BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pendampingan Pada Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon
Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon memiliki Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang memberikan pelayanan bagi korban kekerasan pada perempuan dan anak dengan mengedepankan pelayanan yang komprehensif dan holistic meliputi medis / medikolegal, psikologis, social dan hukum. Sejak tanggal 1 Januari 2014, Tim PPT telah melaksanakan penanganan terhadap korban kekerasan perempuan dan anak secara gratis.
Pada hakikatnya layanan pendampingan bagi anak korban kekerasan seksual bersifat penting, dikarenakan dengan adanya layanan pendampingan dapat membantu klien untuk mengikis rasa trauma yang dialaminya.
Untuk mengetahui ruang lingkup layanan apa saja yang ada di pusat pelayanan terpadu, peneliti melakukan pengambilan data awal di Pusat
Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon.
1. Ruang Lingkup Pelayanan
Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon meliputi 5 jenis pelayanan, yaitu:
a. Penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
b. Pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
c. Rehabilitiasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
d. Penegakan dan bantuan hokum bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
e. Pemulangan dan reintegrasi bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
2. Tujuan
a. Memberikan pelayanan yang meliputi pendampingan psikologis, advokasi serta informasi terhadap perempuan dan anak yang mengalami kasus kekerasan.
b. Membangun gerakan bersama untuk mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
c. Membann membangun jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3. Tim Pusat Pelayanan Terpadu Rumah sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon
Tenaga profesi yang menangani kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon, diantaranya:
a. Spesialis Bedah b. Spesialis Kandungan c. Spesialis Jiwa d. Spesialis Anak e. Dokter Umum f. Psikolog g. Pekerja Sosial h. Bidan
i. Perawat j. Polisi k. Pengacara
4. Alur Pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum daerah Gunung Jati Cirebon
Gambar 2.3 Alur Pelayanan
(Hasil dokumentasi di Pusat Pelayanan Terpadu. 19 Mei 2017. Pukul 9.09)
ICU/HCU Ruang Rawat Inap KORBAN
RUMAH SAKIT
PPT
Pemeriksaan Psikososial
Pemeriksaan Fisik/
Medicolegal
Konseling/Konsultan Spesialis
Meninggal (Ruang Otopsi) Rujuk
PENGAWASAN
PUSKESMAS
P2TP2A
PPKS
WADUL BAE (Warga Peduli Mbok Lan Anake)
Lembaga yang menunjukLSM NON KRITIS
Datang Sendiri Diantar (orang tua, polisi, guru, LSM, peksos,kader) P2TP2A, PPKS, WADUL BAE Rujukan dari posyandu, puskesmas, klinik swasta, LSM, dll
Pulang/Rawat Jalan
KRITIS SEMI KRITIS
INSTALASI GAWAT DARURAT Registrasi
Triage
Sebagaimana yang telah digambarkan di atas bahwa alur pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon, bisa dijelaskan berdasarkan penjelasan dari hasil wawancara dengan ibu Erna.
“Korban datang bisa diantar dengan keluarga, maupun lembaga.
Siapa saja yang mengantar klien dan dari wilayah mana saja selama masih NKRI kami akan bantu. Jika yang mendapat surat rujukan dari kepolisian nanti kita arahkan untuk menuju ke ranah hukum dan berkoordinasi dengan kepolisian, nanti skrining (deteksi dini) awal ada di IGD nanti langsung di antar oleh petugas bisa keruang VK, ruang bedah, maupun ke PPT langsung. Kami langsung asesmen awal dan mendata identitas mereka, kalau untuk kasus kekerasan seksual itu langsung berkoordinasi dengan dokter bedah, kan kasus kekerasan seksual itu ada 2 macam, yang pertama itu jika kasus sodomi (anus), itu ibu koordinasi dengan dokter bedah, jika kekerasan seksual biasa yg melalui vagina itu ibu koordinasinya dengan bidan. Kalau klien mau periksa disini kita fasilitasi tergantung maunya klien saja supaya bisa mempermudah. Nanti sesudah pemeriksaan medis klien bisa langsung pulang, biasanya klien kami mintai nomor kontak agar bisa kami kondisikan untuk dijadwalkan bertemu psikolog”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu. 19 Mei 2017.
Pukul 9.09).
Dari hasil wawancara di atas maka dapat peneliti analisa bahwa alur pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu sudah sangat jelas, serta pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu tidak memungut biaya sepeserpun, hal ini sangat membantu klien serta keluarga klien.
5. Tahapan Pelayanan
Dalam memberikan pelayanan pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual maupun dengan kasus lain beserta pendampingan kepada keluarga korban, petugas Pusat Pelayanan Terpadu tidak membedaan dalam tahapan pelayanan, hal tersebut diungkapkan oleh petugas bagian pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu.
“Tahapan dalam melakukan pelayanan pendampingan sama, kita tidak akan membedakan. Awal kita ketemu dengan klien karena disini kan kebanyakan memang dari kondisi yang sedang tidak stabil dari
sisi psikologis. Jadi kita melakukan konseling dengan klien, dengan tahapan awal kita melakukan pendekatan awal (building trust) supaya dia merasa nyaman dulu disini, pendekatan bagaimana caranya kita membuat dia nyaman, selanjutnya tahapan asessmen awal dan untuk selanjutnya bertemu dengan psikolog langsung, nanti kita jadwalkan untuk bertemu dengan psikolog. Tahap selanjutnya tahap pertengahan yaitu tahap identifikasi masalah, tahap penggalian masalah, tahap diagnosis, dan tahap akhir yaitu tahap terapi dan yang tahap evaluasi.
Kalau bertemu dengan peneliti, peneliti itu sebagai petugas pelayanan, jadi untuk pendekatan awal dengan peneliti”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu. 19 Mei 2017.
Pukul 9.09).
Dari hasil wawancara di atas dapat peneliti analisa bahwa, tahapan pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu sudah cukup baik. Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh ibu Erna. Hal tersebut sesuai dengan langkah- langkah dalam melakukan konseling, sebagai berikut:
a. Membangun Hubungan (Building Trust)
Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam konseling, karena klien dan konselor harus saling mengenal dan menjalin kedekatan sebelum sampai pada pemecahan masalahnya.
