BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Strategic Purchasing
2.1.1. Definisi Strategic Purchasing
Menurut Andrew M. Cuomo dan Roann M. Destito (2013), strategic purchasing adalah strategi yang banyak digunakan dalam perusahaan-perusahaan yang menyadari bahwa jumlah terbesar dari keuntungan perusahaan dapat dicapai denan mengelola biaya – biaya yang berkaitan dengan akusisi bahan baku terhadap komponen operasional. Strategic purchasing berupaya untuk mempromosikan penggunaan seluruh bahan yang ada di perusahaan secara efektif dan efisien.
Menurut Robert J. Engel (2004) strategic purchasing merupakan sebuah pendekatan yang sistematis untuk melakukan optimalisasi pada supply sebuah perusahaan dan meningkatkan proporsi nilai perusahaan secara keseluruhan.
Berikut adalah beberapa hal yang dilakukan oleh strategic purchasing:
1. Strategic purchasing fokus kepada Total Cost of Ownership, menghubungkan kebutuhan pelanggan, tujuan organisasi, dan kondisi pasar.
2. Strategic purchasing memungkinkan sebuah perusahaan mendapatkan produk maupun jasa terbaik dan dengan nilai yang baik juga.
3. Strategic purchasing didorong oleh sebuah pendekatan yang kolaboratif.
4. Strategic purchasing membuat keputusan berdasarkan fakta dan market inteligence.
5. Strategic purchasing merupakan sebuah proses yang berlangsung terus menerus.
Menurut Julio Sanchez Loppacher (2007), strategic purchasing adalah sebuah proses mengevaluasi, memilih dan bersekutu dengan supplier untuk mendapatkan peningkatan pada sistem operasional perusahaan guna mencapai tujuan-tujuan perusahaan tersebut. Penerapan strategic purchasing merupakan salah satu tindakan yang berfokus untuk membangun hubungan jangka panjang
dengan supplier dan bertujuan untuk saling bertukar ide-ide inovatif, berkolaborasi dalam pengembangan sebuah produk, dan melakukan peningkatan pada kualitas barang dan pelayanan.
Adapun tujuan – tujuan yang diinginkan perusahaan dengan menerapkan strategic purchasing, menurut Robert J. Engel (2004) terdapat enam tujuan dari penerapan strategic purchasing yaitu:
1. Mencapai penurunan biaya saat melakukan maintenance atau melakukan peningkatan kualitas atau jasa perusahaan.
2. Melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap supplier relationship pada seluruh bagian perusahaan.
3. Memaksimalkan seluruh pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.
4. Mengetahui kategori pembelian dan proses manajemen untuk mengidentifikasi kesempatan untuk melakukan peningkatan pada perusahaan.
5. Mengembangkan dan mengimplementasikan kontrak jangka panjang sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi dalam perusahaan.
6. Membagi pengalaman keseluruh bagian perusahaan.
Sedangkan menurut Amelia S. Carr dan John N. Pearson (2002), mengatakan bahwa tujuan dari penerapan strategic purchasing adalah untuk mendukung strategic planning sebuah perusahaan sehingga tujuan jangka panjang perusahaan dapat tercapai. Selain itu strategic purchasing juga dapat membantu perusahaan dalam berbagai cara, antara lain:
a. Memberikan nilai pada area cost management. Sebuah manejemen yang efektif pada pengadaan barang hingga produksi barang dapat menurunkan biaya produksi sebuah perusahaan.
b. Memberikan perusahaan informasi penting yang berhubungan dengan supply trend yang akan memungkinkan perusahaan untuk membuat keputusan – keputusan yang lebih baik dan dapat mencapai tujuan perusahaan.
c. Menciptakan hubungan dekat dengan supplier dengan tujuan untuk mendapatkan barang secara lebih efisien dan berkualitas.
