• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Frozen Shoulder. 1. Definisi. Frozen shoulder merupakan suatu kondisi dimana gerakan bahu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Frozen Shoulder. 1. Definisi. Frozen shoulder merupakan suatu kondisi dimana gerakan bahu"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Frozen Shoulder

1. Definisi

Frozen shoulder merupakan suatu kondisi dimana gerakan bahu menjadi terbatas. Kondisi tingkat keparahan dapat bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai berat dan/atau seberapa parah keterbatasan gerak (Mound, 2012).

Frozen shoulder juga dikenal dengan istilah capsulitis adhesiva dimana kondisi bahu menjadi sakit dan kaku. Biasanya keluhan ini disebabkan karena cedera yang relatif kecil pada bahu, tetapi penyebab yang sering berkembang belum jelas. Frozen shoulder juga sering dikaitkan dengan masalah kesehatan lainnya seperti diabetes melllitus (Teyhen, 2013).

Kesimpulannya, frozen shoulder adalah kondisi dimana bahu mengalami kekakuan dan nyeri, sehingga gerakannya menjadi terbatas.

Hal ini menyebabkan penderita frozen shoulder kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti menggosok punggung saat mandi, keramas, menyisir rambut, memakai mukena, dan memakai breast holder (BH) untuk perempuan. Penyebab pasti dari kondisi frozen shoulder belum diketahui, namun ada beberapa faktor yang

(2)

dapat memicu kondisi ini seperti immobilisasi lama, over use, trauma, atau operasi pada sendi.

2. Klasifikasi

Klasifikasi frozen shoulder dibagi menjadi dua, yaitu : a. Frozen shoulder primer

Frozen shoulder primer yaitu frozen shoulder yang tidak diketahui penyebabnya. Frozen shoulder ini lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki, biasanya terjadi pada usia 41 tahun. Menyerang pada lengan yang tidak digunakan dan pada orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu yang lama dan berulang.

b. Frozen shoulder sekunder

Frozen shoulder sekunder yaitu frozen shoulder yang diikuti trauma parah pada bahu seperti fraktur, dislokasi, luka bakar yang berat, meskipun cedera tersebut sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya (Kartika, 2011).

Kesimpulannya, frozen shoulder diklasifikasikan menjadi dua, yaitu frozen shoulder primer dan sekunder. Pada frozen shoulder primer biasanya menyerang bahu dengan kondisi immobilisai lama dan over use. Sedangkan frozen shoulder sekunder disebabkan oleh faktor trauma parah yang terjadi pada bahu.

(3)

3. Anatomi Sendi Bahu

Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint) yang terdiri atas caput humeri (bonggol sendi) dan cavitas glenoidalis (mangkuk sendi). Cavitas sendi bahu sangat dangkal, sehingga memungkinkan dapat menggerakkan lengan secara leluasa dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Namun struktur yang demikian akan menimbulkan ketidakstabilan yang mengakibatkan gangguan pada bahu.

a. Osteology (tulang)

Sendi bahu merupakan sendi komplek pada tubuh manusia yang dibentuk oleh tulang-tulang yaitu scapula (shoulder blade), clavicula (collar bone), humerus (upper arm bone), dan sternum (Sidharta, 2004).

1) Clavicula

Tulang berbentuk “S” yang terhubung dengan scapula pada sisi lateral dan manubrium pada sisi medial. Menahan scapula untuk mencegah tulang humerus bergeser berlebih.

2) Humerus

Terdiri dari caput humeri yang membuat persendian dengan rongga glenoidalis scapula. Terdapat tuberositas mayor di bagian luar dan tuberositas minor di bagian dalam. Di antara kedua tuberositas terdapat sulcus intertubercularis. Pada os humerus juga terdapat tuberositas deltoid sebagai tempat

(4)

melekatnya insertio otot deltoid. Pada bagian distal humerus terdapat epicondilus lateral dan medial.

b. Joint (sendi)

Daerah persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, dan sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerja sama secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya karena caput humeri tidak masuk kedalam cavitas glenoidalis karena fossa glenoidalis dangkal (Sidharta, 2004).

1) Sendi Sternoclavicular

Sternoclavicular merupakan sendi synovial yang menghubungkan ujung medial clavicula dengan sternum dan tulang rusuk pertama. Sendi ini memiliki fungsi dalam membantu pergerakkan gelang bahu. Dibentuk oleh extremitas glenoidalis clavicula, dengan incisura clavicularis sterni.