Pada tahapan ini, konselor harus menunjukan bahwa ia dapat dipercaya dan kompeten dalam menangani masalah klien. (Walgito.
2005: 187).
b. Identifikasi dan Penilaian Masalah
Hal yang penting dalam langkah ini adalah bagaimana keterampilan konselor dapat mengangkat isu dan masalah yang dihadapi klien. Pengungkapan masalah klien kemudian diidentifikasi dan didiagnosa secara cermat.
c. Diagnosis
Diagnosis merupakan usaha konselor menetapkan latar belakang atau faktor-faktor penyebab timbulnya masalah pada klien.
d. Terapi
Setelah ditetapkan jenis atau langkah-langkah pemberian bantuan selanjutnya adalah melaksanakan jenis bantuan yang telah ditetapkan.
e. Evaluasi
Sebelum mengakhiri hubungan konseling, konselor dapat mengevaluasi berdasarkan penampilan klien yang terpancar dari kata- kata, sikap, tindakan dan bahasa tubuhnya.jika menunjukan indicator keberhasilan, pengakhiran konseling dapat dibuat. Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah upaya bantuan yang telah diberikan memperoleh hasil atau tidak. Apabila sudah memberikan hasil apa langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil, begitu juga sebaliknya apabila belum berhasil apa langkah-langkah yang diambil berikutnya. (Aswadi dkk. 2009: 40).
Begitupun dengan layanan yang diberikan petugas Pusat Pelayanan Terpadu kepada klien dan keluarga klien pun tidak ada perbedaan.
“Untuk layanan yang diberikan kepada klien kami tidak ada perbedaan, intinya kan kita mau menemukan irama yang sama antara klien dan keluarga supaya tidak sampai ada kesalahfahaman dan kita juga kan butuh peran lingkungan terutama orangtua untuk mendampingi korban. Kalau kita petugas kan ada batasnya, misalkan 6 bulan sudah dinyatakan klien itu bisa pulang, nanti lanjut orangtua yang setiap saat selalu ada, mereka bisa dampingin, tidak ada perbedaan, semuanya sama. Justru malah korban dan keluarga mereka sama-sama memiliki trauma karena yang mengalami itu anaknya, orangtua lebih shock ketika harus menangani anaknya, mungkin karena orangtua sudah hafal musti seperti apa, kalau anak- anak kan masih punya keterbatasan untuk memahami apa sih yang terjadi di dirinya dia, makanya reaksi-reaksi yang ditimbulkan itu seperti itu, tidak mau bermain dll, kalau orangtua kan liat kondisi anaknya kok anak peneliti berubah seperti ini, jadi tidak mau dinasihatin sama orangtua, menentang kalau orang tua bicara jawabnya tuh ah”. (Hasil wawancara dengan ibu Yanti di Pusat Pelayanan Terpadu. 19 Mei 2017. Pukul 10.10).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ibu Yanti, dalam melakukan layanan pendampingan beliau tidak membedakan, dari situ peneliti dapat menganalisa bahwa tindakan yang dilakukan oleh petugas sudah cukup baik.
6. Teknik-Teknik Pendampingan
Dalam melakukan proses pendampingan maupun konseling, petugas Pusat Pelayanan Terpadu menggunakan teknik-teknik seperti yang dipaparkan oleh ibu Erna.
“Tidak mudah untuk sekedar ngobrol dengan korban, karena dia pasti mengalami trauma takut saat bertemu dengan orang-orang baru, biasanya kita melakukan pendekatan ( building trust ) dan penggalian masalah dengan cara main bersama dengan klien, membacakan dongeng, nanti dengan sendrinya dia akan merasa nyaman dengan kita, setelah dia merasa nyaman baru kita bisa mulai melakukan tahap asesmen awal dan tahap-tahap selanjutnya. kenapa adek liat disini banyak buku bacaan, banyak boneka banyak apa, kita berjuang bagaimana caranya dia mau terbuka, bisa jadi dia dibawa ke dokter sambil membawa bonekanya. Kita melakukannya dengan sepenuh hati, karena niat kami tulus untuk menolong mereka”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu. 19 Mei 2017.
Pukul 9.09).
Dari hasil wawancara di atas, peneliti dapat menganalisa bahwa petugas Pusat Pelayanan Terpadu sudah baik dalam melakukan pendekatan dengan klien, hal tersebut sejalan dengan teknik-teknik dalam proses konseling.
7. Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan petugas Pusat Pelayanan Terpadu dalam memberikan layanan pendampingan kepada klien, diantaranya:
“Pada saat memberikan layanan pendampingan kepada klien kita menggunakan metode pendekatan psikososial bisa dilakukan secara psikologis, karena memang dari trauma itu kita berusaha untuk mengikis rasa tidak percaya dirinya dia (klien). Kalau anak itu masih sekolah kita berusaha untuk menguatkan secara mental untuk anak itu agar tetap melanjutkan sekolahnya karena tetap memiliki kewajiban
untuk belajar dan dia punya masa depan. Penguatannya metodenya dengan konseling individu, konseling kelompok, peran keluarga serta obat-obatan untuk klien yang mengalami luka fisik”. (Hasil wawancara dengan ibu Yanti di Pusat Pelayanan Terpadu. 5 Juli 2017. Pukul 10.15).
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh ibu yanti, peneliti dapat menganalisa bahwa metode yang digunakan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu yaitu menggunakan metode penguatan psikososial hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengikis rasa tidak percaya diri klien, serta dikuatkan pula oleh metode konseling individu serta konseling kelompok dan bekerjasama dengan keluarga klien.
Pengertian konseling individual mempunyai makna spesifik dalam arti pertemuan konselor dengan klien secara individual, dimana terjadi hubungan konseling yang bernuansa rapport, dan konselor berupaya memberikan bantuan untuk pengembangan pribadi klien serta klien dapat mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapinya. (Willis. 2014: 159).
