• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI MASYARAKAT DESA BAYUNG GEDE (KAJIAN TEOLOGI SOSIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRADISI MASYARAKAT DESA BAYUNG GEDE (KAJIAN TEOLOGI SOSIAL)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

NGUSABA LAMPUAN TRADISI MASYARAKAT DESA BAYUNG GEDE (KAJIAN TEOLOGI SOSIAL)

Oleh:

I Putu Windu Mertha Sujana Universitas Pendidikan Ganesha email: Windu.mertha@undiksha.ac.id

I Wayan Titra Gunawijaya STAHN Mpu Kuturan Singaraja email: wayantitragunawijaya@gmail.com

ABSTRACT

Worshiping God can be carried out in various aspects through His manifestations, this form explains that God's position must not only be worshiped but there should be a reunification between human beings when implementing a Ngusaba Lampuan tradition. A qualitative approach is used in an effort to find information and a research approach as a scientific method which is then presented in the form of a qualitative description. The results of the study include the implementation of the Ngusaba Lampuan tradition which is more directed to the inner feelings of the community that have been satisfied, inner satisfaction or the level of one's religiosity is certainly different from the others. The inner satisfaction of the community also depends on the situation and conditions around it or it could be that the vibrations that arise from the rituals, prayers and sincerity offered are the best according to the devotee, so that in the implementation of the ngusaba Lampuan tradition, more emphasis is placed on how to interpret symbols such as the value of religious communication seen from the sincere white chicken. as a symbolic substitute for the ceremonial fertilizer, prayers that do not use flowers and are reflected in all ceremonial ritual activities do not use puja/mantra but how the person interprets and does it with a sincere sense of sincerity.

Keyword: Ngusaba Lampuan, Teologi Sosial

I. PENDAHULUAN

Umat Hindu di Bali sangat identic sekali dengan pelaksanaan ritual keagamaan. Berbagai bentuk keyakinan diimplementasikan melalui pelaksanaan upacara ritual, seperti halnya memberikan wujud syukur terlahirnya anak akan terdapat berbagai prosesi upacara, wujud syukur kepada alam akan dilaksanakan berbagai upacara pula yang dikenal dengan sad kertih. Selain hal tersebut terdapat juga wujud syukur atas karunia yang dilimpahkan oleh alam atas hasil

panen dalam bentuk upacara Ngusabha.

Melalui logika berpikir tersebut dapat diidentikkan bahwa sebagian besar umat Hindu di Bali melaksanakan ritual keagamaan sebagai wujud sradha dan bhakti umat kepada sang hyang pencipta.

Tradisi ngusabha sendiri sebagai wujud syukur masyarakat atas karunia yang dilimpahkan oleh alam dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di berbagai tempat di Bali banyak sekali jenihs ngusabha yang di temui, baik pelaksanaan upacara

(2)

ngusabha oleh krama subak, upacara ngusabha di Batur serta ada beberapa upacara ngusabha lainnya di berbagai tempat. Termasuk juga tradisi ngusabha Lampuan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bayung Gede – Kintamani.

Penulis tertarik dengan keuinikan Tradisi Ngusaba Lampuan yang ada di Desa Bayunggede. Keunikan tersebut antara lain :

- Pelaksanaan upacara Lampuan dilaksanakan setiap minimal empat tahun sekali atau sesuai duasa (waktu) yang tepat, yang ditentukan oleh para tetua yang ada di Desa tersebut, dengan melibatkan para Daha Truna yang ada di Desa Pakraman Bayunggede, dana para Daha Truna ini harus memakai pakaian yang sudah ditentukan oleh para tetua yang ada di Desa Pakraman Bayunggede.

- Bagi peserta upacara laki-laki / Jro Lampuan Lanang memakai busana seperti : kamben (kain) Bali, saput meselibeh (memakai slempang selimut), meselet golok (membawa golok), berkalung destar (ikat kepala), ngadut kompek (dompet) yang terbuat dari bambu yang dianyam menyerupai bentuk dompet, yang berisi : daun sirih, buah pinang, tembakau, gambir, dan kapur sirih, yang nantinya akan dikunyah oleh para Lampuan Lanang di tempat upacara Pelampuan itu dilaksanakan. Serta tidak diperbolehkan memakai baju, dan alas kaki (sandal).

- Peserta perempuan / Jro Lampuan Istri memakai busana antara lain : memakai kamben

(kain Bali), tidak diperbolehkan memakai segala bentuk perhiasan, tidak diperbolehkan memakai pakaian selain kain Bali baik sebagai baju penggantipun harus memakai kain Bali, dan tidak diperbolehkan memakai sandal.

- Dari segi sarana dan prasarana upcara yang digunakan sangat unik dan berbeda dari daerah lainnya seperti yang lazim digunakan. Tradisi ini menggunakan sarana jajan biyu / jajan gong (jajan pisang) yang dibuat dari pisang mentah yang diparut dan dicampur dengan tepung beras merah, kemudian digoreng. Jajan ini dibuat oleh masing-masing peserta upacara secara urunan, dan digunakan sabagai alat pembayaran denda apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh Jro Lampuan Lanang dan Jro lampuan Istri.

- Penjor yang digunakan dalam Tradisi Ngusaba Lampuan ini terdiri dari dua buah penjor yang diikat menjadi satu. Satu penjor terbuat dari bambu yang utuh (tidak boleh ada cabang yang patah, tidak boleh ada goresan, mati kukul / garis hitam melingkar pada ruas bambu, dari pangkal sampai keujung dengan hiasan daun enau muda. Penjor yang satu lagi adalah berupa batang bambu yang telah dipotong ujungnya dan diatasnya ditancapkan jejahitan dari daun enau muda. Kedua penjor tersebut dibuat oleh masing- masing Lampuan Lanang.