Menurut bentuknya termasuk articulation sellaris, tetapi fungsionalnya gluboidea.

Di antara kedua facies articularisnya, ada suatu discus articularis sehingga lebih dapat menyesuaikan kedua facies articularisnya dan sebagai cavum articulare (Sidharta, 2004).

(5)

Ligamentum yang memperkuat antara lain :

a) Ligamentum interclaviculare, yang membentang di antara medial extremitas sternalis, lewat sebelah cranial insicura jugularis sterni.

b) Ligamentum costoclaviculare, yang membentang di antara costae pertama sampai permukaan bawah clavicula.

c) Ligamentum sterni claviculare, yang membentang dari bagian tepi caudal insicura clavicularis sterni, ke bagian cranial extremitas sternalis claviculare.

2) Sendi Glenohumeral

Jenis sendi ball and socket dimana caput humeri yang berbentuk seperti bola bersendi dengan cavitas glenoidalis yang merupakan bagian dari os scapula. Sendi ini merupakan sendi paling mobile, namun salah satu sendi yang kurang stabil.

Dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk seperti buah pear.

Permukaan sendi diliputi oleh rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya labrum glenoidale (Snell, 2007).

Ligamentum yang memperkuat antara lain :

a) Ligamentum coracohumerale, yang membentang dari procesus coracoideus sampai tuberculum humeri.

(6)

b) Ligamentum coracoacromiale, yang membentang dari procesus coracoideus sampai acromion.

c) Ligamentum glenohumerale, yang membentang dari tepi cavitas glenoidalis ke columanatobicum, ada tiga buah yaitu : (1) ligamentum glenohumerale superior, yang melewati articulatio sebelah cranial, (2) ligamentum glenohumeralis medius yang melewati articulatio sebelah ventra, dan (3) ligamentum glenohumeralis inferius, yang melewati articulatio sebelah inferius.

Gerakan arthokinematika pada sendi glenohumeral yaitu : (1) gerakan fleksi terjadi rolling caput humeri ke anterior, sliding ke posterior, (2) gerakan abduksi terjadi rolling caput humeri ke cranio poterior, sliding ke caudo ventral, (3) gerakan eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso lateral, sliding ke ventro medial, (4) gerakan internal rotasi terjadi rolling caput humeri ke ventro medial dan sliding ke dorso lateral (Kapanji, 2004).

3) Sendi Acromioclavicular

Sendi yang menghubungkan scapula dan clavicula. Permukaan dari sendi clavicularis merupakan cekungan yang terletak di acromion (Lynn, 2011). Dibentuk oleh extremitas acromialisclavicula dengan tepi medial dari acromion scapulae. Facies articularisnya kecil dan rata dilapisi oleh

(7)

fibro cartilago. Di antara facies articularis ada discus articularis. Secara morfologis termasuk articulatio ellipsoidea, karena facies articularisnya sempit, dengan ligamentum yang longgar (Sidharta, 2004).

Ligamentum yang memperkuat antara lain :

a) Ligamentum acromioclaviculare, yang membentang antara acromion permukaan ventral sampai permukaan caudal clavicula.

b) Ligamentum coraco claviculare, terdiri dari 2 ligament yaitu : (1) ligamentum conoideum, yang membentang antara permukaan medial procecuscoracoideus sampai permukaan caudal claviculare, (2) ligamentum trapezoideus, yang membentang dari permukaan lateral procecuscoracoideus sampai permukaan bawah claviculare.

4) Scapulothoracic Articulation

Scapulothoracic articulation tidak dapat dikatakan murni salah satu persendian, karena scapula dan thorax tidak memiliki titik fiksasi. Scapulothoracic articulation tidak bergerak namun fleksibel terhadap gerakan tubuh berupa pergerakan scapula terhadap dinding thorax (Surini dkk, 2002).

Gerak asteokinematika sendi ini meliputi gerakan ke arah medial lateral yang dalam klinis disebut down ward-up ward

(8)

rotasi, dan gerak ke arah cranial-caudal yang dikenal dengan gerak elevasi-depresi.

c. Myologi (otot)

Scapula sebagai tempat melekat empat otot rotator cuff yang berfungsi menggerakkan bahu secara kompleks (Lynn, 2013).