Sedangkan konseling kelompok adalah proses konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok, dimana konselor berinteraksi dengan konseli dalam bentuk kelompok yang dinamis untuk memfasilitasi perkembangan individu dan atau membantu individu dalam mengatasi masalah yang dihadapinya secara bersama-sama. (Kurnanto. 2014: 9).
Peran keluarga yaitu terapis bekerja sama dengan orang tua dengan cara membantu keluarga serta klien yang mengalami stress pascatrauma, membantu keluarga untuk lebih banyak mengenal karakteristik stress pascatrauma, mengajarkan keluarga untuk mampu melindungi klien dari kejadian-kejadian yang bisa menimbulkan trauma baru, mengajarkan keluarga untuk membantu klien dalam mengatasi rasa takut, dukacita, dan rasa bersalah.
Serta terapi obat-obatan hanya diberikan pada anak-anak yang mengalami luka fisik. (Pieter dkk, 2011: 214).
Dalam metode yang digunakan pada saat petugas Pusat Pelayanan Terpadu menghadapi klien, ibu Erna menyatakan bahwa petugas Pusat Pelayanan Terpadu menyatakan bahwa, mereka tidak melakukan intervensi, hal tersebut beliau ungkapkan pada saat wawancara.
“Kalau intervensi mungkin lebih cenderung seolah-olah kita mengatur, cuman kita memberdayakan dengan kondisi dia yang ada. Korban datang kesini secara psikologis terluka, nanti kami lakukan pemeriksaan psikologis karena orangtua klien tidak faham sebenarnya peran mereka mesti seperti apa, dengan klien dibawa kesini kita itu jadi penghubung antara orangtua dengan klien supaya tidak terulang kembali kejadian yang sama, serta supaya orangtua bisa lebih memahami apa yang putra putrinya butuhkan. Misalkan kasus anak- anak yang dibuly di sekolahnya dia tidak mampu dibidang itu tapi orangtua paksakan, dia merasa tidak nyaman. Nah dengan adanya konseling dengan psikolog itu akan tergali semua apa yang menjadi permasalahan”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu. 5 Juli 2017. Pukul 10.15).
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, peneliti dapat menganalisa bahwa cara petugas Pusat Pelayanan Terpadu membangun rasa percaya diri klien yaitu dengan cara membuat klien nyaman terlebih dahulu serta memberdayakan dengan kondisi klien serta kemampuan klien, tidak lupa untuk mengikut sertakan orangtua supaya tidak ada kesalah fahaman antara orangtua dan anak yang akan menimbulkan permasalahan.
8. Persiapan Konselor
Sebelum melakukan proses pendampingan maupun konseling, dan sebelum bertemu dengan klien, petugas Pusat Pelayanan Terpadu selalu melakukan persiapan, hal itu di ungkapkan oleh petugas bagian pelayanan.
“Yang ada kita persiapkan energi positif untuk membantu klien kita, dengan rasa ikhlas insyaAllah kita akan bisa menyentuh perasaan mereka untuk mencari solusi bersama. Karena intinya itu kita
membantu klien. Setiap manusia mempunyai masalah masing-masing, disaat kita mempunyai masalah tetapi kita didepan mata ada klien yang harus ditangani ya kita bantu, tidak mungkin kan kita menolak.
Caranya seperti itu, kita dengan ikhlas membantu mereka dan menyiapkan energi positif kita, apapun kondisi kita itu harus kita simpan dulu supaya kita bisa bantu mereka. Kalau dihitung rata-rata dari total semua klien yang pernah kami ditanganin, satu hari itu kami menangani 2 kasus. Kita akumulasikan jumlah klien semuanya selama satu bulan dibagi jumlah hari dalam satu bulan, satu hari itu 2 kasus atau 2 orang”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu. 5 Juli 2017. Pukul 10.15).
Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas bahwa sebelum melakukan konseling petugas melakukan persiapan salah satunya yaitu dengan menyiapkan energy positif, dapat penelitia analisa bahwa hal tersebut bertujuan untuk membuat klien nyaman, dan memberikan energy positif pula untuk klien, agar apa yang mereka sampaikan bisa masuk atau difahami oleh klien.
9. Faktor Penyebab Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak, karena ada faktor- faktor penyebab yang memicu kasus kekerasan seksual tersebut terjadi.
Dan dari hasil wawancara dengan ibu Yanti sebagai psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu, beliau mengatakan ada beberapa faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual terhadap anak terjadi, diantaranya:
a. Media Sosial
“Kebanyakan kasus seksual itu terjadi penyebabnya dari media social, seperti facebook dll. Karena sekarang banyak anak sudah yang mempunyai handphone. Banyak pula orangtua yang memfasilitasi anak dengan memberikan anak handphone, menunjukan bahwa mereka mampu memeberikan handphone kepada anak- anaknya, ada suatu kebanggan jika orangtua bisa memenuhi apa yang anak inginkan. Tanpa memperhatikan dampak negative dari kemudahan itu sendiri. Memang sekarang itu zaman canggih segala sesuatu bisa kita akses dengan mudah melalui handphone, bisa berkenalan lewat facebook padahal kita belum tau betul itu siapa, bisa saja foto yang dia pasang itu palsu, biasanya selepas kenalan
bertemu, dan terjadilah hal-hal yg tidak diinginkan seperti perkosaan”.
b. Kecerdasan Emosional yang Rendah.
“Mungkin bagi kita sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional normal kita bisa membedakan apa yang baik dan buruk untuk kita, kita mampu untuk memilih yang baik dan buruk untuk kita, sedangkan adik-adik kita yang maaf kecerdasan emosi nya maaf rendah itu kan merka tidak faham, mereka tidak bisa membedakan apa yang baik dan buruk bagi mereka. Tapi mereka masih mempunyai perasaan suka terhadap lawan jenis, sedangkan yang namanya perasaan kita juga tidak bisa menolak, tapi kita masih bisa mengontrolnya. Akan tetapi adik-adik kita (klien) mereka tidak mampu untuk mengontrol perasaan mereka terhadap lawan jenis, yang terkadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat tidak baik terhadap mereka”.
c. Lingkungan dan Pergaulan
“Lingkungan serta pergaulan anak bisa menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, misalnya anak jalanan dengan lingkungan serta pergaulan mereka yang tidak terawasi, tidur pun mereka asal tidur tidak mengenal itu anak laki-laki ataupun perempuan, anak jalanan laki-laki maupun perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual”. (Hasil wawancara dengan ibu Yanti di Pusat Pelayanan Terpadu. 6 Juli 2017. Pukul 9.23).