- Alat penerangan menggunakan lampu / damarsuar meling yaitu lampu yang dibuat dari pangkal

(3)

pohon pisang sebagai tangki minyak, menggunakan sumbu kerikan / parutan kulit pohon bambu yang digiling, dan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya, serta sebilah bambu sebagai tangkai (pasangan yang di gantung).

Fungsi dari tradisi Ngusaba Lampuan di Desa Pakraman Bayunggede adalah sebagai berikut:

1) Fungsi Religi. Adapun fungsi religi dari pelaksanaan Ngusaba Lampuan di desa pakraman Bayunggede adalah untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.

2) Fungsi sosial, yang menjadi fungi sosial dari pelaksanaan Ngusaba Lampuan di desa pakraman Bayunggede adalah untuk mendidik warga masyarakat untuk bisa sling hormat-menghormati antar warga dan menjalin hubungan yang harmonis, sehingga bisa dijadikan sebagai pembelajaran ke tahap kehidupan selanjutnya, dan untuk mendidik , melatih para pemuda-pemudi Desa Bayunggede.

3) Fungsi Etika, yaitu berfungsi untuk menguraikan baik dan buruk, salah dan benar tentang pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia dalam membuat sarana upacara atau banten, dimana dalam pembuatan banten itu sendiri harus diketahui etika atau susila dalam membuatnya.

4) Fungsi Ritual. Dikatakan mempunyai fungsi ritual karena berkaitan erat dengan agama ataupun pelaksanaan ajaran agama.

Nilai-nilai ajaran agama Hindu yang terdapat dalam pelaksanaan Ngusaba Lampuan di Desa Bayunggede adalah sebagai berikut :

1) Nilai Tattwa, nilai tattwa dari tradisi Ngusaba Lampuan didasari oleh keyakinan umat Hindu akan Panca Sarada yaitu dengan melaksanakan upacara Ngusaba Lampuan, masyarakat Desa Bayunggede dapat memohon kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Bhata Siwa dan Bhatari Durga.

2) Nilai Etika, nilai etika yang terkandung dalam tradisi Ngusaba Lampuan salah satunya saat melaksanakan upacara Ongge-ongge yaitu upacara pada saat balas pantun antara Lampuan Lanang dan Lampuan Istri, dimana salah satu tetua adat memberikan wejangan tentang Susila dan Tattwa.

3) Nilai Upacara, nilai upacaranya terdapat pada saat pembuatan banten, yang mana hal tersebut merupakan suatu informasi pengetahuan tentang tata cara pembuatan banten kepada masyarakat di Desa Pakraman Bayunggede.

Dalam pelaksanaan Tradisi Ngusaba Lampuan di desa Bayunggede, ada beberapa prosesi yang dilaksanakan, yaitu :

a. Sebelum upacara Ngusaba Lampuan berlangsung para Lampuan Lanang dan Lampuan Istri serta masyarakat yang ada di Desa Bayunggede melaksanakan upacara matur piuning di pura penataran Bintak dengan dipuput oleh Jro Kubayan Muncuk dan para peduluan lainnya.

b. Setelah dari pesiraman seluruh Pretima Ida bhatara kembali melinggihdi pura Puseh untuk kemudian dihaturkan banten

(4)

Dapetan, setelah ihaturkanBanten Dapetan masing-masing Pratima Ida Bhatara kembalike masing- masing Pura. Dengan sarana banten peras penyeneng yang dilengkapi dengan ayam yang sudah dibakar, masing-msing satu ekor ayam. Upacara melasti dilaksanakan tujuh hari sebelum upacara puncak

Ngusaba Lampuan

dilaksanakan dan

dilaksanakan dipenataran puraSusut/slunding. Datang dari melasti, Jro Khubayan mulai membuat sarana atau bantenyang digunakan untuk upacara Ngusaba Lampuan, sebelum membuat banten itu terlebih dahulu dipercikkan air suci atau tirta tersebut.

c. Matur piuning ring Pura Puseh Pingit, matur piuning ring Pura Puseh Pingit diikuti oleh Jro Lampuan Lanang dan Jro Lampuan Istri, dimana matur piuning ke Pura Puseh Pingit diiringi oleh Jro Daha yang membawa sarana upacara yang disebut banten tamus. Saat puncak karya di Pura Pelapuan menggunakan sarana banten munggah pedangsilan / dangsil gede, dengan alasnya menggunakan wakul/bakul yang terbuat dari bambu, yang berisi beras dase paton (10 kg), uang kepeng atau uang bolong 4000 kepeng, biu kayu (pisang kayu), nyuh (kelapa 5 buah), benang tekulan, buah-buahan, jajan begina 200 keping, jajan bekayu, siap biing (ayam merah), dan penyeneng isi tumpeng 2 buah, serta sampian

(canang) serta dihiasi dengan lenteran dengan menggunakan busung (janur), dengan kojong busung atau janur 200 helai dengan menggunakan bunga gemitir, pedangsilan ini merupakan pelinggihan Ida Bhatara. Upacara ini tepat dilaksanakan pada Purnama Kapat. Upacara puncak Ngusaba Lampuan ini dilaksanakan berturut-turut, yaitu : hari pertama diawali dengan mendak dangsil / pedangsilan dilaksanakan di rumah jro Kubayan, lalu banten dansil dibawa ke penataran Pura Bintak, yang dilanjutkan dengan melaksanakan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh pemangku yang ada di Desa Pakraman Bayunggede. Kedua

dilanjutkan dengan

Layud/Wayun Ageng (bawah) Ngeluur jaje biu (menghaturkan jajan pisang) yang dilaksanakan oleh masing-masing Jro Pelampuan. Ketiga adalah Jug (pindah tempat) dari Pura penataran Bintak menuju Pura Bale Agung. Upacara ini merupakan prosesi pencabutan penjor bagi teruna, kemudian penjor ini dibawa ke Pura Bale Agung yang dilanjutkan dengan pelaksanaan persembahyangan bersama.

d. Hari kempat yaitu pelaksanaan upacara Ongge-ongge / mebebanyolan (permainan yang bernuansa lucu, saling balas pantun) antara Jro lampuan Lanang dan Jro Lampuan Istri ( laki-laki dan perempuan), dengan menggunakan sarana banten teg-teg/palian.