Otot-otot scapula tersebut adalah supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis (Stephen, 2015). Lebih jelasnya pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Otot-Otot Rottator Cuff

No Otot Origo Insersio Innervasi Fungsi

1 Supraspi natus

Fossa supraspina- tus scapula

Tuberkel humerus lebih besar

Saraf suprasca- pular (C4,C6)

- Inisiasi gerakan abduksi lengan hingga 15o di sendi

glenohumeral - Stabilisasi

kepala 2 Infraspin

atus

Fossa infraspina- tus scapula

Tuberkel humerus lebih besar

Saraf suprasca- pular (C5,C6)

- Rotasi eksternal lengan pada sendi

glenohumeral - Stabilisasi

kepala humerus di rongga glenoid.

3 Teres minor

Batas lateral scapula

Tuberkel humerus lebih besar

Saraf aksila (C5, C6)

- Rotasi eksternal pada sendi

glenohumeral - Stabilisasi

kepala humerus di rongga glenoid

(9)

S u m b

Sumber : Clinical Anatomy for Medical Students (Snell, 2000)

4. Etiologi

Penyebab dari frozen shoulder belum diketahui dengan pasti.

Adapun faktor predisposisi yaitu immobilisasi yang lama, akibat trauma, over use, cedera, atau operasi pada sendi. Walaupun banyak peneliti sependapat bahwa immobilisasi merupakan faktor penting dari penyebab frozen shoulder sendi glenohumeral (Miharjanto, et al., 2010). Frozen shoulder dapat terjadi karena tendinitis, rupture rotator cuff, capsulitis, post immobilisasi lama, trauma, serta diabetes mellitus (Donatelli, 2012).

Awal terjadinya frozen shoulder adalah rasa nyeri pada bahu yang disebabkan karena immobilisasi lengan dalam jangka waktu yang lama. Immobilisasi ini akan menyebabkan statis vena dan kongesti sekunder bersama dengan vasospastik, hal ini akan menimbulkan reaksi timbunan protein, oedema, eksudat, dan akhirnya terjadi fibrous sehingga kapsul sendi akan kontraktur serta hilangnya lipatan inferior sendi, fibrosis kapsul sendi meningkat sehingga mudah robek saat humeri bergerak abduksi dan rotasi.

Capsulitis adhesiva merupakan kelanjutan dari lesi rotator cuff, karena terjadi peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan

4 Subsca- pularis

Medial 2/3 fossa subscapular

Tuberku- lum humerus yg lebih rendah

Saraf subscapu- lar atas dan bawah (C5, C7)

- Rotasi internal lengan - Stabilisasi

kepala humerus di rongga glenoid

(10)

ke dalam kapsul sendi dan mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous.

Adanya reaksi fibrous dapat diperburuk akibat terlalu lama membiarkan lengan dalam posisi impingement (Appley, 2005).

5. Tanda dan Gejala a. Nyeri

Pasien berusia 40-60 tahun biasanya memiliki riwayat trauma baik ringan maupun berat, serta diikuti sakit pada bahu dan lengan terasa nyeri yang secara perlahan bertambah parah. Pasien sering tidak dapat tidur pada sisi yang sakit. Setelah beberapa lama nyeri akan berkurang, sementara itu kekakuan semakin bertambah selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur- angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak normal (Appley, 1993).

b. Keterbatasan lingkup gerak sendi

Frozen shoulder ditandai dengan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi glenohumeral, baik gerakan aktif maupun pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark myokard, diabetes mellitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan atau radikulitis cervikalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada usia 45-60 tahun dan lebih sering mengenai perempuan (Kartika, 2011).

c. Penurunan kekuatan otot dan atropi otot

(11)

Pada pemeriksaan fisik didapat adanya kesulitan pasien dalam mengangkat lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan otot.

Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus, bila terjadi pada malam hari dapat mengganggu tidur pasien. Ketika pasien kesulitan melakukan gerakan abduksi, maka pasien akan melakukan dengan mengangkat bahunya (srugging). Dijumpai juga adanya atropi otot bahu (dalam berbagai tingkatan), hal ini dapat terjadi karena immobilisasi dalam jangka waktu yang lama akibat nyeri yang dirasakan pasien (Kuntono, 2004).

d. Gangguan aktivitas fungsional

Dengan adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita frozen shoulder seperti adanya nyeri, keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot, dan atropi otot maka secara langsung akan mempengaruhi (mengganggu) aktivitas fungsional yang dijalaninya (Kuntono, 2004).

