalam PKLH adalah memadukan atau meyatukan materi PKLH ke dalam mata pelajaran tertentu. Pendekatan ini muncul bertolak dari kenyataan sebagaimana

Amari also applied the natural gradient update rule for the optimization in the information geometry by using J (θ) = ℓ( x ; θ) as the online objective function, which is equivalent

(5) Revitalisasi industri pengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan; (6) Keberpihakan kebijakan perdagangan pada produksi pangan domestik;.. (7) Mendorong

[r]

Uji organoleptik dianalisis dengan Uji Friedman Test menunjukkan bahwa manisan pala yang dikeringkan dengan menggunakan satu mata kompor memberikan pengamh yang