(5)

e. Hari kelima dilanjutkan dengan upacara Babuangan sundingan (perang) dengan menggunakan daun suren (sejenis daun paku) yang dilaksanakan oleh orang- orang asli dari desa pakraman Bayunggede. Sebelum pelaksanaan upacara inin, terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan untuk memohon keselamatan dan tidak ada halangan serta tidak ada pertengkaran antara satu dengan yang lainnya, sehingga upacara tersebut bisa berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rencana. Sarana upacara yang dipakai dengan menghaturkan sarana banten peras pejati, isinya pejati/daksina yang sudah lengkap, tumpeng 5 buah, pangkonan 4 buah, pisang, jajan, buah-buahan, daging ayam, dan sampian peras lengkap dengan porosan, bungan dan rampe.

f. Terakhir adalah upacara penyineban. Upacara penyineban harus sesuai dengan hari baik, yang mana upacara penyineban ini diiringi dengan gambelan, menggunakan sarana banten teg-teg dan bangunan ayu, yang berisi daging babi, dan menggunakan jatah bebek.

Adapun isi dari jatah yaitu : nyuh/kelapa, bebek yang masih mentah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan ditempel pada kelapa dengan tatanan yang rapi, berisi sate mentah dan sate yang sudah digoreng matang, berisi buah- buahan, jajan begina, jajan uli / jajan ketan, pisang, cabe, bawang merah dan bawang putih dan sampaian jatah, kemudian

semunya itu ditusuk dengan menggunakan bambu yang sudah dibersihkan, lalu dipasang atau ditusuk pada kelapa yang masih utuh pada kulitnya. Para Lampuan Lanang dan lampuan Istri matur piuning ke perempatan atau Pangkalan Desa Bayunggede yang ada hubungan dengan Ida Bhatara Batur. Selesai matur piuning, kemudian langsung bubar atau lebar dan para Lampuan Lanang pulang ke rumah masing-masing dengan membawa kayu bakar dan para Lampuan Istri membawa sayur-sayuran yang dapat dipetik dan diambil di tepi-tepi jalan raya menuju pulang ke rumahnya masing- masing.

Pemujaan kepada Tuhan bisa dilaksanakan dengan berbagai aspek melalui manifestasi-Nya, wujud tersebut menjelaskan bahwa kedudukan Tuhan bukan saja harus di Puja akan tetapi harusnya terjadi pembahuran antar umat manusia ketipa pelaksana dari sebuah yajna. Apabila kemudian dikorelasi dengan pendekatan ilmu Teologi Sosial sebagai aspek kajian ketuhanan dalam kehidupan social masyarakat maka setiap tradisi akan memiliki tujuan untuk menciptakan harmonisasi antara umat manusia memalui kesamaan persefsi menyakini keberadaan Tuhan.

Tradisi Ngusaba Lampuan sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya masyarakat di Desa Pakraman Bayung Gede, karena manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan dengan orang lain. Dalam hal ini manusia selalu berhubungan dan melakukan komunikasi dan interaksi. Interaksi atau tindakan komunikasi merupakan keterampilan yang sangat penting dalam

(6)

kehidupan manusia, dalam komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi dapat terjadi pada setiap gerak langkah manusia.

Mengingat manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tergantung satu sama lain, mandiri serta saling terkait dengan orang lain di lingkungannya.

II. METODE

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan jenis dari penelitian kualitatif melalui pendekatan penelitian yang sama. Bentuk penelitian kualitatif lebih menekankan kepada deskrifsi atau narasi melalui metode pengumpulan Data dengan data primer dan data skunder, serta dukungan dari teknik observasi, wawancara melalui metode penentuan informan secara porposive, dan teknik dokumentasi. Data kemudian di olah mempergunakan metode kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskrifsi kualitatif.

III. PEMBAHASAN

3.1 Pendekatan Teologi Sosial

Teologi Sosial pasti terbentuk dari kata Teologi dan Sosial. Memperhatikan pembentukkan kedua kata tersebut muncul kesulitan untuk memberikan batasan atau definisi. Persoalannya adalah, Teologi sudah memiliki objek materi dan dan objek formal tersendiri, sedangkan Sosial sendiri telah ada bidang pengetahuan tersendiri yang membahasnya, yaitu Sosiologi. Tanpa batasan atau definisi akan membuat pemahaman tidak jelas, oleh sebab itu walaupun hampir tidak ada batasan yang baku sebagaimana juga ilmu sosial, maka mau tidak mau Teologi Sosial harus diberikan batasannya, sebab melalui batasan itu akan diketahui ruang lingkupnya. Sebelum melanjutkan kepada batasan Teologi Sosial, pertama akan diuraikan dulu makna kedua kata tersebut;

Kata teologi berasal dari kata theos yang

artinya ‘Tuhan’ dan logos yang artinya

‘ilmu’ atau ‘pengetahuan’. Jadi teologi adalah ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaiamana uraian berikut ini; teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang Tuhan. Dalam praktek, istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagaaman tertentu atau pemikiran individu (Maulana dkk., 2003:500). Theologi atau dalam bahasa Sanskerta Brahmavidya atau Brahma Tatwa Jñana adalah ilmu tentang Tuhan (Pudja, 1984:14). Sedangkan istilah sosial (social) dalam ilmu-ilmu sosial berarti masyarakat (Soekanto, 2000:14-15).