6. Patofisiologi

Menurut Kisner (2006), frozen shoulder dibagi dalam tiga tahapan, yaitu :

a. Pain (Freezing) ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat istirahat, gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini berakhir sampai 10-36 minggu.

b. Stiffness (Frozen) ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak, kekakuan atau perlengketan nyata dan keterbatasan gerak dari

(12)

glenohumeral yang diikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan.

c. Recovery (Thawing) pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.

7. Prognosis

Frozen shoulder dianggap sebagai entitas klinis yang berbeda, menunjukkan kondisi yang jinak dan teratur. Pasien dengan nyeri yang lebih parah dan keterbatasan fungsional sebelum perawatan memiliki hasil yang relatif lebih buruk. Frozen shoulder adalah penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, mungkin memerlukan waktu hingga 18 bulan untuk pulih sepenuhnya (Sunam & Zahangir, 2014).

8. Prevalensi

Di Indonesia prevalensi frozen shoulder pada populasi umum dilaporkan sekitar 2%, dengan prevalensi 11% adalah penderita diabetes. Frozen shoulder dapat mengenai kedua bahu, baik secara bersamaan atau berurutan, pada sebanyak 16% pasien. Frekuensi frozen shoulder bilateral lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes. Pada 14% pasien, saat frozen shoulder masih terjadi pada satu bahu, bahu kontralateral juga terpengaruh. Frozen shoulder kontralateral biasanya terjadi dalam waktu lima tahun onset penyakit (Sylvia, 2012).

(13)

B. Pengertian Aktivitas Memakai Mukena

Mukena merupakan salah satu perlengkapan yang digunakan oleh perempuan muslim ketika hendak sholat (Noni & Saortua, 2016).

Dalam studi kasus ini Penulis akan menerapkan latihan aktivitas memakai mukena dengan menggunakan jenis mukena two piece (atas bawah).

Memakai mukena dalam studi kasus ini adalah kemampuan dalam melakukan tahapan demi tahapan dalam menggunakan mukena mulai dari memakai bawahan mukena, menarik bawahan mukena hingga selevel pinggang, memakai atasan mukena, merapikan tali mukena, dan merapikan mukena. Berkurangnya fungsi anggota gerak atas pada LGS dan kekuatan otot karena kekakuan dan nyeri akan berpengaruh pada kemandirian aktivitas dalam memakai mukena.

C. Analisis Aktivitas Memakai Mukena

Permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas memakai mukena yaitu memegang mukena saat akan memasukkan kaki ke bawahan mukena, menarik hingga selevel pinggang, memegang mukena saat akan memakai atasan mukena, merapikan tali mukena, dan merapikan mukena.

Prasyarat yang diperlukan dalam aktivitas memakai mukena antara lain : 1. Keterampilan sensorik meliputi :

a) Vision, pasien harus dapat fokus pada mukena untuk memusatkan pandangan.

(14)

b) Perception, kemampuan untuk mengkoordinasi antara mata dan tangan dimana saat memakai mukena harus dapat memakai dengan pas pada kepala dan pinggang.

2. Keterampilan motorik meliputi :

a) Active movement, menggunakan gerakan aktif secara sadar saat memakai mukena.

b) Joint mobility, pasien harus memiliki LGS yang cukup dalam aktivitas memakai mukena

c) Coordination, pasien harus memiliki koordinasi bahu, lengan, mata, dan tangan dalam proses aktivitas memakai mukena

d) Balance, pasien mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mempertahankan keseimbangan postur dalam aktivitas memakai mukena.

Komponen yang digunakan dalam aktivitas memakai mukena yaitu LGS, kekuatan otot, endurance, keterampilan sensori dan body scheme.

LGS yang berfungsi dalam aktivitas memakai mukena yaitu pada sendi shoulder, elbow, wrist, fingers, trunk, hip, dan knee. Pada kondisi frozen shoulder sendi yang mengalami limitasi dalam aktivitas memakai mukena adalah sendi shoulder, karena akan menimbulkan rasa nyeri sehingga pasien enggan menggerakkan bahunya. Pasien yang tidak mau menggerakkan bahunya akan mengakibatkan kekakuan, penurunan kekuatan otot, dan penurunan endurance, maka dari itu perlu adanya penanganan untuk meningkatkan LGS, kekuatan otot, dan daya tahan.