Dengan demikian fungsi dari strategic purchasing adalah salah satu fungsi yang cocok dan dibutuhkan oleh sebuah perusahaan untuk menciptakan konsistensi antara kapabilitas dan competitive advantages bagi perusahaan tersebut.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa strategic purchasing merupakan sebuah inisiatif yang direncanakan untuk memaksimalkan pengadaan barang sebuah perusahaan dengan memilih supplier yang tepat sehingga perusahaan tersebut dapat memperoleh barang yang tepat dengan jumlah yang tepat, harga yang tepat, kualitas yang tepat, hingga waktu yang tepat sehingga tujuan jangka panjang perusahaan dapat tercapai.
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk sebuah strategic purchasing yang efektif. Menurut Kim (2007) terdapat tiga hal yang mempengaruhi efektifitas penerapan strategic purchasing yaitu:
1. Supplier / Pemasok
Untuk melancarkan dan memaksimalkan kegiatan purchasing suatu perusahaan, maka merupakan hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk menjaga hubungan baik dengan supplier karena supplier adalah pihak yang menyediakan material / bahan mentah yang digunakan untuk proses produksi. Hubungan baik dengan supplier akan sangat menentukan optimalisasi manajemen operasi suatu perusahaan dalam upaya untuk mencapai profit yang optimum.
2. Purchasing Department
Purchasing department atau departemen purchasing merupakan bagian yang penting dari suatu perusahaan terutama bagi perusahaan manufaktur yang bertanggung jawab terhadap pengadaan dan pengelolaan material.
Bahkan pada beberapa perusahaan, departemen purchasing diberikan wewenang penuh terhadap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan purchasing.
3. Strategic Planning
Keberhasilan dari strategic planning sebuah perusahaan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan penerapan strategic purchasing perusahaan tersebut. Hal ini disebabkan strategic purchasing dapat mendukung strategic planning sebuah perusahaan sehingga tujuan jangka panjang perusahaan dapat tercapai.
2.2. Strategic Alliance
2.2.1. Pengertian Strategic Alliance
Menurut Chanda (2004), strategic alliance adalah sebuah strategi yang dilakukan dengan membina hubungan atau kerjasama yang erat dan saling sinergis dengan perusahaan lain maupun dengan supplier untuk mengembangkan usaha sebuah perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam sebuah aliansi tidak saling memiliki hak kepemilikan di perusahaan mitranya. Sedangkan menurut Eisha Latarufa (2002), strategic alliance merupakan suatu kegiatan dimana pihak yang berkepentingan memiliki suatu interest dimasa yang akan datang, maka dengan menyumbangkan resource dan competitive advantage yang dimiliki pada hal baru akan menghasilkan sebuah nilai baru. Menurut Sa’id (2003), Strategic alliance memberi akses langsung dan cepat terhadap pasar sasaran. Biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan membangun jaringan pasar sendiri. Bahkan jika aliansi dibentuk oleh perusahaan yang berpengalaman dan memiliki pemasaran yang agresif dalam pasar yang besar, maka potensi keuntungan yang didapat dari strategic alliance tersebut akan sangat jelas. Dalam melakukan strategic alliance, maka sebuah perusahaan menyadari keterbatasan sumberdaya manajerial dan kompetensi teknologi untuk secara mandiri menghadapi peluang yang makin terbuka serta antara perusahaan yang bealiansi harus memiliki trust dan komitmen yang kuat sehingga hubungan antara perusahaan – perusahaan yang beraliansi selalu terjaga dengan baik . Sebuah aliansi biasanya membawa berbagai macam sumber daya komplementer untuk mampu mengerjakan suatu kegiatan serta menciptakan sesuatu yang bernilai yang tidak dapat dihasilkan secara maksimal oleh perusahaan tunggal.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa strategic alliance merupakan suatu strategi alternatif bagi perusahaan untuk dapat menang dalam kondisi yang hiper kompetisi pada era global saat ini dan memungkinkan suatu perusahaan untuk mencapai tujuan – tujuan yang tidak dapat dicapai jika dilakukan secara tunggal dengan cara menggabungkan kekuatan – kekuatan yang dimiliki pihak – pihak yang beraliansi (berupa sumber daya – sumber daya dan keunggulan kompetitif).