Dengan adanya dua batasan antara Teologi dan Sosial tersebut tidak serta merta dapat digabungkan untuk membuatan batasan.

Konsep-konsep Teologi Sosial sangat jelas diuraikan dalam ajaran Veda atau ajaran Hindu. Di dalam ajaran Hindu diuraikan tentang bagaimana seharusnya setiap orang untuk bertingkah laku dalam kesehariannya, bagaimana manusia harus menempatkan dirinya sebagai mahluk paling mulia di antara semua mahluk ciptaan Tuhan. Sehingga ajaran Hindu mengajarkan bagaimana cara manusia;

memuja Tuhan, menghormati sesama, serta bagaimana cara berkorban kepada (1) leluhur (pitr), (2) devata (3) tamu

’athiti’ (tamu), (4) tetangga, dan (5) dirinya. Kelimanya itu harus diperhatikan dan dilaksanakan sesuai menurut atauran kitab suci (Chandrasekarendra, 1995:639.

Rumusan ini secara lengkap terdapat dalam kitab suci Manawa Dharmaçastra sebagaimana diuraikan:

åûayaá pitaro devà bhùtànn atithayas tatà,

àúàsate kuþumbibhy astebhyaá kàryaý vijànatà.

(Manawa Dharmaçastra III.80) Terjemahan:

(7)

Para åûi, para leluhur, para dewa, para bhùta dan para tamu meminta persembahan atau pemberian dari kepala rumah tangga, oleh karena itu para kepala keluarga yang tahu hukumnya harus memberikan kepada mereka apa yang sesuai untuk mereka masing-masingnya.

Sloka ini merupakan landasan atau sumber yang komprehensif mengapa umat Hindu melaksanakan Panca Yajna sebagaimana uraian sloka di atas; (1) Rsi Yajna, (2) Pitra Yajna, (3) Dewa Yajna, (4) Bhuta Yajna, dan (5) Manusia Yajna.

Ajaran Panca yajna ini sangat jelas menunjukkan bahwa ajaran ini sangat relevan dengan Teologi Sosial. Pertama, Rsi Yajna memiliki relevansi dengan konsep hubungan antara manusia dengan manusia dalam konteks agama dan kemanusiaan. Kedua, Pitra Yajna memiliki relevansi dengan konsep hubungan antara manusia dengan manusia dalam konteks agama dan kemanusiaan.

Ketiga, Dewa Yajna jelas sekali relevan dengan konsep hubungan antara manusia dengan agama dan lebih tegasnya Tuhan sebagai persoalan utama dan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.

Keempat, Bhuta Yajna relevan dengan konsep hubungan antara manusia dengan lingkungan sebagai persoalan agama dan kemanusiaan. Kelima, Manusia Yajna;

relevan dengan konsep hubungan manusia dengan manusia sebagai persoalan agama dan kemanusiaan. Dengan demikian Panca Yajna bila dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan, maka Panca Yajna sesungguhnya tak lain adalah Teologi Sosial. Sloka-sloka berikut menjelaskan tentang apa dan bagaiman cara melaksanakan Panca Yajna tersebut.

svàdhyàyenàrcayet arûìn homair devan yathà vidhi,

pitæn úràddhaiúca nænannair bhùtàni balikarmaóà.

(Manawa Dharmaçastra III.81) Terjemahan:

Hendaknya ia menghaturkan sesuatu yang sesuai menurut peraturan kepada para Åûi dengan pengucapan Veda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan úràddha kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada bhuta dengan upacara kurban.

kuryàd ahar ahaá úràddham annàdyeno dakena và,

payo mùla phalair vàpi pitåbhyaá prìtimàvahan. (Manawa

Dharmaçastra III.82) Terjemahan:

Upacara pitra yajña yang harus kamu lakukan, hendaknya setiap harinya melakukan úràddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air atau susu dengan ubi-ubian dan buah-buahan dan dengan demikian menyenangkan para leluhur.

Prinsip Veda atau Hindu mengajarkan bahwa seorang manusia tidak boleh hidup egois hanya memperhatikan diri sendiri tetapi harus melayani; deva, leluhur, para orang suci, melayani sesama umat manusia seperti melayani diri sendiri, dan juga melayani mahluk lain sebagai satu keluarga semesta sebagaimana ungkapan suci mengatakan vasudeva kutumbhakam ’semua adalah saudara’ (Chandrasekarendra, 1995:640).

Dengan demikian Teologi Sosial yang bermaksud mengkritisi persoalan- persoalan agama dan kemanusiaan atau masyarakat, hal itu juga nampak jelas terdapat dalam ajaran Hindu sebagaimana uraian sloka-sloka kitab suci di atas.

(8)

Sloka-sloka tersebut secara lugas menguraikan bagaimana seseorang itu harus hidup dan bertingkah laku terhadap Tuhan (teologi), dan bagaimana seseorang itu harus berbuat atau bertingkah laku terhadap sesama (sosial) dan juga terhadap sesama ciptaan. Sehingga semuanya masuk dalam pembahasan teologi dan sosial sehingga sangat relevan dengan disiplin ilmu Teologi Sosial.