(15)

Berikut ini kemampuan minimal LGS dan kekuatan otot pada kondisi frozen shoulder agar dapat melakukan aktivitas memakai mukena (tabel 2.2).

Tabel 2.2 Kemampuan LGS dan KO dalam Aktivitas Memakai Mukena

No. Tahapan aktivitas

Gerakan LGS Otot yg

bekerja

KO

Standar Min.

1 Memegang mukena saat memakai bawahan mukena

Abduksi soulder

Protraksi scapula

Retraksi scapula

Adduksi shoulder

180o

-

-

-

30o

-

-

-

m. middle deltoid, m.

supraspinatus

m. pectoralis minor, m.

serratus anterior

m. trapezius, m.

transversus, m.

rhomboid major, m.

rhomboid minor

m. pectoralis major, m. teres major, m.

latissimus dorsi 4

4

4

4

2 Menarik bawahan mukena hingga selevel pinggang

Abduksi shoulder

Retraksi scapula

Protraksi scapula

180o

-

-

90o

-

-

m. middle deltoid, m.

supraspinatus

m. trapezius, m.

transversus, m.

rhomboid major, m.

rhomboid minor

m. pectoralis minor, m.

serratus anterior 4

4

4

(16)

3 Memegang mukena saat memakai atasan mukena

Abduksi shoulder

Retraksi scapula

Protraksi scapula

180o

-

-

90o

-

-

m. middle deltoid, m.

supraspinatus

m. trapezius, m.

transversus, m.

rhomboid major, m.

rhomboid minor

m. pectoralis minor, m.

serratus anterior 4

4

4

4 Merapikan tali mukena

Abduksi shoulder

Retraksi scapula

180o

-

100o

-

m. middle deltoid, m.

supraspinatus m. trapezius, m.

transversus, m.

rhomboid major, m.

rhomboid minor 4

4

5 Merapikan mukena

Abduksi shoulder

Adduksi shoulder

Retraksi scapula

180o

-

-

90o

-

-

m. middle deltoid, m.

supraspinatus

m. pectoralis major, m. teres major, m.

latissimus dorsi

m. trapezius, m.

transversus, m.

rhomboid major, m.

rhomboid minor 4

4

4

Sumber : Muskuloskeletal Assesment (Clarkson & Gillewich, 1989)

Tahapan pertama adalah memegang mukena saat memasukkan kaki ke bawahan mukena. Dalam aktivitas tersebut memerlukan LGS yang cukup agar kaki dapat masuk ke bawahan mukena dengan benar. Aktivitas ini memerlukan kekuatan otot yang bernilai minimal 4 karena pada tahap ini dilakukan dengan posisi duduk di kursi, sehingga tangan pasien harus bekerja lebih banyak dibandingkan jika melakukannya dengan posisi berdiri. Tahap ini memerlukan endurance kurang lebih 2 menit.

(17)

Tahap kedua adalah menarik bawahan mukena. Dalam aktivitas ini memerlukan LGS yang cukup agar bawahan mukena dapat ditarik hingga selevel pinggang. Aktivitas ini memerlukan kekuatan otot yang bernilai minimal 4 karena pada tahap ini dilakukan dengan posisi duduk di kursi, sehingga tangan pasien harus bekerja lebih banyak dibandingkan jika melakukannya dengan posisi berdiri. Tahap ini memerlukan endurance kurang lebih 2 menit.

Tahap ketiga adalah memegang mukena saat memakai atasan mukena.

Dalam aktivitas tersebut memerlukan LGS yang cukup agar mukena dapat terpakai dengan benar dan rapi. Aktivitas memerlukan kekuatan otot minimal 4 karena gerakan tersebut dilakukan dengan posisi berdiri sehingga melawan gravitasi. Tahap ini memerlukan endurance kurang lebih 2 menit.

Tahap keempat adalah merapikan tali mukena. Dalam aktivitas tersebut memerlukan LGS yang cukup agar tali mukena terpasang dengan rapi dan kencang. Aktivitas ini memerlukan kekuatan otot minimal 4 karena gerakan tersebut dilakukan dalam posisi berdiri sehingga melawan gravitasi, serta sifat tali mukena yang elastis menyebabkan beban sendi bahu menjadi lebih besar. Tahap ini memerlukan endurance kurang lebih 2 menit untuk memastikan karet terpasang dengan sesuai.

