• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Apel 2.1.1 Taksonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Apel 2.1.1 Taksonomi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buah Apel 2.1.1 Taksonomi

(Jumanta, 2019)

Gambar 2.1 Buah Apel

Taksonomi dari Buah apel (Malus domestica) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridiplante

Division : Tracheophyta

Sub Division : Spermatophytina

Class : Magnoliopsida

Subordo : Rosanae

Ordo : Rosales

Family/Suku : Rosaceae

Genus/Marga : Malus Mill

Species/Jenis : Malus domestica (ITIS, 2022)

2.1.2 Kandungan kimia buah apel

Apel (Malus domestica) merupakan tanaman buah yang berasal dari Asia Barat yang beriklim sub tropis (A’yuni ’arifah and Aprilia, 2019). Sebagai buah yang sehat, apel kaya akan kandungan gizi, namun yang paling dominan adalah

(2)

vitaminnya. Ada banyak vitamin yang terdapat di buah apel, diantaranya adalah vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B9 dan vitamin C. Sedangkan mineral yang dikandung dalam buah apel antara lain kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan zinc. Serat juga dimiliki oleh buah apel ini, sehingga apel baik untuk orang yang sedang diet. Serat bisa mencegah lapar yang datang lebih cepat. Serat berguna mengikat lemak dan kolestrol jahat didalam tubuh yang selanjutnya akan dibuang. Selain itu buah apel juga memiliki kandungan lain seperti Tanin yang berfungsi membersihkan dan menyegarkan mulut, Baron yang berfungsi mempertahankan jumlah hormon estrogen dalam tubuh seorang wanita, Flavoid yang berfungsi menurunkan risiko kanker, Asam D-glucaric yang dapat menurunkan kadar kolestrol, Asam tartart yang dapat menyehatkan saluran pencernaan dan membunuh bakteri yang jahat ada dalam saluran pencernaan (Agroteknologi,2017). Efek anti mikroba pada buah apel berasal dari zat fitokimianya yaitu fenolik, flavonoid, dan terpenoid (Anggraini, Dewa Made Sukrama and Kadek Fiora Rena Pertiwi, 2018).

Tabel 2.1 Zat Fitokimia Apel

Zat Fitokimia Hasil

Tanin mg/100g) 16,47

Terpenoid (ng/100g) 0,046 Fenolik (mg/100g) 230,37 Flavonoid (mg/100g) 111,82 (Mitić et al., 2013)

(3)

2.2 Cuka apel 2.2.1 Deskripsi

Cuka dapat dihasilkan dari beragam jenis buah-buahan yang mengandung gula atau alcohol seperti buah anggur, pisang, apel, dan lain-lain. Cuka buah merupakan produk fermentasi yang dihasilkan oleh aktifitas moikroorganisme pada jaringan – jaringan yang berkarbohidrat. Cuka buah mengandung asam asetat yang bersifat anti mikroorganisme. Salah satu cuka buah adalah cuka apel (Niamat, Imtiaz and Khan, 2019). Cuka apel (Apple Cider Vinegar) merupakan larutan hasil fermentasi buah apel oleh khamir dan bakteri asam asetat (acetobacter). Sari buah apel diekstrak sebagai substrat fermentasi alkohol lalu diproses menjadi cuka apel (Atro, Periadnadi and Nurmiati, 2015). Efek terbaik dari cuka sari apel adalah karena adanya senyawa fenolik seperti asama galat, katekin, epikatekin, asam klorogenat, asam caffeic, asam maleat dan asam p- coumaric yang mengandung antioksidan dan antimikroba (Niamat, Imtiaz and Khan, 2019).

2.2.2 Proses pembuatan cuka apel

Cuka apel dihasilkan melalui dua tahap fermentasi, fermentasi tersebut dikatakan berhasil bila terdapat kandungan asam asetat dengan konsentrasi 4%

atau lebih. Cuka apel memiliki konsentrasi asam asetat sebanyak 5-6% dan pH dari cuka apel adalah 2-3,5. Angka dari pH tersebut tergantung dari konsentrasi asam asetat cuka apel, angka pH akan semakin rendah bila konsentrasi asam asetat semakin tinggi.