Teologi Hindu adalah Teologi Kasih Semesta (Donder, 2007), artinya bahwa teologi Hindu mampu menampung seluruh konsep teologi baik konsep teologi yang sangat purba hingga teologi yang supra modern. Hindu tidak pernah membuang atau menampik salah satu sistem teologi. Itulah sebabnya teologi Hindu tidak pernah memandang satu manusiapun sebagai seorang yang tak ber- Tuhan. Dalam teologi Hindu khususnya pada teologi Saguna Brahma, Tuhan boleh dibayangkan sesuai dengan fungsi dan peran-Nya, sehingga Tuhan dianggap memiliki manifestasi. Dalam perspektif Teologi Saguna Brahma inilah Teologi Sosial dapat dipahami, sebab Teologi Sosial selain menelaah persoalan agama juga persoalan kemanusiaan. Persoalan teologi ada dalam bingkai agama dan persoalan kemanusiaan ada dalam bingkai sosial. Itulah sebabnya Teologi Sosial relevan dengan pembahasan Teologi Hindu Saguna Brahma. Dalam perspektif Teologi Saguna Brahma Tuhan dipandang sebagai Ayah, Ibu, dan Datuk alam semesta beserta isinya Dalam fungsi dan kedudukan Tuhan sebagai Ayah dan Ibu bagi umat manusia, maka Tuhan dapat dipandang sebagai asal-mula adanya masyarakat. Dengan demikian maka masyarakat dapat dipandang berpusat pada Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan masyarakat yang ada. Hal ini relevan dengan bunyi salah satu dari sloka Bhagavadgita yang menyatakan:

pitàham asya jagato màtà dhàtà pitàmahaá,

vedyaý pavitram auýkàra åk sàma yajur eva ca.

(Bhagavadgita IX.17) Terjemahan:

Aku adalah Bapa, Ibu, Pelindung, dan Datuk alam semesta ini, Aku adalah objek ilmu pengetahuan (Pena Suci). Aku-lah aksara AUM dan Aku adalah Ågveda, Sàmaveda dan Yajurveda.

Sloka Bhagavadgita di atas sangat jelas-jelas menjadi sumber Teologi Sosial dalam perspektif agama Hindu.

Masayarakat sosial yang terdiri dari sejumlah individu-individu yang masing- masing memiliki ayah dan ibu yang memberi perlindungan serta kasih sayang terhadap anak-anaknya, maka demikian pula dalam konteks teologi Hindu, Tuhan adalah Ayah sekaligus Ibu bagi masyarakat (sosial), bahkan bagi seluruh alam semesta. Sloka Bhagavadgita di atas benar-benar mengajarkan kepada manusia agar setiap manusia mampu memandandang bahwa segala ciptaan yang ada di alam semesta ini sebagai saudara kandungnya (vasudeva kutumbhakam).

3.2 Tradisi Ngusaba Lampuan melalui pendekatan Susila

Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan dalam bentuk kaidah yang berisi larangan ataupun perintah untuk berbuat sesuatu. Dalam etika kita akan mendapatkan ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Perbuatan yang baik harus dilaksanakan dan perbuatan yang buruk hendaknya dihindari.

Etika/Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan

(9)

manusia sehari- hari dan manusia dalam menjalani kehidupan mempunyai kesempatan sebanyak-banyaknya untuk berbuat baik (kayika parisudha), supaya hidup ini tidak sia-sia, tetapi penuh makna. Hal ini dijelaskan dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 3, dan 4 adalah sebagai berikut:

Matang nyan hawya juga wwang menaspata an tan paribhawa, ri dadi wwang ta pwa kagongakena ri ambek, apayapan paramadurlabha iking si janmamanusu ngaranya, yadyapi candalayoni tuwi (Sarasamuscaya, sloka: 3).

Terjemahan:

Oleh karena itu, janganlah sekali- kali bersedih hati, sekalipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun (Kadjeng, 2007: 6).

Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang cubhakarma, hinghaning kottamaning dadi wwang ika (Sarasamuscaya, sloka 4).

Terjemahan:

Menjelma menjadi manusia itu sudah sungguh – sungguh utama, sebab nya demikian. Karena lahir ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntunganya menjelma menjadi manusia (Kadjeng, 2007: 6).

Pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia

ini, kesempatan yang sungguh sulit diproleh yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga, segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan. Selain manusia dapat berkata-kata dan berperilaku yang benar dan suci, maka manusia juga tidak lepas dari pikiran yang benar dan suci (manacika parisudha) karena pikiran yang benar dan suci sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia.

Tentang hakikat pikiran yang benar dan suci, berikut ini di dalam kitab suci Saracamuscaya (Sloka, 68-69-70) ada disebutkan:

Kunang sangksepanya, manah nimittaning niccaYajñana, dadi pwaniccaYajñana, lumekas, tang maprawrtti, matangnyan manah ngaranika pradhana mangkana.

Terjemahan:

Maka kesimpulannya, pikiranlah yang merupakan unsur yang menentukan, jika penentuan perasaan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata, atau melakukan perbuatan, oleh karena itu pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya.

Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawrtti ta ya ring cubhachubakarma, matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya skareng.

Terjemahan:

Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang mengerakan perbuatan yang baik ataupun yang buruk, oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut di usahakan pengekanganya atau pengendalianya.

Nihan ta kramanikang manah, bhrata lungna swabhawanya, akweh

(10)

inangennagennya, dadi prarhana, dadi sangsaya, pinakawaknya, nanapwa wwang ikang wehang humrt manah, sire tike manggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh.

Terjemahan:

Keadaan pikiran itu demikianlah;

tidak berkembang jalannya, banyak yang dicita-citakan, terkadang berkeinginan, terkadang penuh kesangsian; demikianlah kenyataan;

jika ada orang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain (Kadjeng, 1987:

68-70).

Perkataan yang benar dan suci yang disebut Wacika. Bahwa dengan kata-kata yang benar dan suci kita mendapatkan kebahagaiaan dan keselamatan. Hal ini sesuai dengan kitab suci Sarasamuscaya sloka 75, disebutkan sebagai berikut:

Nyang tanpa prawrityaning wak, pat awehnya, pratekyannya, ujar ahala, ujar uprgas, ujar picuna, ujar nithya, nahan tang pat sanggahananing watak, tan ujarakena, tan angina-ngenan, kojarnya.