Tahapan kelima adalah merapikan mukena. Dalam aktivitas tersebut memerlukan LGS yang cukup agar mukena dapat terpakai dengan rapi.

Aktivitas ini memerlukan kekuatan otot minimal 4 karena gerakan

(18)

tersebut dilakukan dalam posisi berdiri sehingga melawan gravitasi. Tahap ini memerlukan endurance kurang lebih 2 menit.

Kemampuan lain seperti koordinasi mata-tangan, grasp, fleksi- ekstensi wrist, fleksi-ekstensi trunk, fleksi-ekstensi hip, dan fleksi-ekstensi knee juga diperlukan dalam aktivitas memakai mukena. Aktivitas memakai mukena ini melibatkan kemampuan LGS yang cukup ke segala arah, kekuatan otot minimal 4 karena aktivitas tersebut melibatkan gerakan bahu berulang-ulang dalam waktu kurang lebih 10 menit.

D. Kerangka Acuan Biomekanik

1. Definisi

Kerangka acuan biomekanik berguna untuk melatih dan mengembalikan berbagai gerakan, ketahanan, dan stress yang akan berpengaruh pada lingkup gerak sendi, kekuatan otot, serta daya tahan sehingga dapat memperkuat otot yang lemah dengan cara latihan gerakan aktif dan pasif (Fliin et al, dalam Trombly 2008).

2. Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dari kerangka acuan biomekanik adalah mencegah keterbatasan LGS, meningkatkan LGS, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan daya tahan (Trombly & Radomski, 2002).

(19)

3. Prinsip

a. Mencegah Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi

Pasien yang tidak dapat menggerakan sendinya dan apabila gerakan sendi merupakan kontra indikasi maka seharusnya dilakukan dengan gerakan pasif dan posisi sendi yang digerakkan harus berada pada posisi yang tepat pada saat latihan atau digerakkan. Hal ini merupakan pencegahan agar tidak terjadi keterbatasan LGS.

Apabila terdapat oedema pada sendi bahu maka gerakan akan terbatas dan akan mengalami kontraktur, karena dimungkinkan adanya perkembangan viskositas cairan yang akan menyebabkan gerakan terbatas. Untuk mengurangi oedema digunakan prinsip stretching, full ROM, positioning, dan kompresi.

1) Prinsip Stretching

Stretching yaitu melakukan penguluran pada sendi yang terkena oedema, mengalami keterbatasan LGS, kekakuan, dan kontraktur. Stretching harus dilakukan secara maksimal, tetapi jika pasien sudah merasa kesakitan akibat stretching, maka stretching harus tetap dilakukan beberapa derajat di atas toleransi pasien. Stretching dilakukan melalui dua cara yaitu active dan pasive.

Active stretching dilakukan pada sendi yang terbatas, pasien mengkontraksikan otot-otot antagonis untuk mengulur kontraktur. Pasive stretching dengan memberikan gaya eksternal

(20)

untuk mengulur kontraktur pada sendi. Hal ini dilakukan jika pasien tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan active stretching.

2) Prinsip full ROM

Metode yang digunakan untuk mengukur (bermacam- macam gerakan) termasuk mengajarkan pasien untuk melakukan active movement pada sendi yang terlibat atau berdekatan dengan cedera atau melakukan pasive movement pada sendi jika pasien mengalami kelumpuhan. Dalam kasus oedema, pengukuran secara aktif lebih baik karena kontraksi otot-otot akan membantu memompa cairan keluar dari ekstremitas.

Namun, jika active movement tidak mungkin dilakukan, harus melakukan pasive movement.

3) Prinsip Positioning

Positioning pada sendi dilakukan untuk mencegah deformitas lebih lanjut. Positioning dilakukan sepanjang hari untuk mencegah posisi deformitas. Positioning dapat dilakukan dengan menggunakan orthoses, bantal, handuk yang digulung, papan positioning, dll.

4) Prinsip Kompresi

Oedema dapat dikontrol melalui kompresi dengan elastic bandage atau tabular bandage. Perawatan harus dilakukan dengan tepat dan tidak menyempitkan sirkulasi pada bagian

(21)

distal ekstremitas. Warna kulit harus selalu diamati secara teratur untuk memastikan bahwa sirkulasi baik-baik saja.

a) Meningkatkan Pasive Movement

Jika hasil evaluasi pasive movement menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan sendi yang signifikan dan jika hal tersebut menghambat kemampuan pasien untuk dapat mandiri atau dapat menimbulkan deformitas, maka treatment dapat diterapkan. Sedangkan beberapa keterbatasan yang signifikan dari LGS dapat diperbaiki dengan latihan.