Tahap awal dari fermentasi cuka apel dilakukan oleh ragi. Pada tahap ini ragi memecah gula atau pati pada buah apel, pemecahan gula tersebut akan

(4)

menghasilkan etanol. Selanjutnya hasil dari fermentasi tahap pertama yaitu etanol akan di fermentasi oleh bakteri asam asetat atau Acetic Acid Bacteria (AAB) untuk menghasilkan asam asetat. Produk akhir dari fermentasi buah apel tersebut adalah asam asetat, namun sebelum dapat dikonsumsi, produk akhir akan dilakukan pasteurisasi terlebih dahulu. Pasteurisasi bertujuan untuk menghancurkan bakteri asam asetat atau Acetic Acid Bacteria (AAB) yang terdapat pada proses fermentasi sebelumnya sehingga mencegah pembentukan mother vinegar. Mother vinegar adalah lapisan selulosa ekstraseluler pada permukaan cairan cuka apel yang membentuk lapisan seperti sarang laba – laba dan membuat cairan tampak keruh, mother vinegar akan muncul jika cuka apel tidak melalui proses pasteurisasi terlebih dahulu. Cuka apel dapat diproduksi paling cepat dalam waktu 24 jam, namun dapat dibiarkan terfermentasi selama berbulan – bulan hingga bertahun – tahun.

(Morgan and Mosawy, 2016)

Gambar 2.2 Persamaan Kimia Proses Fermentasi Cuka Apel

Cuka apel dapat diproduksi secara spontan oleh ragi dan bakteri alami pada permukaan buah sehingga mudah dibuat dirumah. Namun produk akhir dari fermentasi tersebut akan berbeda kualitas dan kandungannya, hal ini dikarenakan proses fermentasi tidak terstandarisasi dan tidak melalui tahap pasteurisasi.

(5)

Terdapat teknik lain dalam membuat cuka apel diantaranya orleans process (tradisional), generator process (quick process), submergedculture, dan maceration, namun teknik fermentasi dengan dua tahap merupakan teknik yang paling umum dipakai (Morgan and Mosawy, 2016)

2.2.3 Kandungan kimia cuka apel

Cuka sari apel memiliki kandungan asam organik yaitu asam asetat dan asam amino, flavonoid, polifenol serta kaya vitamin dan mineral. Kandungan asam asetat yang dimiliki cuka sari apel bertindak sebagai antimikroba yang dapat menyebabkan hilangnya integritas sel (Yagnik, Serafin and Shah, 2018).

a. Asam asetat

Asam asetat berfungsi sebagai antimikroba dengan kemampuannya dalam menurunkan pH dan menyebabkan ketidakstabilan pada membran sel (Juniawati, 2014).

b. Fenol

Senyawa yang terkandung dalam cuka apel yang paling tinggi yaitu fenol. Golongan fenol mampu merusak membran sel, menginaktifkan enzim dan mendenaturasi protein sehingga permeabilitas dinding menurun dan akhirnya dinding sel mengalami kerusakan. Perubahan permeabilitas membrane sitoplasma memungkinkan terganggunya transportasi ion-ion organik yang penting ke dalam sel, sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel bahkan kematian sel. Dalam konsentrasi tinggi, kandungan fenol dapat menembus dan mengganggu dinding sel bakteri serta mempresipitasi protein dalam sel bakteri, sedangkan dalam konsentrasi yang

(6)

lebih rendah, fenol menginaktifkan sistem enzim penting dalam sel bakteri.(Yagnik, Serafin and Shah, 2018)

c. Flavonoid

Flavonoid merupakan kelompok terbesar dari senyawa fenolik.

Flavonoid memiliki mekanisme aksi yaitu menghambat sintesis asam nukleat yang berikatan pada gyrase sub- unit B (GyrB) dari Deoxyribonucleic Acid (DNA) dari DNA gyrase dan menghambat aktivitas enzim adenosine triphosphatase (ATPase) sehingga DNA bakteri gagal untuk bereplikasi, menghambat fungsi membran sitoplasma bakteri dengan cara meningkatkan permeabilitas inner membran dan kehilangan potensial membran sehingga mengganggu proses gradien elektrokimia proton dalam melewati membran yang penting untuk menjaga kapasitas sintesis ATP, transportasi membran dan pergerakan bakteri. Menghambat metabolisme energi bakteri dengan cara mengubah membran sitoplasma sehingga metabolisme energi dan pertukar nutrisi dari bakteri menjadi terganggu (Cushnie, Cushnie and Lamb, 2014)

d. Polifenol

Turunan polifenol antara lain:

• Katekin

Katekin adalah golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan dan termasuk golongan flavonoid. Sifat antibakteri dari katekin karena adanya gugus pyrigallol dan gugus galloil. Katekin menghambat bakteri dengan cara merusak membrane sitoplasma bakteri, dimana kerusakan tersebut dapat mencegah masuknya nutrisi

(7)

yang diperlukan bakteri untuk menghasilkan energy, akibatnya bakteri akan terhambat pertumbuhannya dan mengalami kematian (Charde, Ahmed and Chakole, 2011; Putra, Setyowati and Susilorini, 2016)

• Kuarsetin

Kuersetin juga merupakan salah satu zat aktif golongan flavonoid.