Dari hasil wawancara di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual yaitu dari media social, kecerdasan emosi korban yang rendah serta faktor dan lingkungan dan pergaulan korban itu sendiri.
10. Pendampingan Psikologis
Proses pendampingan psikologis untuk klien kasus korban kekerasan seksual dilakukan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu untuk mengobati rasa trauma yang di alami oleh klien serta mengembalikan kembali rasa percaya diri klien untuk bisa kembali beraktifitas dengan teman-teman seperti sebelumnya.
“Pada intinya semua korban yang datang kesini itu pasti butuh pendampingan, apalagi dengan kejadian pahit yang tidak terduga yang pernah mereka alami. Mereka ada rasa trauma yang harus kita bantu untuk mengikisnya, apalagi secara psikisnya, semua klien yang datang kesini pasti harus membutuhkan pendampingan secara psikologis. Kondisi psikis atau kejiwaan klien dalam menghadapi trauma yang dialaminya berbeda-beda. Mereka kebanyakan mengalai trauma, trauma itu biasanya di rasakan dan efek dari trauma itu dari awal kejadian pun mereka merasa tidak percaya diri, dan mereka tidak mau main dengan temannya, menarik diri dari lingkungan dan dia lebih nyaman sendiri. Itu yang kebanyakan klien rasakan seperti itu. Apalagi kondisi mereka masih anak- anak di bawah umur 18 th.
Setelah kejadian itu orangtua korban tidak faham dengan perubahan sikap anaknya, bu anak peneliti jadi tidak mau bermain, tidak mau sekolah, terus tidurnya gelisah, terkadang ada yang ngompol, itu yang biasa terjadi terhadap korban-korban kekerasan seksual. Itu dari sisi reaksi psikologisnya itu seperti itu. Klien jadi tidak percaya diri”.
(Hasil wawancara dengan ibu Yanti di Pusat Pelayanan Terpadu. 6 Juli 2017. Pukul 9.30).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ibu Yanti sebagai psikolog di Pusat Pelayan Terpadu, dapat peneliti analisa bahwa gejala yang tunjukan oleh klien merupakan gejala-gejala stress pascatrauma.
Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder, PTSD) adalah gangguan stress akibat seseorang mengalami suatu peristiwa traumatic yang luar biasa di luar kemampuan manusia secara umumnya, seperti akibat bencana alam, pemerkosaan, korban tindakan kriminak, kekerasan dalam rumah tangga, berada dalam tempat pembantaian, terror, sandera, perang atau kehancuran rumah tangga yang mendadak. (Pieter dkk, 2010: 117).
11. Tahap Evaluasi
Setelah proses pendampingan secara psikologis dan konseling terhadap klien dilakukan, untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan proses pendampingan serta konseling yang telah dilakukan maka Petugas
Pusat Pelayanan Terpadu melakukan evaluasi untuk tahapan yang akan di ambil selanjutnya.
“Iya kita ada waktu observasi evaluasi, misalkan klien sudah datang kesini mungkin kebanyakan mereka satu kasus itu bisa 4 kali kunjungan awal, nanti 3 bulan pertama di evaluasi, 6 bulan selanjutnya dievaluasi juga, setelah masa perkembangan nanti dilakukan konseling dengan keluarganya. Kita tetap evaluasi per pertemuan setelah dilakukan konseling, bisa satu minggu kedepan, kalau dilihatnya kita mungkin sudah lebih bisa dikondisikan, misalkan 2 minggu lagi datang kesini, kadang seminggu lagi, tergantung kebutuhan melihat kondisi klien saja. Perbedan evaluasi pas diawal, selama proses pendampingan dan konseling, serta di akhir. Pas di awal kita mencoba untuk bagaimana caranya dia mengungkapkan semuanya, misalkan untuk pertemuan yang kedua dan ketiga, dia tinggal terapi aja maksudnya konseling untuk lanjutan meyakinkan, membuat mental dia semakin kuat, kalau awal berarti kan perjuangan kita untuk membuka semua, bedanya itu aja”. (Hasil wawancara dengan ibu Yanti 9 Juni 2017, pukul 9.15)
Dari hasil wawancara di atas dapat peneliti analisa bahwa kebrhasilan suatu program maupun layanan dapat dilihat pada saat proses evaluasi berlangsung.
12. Hambatan dalam Melakukan Pendampingan dan Konseling
Dalam melaksanakan suartu program maupun layanan pendampingan, pasti kita akan menemukan hambatan dalam pelaksanaannya, begitu juga dengan pelaksanaan layanan pendampingan di Pusat Pelayanan terpadu yang tidak luput dari suatu hambatan.
“Pasti kita juga mengalami hambatan dalam melaksanakan program layanan pendampingan ya dek, kalau kami hambatannya itu di laporan klien. Jadi klien masih minim yang mau melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami, alasannya karena si pelaku masih saudara jadi di selesaikan secara kekeluargaan saja, ataupun karena si pelaku itu pacarnya jadi keluarga korban lebih memilih menikahkan anaknya, takut harus membayar biaya ini itu. Padahal kan bukan hanya penyelesaian kasus yang harus selesaikan, tapi korban yang pasti memiliki rasa trauma, dan rasa trauma tersebut yang sebenarnya harus benar-benar di dikikis serta mengembalikan kembali rasa percaya diri klien serta menguatkan mental korban,
karena kalau tidak klien akan merasakan rasa trauma itu sampai akhir hayatnya. Selama ini kami hanya mendapat klien rujukan dari kepolisian, masih minim klien yang mau melapor langsung ke Pusat Pelayanan Terpadu. Kami tidak memungut biaya sepeserpun, karena misi kami adalah misi kemanusiaan untuk memutus mata rantai kasus kekerasan”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna 9 Juni 2017, pukul 9.15)
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu (Efendi, 2009: 195)
a. Kendala
1) Korban kurang faham bahwa perbuatan pelaku merupakan tindak pidana.