2.2.2. Tujuan Strategic Alliance
Menurut Chandra dkk (2004), terdapat beberapa tujuan perusahaan dalam melakukan strategic alliance, antara lain:
a. Mencapai skala ekonomi dan pembelajaran bersama mitra aliansi.
b. Mendapatkan akses ke asset perusahaan lain c. Menurunkan tingkat resiko
d. Meningkatkan efektifitas melalui peningkatan nilai tambah dan proses belajar dari mitra melalui benchmarking.
e. Menurunkan biaya pengadaan barang.
Sedangkan menurut Eisha Latarufa (2002), strategic alliance memiliki tujuan utama untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan usaha sendiri
2.2.3. Faktor Pendorong Strategic Alliance
Menurut Eisha Latarufa (2002), terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya sebuah aliansi, antara lain:
a. Terjadinya perubahan – perubahan mendasar dalam ekonomi global seperti persaingan yang semakin ketat, perkembangan teknologi yang cepat dan meningkatnya biaya – biaya (biaya produksi, pembangunan, dan lain – lain).
b. Tingginya biaya dan resiko untuk membuat jaringan distribusi, logistik, manufaktur, dan lain – lain apabila ditanggun sendiri.
c. Perusahaan kecil dan menengah butuh menjadi sebuah perusahaan yang besar, oleh karena itu mereka membutuhkan akselerasi yang kebih cepat.
d. Butuh waktu yang relatif lama untuk membangun keahlian karyawan, R&D dan membina hubungan baik dengan pelanggan maupun pemasok.
e. Dunia yang sangat terbuka dan tidak mengenal batas. Terutama dalam masalah dana, pemanfaatannya harus seefisien mungkin
2.2.4. Supplier Relationship
Dalam hal melakukan aliansi dengan supplier maka supplier relationship atau hubungan dengan supplier merupakan hal yang perlu mendapat perhatian karena supplier merupakan mitra yang penting dalam menunjang strategi sebuah perusahaan. Pengelolaan supplier membutuhkan sebuah kemampuan negosiasi yang khusus, karena mereka bukanlah merupakan bagian dari perusahaan.
Diperlukan kehati – hatian dalam melakukan pemilihan supplier karena kesalahan dalam pemilihan supplier yang tepat bagi perusahaan akan merugikan perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu sebuah perusahaan wajib memiliki hubungan yang baik dengan supplier sehingga supplier tersebut memberikan dampak positif bagi perusahaan. Hubungan supplier dengan perusahaan ini dikenal dengan nama Supplier Relationship Management (Bensou M, 2009).
Menurut Mettler dan Rohner (2009), Supplier relationship management merupakan sebuah pendekatan yang komprehensif untuk mengelola interaksi antara perusahaan dengan supplier yang memberikan supply produk atau jasa yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Sedangkan pengertian lain tentang Supplier relationship management adalah proses yang mendefinisikan bagaimana suatu perusahaan berinteraksi dengan supplier-nya. Seperti yang dapat dilihat dari namanya, ini adalah kebalikan dari Customer relationship management Sama halnya seperti perusahaan perlu mengembangkan hubungan dengan pelanggan, perusahaan juga perlu membina hubungan dengan supplier dan hasil yang diinginkan adalah hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa supplier relationship management adalah seluruh pendekatan inklusif untuk mengelola permasalahan dan interaksi dengan organisasi atau perusahaan yang menyediakan barang dan jasa bagi perusahaan lain. Termasuk di dalam hal ini adalah komunikasi, information sharing, praktek bisnis, negosiasi dan perangkat lunak yang digunakan untuk mengembangkan dan mengelola
hubungan perusahaan dengan supplier dan keuntungan yang didapat antara lain biaya yang lebih rendah, kualitas yang lebih tinggi dan forecasting yang lebih baik di dalam suatu kerangka hubungan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Menurut Suppriyanto dan Masrichah (2008), supplier relationship management dimaksudkan untuk menyederhanakan rantai pasokan dengan meningkatkan komunikasi antara perusahaan dan suppliernya. Kemampuan tersebut mencapkup:
a. Strategic Supply Management
Memastikan perusahaan memiliki supplier yang baik dari segi kinerja dan perusahaan membayar harga yang terbaik
b. Supply Chain Collaboration
Mengijinkan perusahaan untuk berbagi informasi dengan suppliernya secara real time, memotong biaya material, meminimasi persediaan, dan mengurangi kekurangan bahan, dan kecepatan.