Aktivitas antibakteri dari kuersetin dapat menyebabkan permeabilitas membran bakteri meningkat.

• Phloridzin

Phloridzin termasuk dalam kelompok flavonoid yang menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri melalui perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA bakteri dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid, sehingga dinding sel mengalami kerusakan dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel bakteri.

• Asam klorogenik

Asam klorogenik juga mempunyai sifat antibakteri dengan menghambat enzim tertentu yang terlibat dalam sintesis asam lemak bakteri. Selain itu, asam klorogenik secara signifikan dapat meningkatkan permeabilitas membran plasma bakteri yang berakibat pada kebocoran isi sitoplasma termasuk nukleotida (Putra, Setyowati and Susilorini, 2016)

2.3 Bakteri Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) 2.3.1 Klasifikasi P. aeruginosa

P. aeruginosa memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria

(8)

Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Pseudomonadales Family : Pseudomonadadaceae Genus : Pseudomonas

Species : Pseudomonas aeruginosa (Soedarto, 2015).

2.3.2 Deskripsi

P. aeruginosa adalah pathogen oportunistik dan tersebar di berbagai lingkungan. Bakteri ini menjadi hal yang dikhawatirkan di lingkungan fasilitas Kesehatan, terutama di rumah sakit. P. aeruginosa mampu menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia melalui infeksi karena sekresi toksin dan enzim bakteri tersebut. Pasien yang sedang mengalami neutropenia atau masalah imunitas lainnya akan berisiko tinggi untuk terjangkit (infeksi nosokomial) oleh P. aeruginosa. Bakteri ini mampu menyebabkan berbagai macam infeksi, seperti pada saluran pernapasan, kulit, saluran kencing, telinga, mata, dan darah (Bakteremia). Diperkirakan P. aeruginosa menyebabkan 50.000 kasus infeksi di fasilitas Kesehatan dan 440 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021). Meskipun bukan bagian mikrobioma normal manusia, P. aeruginosa mampu ber-kolonisasi diberbagai bagian tubuh (misalnya selaput lender, saluran pernafasan, dan saluran gastrointestinal). Hal ini diketahui menyebabkan berbagai macam penyakit pada manusia, terutama pada orang dengan perubahan dan penurunan imun. Akuisisi organisme dan infeksi selanjutnya dapat bersifat endogen atau eksogen. Infeksi endogen terjadi setelah kolonisasi (misalnya, bakteremia setelah saluran gastrointestinal). Infeksi eksogen biasanya terjadi dari reservoir lingkungan melalui portal masuk yang rentan

(9)

(misalnya, infeksi luka bakar atau folikulitis bak mandi air panas). (Riedel et al., 2019)

2.3.3 Morfologi dan identifikasi bakteri a. Ciri Khas Organisme

P. aeruginosa adalah bakteri berbentuk batang dengan pewarnaan gram negatif, bersifat aerob, dan non-berspora. P. aeruginosa memiliki salah satu koleksi genom terbesar, dengan total 5567 gen dan 468 gen regulator. Hal ini menyimpulkan bahwa P. aeruginosa adalah bakteri yang mampu beradaptasi dengan mudah dan cepat serta mampu tumbuh di berbagai kondisi lingkungan, sekalipun terdapat zat-zat antimikroba (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021)

(Riedel et al., 2019)

Gambar 2.3 Pewarnaan gram P. aeruginosa dengan pembesaran 1000 kali

P. aeruginosa berukuran sekitar 0.6 x 2 μm. Bakteri ini dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau kadang-kadang dalam bentuk rantai pendek (Riedel et al., 2019)

b. Biakan

(10)

P. aeruginosa adalah aerob obligat yang mudah tumbuh di banyak media kultur, terkadang menghasilkan bau yang manis seperti anggur atau taco jagung. Beberapa strain mengalami hemolisi darah. P. aeruginosa membentuk koloni bulat halus dengan warna fluoresen kehijauan, juga menghasilkan fluprescent pigmen pyoverdine, yang memberikan warna kehijauan pada agar ketikan dikombinasikan dengan pyocyanin. Beberapa strain juga dapat menghasilkan pigmen pyorubin yang berwarna merah tua atau pigmen pyomelanin berwarna coklat kehitaman.

(Riedel et al., 2019)

Gambar 2.4 P. aeruginosa pada Mueller- Hinton agar P. aeruginosa memproduksi pigmen pyocyanin yang berwarna kebiru-biruan dan

pyoverdine yang berwarna kehijau-hijauan.