2) Korban merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga, sehingga apabila dilaporkan maka tidak aka nada yg membiayai keluarganya.
b. Hak-hak korban
1) Mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat dan lembaga social.
2) Mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
3) Mendapatkan penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan dan privasi korban.
4) Mendapatkan pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hokum.
5) Mendapatkan pelayanan bimbingan rohani. (Efendi, 2009:
198)
Istilah pelecehan seksual merujuk pada tindakan kekerasan secara seksual yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan atas orang yang diserang. Kebanyakan orang memahami istilah agresi atau menyerang sebagai kekerasan fisik. Bagaimanapun kekerasan seksual tidak selalu merupakan tindakan kekerasan yang terbuka. (Yantzi, 2009:
16-17)
Kekerasan seksual seringkali dirahasiakan oleh korban, karena beberapa aspek, diantaranya yaitu:
a. Aspek-aspek fisik
Saat kita membicarakan dampak fisik akibat kekerasan seksual.
Yang pertama-tama kita pikirkan adalah luka-luka dan ketidak nyamanan fisik. Bagaimanapun salah satu bentuk dari kekerasan seksual meliputi sentuhan fisik yang membuat tubuh tidak nyaman.
Seorang anak berusia dibawah umur yang secara tidak senonoh terlibat dalam aktifitas seksual, biasanya berkembang menjadi seorang dewasa yang berusaha mendapatkan dukungan dan perhatian dengan menyatakannya secara seksual. Kebanyakan keluarga biasanya memusatkan perhatian mereka hanya pada prilaku yang terlihat dari anak tersebut. Berbagai penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pekerja seks komersial baik pria maupun wanita pernah mengalami kekerasan saat mereka anak-anak. Dalam banyak kasus orang-orang dewasa seringkali meminta “hadiah” dalam bentuk aktifitas seksual dari anak-anak sebagai ganti dari permen atau hadiah-hadiah lainnya.
(Yantzi, 2009: 27-28)
Dalam kasus kekerasan seksual seringkali terjadi kerusakan fisik seperti perobekan keperawanan, pendarahan, serta bekas luka yang permanen. Trauma pemerkosaan bisa jadi begitu menakutkan bagi seorang anak sehingga ia kehilangan kesadaran, sebagai akibat
keterkejutan dan mungkin dapat membawanya semakin dekat dengan kematian.
Luka-luka fisik akibat kekerasan seksual sering kali tersembunyi karena organ kelamin yang terluka tersebut berada pada tempat- tempat yang tertutup. Ditambah lagi dampak dari perasaan malu yang diderita korban. Alasan ini membuat kita tidak sulit untuk memahami mengapa begitu banyak korban yang memilih untuk menderita secara diam-diam. (Yantzi, 2009: 26)
b. Aspek-aspek emosional
Anak-anak tidak jarang menanggung rasa sakit tersebut dengan cara mencoba menekan peristiwa itu dari ingatan mereka. Meskipun tersembunyi dari kesadaran ingatan mereka, kekerasan tersebut menjadi penyebab munculnya kekacauan dan rasa tidak percaya diri.
ketika anak-anak mengalami sesuatu yang tidak dapat mereka pahami, mereka berupaya menemukan berbagai cara untuk menyembunyikan hal tersebut. Seorang anak mungkin akan menghabiskan lebih banyak dan semakin banyak waktunya untuk melamun. Beberapa anak lain menghabiskan waktu mereka dalam dunia khayalan, cara ini akhirnya menjadi gaya hidup yang terus berlanjut hingga mereka dewasa. Bagi anak-anak ini berkhayal membuat mereka terhindar dari luka emosional yang sangat parah, pada satu tahap tertentu cara demikian memang membantu mengatasi rasa sakit. Namun cara ini juga menciptakan kebingungan psikologis, khayalan menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. (Yantzi, 2009: 29-30)
c. Aspek-aspek spiritual
Bagaimanapun kekerasan dapat menciptakan kehancuran secara spiritual. Hal ini berdampak bagi si korban yang seringkali menemui kesulitan untuk percaya pada konsep mengenai Allah yang menjaga dan melindungi. Bagi seorang anak, orangtua adalah guru yang
pertama dan sumber gambaran mengenai Allah. Anak-anak yang pernah dikhianati oleh orangtua akan menemui kesulitan untuk percaya kepada tuhan. Para korban yang terluka ini membutuhkan orang lain untuk melimpahi mereka dengan cinta dan pemeliharaan.
(Yantzi, 2009: 34-35).
13. Peran Warois
Dalam pelaksanaan proses pendampingan terhadap kasuss kekerasan seksual, tidak lepas dengan bantuan dari pihak waro’is dari segi keagamaan.
“Perannya itu insidentil, artinya selama ini yang berperan di bagian psikolognya, kalau bapak itu perannya dibagian jika ada klien PPT yang berontak kita baru berperan di dalamnya megang terus kasih ketenangan ke klien. contoh pernah ada klien yang jerit-jeritan, kan di PPT petugasnya perempuan semua, nah bapak bantu pegang si klien, kalau tidak misalkan sambil menunggu panggilan dari mbak yanti, kita kasih pemaparan dari segi agama, peran kita membantu pendampingan klien”.
a. Hambatan
“Pernah ada kasus klien usia 13th yang mengaku di usir oleh orangtuanya, padahal dia itu mungkin karena orangtuanya kurang memperhatikan, jadi dia itu seperti mencari perhatian, pengennya lepas jadi pemikirannya pengen kaya orang-orang punya, sedangkan kemampuan orangtua tidak ada dia suka minggat jadi dia stress, terus dia masuk panti. Kan kalau dipanti dia di kasih baju, sepatu jadi dia mencari perhatian orang lain dan larinya itu ke Cirebon, sudah di pulangkan balik lagi ke Cirebon. Menurut bapak kasusnya itu yg sulit, dan ternyata selama kami membantu dia, dia membohongi tim”.
b. Hikmah
“Hikmah yang di ambil bagi bapak yaitu ko anak seusia mereka berani berbuat yang tidak baik karena orangtuanya yang tiddak peduli dengan apa yang dia inginkan sambil dia itu melarikan diri dari rumah, mencari perhatian orang lain. jadi dikesan kita ini Ya Allah kita sebagai orangtua harus benar-benar peduli kepada anak, perhatian kepada anak, jangan sampai anak yang telah kita didik ini
tidak depedulikan, asal memberikan culbul seperti pendidikan dll itu lah tugas guru, padahal itu tugas orangtua juga kan kalu gitu tuh”.