2.3. Information Technology
Information technology muncul sebagai akibat semakin merebaknya globalisasi dalam kehidupan suatu perusahaan, semakin kerasnya persaingan bisnis, semakin singkatnya siklus hidup barang dan jasa yang ditawarkan serta meningkatnya tuntutan selera konsumen terhadap produk dan jasa yang ditawarkan.
Teknologi dalam perkembangan arus produksi dan distribusi memegang peranan penting. Peranan teknologi dalam proses mengklasifikasi informasi terletak ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola informasi tanpa batas
2.3.1. Definisi Information Technology
Menurut William dan Sawyer (2003) yang dimaksud dengan information technology adalah istilah umum yang mendeskripsikan teknologi yang membantu menghasilkan, memanipulasi, menyimpan, mengkomunikasikan dan menyebarkan informasi. Information Technology menggabungkan komputasi (komputer) dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang menghubungkan data, suara, dan video. Sedangkan menurut Warsita (2008), Information technology adalah
sarana dan prasarana (hardware, software, dan useware) sistem dan metode untuk memperoleh, mengirimkan, mengolah, menafsirkan, menyimpan, mengorganisasikan, dan menggunakan data secara bermakna. Oleh karena itu, Information technology menyediakan begitu banyak kemudahan dalam mengelola informasi dalam arti menyimpan, mengambil dan pemutahiran informasi.
Menurut Martin (2002), definisi dari Information Technologi (IT) adalah sebuah teknologi komputer baik itu hardware dan software untuk memproses dan menyimpan informasi, juga termasuk sebagai teknologi komunikasi untuk mentranmisi informasi atau data. Dapat juga dijabarkan lebih lanjut meliputi semua bentuk kegiatan yang terlibat dalam mengumpulkan, memanipulasi dan menggunakan data yang dijadikan informasi bagi suatu perusahaan. Dengan perkembangan information technology, perusahaan semakin melihat kesempatan yang dapat diambil. Perubahan yang paling besar adalah cara suatu perusahaan bekerja, para pekerja sekarang memiliki kesempatan dan peralatan untuk berkomunikasi dengan yang lain dan mengakses data perusahaan kapanpun, dimanapun.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa information technology adalah teknologi hasil karya manusia yang menggabungkan komputasi (komputer) dan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang digunakan dalam proses penyampaian informasi (data, suara video) sehingga penyebaran informasi lebih cepat, penyebarannya lebih luas, dan lebih lama penyimpanannya.
2.3.2. Critical Success Factor dari Penerapan Information Technology
Menurut Nur Mardhiyah Aziz, Hafez Salleh, dan Nur Khairul Faizah Mustafa (2011) terdapat beberapa critical success factor yang sangat mempengaruhi information technology dalam suatu perusahaan, antara lain:
1. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (user) yang mengoperasikan harus memiliki pengetahuan atau pengalaman yang memadai pada bidang IT. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena akan memberikan pengaruh positif terhadap tingkat penggunaan teknologi dalam perusahaan.
2. Pengaksesan Data
Keberhasilan tujuan penerapan IT salah satunya dapat dilihat dari fleksibelitas pengaksesan data – data perusahaan. Penerapan IT yang baik memungkinkan pengunanya dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat mengakses data perusahaan kapanpun dan dimanapun.
3. Maintenance
Maintenance terhadap IT pada suatu perusahaan sebaiknya dilakukan secara berkala. Maintenance ini dilakukan karena beberapa alasan, antara lain:
a. IT memiliki kesalahan yang dulunya belum terdeteksi, sehingga kesalahan – kesalahan ini harus diperbaiki.
b. IT mengalami perubahan karena perubahan lingkungan (perubahan sistem operasional perusahaan).
c. IT perlu ditingkatkan agar lebih user friendly dan IT semakin dapat menjawab kebutuhan – kebutuhan perusahaan
2.4. Managing of Purchasing
Menurut Pujawan (2005) salah satu cara untuk me-manage purchasing adalah dengan dibentuknya sebuah departemen yang khusus untuk mengatur jalannya kegiatan purchasing pada suatu perusahaan. Departemen purchasing adalah salah satu komponen utama dari supply chain management yang bertugas untuk menyediakan input berupa barang maupun jasa yang dibutuhkan dalam kegiatan produksi maupun kegiatan lainnya dalam perusahaan. Pada awalnya purchasing hanya dianggap kegiatan pendukung. Pujawan juga mengatakan bahwa untuk mendukung keunggulan dari segi waktu, departemen purchasing tentunya bisa memilih pemasok yang memiliki kemampuan untuk mengirimkan barang dalam waktu yang relatif lebih pendek tanpa harus mengorbankan kualitas dan meningkatkan harga. Menurut Render dan Heizer (2001), secara tradisional departemen purchasing dianggap sebagai bagian yang kurang strategis, namun dengan seiring berjalannya waktu anggapan tersebut sudah banyak beruhah. Ini disebabkan departemen ini mempunyai potensi untuk meningkatkan daya saing
perusahaan, bukan hanya dari segi perannya dalam mendapatkan bahan baku dan bahan pengemas dengan harga murah, tetapi juga dalam upaya meningkatkan time to market, meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan responsiveness (dengan memilih supplier yang bukan hanya murah tetapi juga responsif).
2.4.1. Struktur Departement Purchasing
Menurut Pujawan (2005), secara umum struktur departemen purchasing adalah sebagai berikut:
1. Purchasing Manager
Pimpinan atau manajer pembelian adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam menangani keseluruhan tugas dan kewajiban dari departemen purchasing
2. Assistant Purchasing Manager
Wakil kepala departemen purchasing, bisa juga menrangkap sebagai sekretatis dan memiliki tugas untuk membantu atau mewakili purchasing manager apabila berhalangan hadir. Assistant purchasing manager juga harus memiliki pengetahuan tentang keseluruhan pekerjaan dari departemen purchasing.
3. Material Purchaser
Staf bagian purchasing yang khusus menangani urusan pembelian barang – barang material yang akan digunakan dalam proses produksi.
4. Driver
Staf pada bagian purchasing yang memiliki tugas untuk “menjemput”
barang yang dibeli baik secara kontan maupun secara kredit, yang tidak bisa diantar oleh supplier yang bersangkutan atau barang yang bersifat segera (urgent) dan mendadak
2.4.2. Tugas – tugas Departemen Purchasing
Melakukan pembelian barang dan jasa adalah salah satu tugas departemen purchasing. Namun jika kita lihat tujuannya, yakni untuk menyediakan barang maupun jasa dengan harga murah, berkualitas, dan terkirim secara tepat waktu, tugas – tugas bagian pengadaan tidak terbatas pada kegiatan rutin pembelian.
Secara umum tugas – tugas yang dilakukan departemen purchasing adalah sebagai berikut (Pujawan, 2005):
1. Merancang hubungan yang tepat dengan supplier
Hubungan dengan supplier dapat bersifat kemitraan jangka panjang maupun hubungan transaksional jangka pendek. Bagian pengadaan bertugas untuk mengatur hubungan portofolio untuk semua supplier dan juga untuk menetapkan berapa jumlah supplier yang harus dimiliki oleh setiap jenis item.
2. Memilih Supplier
Untuk supplier – supplier kunci yang memiliki potensi untuk menjalin hubungan jangka panjang, proses pemilihan ini bisa melibatkan evaluasi awal, mengundang supplier untuk melakjukan presentasim kunjungan lapangan, dan lain sebagainya. Jika inovasi adalah salah satu kunci dalam persaingan, kemampuan supplier untuk memasok material dengan spesifikasi yang berbeda mungkin menjadi pertimbangan penting.
3. Memilih dan mengimplementasikan teknologi yang cocok
Kegiatan purchasing selalu membutuhkan bantuan teknologi yang lebih tradisional dan lumrah digunakan seperti telepon dan fax. Namun dengan munculnya internet, teknologi pengadaan mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Berkembangnya electronic procurement yaitu aplikasi internet untuk melakukan aktivitas purchasing, dapat membantu perusahaan untuk memiliki katalog elektronik yang bisa mengakses berbagai data supplier. Electronic procurement juga dapat membantu perusahaan untuk memiliki pemasok melalui e-auction atau e-bidding.
4. Memelihara data item yang dibutuhkan dan data supplier
Depatemen purchasing harus memiliki data yang lengkap tentang item yang dibutuhkan maupun data tentang supplier mereka. Beberapa data pemasok yang penting untuk dimiliki adalah nama dan alamat masing – masing supplier, item apa yang mereka pasok, harga per unit, lead time pengiriman, kinerja masa lalu, serta kualifikasi supplier.
5. Melakukan pembelian
Ini adalah pekerjaan yang paling rutin dilakukan oleh departemen purchasing. Proses pembelian juga bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti pembelian rutin dan pembelian melalui tender atau lelang.
6. Mengevaluasi kinerja pemasok
Penilaian kinerja supplier juga merupakan pekerjaan yang sangat penting dilakukan untuk menciptakan daya saing yang berkelanjutan. Bagi perusahaan pembeli, kinerja supplier bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan volume pembelian (jika ada lebih dari satu supplier untuk item sejenis) maupun untuk menentukan peringkat supplier.
2.5. Firm Performance (Kinerja Perusahaan) 2.5.1. Definisi Kinerja Perusahaan
Menurut Simanjuntak (2005) kinerja perusahaan merupakan pelaksanaan tugas tertentu dalam hal ini mencakup kinerja individu, kinerja kelompok, kinerja perusahaan yang dipengaruhi faktor intern dan ekstern. Menurut Furtwengler (2002) kinerja sebuah perusahaan dilihat dari hal kecepatan, kualitas, layanan dan nilai. Maksudnya adalah kecepatan dalam proses kerja yang memiliki kualitas yang terandalkan dan layanan yang baik serta memiliki nilai merupakan hal yang dilihat dari tercapainya kinerja perusahaan atau tidak.
Sedangkan menurut Robertson dalam Mahsun (2006) kinerja perusahaan merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang atau jasa, kualitas barang atau jasa, hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan.
2.5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perusahaan
Menurut Mashun (2006) terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sebuah perusahaan, yaitu:
1. Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi
Penetapan tujuan perusahaan merupakan sebuah hal yang sangat penting
capai serta strategi – strategi apa yang akan digunakan perusahaan agar tujuan dan sasaran perusahaannya dapat tercapai.
2. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja
Menentukan ukuran kinerja atau standar kinerja yang akan digunakan pada sebuah perusahaan.
3. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran – sasaran perusahaan.
Mengukur sejauh mana progress (tujuan) dan sasaran – sasaran tersebut telah dicapai.
4. Evaluasi kinerja, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan
Melakukan evaluasi terhadap kinerja dan bagaimana perkembangan kemajuan organisasi dan sebuah perusahaan harus meningkatkan kualitas pengambilan keputusannya demi kemajuan perusahaan itu sendiri.
2.5.3. Tujuan Penilaian Kinerja Perusahaan
Menurut Munawir (2000) tujuan diakannya penilaian kinerja perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Tingkat Likuiditas
Kemampuan perusahaan untuk memperoleh kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi.
2. Mengetahui Tingkat Rentabilitas atau Profitabilitas
Menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam periode tertentu.
3. Mengetahui Tingkat Stabilitas Usaha
Kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini akan ditinjau kembali, khususnya pada variabel – variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Tinjauan ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat membantu pemecahan masalah yang terkait dengan penelitian ini dan melihat beberapa kelebihan guna mendukung penelitian serta melihat kekurangan yang ada agar disempurnakan.
2.6.1. Strategic Purchasing
Strategic purchasing memberikan pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan (Buvik dan John, 2000; Krause et al, 2007; Charles O. Ondoro, Patrick B. Ojera, dan Moses N. Oginda, 2013; Carter dan Narasimhan, 2006). Strategic purchasing juga berfokus terhadap hubungan jangka panjang dengan supplier dan saling berbagi ide – ide inovatif dan informasi bersama dengan supplier dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas barang dan pelayanan supplier terhadap perusahaan (Gil, 2009; Srinivas Talluri dan Ram Narasimhan, 2001). Menurut penelitian Charles O. Ondoro, Patrick B. Ojera, dan Moses N. Oginda (2013) penerapan strategic purchasing pada perusahaan transportasi juga dapat meningkatkan perusahaan transportasi tersebut.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Tony C.T. Chan dan Kwai-Sang Chin (2009) yang dilakukan pada salah satu perusahaan mainan yang terletak di Hongkong, strategic purchasing tidak menghasilkan peningkatan pada performa perusahaan mainan tersebut. Menurut Tony dan Kwai, walaupun perusahaan mainan ini telah melakukan strategic purchasing tetapi perusahaan mainan ini masih belum dapat bersaing dengan perusahaan – perusahaan mainan lain yang ada di Hongkong.
2.6.2. Strategic Alliance
Melakukan aliansi dengan supplier atau perusahaan lain dapat meningkatkan performa strategic purchasing karena dengan melakukan aliansi dapat diperoleh beberapa keuntungan antara lain: cost reduction, service improvement, dan meningkatkan competitive advantages (Lambert, 2006; Lambert et al 2006). Salah satu penelitian yang berkaitan dengan strategic alliance ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Janet Y. Murray, Masaaki Kotabe, dan Nan zou pada perusahaan di China. Perusahaan telah melakukan aliansi dengan salah satu perusahaan asing multinasional dan dengan melakukan aliansi ini perusahaan China mendapatkan keuntungan dalam bentuk kemudahan perusahaan untuk memperoleh komponen – komponen yang diperlukan untuk aktivitas produksi perusahaan. Hal ini membuat perusahaan dapat melakukan proses produksi secara lebih cepat dan dengan biaya produksi yang lebih murah.
2.6.3. Information Technology
Penerapan Information technology pada perusahaan memiliki pengaruh terhadap keberhasilan dan keefektifan strategic purchasing karena banyak keuntungan yang didapat dengan penerapan information technology dalam purchasing, salah satu keuntungannya adalah penurunan biaya dalam komunikasi kepada supplier (Handfield dan Nochols, 1999; Hans Bjornsson, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Jeff Nelligan (2003) pada perusahaan yang bergerak dibidang kesehatan menghasilkan beberapa keuntungan yang didapat dengan dilakukannya penerapan information technology pada perusahaan kesehatan tersebut.
Keuntungan tersebut antara lain berkurangnya tingkat klaim pelanggan terhadap perusahaan, pengurangan kesalahan pada pemberian obat kepada pasien karena perusahaan telah menerapkan sistem barcode. Namun hasil yang ditemukan dalam penelitian Lisa M. Ellram dan George A.Zsidisin (2002) yang dilakukan pada ISM (Institute for Supply Management) berbeda dengan penelitian Jeff Nelligan. Hasil dari penelitian Lisa dan George mendapatkan bahwa penerapan infomation technology pada ISM tidak memberikan dampak positif terhadap strategic purchasing.
2.7. Kerangka Pemikiran Teoritis
Berdasarkan uraian landasan teori dan penelitian terdahulu maka kerangka pemikiran yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1: Strategic Alliance memiliki hubungan positif dengan Strategic Purchasing Efficiency.
H2: Information Technology Capability memiliki hubungan positif dengan Strategic Purchasing Efficiency.
H3: Managing of Purchasing memiliki hubungan positif dengan Strategic Purchasing Efficiency.
H4: Strategic Purchasing Efficiency memiliki hubungan positif dengan firm performance.