(11)

(Riedel et al., 2019)

Gambar 2.5 Koloni P. aeruginosa di Blood Agar Plate menunjukkan adanya hemolisis

2.3.4 Karakteristik pertumbuhan P. aeruginosa

P. aeruginosa tumbuh baik pada suhu 37°C sampai 42°C, pertumbuhannya pada 42°C membantu membedakannya dari spesies Pseudomonas lain yang menghasilkan pigmen fluoresen. (Riedel et al., 2019). Bakteri ini bersifat oksidase positif, tidak memfermentasi laktosa dan dengan mudah dibedakan dengan bakteri lactose-fermenter, tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. Identifikasi biasanya berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase-positif, adanya pigmen yang khas (Kasper et al., 2015)

2.3.5 Patogenesis

Bakteri P. aeruginosa menenpel dan membentuk koloni pada membrane mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal dan menyebabkan invasi sistemik.

(Brooks G.F., 2013) Infeksi pseudomonas yang paling utama terjadi pada tiga fase yang berbeda, yaitu:

1. Perlekatan bakteri dan kolonisasi 2. Invasi lokal

3. Penyebaran penyakit sistemik

2.3.6 Struktur Antigen dan Toksin

P. aeruginosa memiliki slime layer yang bersifat antigenik sehingga mempersulit proses fagositosis. Selain itu, Kebanyakan Pseudomonas aeruginosa menggunakan faktor virulensi eksotoksin A yang dapat menyebabkan nekrosis dan terhambatnya sintesis protein serta menggunakan eksoenzim (ExoU) untuk

(12)

merusak membran plasma eukariotik sehingga menyebabkan terjadinya lisis. P.

aeruginosa tahan terhadap konsentrasi yang tinggi dari garam dan zat warna, antiseptik lemah dan berbagai jenis antibiotika (Soedarto, 2015)

P. aeruginosa memiliki banyak faktor virulensi, termasuk adhesin, toksin, dan enzim.

a. Adhesin

Seperti kebanyakan bakteri, kepatuhan pada sel inang sangat penting untuk membentuk infeksi. Setidaknya empat komponen permukaan dari P. aeruginosa memfasilitasi kepatuhan ini: (1) flagela, (2) pili, (3) lipopolisakarida (LPS), dan (4) alginat. Flagela dan pili juga memediasi motilitas di P. aeruginosa, dan lipid A komponen LPS bertanggung jawab untuk aktivitas endotoksin. Alginat adalah eksopolisakarida mukoid yang membentuk kapsul pada permukaan bakteri dan melindungi organisme dari fagositosis dan pembunuhan antibiotik. Produksi ini polisakarida mukoid berada di bawah regulasi kompleks. Itu gen yang mengontrol produksi polisakarida alginate dapat diaktifkan pada pasien seperti kistik fibrosis atau lainnya penyakit pernapasan kronis, yang cenderung untuk kolonisasi jangka panjang dengan strain mukoid P. aeruginosa (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021).

b. Toksin dan Enzim yang disekresikan

P. aeruginosa dapat digolongkan berdasarkan imunotipe lipopolisakarida dan kepekaannya terhadap piosin (bakteriosin).

Sebagian besar isolat P.aeruginosa yang berasal dari infeksi klinik

(13)

menghasilkan enzim ekstraseluler, termasuk elastase, protease, dan dua hemolisin (fosfolipase C tidak tahan panas dan glikolipid tahan panas)

P. aeruginosa menghasilkan empat toksin tipe III yang disekresikan menyebabkan kematian sel atau mengganggu respon imun pejamu untuk infeksi. Eksoenzim S dan eksoenzim T adalah enzim bifungsional dengan guanosine trifosfat (GTPase) dan Adenosin difosfat (ADP) ribosyl transferase aktivitas, eksoenzim U adalah fosfolipase, dan eksoenzim Y adalah adenilat siklase (Riedel et al., 2019).

Eksotoxin A (ETA) diyakini menjadi salah satu faktor virulensi yang paling penting yang dihasilkan oleh strain patogen dari P.

aeruginosa. Toksin ini mengganggu sintesis protein dengan memblokir pemanjangan rantai peptida dalam sel eukariotik. Pigmen biru, pyocyanin, yang diproduksi oleh P. aeruginosa, mengkatalisis produksi superoksida dan hidrogen peroksida, yang merupakan bentuk beracun dari oksigen. Pigmen ini juga merangsang pelepasan interleukin (IL)-8, menyebabkan peningkatan daya tarik neutrofil. Pigmen kuning-hijau, pyoverdin, adalah siderofor yang mengikat besi untuk digunakan dalam metabolisme. Pigmen ini juga mengatur sekresi faktor virulensi lain termasuk ETA (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021)