Masalah yang dapat diperbaiki meliputi kontraktur jaringan lunak yaitu kulit, otot, tendon dan ligament.

Sedangkan masalah yang tidak dapat diperbaiki adalah ankylosis tulang atau arthtodesis, kontraktur lama yaitu dimana ada perubahan fibrotic yang luas pada jaringan lunak, dan kerusakan sendi yang parah dengan subluksasi.

Untuk meningkatkan pasive movement digunakan prinsip stretching.

b) Meningkatkan kekuatan otot

Jika ditemukan penurunan yang signifikan, yang menimbulkan melemahnya kekuatan otot seseorang dalam aktivitasnya atau mungkin dapat menyebabkan deformitas,

(22)

maka treatment dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pasien.

Kelemahan berpotensi membuat deformitas jika otot pada satu sisi sendi lemah dibandingkan dengan otot antagonisnya. Kekuatan kontraksi diperoleh ketika unit motor yang direkrut lebih banyak, yang terjadi ketika otot ditekan dengan meningkatkan beban atau kecepatan persyaratan gerakan atau ketika otot mulai lemah. Serabut otot yang berulang kali direkrut menjadi hipertrofi dalam merespon untuk meningkatkan tahanan, yang kemudian akan meningkatkan kekuatan otot yaitu prinsip meningkatkan stress pada otot.

Prinsip meningkatkan stress pada otot diaplikasikan pada otot atau kelompok otot pada titik yang mengalami kelelahan. Parameter yang digunakan untuk mengubah stress pada otot meliputi jenis intensitas latihan atau beban, durasi kontraksi otot atau periode latihan, tingkat atau kecepatan kontraksi, dan frekuensi latihan.

c) Meningkatkan endurance

Prinsip untuk meningkatkan endurance adalah dilakukan dengan cara meningkatkan durasi kurang dari 50% dari intensitas maksimal. Kelelahan pada serabut otot terjadi jika waktu pemulihan tidak cukup untuk reabsorbsi

(23)

asam laktat. Seseorang dapat mempertahankan kontraksi isometric setara dengan 50% dari kontraksi sadar maksimum sampai dengan satu menit (Trombly, 1989).

4. Strategi dan teknik

Kerangka acuan biomekanik menggunakan beberapa strategi dan teknik meliputi remedial activity, active movement, gradded activity, dan endurance.

a. Remedial activity merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memfasilitasi dan mengintegrasikan kembali pasien untuk meningkatkan fungsi biomekanik dan memperbaiki pola gerakan normal dengan penekanan yang ditempatkan pada tempat dan aspek tertentu dan untuk mempersiapkan individu untuk kembali bekerja.

b. Active movement merupakan suatu teknik memberikan gerak secara aktif pada anggota gerak tubuh dengan tetap memperhatikan rasa nyeri yang muncul.

c. Graded activity merupakan pemberian aktivitas dengan gradasi mulai dari aktivitas yang sederhana hingga ke aktivitas yang lebih kompleks.

d. Endurance merupakan pemberian aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan atau ketahanan dalam melakukan aktivitas. Jika cardiopulmonary baik, maka semakin baik endurance.

(24)

Dalam studi kasus ini Penulis akan menggunakan strategi remedial activity dan active movement untuk melatih pasien dalam aktivitas memakai mukena menggunakan kerangka acuan biomekanik.

5. Kelebihan dan Kekurangan KA Biomekanik

Kelebihan kerangka acuan biomekanik yaitu dapat membantu pasien meningkatkan lingkup gerak sendi, kekuatan otot, dan daya tahan akibat adanya penyakit atau trauma yang mempengaruhi otot, sendi, kulit atau jaringan lunak, saraf tepi atau spinal cord, namun fungsi otak tidak mengalami gangguan (normal). Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan musculoskeletal (Trombly & Radomski, 2002).

Kekurangan kerangka acuan biomekanik yaitu tidak tepat digunakan untuk memperbaiki gerakan fungsional secara umum dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan saraf pusat. Tidak ada hubungan dengan kognitif atau tidak memandang tinggi atau rendahnya level kognitif (Trombly & Radomski, 2002).

6. Penerapan KA Biomekanik pada Aktivitas Memakai Mukena

Pelaksanaan intervensi OT pada kasus frozen shoulder melalui empat tahapan dalam continuum paradigm yaitu adjunctive methods, enabling activity, purposefull activity, dan occupational performance.

a. Adjunctive methods

Meliputi tindakan stretching pasive dan active pada gerakan elevasi scapula, depresi scapula, protraksi scapula, retraksi

(25)

scapula, fleksi shoulder, ekstensi shoulder, abduksi shoulder, adduksi shoulder, horizontal abduksi shoulder, horizontal adduksi shoulder, internal rotasi shoulder dan eksternal rotasi shoulder.

b. Enabling activity

Tahap ini dilakukan dengan menggunakan beberapa media terapi, antara lain :

1) Menggunakan media tongkat untuk memfasilitasi gerakan isotonic dan isometric untuk menambah stress otot, pereganggan otot dan peningkatan LGS, peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan untuk gerakan retraksi scapula, protraksi scapula, elevasi scapula, depresi scapula, fleksi shoulder, ekstensi shoulder, abduksi shoulder, adduksi shoulder, eksternal rotasi shoulder, dan internal rotasi shoulder.

2) Menggunakan media handuk untuk memfasilitasi gerakan isotonic dan isometric untuk menambah stress otot, pereganggan otot dan peningkatan LGS, peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan untuk gerakan retraksi scapula, protraksi scapula, horizontal abduksi shoulder, dan horizontal adduksi shoulder.

3) Menggunakan media cone untuk memfasilitasi gerakan isotonic dan isometric untuk menambah stress otot, pereganggan otot dan peningkatan LGS, peningkatan kekuatan otot, peningkatan daya tahan untuk gerakan fleksi shoulder, ekstensi shoulder, retraksi shoulder, protraksi shoulder, elevasi scapula, depresi scapula,

(26)

abduksi shoulder, adduksi shoulder, horizontal abduksi shoulder, dan horizontal adduksi shoulder.

c. Purposefull activity

Purposefull activity merupakan bagian dari rutinitas harian dan muncul dalam konteks occupational performance, pada kondisi frozen shoulder ini berfokus pada aktivitas memakai mukena.

Pasien melakukan tahapan simulasi memakai mukena, melakukan setiap langkah memakai mukena, kemudian terapis mengevaluasi pola gerakan memakai mukena yang dilakukan pasien.

d. Occupational performances

Occupational performances adalah tahapan terakhir dan tertinggi dari continuum paradigm yang melibatkan pasien secara langsung pada aktivitas keseharian yaitu memakai mukena di lingkungan dan komunitas tempat tinggalnya. Keterlibatan okupasi terapis mulai berkurang hingga benar-benar bisa diakhiri, ditandai dengan efektifitas pasien dalam melakukan peran okupasional memakai mukena sudah mandiri.

Gambar

Tabel 2.1 Otot-Otot Rottator Cuff

Referensi

Dokumen terkait

Pendinginan (cooling-down ), setelah selesai senam diabetes dilakukan pendinginan untuk menimbulkan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot sesudah

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

1) Kuda-kuda : Teknik ini digunakan untuk mendukung sikap pasang pencak silat, kuda-kuda juga digunakan sebagai latihan dasar pencak silat untuk memperkuat

Manajemen pada posisi perlu memberikan penjelasan yang lengkap tentang kondisi perusahaan karena perusahan harus menjelaskan faktor yang menyebabkan tingginya

Keadaan ini sebelum (kemampuan awal), pada saat, dan setelah mengalami proses latihan. Yang dimaksud kondisi fisik adalah kemampuan yang meliputi kekuatan, kecepatan,

Salah satu otot yang turut memberikan kontribusi dalam usaha melakukan heading adalah otot perut, sehingga dengan adanya kekuatan otot perut yang maksimal, bola

Aplikasi latihan yoga dapat meningkatkan KPDD dikarenakan pada posisi latihan ini akan diperoleh peregangan otot-otot bagian posterior yang akan meningkatkan kekuatan otot

Prinsip gerak dasar lompat juga terkait dengan gerakan dasar lari yaitu saat melakukan awalan.kecepatan, kelincahan, kelenturan, dan daya ledak otot tungkai. Kecepatan