Terjemahan:

Inilah yang patut timbul dari kata- kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan memfitnah perkataaan bohong (tak dapat dipercaya): itulah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan dipikir-pikir akan diucapkan (Kadjeng, dkk 1997: 62- 63).

Sesuai dengan sloka tersebut di atas, maka sungguh pentingnya menggunakan kata-kata yang baik dalam kehidupan

spritual maupun sosial di masyarakat demi tercapainya keharmonisan.

Realitas hidup bagi seseorang dalam lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh ajaran susila. Terkait dengan nilai etika dalam tradisi Ngusaba Lampuan, salah satunya adalah pemukulan kulkul, pemukulan kulkul dalam pelaksanaan tradisi Ngusaba Lampuan hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah ditunjuk secara khusus oleh pemuka Adat di Pakraman Bayung Gede. Karena kulkul yang ada di depan Pura Bale Agung memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi. Maka juru/tukang pukul kulkul harus memilki religiusitas yang tinggi guna menjaga kesakralan kulkul tersebut.

Kulkul memiliki makna yang sangat kompleks sebagai media komunikasi masyarakat dari dimensi horizontal memiliki fungsi komunikasi dalam aspek kehidupan masyarakat artinya kulkul menjadi media komunikasi untuk bersama-sama menimbulkan jalur komunikasi terbuka dalam interaksi antar anggota masyarakat serta menjadi simbul dalam sebuah masyarakat adat Bali.

Sedangkan secara vertikal kulkul memiliki makna/fungsi terkait dengan ritual keagamaan sebagai penghubung antara pelaksanaan upacara yajna dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Acarya dalam Haryanta 2010:3) masyarakat Bali sangat kuat pada dasar-dasar filosofi sebagai karakteristik kehidupan masyarakat maupun kegiatan keagamaannya.

Etika dalam Tradisi Ngusaba Lampuan sangat dijunjung tinggi, antara lain dalam pemanggilan nama harus di

(11)

awali dengan nama Jro, dalam melaksanakan tugas harus di dahului oleh Jro kubayan dan Jro kraman, semua kegiatan Jro Lampuan harus didahuli oleh yang paling dulu/atas, berbusana harus menggunakan pakaian Adat kuno, dan harus saling menghargai antara peserta Daha dan Teruna maupun semua orang yang terlibat. Ketika kulkul sudah dibunyikan, semua masyarakat akan mengikuti arti dari bunyi kulkul tersebut.

Misalnya pada saat mulai tedun kulkul akan dibunyikan, masyarakat bersiap-siap untuk melakukan ritual yadnya. Hal ini membuktikan bahwa kulkul di Desa Pakraman Bayung Gede memiliki makna etika dalam kehidupan beragama.

Etika membunyikan kulkul tentunya dihubungkan dengan norma agama yang dijadikan titik tolak berpikir. Kepercayaan umat Hindu berpangkal dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berada dimana-mana dan mengetahui segalanya.

Beliau adalah saksi agung segala perbuatan manusia, karena itu manusia tidak dapat menyembunyikan segala perbuatannya terhadap Tuhan baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

Keyakinan bahwa Tuhan mengetahui semua perbuatan orang, umat Hindu sangat meyakini adanya hukum karma yang menyatakan bahwa setiap perbuatan pasti ada akibatnya. Bila seseorang berbuat baik, maka ia akan menerima pahala yang baik pula, demikian sebaliknya.

Keyakian adanya Tuhan yang mengetahui segala dan adanya hukum karma yang menyusup sampai ke lubuk hati umat Hindu, sehingga mereka berusaha menghindari perbuatan- perbuatan yang dilarang Tuhan yang amat tercela. Bertolak pada norma agama, maka tidak sekedar etika penampilan luar sebagai etiket namun juga dapat menuntun orang untuk berbudhi pekerti yang baik

dan luhur. Selain perbuatan baik dan buruk, etika juga mengajarkan berbuat benar dan salah. Kemampuan untuk memilah dua hal yang berbeda antara benar dan salah, baik dan buruk disebut dengan wiweka (Sura, 1991:34).

3.3 Ngusabha Lampuan dalam Aspek Sosial

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan kepentingan umum (Poerwarminta, 1984 :961). Kehidupan sosial terkait dengan kemasyarakatan,

“masyarakat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan seluas-luasnya sebagai sejumlah manusia yang terikat kebudayaan yang dianggap sama (Tim Penyusun, 2005:635).

Kegiatan tradisi Ngusaba Lampuan memerlukan interaksi sebagai syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.

Interaksi sosial merupakan hubungan- hubungan sosial yang dinamis, yang melibatkan hubungan orang perorangan, antara kelompok dengan kelompok, maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Malinowski menjelaskan solidaritas dan integrasi masyarakat, khususnya masyarakat kecil digerakkan oleh suatu prinsip yang disebut dengan principle of reciprocity, yaitu prinsip pemberian yang menimbulkan kewajiban membalas. Prinsip itulah yang merupakan motivasi aktivitas gotong-royong, tolong- menolong dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk bidang religi dan kepercayaan. Prinsip tersebut berfungsi memelihara solidaritas dan integrasi dalam kehidupan bersama sebagai satu masyarakat (Gillin, dalam Triguna, 1997:38).

Manusia sebagai mahluk sosial, dimanapun keberadaannya tidak terlepas dari kehidupan orang lain. Selalu akan ada

(12)

ketergantungan dalam sistem kehidupan sosial. Keluarga sebagai satuan unit terkecil merupakan tempat pertama manusia berintegrasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Manusia pada hakekatnya merupakan makhluk hidupnya senantiasa memproyeksikan makna ke dalam lingkungan di mana mereka berada.

Sehubungan dengan itu manusia, akan memberi makna kepada benda-benda, kemudian menumbuhkan nilai kepada benda atau bentuk lainnya.