(Hasil wawancara dengan bapak suprapto 9 Juni 2017, pukul 08.15).
Dari hasil wawancara dengan petugas warois di Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon yang bekerjasama dengan petugas Pusat Pelayanan Terpadu, maka dapat peneliti analisis bahwa petugas warois disini bertugas memberikan pemaparan maupun arahan dari segi keagamaan kepada petugas di Pusat Pelayanan Terpadu serta korban maupun kepada keluarga korban yang bersifat insidentil (jika diperlukan).
B. Gambaran Anak Korban Kekerasan Seksual
Tabel 1.3 Gambaran Anak Korban kekerasan Seksual No Identitas Kronologis Gejala
yang Timbul
Layanan yang diberikan
Hasil
1. A, 13 thn, Perempuan pelajar, Indramayu
Korban dan pelaku pada awalnya berkenalan lewat facebook dan berlanjut lewat whats up sampai kurang lebih 6 bulan, di hari ulang tahun korban.
Pelaku mengajak untuk ketemuan dengan alasan ingin memberikan kado.
Sekitar jam 5 menjelang maghrib korban keluar dan janjian ketemu dijalan, korban diajak makan, jalan-jalan naik motor jauh dari
Korban lebih pendiam Suka mengurung
diri di
kamar Tidur selalu mengigau kesakitan Tidak mau makan Tidak mau sekolah
layanaan medis
Pendampingan dan Konseling
Korban sudah bisa diajak berkomunikasi Mulai rutin makan
Sudah tidak lagi
mengurung di kamar
Korban sudah tidak
mengigau lagi tetapi dia masih malu- malu jika di sekolah.
Sudah mau
sekolah
rumah dan jauh dari keramaian, korban tanya mau diajak kemana tapi pelaku bilang surprise, di tengah perjalanan di kebun pelaku berhenti dan menarik tangan korban serta memaksa korban dan korban tidak bisa apa-apa karena secara fisik pelaku lebih kuat dari korban serta posisi kebun tersebut jauh dari desa
2. B, 8 thn, laki-laki, pelajar, Indramayu
Korban tidak mengenal sama sekali pelaku, korban hanya bertemu di tempat korban biasa membeli jajan, pada saat itu korban sedang jajan, kemudian bertemu dengan pelaku. Kemudian si pelaku mentlaktir korban jajan, kemudian setelah itu korban entah diajak kemana sambil ngobrol.
Setelah itu pelaku mengajak korban ke rumahnya, disana pelaku melakukan
perbuatan bejatnya.
Semenjak kejadian itu anak
peneliti selalu ketakutan jika melihat laki-laki dewasa.
Anak peneliti sering mengeluhka n rasa sakit di bagian dubur, setra susah untuk buang air besar, sering mimpi buruk, serta mengompol dan menjadi
layanaan medis
Pendampingan dan Konseling
Korban sudah tidak
mengeluh sakit
lagi dan
setelah 3 bulan anak peneliti sudah tidak takut jika melihat laki- laki dewasa, sudah tidak mimpi buruk serta
mengompol lagi,
Alhamdulillah nya dia masih mau sekolah
Pelaku menyuruh korban pulang dengan
memberikan uang kepada korban.
Sepanjang
perjalanan pulang korban menangis karena kesakitan, kemudian korban bertemu dengan paman korban dan paman korban membawa korban ke rumah,
kemudian
melaporkan pelaku ke kepolisian.
kasar kepada orangtua.
1. Keadaan Klien Sebelum Mendapatkan Pendampingan
Adapun dalam penelitian ini terdapat keluarga klien yang anaknya mendapatkan layanan pendampingan serta konseling dari petugas Pusat Pelayanan Terpadu sebagai objek yang akan di teliti. Dari hasil wawancara, observasi serta dokumentasi diambil data dari dua pasien sebagai objeknya, dimana peneliti melakukan wawancara terlebih dahulu kepada petugas Pusat Pelayanan Terpadu untuk mengetahui keadaan psikis klien sebelum mendapatkan layanan pendampingan dan konseling di Pusat Pelayanan Terpadu.
a. Kasus Pertama
A, 13 thn, perempuan, pelajar, Indramayu.
Korban dan pelaku pada awalnya berkenalan lewat facebook dan berlanjut lewat whats up sampai kurang lebih 6 bulan, di hari ulang tahun korban. Pelaku mengajak untuk ketemuan dengan alasan ingin memberikan kado. Sekitar jam 5 menjelang maghrib korban keluar
dan janjian ketemu dijalan, korban diajak makan, jalan-jalan naik motor jauh dari rumah dan jauh dari keramaian, korban tanya mau diajak kemana tapi pelaku bilang surprise, di tengah perjalanan di kebun pelaku berhenti dan menarik tangan korban serta memaksa korban dan korban tidak bisa apa-apa karena secara fisik pelaku lebih kuat dari korban serta posisi kebun tersebut jauh dari desa. Setelah mengalami hal tersebut sikap korban berubah drastis jadi lebih pendiam dan suka mengurung diri di kamar, jika tidur korban selalu mengigau seperti yang kesakitan, korban juga jadi tidak mau makan serta tidak mau sekolah. (Hasil dokumentasi dan wawancara dengan ibu Erana di Pusat Pelayanan Terpadu, 10 Juni 2017 pukul 9.43).
Sebagaimana yang telah di paparkan di atas, Ibu Erna memaparkan layanan apa saja yang diberikan petugas di Pusata Pelayanan Terpadu kepada korban kekerasan seksual beserta keluarga.