Dua elastase, LasA (serin protease) dan LasB (zinc metalloprotease), bertindak secara sinergis untuk mendegradasi elastin, mengakibatkan kerusakan jaringan yang mengandung elastin dan menghasilkan kerusakan parenkim paru dan hemoragik lesi (ecthyma

(14)

gangrenosum) yang berhubungan dengan infeksi P. aeruginosa diseminata. Enzim ini juga dapat mendegradasi komponen komplemen dan menghambat neutrophil kemotaksis dan fungsi, yang menyebabkan penyebaran lebih lanjut dan kerusakan jaringan pada infeksi akut. Mirip dengan elastase, alkalin protease berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan penyebaran P. aeruginosa. Ini juga mengganggu respon imun pejamu.(Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021)

Eksoenzim S dan T adalah racun ekstraseluler yang diproduksi oleh P. aeruginosa. Ketika sistem sekresi tipe III memasukkan protein ke dalam sel eukariotik target mereka, kerusakan sel epitel terjadi, memfasilitasi penyebaran bakteri, jaringan invasi, dan nekrosis (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021).

2.3.7 Manifestasi Klinis Infeksi

Bakteri P. aeruginosa merupakan mikroorganisme yang sering menyebabkan infeksi nosokomial dan merupakan salah satu agen penyebab infeksi nasokomial yang paling resisten. Bakteri ini sering menyebabkan luka pasca operasi, bakteremia, endocarditis bakteri, sinusitis, infeksi sistim respirasi dan saluran kemih (Syawalludin et al., 2019). P. aeruginosa sering menginfeksi pasien dengan luka bakar yang luas, leukimia akut, transplantasi organ, dan kistik fibrosis. Infeksi P. aeruginosa adalah masalah yang serius karena angka kematian yang disebabkan bakteri ini mencapai 50 % (Todar, 2012). P. aeruginosa menyebabkan bekteremia, terutama pada pasien yang dirawat dirumah sakit dibagian anestesi dan resusitas atau ICU yang sering mengalami insufisiensu pernafasan dan ketidakstabilan hemodinamik dan memerlukan ventilasi paru

(15)

buatan. (Labovská, 2021) Infeksi P. aeruginosa merupakan kasus yang paling sering dirawat di unit perawatan intensif (ICU) termasuk unit hematologi, bedah dan luka bakar. Bentuk klinis dariInfeksi P. aeruginosa adalah Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang meliputi Ventilator Associated Pneumonia (VAP), Infeksi Saluran Kemih (ISK), Infeksi Aliran Darah (BSI), termasuk Central Line Associated Aliran Darah Infeksi (CLA-BSI), Infeksi Luka Bakar, Infeksi Kulit dan infeksi jaringan lunak, infeksi tempat operasi, ulkus dekubitus, infeksi mata, infeksi sistem saraf pusat, infeksi tulang dan sendi dan akhirnya otitis interna

(Litwin et al., 2021)

Infeksi P. aeruginosa pada saluran pernapasan bagian bawah dapat tingkat keparahan dari kolonisasi tanpa gejala atau peradangan jinak pada bronkus (trakeobronkitis) hingga necrotizing pneumonia. Kondisi yang mempengaruhi pasien immunocompromised untuk infeksi dengan Pseudomonas termasuk (1) terapi sebelumnya dengan antibiotik spektrum luas yang menghilangkan populasi bakteri pelindung dan (2) penggunaan mekanik peralatan ventilasi, yang dapat memperkenalkan organisme ke saluran napas bagian bawah. Penyakit invasif pada populasi ini adalah ditandai dengan bronkopneumonia bilateral difus dengan pembentukan mikroabses dan nekrosis jaringan. Itu angka kematian mencapai 70% (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021). Pada pasien Cyscic Fibrosis, P.

aeruginosa menyebabkan pneumonia kronis (Riedel et al., 2019). Infeksi telinga paling serius yang disebabkan oleh bakteri P. aeruginosa adalah otitis eksterna maligna dan nekrosis otitis eksterna (Soedarto, 2015) P. aeruginosa menyebabkan infeksi luka dan luka bakar, Kolonisasi luka bakar, diikuti oleh kerusakan vaskular lokal, nekrosis jaringan, dan akhirnya bakteremia. Permukaan luka bakar

(16)

yang lembab dan ketidakmampuan neutrofil untuk menembus ke dalam luka mempengaruhi timbulnya infeksi (Riedel et al., 2019)

2.3.8 Diagnosis Laboratorium 1. Spesimen

Spesimen diambil dari lesi kulit, nanah, urin, darah, cairan tulang belakang, dan bahan lain harus diperoleh sesuai indikasi sesuai dengan jenis infeksi (Riedel et al., 2019)

2. Hapusan (smears)

Batang gram negatif sering terlihat pada hapusan. Tidak ada karakteristik morfologi yang membedakan Pseudomonas dalam spesimen dari enteric atau batang gram negative lainnya (Riedel et al., 2019).

3. Kultur

Pseudomonas memiliki kebutuhan nutrisi yang sederhana, bakteri mudah dipulihkan pada media isolasi umum seperti blood-agar dan agar MacConkey (Murray, Rosenthal and Pfaller, 2021) . P. aeruginosa tidak memfermentasi karbohidrat, termasuk laktosa, dan mudah dibedakan dari bekateri yang memfermentasi laktosa. Kultur adalah tes spesifik untuk mendiagnosa infeksi akibat P. aeruginosa (Riedel et al., 2019).

2.4 Zat Anti Mikroba

Anti mikroba adalah zat yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme berbahaya atau tindakan untuk menghancurkan mikroorganisme

(17)

seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa (Tumpa, Hossain and Ishika, 2015).

Kadar minimum anti mikroba yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dikenal dengan KHM sedangkan untuk membunuh atau mematikan mikroba disebut dengan KBM. . Obat yang di dalamnya mengandung anti mikroba memiliki susunan kimiawi dan cara kerja yang berbeda pada setiap jenis obat. Oleh karena itu mekanisme kerja anti mikroba ada beberapa macam, seperti Menghambat metabolisme sel, menghambat sintesis dinding sel, merusak membran sel, menghambat sintesis protein dan asam nukleat (Brooks G.F., 2013).

2.4.1 Mekanisme Kerja Anti Mikroba pada Sel Bakteri.

Secara umum mekanisme kerja metabolism pada sel bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu:

a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Bakteri mempunyai dinding sel yang merupakan lapisan luar dan kaku untuk mempertahankan bentuk sel dan mengatur tekanan osmotik di dalam sel. Dinding sel bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel yang berbeda dengan bakteri Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan dan teikhoat atau asam teikuronat dengan atau tanpa envelop yang terdiri dari protein dan polisakarida, sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif mengandung peptidoglikan, lipopolisakarida, lipoprotein, fosfolipid dan protein

b. Menghambat fungsi membran plasma.

Sitoplasma pada sel-sel hidup berikatan dengan membran sitoplasma yang berperan di dalam barier permeabilitas selektif, berfungsi di dalam transport aktif dan mengontrol komposisi internal dari sel. Bila fungsi integritas

(18)

membran sel ini terganggu maka ion dan makromolekul akan keluar dari sel dan akan menghasilkan kerusakan dan kematian sel.

c. Menghambat sintesis asam nukleat.

Menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengikatan pada DNAdependent RNA polymerase. Rantai polipeptida dari enzim polimerase melekat pada faktor yang menunjukkan spesifisitas di dalam pengenalan letak promoter dalam proses transkripsi DNA.

d. Menghambat sintesis protein melalui penghambatan pada tahap translasi dan transkripsi meterial genetik.

Mekanisme kerja antibiotik golongan ini belum diketahui secara jelas.

Bakteri memiliki ribosom 70S sedangkan mamalia memiliki ribosom 80S.

Subunit dari masing-masing tipe ribosom, komposisi kimiawi dan spesifisitas fungsionalnya jelas berbeda sehingga dapat dijelaskan mengapa obat-obat antimikroba dapat menghambat sintesis protein pada ribosom bakteri tanpa menimbulkan efek pada ribosom mamalia

e. Menghambat metabolism folat

Trimetoprim dan sulfonamid mempengaruhi metabolisme folat melalui penghambatan kompetitif biosintesis tetrahidrofolat yang bekerja sebagai pembawa 1 fragmen karbon yang diperlukan untuk sintesis DNA, RNA dan protein dinding sel.