Kecenderungan memberikan nilai tersebut merupakan kegiatan kolektif, yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Hasil pemikiran kelompok masyarakat tersebut selanjutnya dengan hasil berupa konsep akan dipergunakan untuk menata kembali anggota masyarakat yang bersangkutan sebagai nilai budaya.

Nilai sosial dalam sebuah kegiatan keagamaan merupakan curahan dari segala sesuatu yang dianggap bernilai tinggi dalam kehidupan suatu masyarakat, karena nilai tersebut bersifat asbtrak, berada dalam pikiran pada diri manusia, berada dalam alam pikir dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Nilai budaya ini sering juga disebut sebagai suatu adat tata kelakuan yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberikan arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Budaya tersebut mengkristal menjadi suatu nilai sosial kemasyarakatan seperti semangat menjunjung tinggi pranata sosial yang terdapat pada masyarakat Bayung Gede hingga eksis hingga sekarang ini, serta dapat menimbulkan cinta kasih sesama manusia karena menganggap bahwa manusia setelah mati perbuatan baiklah yang mengiringinya

Tradisi Ngusaba Lampuan adalah media untuk berinteraksi terlebih kulkul sebagai media alat komunikasi baik secara niskala maupun secara nyata. Komunikasi secara nyata dilakukan dengan cara berinteraksi kepada orang lain secara kelompok dengan individu, individu dengan individu dan membunyikan kulkul untuk mengumpulkan masyarakat dan memberikan informasi ke masyarakat.

Kulkul dipandang sebagai media komunikasi yang sangat efektif. Bunyi kulkul pun dibunyikan sesuai dengan maksud dan tujuan. Seperti bunyi kulkul pada saat tedun, atau bunyi kulkul pada saat gotong royong. Dengan dibunyikan kulkul maka masyarakat akan mendengar dan mengetahui maksud dari bunyi kulkul tersebut. Interaksi sosial pun akan terjadi dimasyarakat dengan adanya perkumpulan-perkumpulan di masyarakat.

Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain.

Masyarakat yang ada di Bayung Gede juga termasuk makhluk sosial, hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok- kelompok masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Ngusaba Lampuan dan lain sebagainya.

3.4 Religiousitas

Keyakinan umat Desa Pakraman Bayung Gede Terhadap Teradisi Ngusaba Lampuan. Menurut Durkiem (dalam Koentjaraninggrat, 1997; 201-202), menguraikan dasar-dasar religi menjadi lima komponen religi yaitu :

a. Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk berprilaku keagamaan.

b. System kepercayaan atau bayangan- bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya,

(13)

c. Sitem ritu dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan system kepercayaan tersebut,

d. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan social yang menkonsepsikan dan mengaktifkan religi berikut system Upacara- upacara keagamaan

e. Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan Upacara keagamaan.

Kelima komponen dari religi yang telah disebutkan merupakan satu kesatuan yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan, sehingga membentuk suatu system yang berkesinambungan sehingga mampu meberikan pengaruh diantara komponen religi yang dapat menggerakan kegiatan keagamaan bagi setiap umat Hindu yang meyakini dan mempercayai adanya kekuatan-kekuatan diluar kekuatan dasar manusia yang membuat manusia merasa lemah akibat dari keterbatasanya.

Religi mampu meberikan semacam semangat serta dorongan yang kuat akan keinginan untuk menunjukan rasa sembah dan bhakti, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Maha Kuasa, selain itu manusia mempunyai kemampuan yang sangat terbatas, sehingga cobaan-cobaan akan selalu mengujinya yang mengakibatkan ketidak harmonisan di antara ciptaan-ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa baik pada Bhuana Agung maupun Bhuana Alit

Ketidak harmonisan itu ditujunjukan dengan berbagai noda yang menimpanya berupa tanah menjadi gersang, tanaman tidak jadi memberikan hasil, penyakit- penyakit yang berat menimpa manusia dan tumbuh-tumbuhan serta binatang, keadaan menjadi kacau, pemegang kekuasaan melupakan kahyangan atau tempat suci, Bhuta kala menjadi tambah

ganas,banyak mati tidak wajar, system kepemimpinan roboh, air sulit didapat sehingga kekacauan dan kehancuran yang akan dialami oleh manusia di bumi ini.

Adanya system religi tersebut mampu menciptakan daya kreasi serta daya imajinasi yang diwujudkan dalam suatu simbolisasi baik berupa bangunan maupun berbagai Upakara. Menurut Ernst Cassirer (1987) dalam Dharmayuda (1995: 2-3) seluruh kemajuan kebudayaan manusia termasuk kebudayaan religius didasari oleh pemikiran simbolis yang merupakan ciri yang betul-betul khas dan manusiawi. Baginya, manusia bukan hanya animal rational akan tetapi juga animal simbolicum (makhluk yang menggunakan simbol). Melalui karakteristik simbolis inilah manusia menyelubungi diri rapat-rapat dengan bentuk-bentuk bahasa, citra-citra artistik, pralambang mistis atau ibadah agamani.

Simbol tidak dapat diuraikan sebagai tanda semata-mata, tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang berlainan.

Wujud nyata religiusitas dalam pandangan masyarakat Hindu adalah pengakuan terhadap ajaran ketuhanan di dalam Veda dan ajaran agama lain, sebagai satu Tuhan, tidak berbeda, hanya saja orang-orang suci menyebutkan dengan banyak nama, sesuai dengan kekuatan yang dimiliki oleh aspek Tuhan itu. Kaitannya dengan nilai religiusitas dalam pelaksanaan tradisi Ngusaba Lampuan lebih mengarah kepada perasaan batin masyarakat yang telah terpuaskan, kepuasan batin atau tingkat religiusitas seseorang tentunya berbeda dengan yang lainnya. Kepuasan batin masyarakat tergantung pula pada situasi dan kondisi disekitar atau bisa saja getaran yang muncul dari ritual, doa dan ketulusan hati yang dipersembahkan adalah terbaik menurut pemuja, sehingga pelaksanaan

(14)

upacara dalam situasi khidmat. Dari kepuasan batin bisa mencermati religiusitas umat yang melakukan tradisi Ngusaba Lampuan dan melakukan persembahyangan di Pura maka orang tersebut akan mendorong mereka untuk terus melakukan aktivitas keagamaan.