“Kami menerima kasus A, atas rujukan dari kepolisian, pada saat pertama A datang sangat terlihat jelas jika dia ketakutan dan merasa malu, tahap awal perkenalan dengan korban serta dalam penggalian masalah dengan korban agak rumit karena korban sudah memasuki tahap remaja, jika dibandingkan dengan korban yang masih anak-anak. Kami melakukan pendekatan dengan korban dengan cara meyakinkan bahwa kami berniat baik ingin membantu, untuk mengakrabkan kami juga bermain bersama, begitupun dengan orangtua korban kami berusaha memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa anak mereka sedang sangaat-sangat membutuhkan kasih peneliting dan perhatian dari mereka, kami juga membimbing orangtua korban supaya tetap semangat dan pantang menyerah dalam mendampingi korban, juga ikut serta dalam pemulihan trauma korban. Karena yang paling berperan penting dalam proses penyembuhan trauma anak korban kekerasan seksual adalah orangtua beserta lingkungan, disini kami hanya membantu, itupun terbatas oleh waktu, kami tidak bisa 24 jam mendampingi klien”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna, 10 Juni 2017 pukul 9.30)
b. Kasus Kedua
B, 8 thn, laki-laki, pelajar, Indramayu.
Korban tidak mengenal sama sekali pelaku, korban hanya bertemu di tempat korban biasa membeli jajan, pada saat itu korban sedang jajan, kemudian bertemu dengan pelaku. Kemudian si pelaku mentlaktir korban jajan, kemudian setelah itu korban entah di ajak kemana sambil ngobrol. Setelah itu pelaku mengajak korban ke rumahnya, disana pelaku melakukan perbuatan bejatnya. Pelaku menyuruh korban pulang dengan memberikan uang kepada korban. Pada saat korban sedang di perjalanan pulang, sepanjang perjalanan pulang korban menangis karena kesakitan, kemudian korban bertemu dengan paman korban dan paman korban membawa korban ke rumah, kemudian melaporkan pelaku ke kepolisian. (Hasil dokumentasi dan wawancara dengan ibu Erna di Pusat Pelayanan Terpadu, 10 Juni 2017 pukul 9.43)
Sebagaimana yang telah di paparkan di atas, Ibu Erna memaparkan layanan apa saja yang diberikan petugas di Pusata Pelayanan Terpadu kepada korban kekerasan seksual beserta keluarga.
“Kami menerima kasus B, atas rujukan dari kepolisian, pada saat pertama B datang sangat terlihat jelas jika dia ketakutan dan merasa kesaktan, tahap awal perkenalan dengan korban serta dalam penggalian masalah dengan korban kami melakukan pendekatan dengan korban dengan cara meyakinkan bahwa kami berniat baik ingin membantu, untuk mengakrabkan kami juga membacakan dongeng dan bermain bersama, begitupun dengan orangtua korban kami berusaha memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa anak mereka sedang sangat membutuhkan kasih peneliting dan perhatian dari mereka, kami juga membimbing orangtua korban supaya tetap semangat dan pantang menyerah dalam mendampingi korban, juga ikut serta dalam pemulihan trauma korban.
Karena yang paling berperan penting dalam proses penyembuhan trauma anak korban kekerasan seksual adalah orangtua beserta lingkungan, disini kami hanya membantu, itupun terbatas oleh waktu, kami tidak bisa 24 jam mendampingi klien”. (Hasil wawancara dengan ibu Erna, 10 Juni 2017 pukul 9.50)
2. Keadaan Klien Setelah Mendapatkan Pendampingan
Setelah mengetahui gejala trauma yang dialami oleh klien, maka petugas Pusat Pelayanan Terpadu menjalankan tugasnya untuk memberikan layanan pendampingan serta konseling kepada klien. Setelah mendapatkan layanan pendampingan dan konseling dari petugas Pusat Pelayaan terpadu terdapat perubahan sikap yang ditunjukan oleh klien, hal tersebut diungkapkan oleh kedua keluarga klien yang peneliti wawancarai.
Keluarga korban A menyatakan bahwa layanan apa saja yang petugas berikan kepada anaknya serta bagaimana dampak kedepannya terdahap anaknya.
“Di Pusat Pelayanan Terpadu kami mendapatkan layanaan medis, selain itu kami juga mendapatkan pendampingan serta konseling dari ibu Yanti dan ibu Erna. Setelah dilakukannya proses pendampingan dan konseling selama 3 bulan, perlahan anak saya sudah mulai bisa diajak berkomunikasi, dia mulai rutin makan, sudah tidak lagi mengurung di kamar, walaupun untuk sekedar keluar rumah dan bermain dia masih merasa minder. Aktifitas dia masih selalu di dalam rumah dan sekolah. Memasuki bulan ke 5 anak saya sudah tidak mengigau lagi tetapi dia masih malu-malu jika di sekolah. Tidak apa- apa lah yang terpenting dia mau sekolah saja sudah syukur Alhamdulillah, nanti juga pelan-pelan jika dia sudah pulih dia mau bergabung dengan teman-temannya”. (Hasil wawancara dengan keluarga A, 12 Juni 2017 pukul 11.30).
Serta keluarga korban B menyatakan bahwa layanan apa saja yang petugas berikan kepada anaknya serta bagaimana dampak kedepannya.
“Di Pusat Pelayanan Terpadu kami mendapatkan layanan medis, selain itu kami juga mendapatkan pendampingan serta konseling dari ibu Yanti dan ibu Erna. Semenjak kejadian itu anak peneliti selalu ketakutan jika melihat laki-laki dewasa. Anak saya sering
mengeluhkan rasa sakit di bagian dubur, setra susah untuk buang air besar, sering mimpi buruk, serta mengompol dan menjadi kasar kepada orangtua. Setelah dilakukannya proses pendampingan medis dan konseling selama 1 bulan anak saya sudah tidak mengeluh sakit lagi dan setelah 3 bulan anak saya sudah tidak takut jika melihat laki- laki dewasa, sudah tidak mimpi buruk serta mengompol lagi, Alhamdulillahnya dia masih mau sekolah”. (Hasil wawancara dengan keluarga B, 15 Juni 2017 pukul 11.00).
Dari hasil wawancara dengan korban maupun keluarga korban, dari kedua kasus di atas maka peneliti dapat menganalisa bahwa proses pendampingan yang dilakukan oleh petugas di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon bisa dikatakan sudah baik. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan sikap klien kearah yang lebih baik lagi, diantaranya yaitu perlahan klien mulai tidak menunjukan gejala-gejala trauma yang sebelumnya pernah dialami oleh klien, sebagai bentuk dari gejala trauma itu sendiri. Perubahan sikap tersebut terjadi setelah dilakukannya proses pendampingan dan konseling yang petugas berikan serta bekerjasama dengan keluarga korban
C. Efektivitas Layanan Pendampingan dari Aspek Penerimaan Keluarga Klien
Setelah mengetahui respon keluarga klien mengenai gejala trauma yang dialami oleh klien sebelum dilakukannya proses pendampingan serta konseling, peneliti melakukan wawancara mengenai pendapat keluarga klien tentang layanan pendampingan serta konseling yang diberikan petugas Pusat Pelayanan Terpadu untuk mengetahui sejauh mana efektifitas layanan pendampingan yang dilakukan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu dari aspek penerimaan keluarga klien.
1) Gejala Trauma
Ketika klien sudah merasakan penurunan tingkat gejala trauma yang dialaminya. Keluarga klien merasa pelayanan petugas Pusat Pelayanan
Terpadu sudah baik dalam tujuannya untuk mengikis rasa trauma klien.
Seperti yang peneliti dapatkan dari jawaban keluarga klien A yang menilai bahwa pelayanan pendampingan serta konseling yang di berikan petugas Pusat Pelayanan Terpadu sudah baik, hal tersebut dapat dilihat dari perubahan sikap klien yang sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
“Setelah dilakukannya proses pendampingan dan konseling selama 3 bulan, perlahan anak saya sudah mulai bisa diajak berkomunikasi, dia mulai rutin makan, sudah tidak lagi mengurung di kamar, walaupun untuk sekedar keluar rumah dan bermain dia masih merasa minder.
Aktifitas dia masih selalu di dalam rumah dan sekolah. Memasuki bulan ke 5 anak peneliti sudah tidak mengigau lagi tetapi dia masih malu-malu jika di sekolah. Tidak apa-apa lah yang terpenting dia mau sekolah saja sudah syukur Alhamdulillah, nanti juga pelan-pelan jika dia sudah pulih dia mau bergabung dengan teman-temannya”. (Hasil wawancara dengan keluarga A, 12 Juni 2017 pukul 11.30).
Sama halnya yang diungkapkan oleh keluarga klien B, mereka merasa kondisi anak mereka lebih baik dibandingkan sebelumnya setelah mendapatkan layanan pendampingan serta konseling dari petugas Pusat Pelayanan Terpadu.
“Setelah dilakukannya proses pendampingan medis dan konseling selama 1 bulan anak saya sudah tidak mengeluh sakit lagi dan setelah 3 bulan anak saya sudah tidak takut jika melihat laki-laki dewasa, sudah tidak mimpi buruk serta mengompol lagi, Alhamdulillahnya dia masih mau sekolah”. (Hasil wawancara dengan keluarga B, 15 Juni 2017 pukul 11.00).
Dari penjelasan diatas dapat peneliti analisis bahwa layanan pendampingan maupun konseling yang diberikan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu bisa dikatakan sudah baik, hal tersebut dapat dilihat dari perubahan sikap klien yang lebih baik dibandingkan sebelum mendapatkan layanan pendampingan dan konseling yang diberikan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu.
2) Penilaian dan Manfaat
Ketika keluarga klien sudah mendapatkan layanan pendampingan mereka berpendapat bahwa, mereka merasa terbantu dengan layanan yang di berikan petugas di Pusat Pelayanan Terpadu. Hal tersebut diungkapkan oleh Keluarga klien A.
“Saya merasa sangat terbantu dengan adanya layanan pendampingan serta konseling yang di berikan petugas di Pusat Pelayanan Terpadu, awalnya kami merasa kebingungan bagaimana caranya menghadapi anak saya. Tetapi setelah mendapatkan layanan pendampingan dan konseling dari ibu Erna dan Ibu yanti, sekarang kami tau harus seperti apa dalam menghadapi anak saya juga membantu dia dalam proses pemulihannya”. (Hasil wawancara dengan keluarga A, 15 Agustus 2017 pukul 10.02)
Seperti halnya yang diungkapkan oleh keluarga klien B, yang berpendapat bahwa mereka sangat terbantu oleh layanan yang diberikan oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu.
“Saya merasa terbantu dengan adanya Pusat Pelayanan Terpadu, disini kami selain di beri layanan pendampingan dan konseling, kami juga sangat di bantu dalam pengobatan dan biayanya juga gratis”.
(Hasil wawancara dengan keluarga B, 15 Agustus 2017 pukul 11.30) Dari penjelasan diatas maka dapat peneliti analisa bahwa efektifitas layanan pendampingan pada anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon dapat dikatakan sudah efektif, hal tersebut dapat dilihat dari, tenaga profesi yang menjadi Tim di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon yang memiliki tanggung jawab di bidang masing-masing dan melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, memberikan layanan pendampingan yang terprogram, hal tersebut dapat dilihat dari proses pendampingan secara psikologis dan konseling yang diberikan terhadap klien dilakukan terjadwal, dalam satu bulan klien dijadwalkan bertemu 4 kali pertemuan atau satu minggu sekali serta
dilakukannya evaluasi tiap pertemuan dengan klien dan evaluasi 3 bulan sekali dengan tim, juga dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam rangka menjaga berlangsungnya proses kegiatan.
Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan sikap klien pertama maupun kedua. Kedua klien menunjukan sikap yang lebih baik di banding sebelumnya pada saat datang ke Pusat Pelayanan Terpadu, perubahan sikap tersebut terjadi setelah dilakukaannya proses pendampingan dan konseling yang petugas berikan serta bekerjasama dengan keluarga korban.