2.4.2 Mekanisme Resistensi Bakteri

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya resistensi bakteri, yaitu faktor primer adalah penggunaan agen antibiotik, munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dan penyebaran strain tersebut ke bakteri lain. Selain itu,

(19)

adanya faktor penjamu seperti lokasi infeksi, kemampuan antibiotik mencapai organ target infeksi sesuai dengan konsentrasi terapi, flora normal pasien, dan ekologi lingkungan merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Penggunaan antibiotik secara berlebihan, memiliki andil besar dalam menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibiotik, terutama di rumah sakit. Faktor-faktor lain yang berpengaruh diantaranya penggunaan antibiotik yang meluas dan irasional, penyalahgunaan antibiotik oleh praktisi kesehatan yang tidak ahli karena kurangnya perhatian pada efek merusak dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Resistensi antibiotik dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu resistensi alami dan resistensi yang didapat. Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotik yang memang kurang atau tidak aktif terhadap suatu bakteri dan bersifat diturunkan. Contohnya Pseudomonas aeruginosa yang tidak pernah sensitif terhadap kloramfenikol serta 25% dari Streptococcus pneumoniae secara alami resisten terhadap antibiotik golongan makrolid (erythromycin, clarithromycin, dan azithromycin). Masalah resistensi ini dapat diprediksi, sehingga dalam pemberian antibiotik dapat dipilih antibiotik dengan cara kerja yang berbeda.

Resistensi yang didapat apabila bakteri tersebut sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotik kemudian berubah menjadi resisten. Ada 2 kemungkinan mekanisme terjadinya kejadian ini, yaitu karena adanya mutasi pada kromosom DNA bakteri atau terdapat materi genetik baru yang spesifik dapat menghambat mekanisme kerja antibiotik. Resistensi antibiotik yang didapat dapat bersifat relatif atau mutlak. Contoh dari resistensi yang didapat ialah Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap ceftazidin, Haemophillus influenzae resisten terhadap

(20)

imipenem dan ampisilin, Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap ciprofloxacin (Pratiwi, 2017).

Beberapa mekanisme yang menyebakan resistensi anti mikroba adalah sebagai berikut:

• Memblok anti mikroba dengan cara mengubah dinding sel bakteri sehingga tidak dapat ditembus. Sekelompok bakteri secara alami resisten terhadap antibiotik tertentu karena kurangnya target ikatan antibiotik dan disebabkan juga karena membran sel bakteri yang tidak dapat ditembus.

• Perubahan area target yang menurunkan daya ikat anti mikroba. Pada tahap ini bakteri mendapatkan mutasi gen yang berperan dalam mengubah target antibiotik sehingga menurunkan efektifitas antibiotik dalam melawan bakteri.

• Menghasilkan enzim pengurai anti mikroba sehingga anti mikroba menjadi tidak aktif. Bakteri akan mengkode gen yang menghasilkan enzim yang berperan dalam mengurai molekul antibiotik sebelum antibiotik membunuh bakteri. Sehingga antibiotik menjadi tidak aktif lagi dan tidak dapat membunuh bakteri.

• Menurunkan akumulasi anti mikroba intraselular dengan cara menurunkan permeabilitas atau meningkatkan efluks aktif anti mikroba.

Mekanisme efluks terjadi saat gen resisten mengkode protein yang secara aktif mendorong antibiotik keluar dari sel bakteri, sehingga kadar antibiotik di dalam sel menjadi rendah dan tidak mampu untuk membunuh bakteri.

(21)

Sifat resistensi terhadap antibiotik melibatkan perubahan genetik yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya, dan setiap proses yang menghasilkan komposisi genetik bakteri seperti mutasi, transduksi (transfer DNA melalui bakteriofaga), transformasi (DNA berasal dari lingkungan) dan konjugasi (DNA berasal dari kontak langsung bakteri yang satu ke bakteri lain melalui pili) dapat menyebabkan timbulnya sifat resisten tersebut. Proses mutasi, transduksi dan transformasi merupakan mekanisme yang berperan di dalam timbulnya resistensi antibiotik pada bakteri gram positif, sedangkan pada bakteri gram negatif semua proses termasuk konjugasi bertanggung jawab dalam timbulnya resistensi antibiotik (Blair et al., 2015)

2.5 Uji kepekaan terhadap antimikroba secara in vitro 2.5.1 Metode Dilusi

Metode dilusi dapat digunakan untuk mengukur KHM (Kadar Hambat Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh Minimal). Zat antimikroba dimasukkan ke dalam media bakteriologis cair atau padat. Media selanjutnya diinokulasi dengan bakteri uji dan diinkubasi. (Riedel et al., 2019). Media pembenihan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 – 24 jam, kemudian diamati terjadinya kekeruhan pada tabung (Soleha, Carolia and Kurniawan, 2015).

Keuntungan dari uji dilusi adalah uji tersebut dapat menunjukkan hasil kuantitatif untuk dilaporkan, yang menunjukkan konsentrasi obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat (Minimum Inhibitory Concentration, MIC) atau

(22)

membunuh (Minimum Bactericidal Concentration, MBC) mikroorganisme yang diuji (Riedel et al., 2019).

Terdapat dua Teknik metode dilusi yaitu:

a. Metode dilusi cair/ pengenceran tabung/ Broth Dilution Test

Larutan zat antibakteri dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, kemudian diencerkan dengan medium cair berturut-turut pada tabung yang disusun dalam satu deret hingga konsentrasi terkecil yang dikehendaki. Tiap tabung (yang berisi campuran media dan larutan zat antibakteri dengan berbagai konsentrasi tersebut) ditanami dengan suspensi bakteri yang mengandung kira-kira 105 –106 CFU/mL,selanjutnya dibiakan dalam media tabung diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Penentuan KBM dilakukan dengan cara menanam bakteri pada perbenihan cair yang digunakan untuk KHM ke dalam nutrient agar kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 37ºC. KBM adalah ketika tidak terjadi pertumbuhan lagi pada agar (Soleha, 2015).

b. Metode dilusi Padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat. Pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampurkan dengan media agar lalu ditanami bakteri dan diinkubasi. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antibakteri yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa bakteri uji. Hasil pengamatan KHM dibaca sebagai konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, jika terlihat pertumbuhan bakteri tidak jelas atau kabur maka

(23)

pertumbuhan bakteri dapat dibiakan (Soleha, Carolia and Kurniawan, 2015).

2.5.2 Metode Difusi Cakram

Metode difusi cakram dilakukan dengan menjenuhkan anti mikroba ke dalam kertas saring (cakram kertas). Kemudian Cakram kertas tersebut ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur dengan mikroba yang diuji. Selanjutnya dilakukan diinkubasi dalam suhu 37o C selama 24 jam. Setelah diinkubasi lakukan pengamatan dengan melihat area (zona) jernih di sekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba.

(Departemen Mikrobiologi Klinik, 2015).

2.5.3 Metode Difusi Sumuran

Metode difusi sumuran dilakukan dengan membuat lubang sumuran pada media agar yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji, kemudian memasukkan beberapa perlakuan konsentrasi ekstrak dalam lubang sumuran. Selanjutnya diinkubasi dalam suhu 37o C selama 24 jam. Setelah diinkubasi lakukan amati zona jernih yang terbentuk di sekitar lubang sumuran yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Sulistyani, Kurniati and Cempaka, 2016)

2.5.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang membahas tentang pengaruh cuka apel (Malus Domestica) sebagai antibakteri dilakukan oleh Pratama et al terhadap bakteri Salmonella typhi dengan menggunakan 4 konsentrasi cuka apel yaitu 100%, 50%, 25% dan 12,5%, dengan kontrol Kloramfenikol (23mm) didapatkan hasil: pada konsentrasi 25%, 50%, dan 100% cuka apel memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,

(24)

diketahui pada uji difusi Kirby Bauer menunjukkan zona hambat minimum terbentuk pada konsentrasi 12,5%(14 mm), 25% (24 mm), 50% (31mm) dan 100% (32,25mm) dan pada uji dilusi broth menunjukkan kadar bunuh minimal pada 25% (Pratama, Husin and Trusda, 2015).

Penelitian lain dilakukan oleh Djuanda et al yang membandingkan antara pengaruh Chlorhexidine digluconate 2% dan cuka apel terhadap Enterococcus faecalis dengan metode difusi cakram. Didapatkan bahwa cuka apel dengan konsentrasi 100% kebih tinggi zona hambatnya dibandingkan dengan Chlorhexidine digluconate 2% dalam menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis. Diameter zona hambat cuka apel meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi, bahkan pada konsentrasi minimal 25% dapat membunuh bakteri Enterococcus faecalis, potensi antibakteri cuka apel setara dengan Chlorhexidine digluconate 2%. (Djuanda et al., 2019)

Penelitian sebelumnya meneliti terkait pengaruh cuka apel terhadap Staphylococcus aureus dengan berbagai konsentrasi yaitu konsentrasi 100%, 50%, 25% dan 12,5%. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa cuka apel efektif dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 25%, 50%

dan 100%. Pada Uji daya hambat maka rerata 100% diameter yang terbentuk 24 mm menunjukkan sensitif, 50% diameter yang terbentuk 21,75 mm menunjukkan sensitif, 25% diameter yang terbentuk 14,75 mm menunjukkan sensitif dan 12,5%

diameter yang terbentuk 9,5 mm. menunjukkan daya hambat sangat lemah.

(Novianty et al., 2021)

Referensi

Dokumen terkait

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Utang luar negeri pemerintah adalah utang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari utang bilateral, multilateral, fasilitas kredit ekspor, komersial, leasing dan

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Tujuan dari penulisan ini adalah membuat aplikasi yang dapat memberikan rekomendasi pemesanan iklan yang optimal, data yang saling terintegrasi, dan kalkulasi

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)