Masyarakat yang ada di Desa Pakraman Bayug Gede memiliki pandangan tersendiri pada tradisi Ngusaba Lampuan yang ada di Desa Pakraman Bayug Gede. Selain wajib, masyarakat juga mempercayai kesakralan dari pada tradisi Ngusaba Lampuan. tradisi Ngusaba Lampuan yang di ikuti oleh anak-anak remaja ini di percaya sebagai proses pedewasaan atau dari bharmacari menuju tangga grehasta asrama. tradisi Ngusaba Lampuan yang dilaksanakan lima tahun sekali maka seluruh insan yang terlibat atau etika pelaksaanya sangat dijunjung tinggi demi menjaga kesakralan dari pelaksanaan tradisi Ngusaba Lampuan. Religius terlihat dari ayam putih tulus sebagai simbolis penggati pemuput upacara, persembahyangan yang tidak memakai bunga dan tercermin dari segala aktifitas ritual upacara tidak menggunakan puja/mantra namun bagaimana orang tersebut memaknai dan melakukanya dengan rasa tulus ikhlas.

Tradisi Ngusaba Lampuan yang ada di Desa Pakraman Bayug Gede memiliki nilai religius yang sangat tinggi guna meningkatkan kepercayaan kepada Sang Pencipta. Selain itu juga dapat meningkatkan nilai-nilai ritual di masyarakat sesuai dengan konsep tiga kerangka dasar agama hindu yakni fisafat, etika, dan ritual.

IV. SIMPULAN

Nilai sosial dalam pelaksanaan tradisi Ngusaba Lampuan memerlukan interaksi social sebagai syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.

Interaksi sosial yang merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang melibatkan hubungan orang perorangan, antara kelompok dengan kelompok, maupun antara orang perorangan dengan kelompok sehingga terjadi suatu komunikasi dan Tradisi Ngusaba Lampuan adalah media untuk berinteraksi dan berkomunikasi terlebih kulkul sebagai media alat komunikasi baik secara niskala maupun secara nyata untuk mencerminkan nilai kepatuhan, kesamaan, kebersamaan dan rasa saling membutuhkan. Aspek religiusitas dalam pelaksanaan tradisi tradisi Ngusaba Lampuan lebih mengarah kepada perasaan batin masyarakat yang telah terpuaskan, kepuasan batin atau tingkat religiusitas seseorang tentunya berbeda dengan yang lainnya. Kepuasan batin masyarakat tergantung pula pada situasi dan kondisi disekitar atau bisa saja getaran yang muncul dari ritual, doa dan ketulusan hati yang dipersembahkan adalah terbaik menurut pemuja, sehingga dalam pelaksanaan tradisi ngusaba lampuan lebih menekankan bagaimana memaknai simbolisasi seperti nilai komunikasi religius terlihat dari ayam putih tulus sebagai simbolis penggati pemuput upacara, persembahyangan yang tidak memakai bunga dan tercermin dari segala aktifitas ritual upacara tidak menggunakan puja/mantra namun bagaimana orang tersebut memaknai dan melakukanya dengan rasa tulus ikhlas.

DAFTAR PUSTAKA

Anandamurti, Shri Shri, 1998. Dasar Moralitas Kehidupan Spiritual, Jakarta : Yayasan Ananda Marga Yoga

Atmadja, I Nengah Bawa, 2004. Kearifan Lokal dan Agama Pasar (makalah) Martikulasi Program S2 Kajian Budaya Universitas

(15)

Udayana Denpasar, Singaraja : IKIP Singaraja

Donder, I Ketut, 2005, Brahmavidya:

Teologi Kasih Semesta.

Surabaya: Paramita

Donder, I Ketut, 2007. Kosmologi, Surabaya : Paramita

Oka, I Gusti Agung, 1992, Slokantara, Jakarta : Hanuman Çakti

Pendit, I Nyoman S., 2002. Bhagavadgita, Jakarta : Gramedia

Puniatmadja, IB. Oka, 1994. Dharma Sastra, Jakarta : Hanuman Sakti Titib, I Made, 1996. Veda : Sabda Suci

Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya : Paramita

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) sikap tentang ketidakpatuhan pajak berpengaruh signifikan terhadap niat berperilaku tidak patuh; (2) norma subyektif berpengaruh

Titrimetri atau -olumetri adalah suatu "ara analisis jumlah yang berdasarkan  pengukuran -olume larutan yang diketahui kepekatan (konsentrasi) se"ara teliti yang direaksikan

[r]

Melalui diskusi dan pengamatan video, peserta didik dapat membuat produk bioteknologi konvensional dalam bidang pangan (tape, yogurt, tempe) dengan disertai teknik pemasaran

Seorang yang salih, yang ada di Jalan yang benar, melihat Sultan Mahmud 2 dalam mimpi dan berkata padanya, “O Raja yang bahagia, bagaimana keadaan dalam Kerajaan Baka?” Sultan

Salah satu kelebihannya yaitu apabila metode ini digunakan oleh seorang guru yang profesional dalam mengajar, serta mengetahui dan benar-benar mengusai

Nurmansyah, (2011 : 184) mengatakan ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan diantaranya : Motivasi, Pendidikan, Disiplin

§ Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang isinya adalah sebagai "Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib