• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu

5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong

Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu usaha penggemukan dan usaha pembibitan. Selanjutnya hasil penelitian akan mengarah secara langsung pada kedua jenis usaha ini. Usaha penggemukan dilakukan oleh masyarakat berjangka waktu rata-rata selama 6 bulan, sedangkan usaha pembibitan dilakukan rata-rata selama 2 tahun. Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha peternakan di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Dalam mengelola usaha peternakan seorang peternak memerlukan sejumlah input yang merupakan biaya produksi.

Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha peternakan ini baik kegiatan penggemukan maupun pembibitan sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Tabel 15 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk usaha penggemukan maupun pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha penggemukan biaya terbesar dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu sebesar 80,56 persen, sedangkan untuk usaha pembibitan biaya terbesar diserap oleh hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Pada usaha penggemukan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor sapi potong selama satu periode penggemukan adalah Rp. 8.895.668, sedangkan pada usaha pembibitan rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode pembibitan untuk satu ekor sapi potong sebesar Rp.6.227.993. Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya proporsi biaya untuk bakalan pada usaha penggemukan adalah mahalnya harga bakalan yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah seperti dari Lampung.

(2)

Tabel 15.Rata-Rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu

Uraian

Usaha Penggemukan Usaha Pembibitan Jumlah

(Rp/Ekor/

6 Bulan)

Proporsi (%)

Jumlah (Rp/Ekor/

2 Tahun)

Proporsi (%)

Penerimaan 12.000.000 8.300.000

Biaya:

1. Bakalan/Bibit 2. Hijauan 3. Ampas Tahu 4. Tenaga Kerja 5. Mineral 6. Obat Cacing

7. Penyusutan Kandang 8. Penyusutan Peralatan 9. Inseminasi Buatan 10. Transportasi (BBM)

Total

7.166.668 600.000 252.000 300.000 50.000 10.000 158.000 170.000 0 189.000 8.895.668

80,56 6,75 2,83 3,37 0,56 0,11 0,78 1,91 0 2,13 100

750.000 2.400.000 504.000 1.200.000 50.000 20.000 316.660 193.333 70.000 724.000 6.227.993

12,04 38,73 8,09 19,07 0,80 0,32 5,08 3,12 1,12 11,63 100

Keuntungan 3.104.332 2.072.007

Proporsi biaya berikutnya pada usaha penggemukan adalah biaya pakan yang terdiri dari hijauan dan ampas tahu sebesar 9,58 persen. Untuk usaha pembibitan biaya berikutnya yang mengambil porsi cukup besar adalah hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Hal ini disebabkan waktu pembibitan yang cukup lama yaitu selama 2 tahun.

Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha penggemukan adalah biaya untuk pembelian obat cacing yaitu hanya sebesar 0,11 persen, hal ini terjadi karena selama periode penggemukan pemberian obat cacing hanya dilakukan sekali dengan harga sebesar Rp.10.000. Hal ini juga terjadi pada usaha pembibitan yang porsinya hanya sebesar 0,32 persen dari total biaya.

Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha penggemukan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pembibitan, dimana usaha penggemukan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 3.104.332 selama 6 bulan. Sedangkan pada usaha pembibitan selama satu periode pembibitan hanya menghasilkan

(3)

keuntungan sebesar Rp. 2.072.007. Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk hijauan, tenaga kerja serta transportasi (BBM) yang harus dikeluarkan pada usaha pembibitan yang jangka waktunya lebih lama. Sedangkan pada usaha penggemukan biaya usaha yang dikeluarkan sebagian besar hanya untuk bakalan.

Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial.

Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha penggemukan dan pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005).

Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor.

Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005).

(4)

Tabel 16. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011

Keterangan Penerimaan

Biaya (Rp/Ekor)

Keuntungan Input

Tradable

Faktor Domestik Usaha Penggemukan

Harga Privat 12.000.000 3.754.033 5.141.635 3.104.332 Harga Sosial 9.313.690 3.709.150 5.068.029 536.511 Dampak

Kebijakan

2.686.310 44.883 73.606 2.567.821 Usaha Pembibitan

Harga Privat 8.300.000 957.021 5.270.972 2.072.007 Harga Sosial 7.008.013 1.049.088 5.158.926 79.999 Dampak

Kebijakan

1.291.987 -92.067 112.046 1.272.008

Hasil analisis pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) dan secara sosial (harga ekonomi) usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan baik secara privat maupun sosial yang bernilai positif.

Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya yang digunakan dalam usaha penggemukan maupun pembibitan dapat dimanfaatkan secara efesien dan dapat bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan pemerintah.

Terjadinya divergensi diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang bersifat distorsif. Apabila kebijakan yang distorsif dapat dihilangkan maka divergensi dapat dihilangkan. Secara teori, kebijakan yang paling efesien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar.

5.1.2. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu

Matrik Analisis Kebijakan (PAM) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan berbagai aktivitas usahatani, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistimatis.

Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, maka digunakan dua pendekatan yaitu

(5)

keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Cost Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR).

Tabel 17. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Indikator Nilai

Penggemukan Pembibitan 1. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) 0,90 0,87

2. Private Cost Ratio (PCR) 0,62 0,72

Tabel 17 menunjukkan nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

5.1.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif

Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki.

Berdasarkan informasi dari Tabel 17, diketahui bahwa nilai PCR untuk usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 0,62 sedangkan untuk usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,72. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,62 untuk usaha penggemukan dan sebesar 0,72

(6)

untuk usaha pembibitan. Nilai PCR usaha pembibitan lebih kecil dibanding usaha penggemukan yang berarti bahwa usaha penggemukan lebih kompetitif dibanding usaha pembibitan. Hal ini disebabkan karena biaya domestik yang harus dikeluarkan untuk usaha pembibitan lebih besar dibanding usaha penggemukan terutama biaya pakan (hijauan), biaya tenaga kerja dan biaya transportasi (BBM).

5.1.2.2.Analisis Keunggulan Komparatif

Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic Resources Cost Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi

Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 17 diketahui bahwa nilai DRC usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 0,90 sedangkan usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,87. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada usaha penggemukan dan pembibitan untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 0,90 dan 0,87 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi potong, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,90. Sedangkan setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi bibit, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,87, sehingga terjadi penghematan devisa. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh oleh Indrayani (2011) nilai DRC usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga di Kabupaten Agam adalah sebesar 0,853.

Nilai DRC yang kurang dari satu juga mengindikasikan bahwa untuk komoditas sapi potong baik berupa daging maupun bibit lebih baik jika diproduksi di dalam negeri dari pada impor. Nilai DRC usaha penggemukan lebih tinggi dibanding usaha pembibitan menunjukkan bahwa untuk memproduksi satu tambahan sapi siap potong membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding

(7)

memproduksi satu tambahan sapi bibit. Keadaan ini juga mengandung arti devisa yang dihemat lebih kecil jika menambah produksi satu nilai tambah output (sapi potong). Nilai DRC pada usaha penggemukan maupun pembibitan lebih besar dari nilai PCR menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan insentif terhadap produsen sapi potong maupun sapi bibit. Diantara kebijakan pemerintah adalah subsidi BBM serta adanya pembatasan jumlah impor sapi potong dan sapi bibit.

5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu

Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditi seperti sapi potong bertujuan untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam dalam negeri. Kebijakan yang dibuat tergantung dari siapa yang dilindungi apakah konsumen atau produsen. Oleh karena itu pemerintah telah memiliki instrument- instrumen kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap input maupun output (Hidayat, 2009). Beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah adalah membatasi kuota impor sapi potong baik sapi siap potong maupun bibit sapi. Tujuannya adalah untuk melindungi produsen sapi potong dalam negeri, tetapi akibatnya harga daging sapi dalam negeri menjadi tinggi dan mengakibatkan konsumen rugi. Hal ini terjadi karena jumlah sapi potong yang seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri sebagian besar masih berada di tangan peternak. Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah ini telah menimbulkan hasil yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah harus melindungi produsen dalam negeri yaitu peternak dan di satu sisi pemerintah juga harus menjamin kebutuhan konsumen dalam negeri.

Dampak kebijakan pemerintah dapat dididentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Divergensi menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan atau kekuatan pasar yang gagal. Besarnya dampak kebijakan tersebut dapat dilihat melalui indikator yaitu Output Transfer

(8)

(OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer, Factor Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).

5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output

Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial.

Jika nilai OT lebih besar dari nol (OT>0) atau positif menunjukkan bahwa ada insentif konsumen terhadap produsen dimana harga yang dibayarkan konsumen kepada produsen lebih tinggi dari seharusnya. Jika nilai OT lebih kecil dari nol (OT<0) atau negatif, artinya tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output sehingga harga yang diterima produsen lebih rendah dari yang seharusnya diterima, sehingga konsumen membeli daging sapi atau sapi bibit dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usaha Penggemukan dan Pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011.

No. Indikator Nilai

Penggemukan Pembibitan

1. Output Transfer (OT) 2.686.310 1.291.310

2. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO)

1,29 1,18

Tabel 18 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) baik untuk usaha penggemukan maupun pembibitan yang bernilai positif menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih tinggi dari harga sosialnya. Ini menunjukkan bahwa konsumen membeli daging sapi potong

(9)

dan bibit sapi di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga internasional. Hal yang sama juga ditemukan oleh Perdana (2003) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung dan Indrayani (2011) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 18 diperoleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,29 sedangkan usaha pembibitan sebesar 1,18. Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu untuk kedua jenis usaha tersebut menerima harga lebih tinggi dari harga dunia (harga internasional).

Harga Sapi Potong domestik di lokasi penelitian berkisar Rp.30.000 per kilogram berat hidup, sedangkan sapi impor hanya berkisar antara Rp.24.000 sampai dengan Rp.26.000 per kilogram berat hidup. Keadaan ini menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan produsen (peternak) dalam negeri.

5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input

Kebijakan pemerintah bukan hanya berlaku untuk output tapi juga mengenai kebijakan input. Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar peternak sebagai pengguna input dapat menekan biaya produksinya.

Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input dapat dilihat melalui nilai Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).

(10)

Tabel 19. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No Indikator Nilai

Penggemukan Pembibitan

1. Input Transfer (IT) 44.883 (92.067)

2. Factor Transfer (FT) 73.606 112.046

3. Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)

1,01 0,91

Ket: (Negatif)

Indikator yang digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input tradable dipasar adalah Input Transfer (IT). Jika Transfer Input lebih besar dari nol (IT>0) atau bernilai positif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah berupa pajak yang akan mengurangi tingkat keuntungan peternak artinya produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya jika Transfer Input lebih kecil dari nol (IT<0) atau bernilai negatif, artinya ada subsidi pemerintah terhadap input tersebut sehingga peternak tidak membayar penuh sesuai dengan harga yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen, dalam hal ini peternak sapi ppotong.

Tabel 19 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input untuk usaha penggemukan adalah sebesar Rp 44.883 sedangkan untuk usaha pembibitan minus sebesar Rp 92.067 Nilai Input Transfer (IT) usaha penggemukan bernilai positif, mengandung arti bahwa terdapat pajak yang menyebabkan keuntungan peternak berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak dan retribusi pada input tradable seperti sehingga harga privat untuk beberapa input seperiti sapi bakalan, obat-obatan dan mineral lebih tinggi dari harga sosialnya. Walaupun ada subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), tapi jumlahnya relatif lebih kecil.

Nilai Input Transfer (IT) usaha pembibitan bernilai negatif mengindikasikan bahwa terdapat subsidi sehingga menyebabkan peternak menerima harga yang lebih rendah dari harga sosialnya. Subsidi terdapat pada Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan salah satu input tradable yang porsinya cukup signifikan pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

(11)

Penilaian kebijakan pemerintah terhadap input domestik (non tradable) seperti bibit, tenaga kerja, penyusutan alat dapat dilihat dari indikator Factor Transfer (FT). Factor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif

Tabel 19 menunjukkan bahwa Factor Transfer (FT) untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu bernilai positif, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak di Kabupaten Indragiri Hulu pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga input non tradable pada harga sosialnya. Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp 73.606. Disisi lain nilai Factor Transfer (FT) pada usaha penggemukan bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak pada tingkat harga privat lebih tinggi yaitu sebesar Rp112.046 daripada biaya input pada tingkat harga sosialnya.

Artinya ada implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada peternak sehingga peternak menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari yang seharusnya (harga internasional).

Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 19, nilai NPCI untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebesar 1,01, hal ini menunjukkan bahwa biaya input privat lebih tinggi 1 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga dunia). Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan susidi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif.

Kondisi yang berbeda terjadi pada usaha pembibitan dengan nilai NPCI sebesar 0,91 yang mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI kurang dari satu, namun nilainya relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana

(12)

harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu input yang disubsidi adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dimana harga subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk bensin adalah Rp.4.500 per liter sedangkan harga di lokasi penelitian Rp.6.000.

5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output merupakan gabungan dari kebijakan input dan kebijakan input. Dampak kebijakan terhadap input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih atau Net Transfer (NT), Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP). Indikator-indikator ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.

Tabel 20 menyajikan nilai dari masing-masing indikator kebijakan pemerintah terhadap input-output.

Tabel 20. Nilai Indikator Kebijakan Input-Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Indikator Nilai

Penggemukan Pembibitan 1. Effective Protection Coefficient (EPC) 1,47 1,23

2. Net Transfer (NT) 2.567.821 1.272.008

3. Profitability Coefficient gan (PC) 5,79 2,59 4. Subsidy Ratio to Producer (SRP). 0,28 0,18

Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC>1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi.

(13)

Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai Effective Protection Coefficient (EPC) lebih dari satu baik pada usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong menunjukkan adanya perlindungan atau proteksi oleh pemerintah terhadap peternak. Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan oleh perbedaan harga jual harga sapi hidup yang berasal dari impor dengan harga aktual yang diterima peternak, baik kategori sapi potong maupun sapi bibit. Hal ini diduga karena pemerintah memberikan perlindungan terhadap peternak sapi lokal dengan memanfaatkan istrumen non-tariff, seperti ASUH dan SPS. Disamping itu juga adanya subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).

Indikator yang mampu menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen (peternak sapi potong) adalah nilai Net Transfer (NT). Nilai transfer bersih (NT) yang diterima oleh peternak pada usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong sama-sama bernilai positif. Artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih besar dari transfer yang diberikan kepada konsumen.

Profitability Coefficient (PC) mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntung privat. Profitability Coefficient (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan input domestik. Tabel 20 memperlihatkan nilai PC besar dari satu (PC>1) yaitu sebesar 5,79 pada usaha penggemukan dan 2,59 pada usaha pembibitan. Angka ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak lebih besar dari harga sosialnya. Penerimaan pada usaha penggemukan lebih besar dari penerimaan usaha pembibitan, hal ini dikarenakan harga daging sapi dalam negeri jauh lebih tinggi dibanding harga sapi impor.

Nilai Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 20 menunjukkan SRP bernilai positif sebesar 0,28 pada usaha penggemukan dan sebesar 0,18 pada usaha pembibitan sapi potong. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan peternak di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 28 persen dan 18 persen dari opportunity cost untuk produksi pada usaha penggemukan dan pembibitan.

(14)

Keadaan ini jauh lebih baik dari usaha penggemukan di Kabupaten Agam Sumatera Barat yang dilakukan oleh Indrayani (2011) dimana nilai SRP untuk usaha penggemukan di daerah tersebut hanya sebesar 7,6 persen. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah seperti dengan mengurangi kuota impor sapi potong dan sapi bibit telah berjalan efektif.

Berdasarkan dampak pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input output menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sudah mulai menunjukkan keberpihakan terhadap peternak sapi potong walaupun belum signifikan. Hal ini sejalan dengan program swasembada daging 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah. Program swasembada daging tidak beroientasi semata-mata pada pemenuhan kebutuhan konsumen tetapi juga diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak dan kesinambungan usaha peternakan sapi serta meningkatkan daya saing produksi sehingga akhirnya akan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor.

5.1.4. Analisis Sensitivitas terhadap Daya saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu

Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah analisis yang dilakukan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan karena analisis dalam metode PAM merupakan analisis yang bersifat statis. Analisisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kepekaan efisisensi dalam pengusahaan penggemukan dan pembibitan sapi potong terhadap perubahan pada input maupun output yang berpengaruh pada produksi ternak. Analisis sensititvitas yang akan dilakukan mencakup 3 skenario yaitu perubahan harga output, perubahan harga bahan bakar (BBM) dan penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit. Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit seperti pelepah sawit yang telah diolah dengan teknologi mesin menyebabkan kenaikan ADG (Average Daily Gain) sapi potong. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus).

Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 21.

(15)

Tabel 21. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

Skenario

Keuntungan Usaha Penggemukan

Keuntungan Usaha Pembibitan Privat Sosial Privat Sosial Kondisi Normal 3.104.332 536.511 2.072.007 799.999 Penghapusan Tarif Bea

Masuk 5 persen 3.104.332 (226.920) 2.072.007 515.136 Harga BBM naik 15 persen 3.075.982 536.511 1.963.407 799.999 Penggunaan pakan dari

limbah sawit 3.284.332 716.511 2.792.007 1.351.999 Gabungan penghapusan tarif

5 persen dengan penggunaan pakan dari limbah sawit

3.284.332 (46.920) 2.792.007 1.067.136

Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila tarif bea masuk sapi potong sebesar 5 persen dihapuskan, menyebabkan menurun bahkan negatif. Nilai negatif mengindikasikan bahwa peternak mengalami kerugian jika ditingkat harga sosial pada usaha penggemukan sedangkan pada usaha pembibitan tetap mengalami keuntungan walaupun terjadi penurunan. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen maka keuntungan yang diperoleh oleh peternak juga mengalami penurunan walaupun. Jika pakan dari pelepah sawit yang diolah ditambahkan maka untuk usaha penggemukan dan pembibitan bisa menghemat biaya pakan hijauan sebesar 30 persen (Mathius, 2008). Dengan adanya penghematan biaya pada pakan maka keuntungan yang diterima oleh peternak meningkat. Apabila terjadi penghapusan tarif bea masuk 5 persen bersamaan dengan penggunaan pakan dari limbah sawit (pelepah) maka keuntungan privat usaha penggemukan masih positif sedangkan keuntungan sosial menjadi negatif atau merugi. Pada usaha pembibitan, baik keuntungan privat maupun sosial masih tetap positif.

(16)

Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing usaha penggemukan maupun pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu apabila terjadi perubahan harga output maupun input. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 22

Tabel 22. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Skenario

Indikator Daya Saing Penggemukan Pembibitan

DRC PCR DRC PCR

1 Kondisi Normal 0,90 0,62 0,87 0,72

2 Penghapusan Tarif Bea Masuk 5

persen 1,05 0,62 0,91 0,72

3 Harga BBM naik 15 persen 0,90 0,63 0,87 0,73 4. Penggunaan pakan dari limbah

sawit 0,87 0,60 0,77 0,62

5. Gabungan penghapusan tarif 5 persen dengan penggunaan pakan dari limbah sawit

1,01 0,60 0,81 0,62

Tabel 22 menunjukkan bahwa kondisi yang sangat merugikan bagi peternak baik pada usaha penggemukan maupun pembibitan adalah adanya penghapusan tarif impor sapi potong sebesar 5 persen. Nilai DRC maupun PCR pada kedua jenis usaha juga mengalami kenaikan. Kenaikan nilai DRC menjadi 1,05 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan menjadikan usaha penggemukan tidak memiliki keunggulan komparatif lagi. Artinya, komoditas sapi potong tidak lagi efesien jika dilakukan di dalam negeri. Nilai PCR juga mengalami kenaikan walaupun nilainya masih di bawah satu, tetapi hal ini menyebabkan keunggulan kompetitif juga mengalami penurunan dari kondisi awal.

Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen menyebabkan nilai PCR mengalami kenaikan sebesar 1 persen. Walaupun hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap daya saing secara keseluruhan tetapi keuntungan privat peternak juga

(17)

mengalami penurunan. Kondisi ini tetap saja tidak berdampak baik terhadap usaha peternakan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu.

Penggunaan pakan tambahan dari limbah kelapa sawit menyebabkan daya saing usaha penggemukan maupun usaha pembibitan meningkat. Nilai DRC pada usaha penggemukan turun sebesar 0,03, sedangkan pada usaha pembibitan turun sebesar 0,1 demikian juga halnya dengan nilai PCR menjadi turun yang mengindikasikan naiknya penerimaan.

Apabila penghapusan tarif bea masuk sebesar 5 persen dilakukan bersamaan dengan penggunaan pakan limbah sawit, maka daya saing usaha penggemukan menjadi meningkat dari pada kondisi jika terjadi penghapusan tarif bea masuk saja walaupun nilai DRC masih lebih besar dari satu. Sedangkan pada usaha pembibitan, nilai DRC menjadi lebih kecil yaitu menjadi 0,81 yang mengindikasikan daya saingnya meningkat dari kondisi normal yaitu sebesar 0,87.

Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan pakan dari limbah sawit cukup efektif dalam usaha meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu khususnya pada usaha pembibitan. Jika terjadi penghapusan tarif bea masuk maka salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam mempertahankan daya saing adalah memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan pakan dari limbah sawit.

Berikut ini juga dilakukan simulasi terhadap output maupun input yang menyebabkan kedua usaha baik penggemukan dan pembibitan dalam kondisi tidak berdaya saing.

Tabel 23. Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri Hulu

No Jenis Usaha Skenario PCR DRC

1. Penggemukan Harga output turun 6 persen 0,68 1,00 Harga Bakalan naik 8 persen 0,68 1,01 2. Pembibitan Harga output turun 11,5 persen 0,83 1,00 Biaya hijauan naik 37 persen 0,72 1,00 Dari Tabel 23 di atas bisa disimpulkan bahwa usaha penggemukan lebih sensitif terhadap penurunan harga output dibandingkan dengan usaha pembibitan.

Hal ini bisa terlihat dari hasil simulasi, dimana pada usaha pembibitan sapi

(18)

potong, penurunan harga sapi potong sebesar 6 persen menyebabkan usaha tersebut tidak memiliki daya saing komparatif lagi. Sedangkan pada usaha pembibitan, penurunan harga output sampai 11,5 persen yang menyebabkan usaha tersebut kehilangan daya saingnya.

Pada usaha penggemukan, sebesar 80,56 persen dari total biaya input dialokasikan untuk bakalan. Jika terjadi kenaikan harga bakalan minimal sebesar 8 persen maka usaha penggemukan tidak memiliki daya saing lagi, hal ini terlihat dari nilai DRC sebesar 1,01 (DRC>1). Pada usaha pembibitan biaya input yang pengaruhnya cukup signifikan terhadap keseluruhan struktur biaya input adalah biaya hijauan sebesar 38,73 persen. Jika terjadi kenaikan biaya untuk menghasilkan hijauan sebesar 37 persen maka usaha pembibitan tidak berdaya saing lagi karena nilai DRCnya lebih besar dari satu

5.1.5. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam usaha peternakan sapi potong masih belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap peternak. Usaha peternakan sapi potong hanya akan berkembang dan berdaya saing jika didukung dengan kebijakan yang kondusif. Berdasarkan hasil analisis PAM dan analisis sensitivitas yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa usaha peternakan yang dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif.

Walaupun demikian, pemerintah sebaiknya juga harus tetap membuat kebijakan- kebijakan yang lebih memihak pada peternak, karena usaha ini cukup sensitif terhadap perubahan pada output maupun inputnya. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan adalah mengurangi kuota impor daging sapi untuk mengatasi masalah harga output di dalam negeri. Sedangkan kebijakan dari segi input adalah dengan membantu memfasilitasi teknologi pengolahan pakan ternak untuk mengurangi biaya produksi khususnya pakan. Disamping itu pemerintah juga harus terus mendorong peternak untuk meningkatkan produksinya sehingga secara perlahan- lahan ketergantungan terhadap sapi maupun daging impor bisa dikurangi.

Salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mensukseskan program swasembada daging sapi di Indonesia adalah program

(19)

integrasi tanaman ternak. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang berkomitmen menjalankan program integrasi tanaman ternak, khususnya tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit. Di beberapa daerah di Provinsi Riau seperti Kabupaten Siak, program ini sudah berjalan tetapi di Kabupaten Indragiri Hulu sendiri program ini belum dijalankan oleh peternak. Hal ini terkait dengan ketersediaan teknologi pengolahan pakan dari kelapa sawit. Kondisi ini seharusnya menjadi bagian dari kebijakan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menopang potensi peternakan yang cukup besar khususnya di Kabupaten Indragiri Hulu.

Disamping kebijakan terkait pakan, pemerintah juga harus mengoptimalkan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi 2014. Dari hasil analisis, usaha pembibitan pada dasarnya kurang memberikan keuntungan pada peternak, tetapi usaha pembibitan memberi jaminan jangka panjang pada ketersediaan daging sapi di dalam negeri.

Untuk itu pemerintah harus selalu mendorong masyarakat untuk terus melanjutkan usaha ini dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat khususnya peternak.

5.2. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu

5.2.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin

Usaha budidaya ikan patin yang dilakukan oleh masayarakat Indragiri Hulu yang akan dibahas di sini adalah usaha budidaya berupa pembesaran di kolam.

Usaha yang akan dianalisis dibedakan menjadi dua kelompok khusus yaitu budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan komersial (pelet) dan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif. Pakan alternatif yang dimaksud disini adalah yang diusahakan sendiri oleh petani pembudidaya seperti usus ayam, keong yang dicampur dengan daun pepaya dan lain sebagainya. Usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet dilakukan rata-rata selama 8 bulan per kali panen, sedangkan usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata masa budidayanya selama 9 bulan. Luas kolam rata-rata yang digunakan pada usaha budidaya pakan pelet adalah 520 meter persegi sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif adalah 671 meter persegi. Untuk

(20)

mendapatkan hasil yang tidak bias maka luas lahan yang dijadikan analisis dikonversi menjadi 500 meter persegi.

Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM).

Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya patin ini sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Pada Tabel 24 disajikan rata-rata penerimaan dan komponen biaya usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu per 500 meter persegi. Jumlah produksi bersih untuk usaha budidaya dengan menggunakan pakan pelet sebesar 1.794 kg, sedangkan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 2.410,5 kg. Perbedaan jumlah produksi ini terjadi karena perbedaan jangka waktu budidaya, dimana usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih lama dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet.

Tabel 24. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Konversi 500 M2

Uraian

Pakan Pelet Pakan Alternatif Jumlah (Rp)

Per 8 Bulan

Porsi (%) Jumlah (Rp) Per 9 Bulan

Porsi (%)

Penerimaan 28.704.000 38.568.000

Biaya 1. Benih 2. Pelet

3. Pakan Alternatif 4. Tenaga Kerja 5. Obat-obatan 6. Kapur 7. Garam 8. Urea

9. Pemeliharaan Kolam 10. Serok

11. Ember

12. Peralatan lain-lain Total

2.040.000 16.200.000 125.000 2.800.000 91.500 60.000 25.000 80.000 225.000 50.000 20.000 83.333 21.798.233

9,36 74,32 0,57 12,85 0,42 0,28 0,11 0,37 1,03 0,23 0,09 0,38 100

1.735.989 3.524.568 2.648.572 5.400.000 84.535 60.000 25.000 85.714 271.429 50.000 20.000 40.000 13.944.093

12,45 25,28 18,99 38,73 0,61 0,43 0,18 0,61 1,95 0,36 0,14 0,29 100

Keuntungan 6.905.767 24.623.907

(21)

Tabel 24 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan pada usaha budidaya ikan patin baik yang menggunakan sebagian besar pakan pelet maupun sebagian besar pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha budidaya dengan pakan pelet biaya terbesar dialokasikan untuk pakan itu sendiri yaitu sebesar 74,32 persen, sedangkan untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan alternatif biaya terbesar diserap oleh tenaga kerja yaitu sebesar 38,73 persen. Untuk usaha budidaya dengan pakan pelet rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budidaya adalah Rp. 21.798.233, sedangkan pada usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budiaya (pembesaran) sebesar Rp. 13.944.093. Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya biaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah karena besarnya jumlah pakan yang harus disediakan selama satu kali periode pembesaran serta harga pakan yang tergolong mahal yaitu sebesar Rp.300.000 per karung (40 Kg).

Sedangkan pada budidaya dengan pakan alternatif, biaya pakan untuk pelet bisa dihemat hampir 50 persen.

Proporsi biaya berikutnya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah tenaga kerja yaitu sebesar 12,85 persen. Untuk budidaya dengan pakan alternatif biaya berikutnya sebesar 25,28 persen digunakan untuk biaya pakan pelet.

Budidaya dengan pakan alternatif rata-rata hanya menggunakan pelet sebagai pakan pada 3 bulan pertama periode pembesaran, sisanya menggunakan pakan alternatif seperti usus ayam, campuran keong dan daun pepaya yang biayanya relatif jauh lebih murah. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha baik pada budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif adalah biaya peralatan ember yaitu hanya sebesar 0,09 persen dan 0,14 persen.

Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha dengan pakan altrnatif jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet, dimana usaha dengan pakan altrnatif menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 24.623.907 selama satu periode pembesaran. Sedangkan pada usaha dengan pakan pelet selama satu periode budidaya hanya menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 6.905.767.

Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk pakan pada usaha budidaya dengan pakan pelet yang mencapai hampir 75 persen dari total biaya. Disamping itu budidaya dengan pakan pelet

(22)

hanya dilakukan rata-rata selama 8 bulan sedangkan usaha dengan pakan alternatif rata-rata 9 bulan sehingga hasil produksi budidaya dengan pakan alternatif relatif lebih besar.

Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial.

Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005).

Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor.

Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005). Tabel 25 adalah Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) dari usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indaragiri Hulu baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif

(23)

Tabel 25. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

Keterangan Penerimaan Biaya (Rp/500 m2) Keuntungan Input

Tradable

Faktor Domestik Budidaya Pakan Pelet

Harga Privat 28.704.000 15.068.960 6.729.273 6.905.767 Harga Sosial 17.901.160 11.966.454 6.294.403 -524.498 Dampak

Kebijakan

10.802.840 3.072.506 434.870 7.430.265 Budidaya Pakan Alternatif

Harga Privat 38.568.000 3.353.214 10.590.878 24.623.908 Harga Sosial 24.052.813 2.553.155 10.161.219 11.157.314 Dampak

Kebijakan

14.515.187 800.059 429.659 13.466.594

Hasil analisis pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) usaha budidaya ikan patin baik dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan secara privat untuk kedua jenis usaha budidaya yang bernilai positif.

Sedangkan hasil analisis pada tingkat harga sosial menunjukkan bahwa usaha dengan pakan pelet tidak menguntungkan sebaliknya pada usaha dengan pakan alternatif masih tetap menguntungkan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sumberdaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet belum efektif serta belum bisa bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan dari pemerintah.

5.2.2. Analisis Daya Saing Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, digunakan dua pendekatan yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator rasio biaya privat atau Private Cost Ratio (PCR).

(24)

Tabel 26. Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Indikator

Nilai

Pakan Pelet Pakan Alternatif 1. Domestic Resources Ratio (DRC) 1,07 0,47

2. Private Cost Ratio (PCR) 0,49 0,30

Tabel 26 menunjukkan nilai Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

5.2.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif

Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial.

Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki.

Tabel 26 meunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet adalah sebesar 0,49 sedangkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet sebesar 0,30. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,49 untuk budidaya dengan pakan pelet dan sebesar 0,30 untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif. Nilai PCR usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih kecil dibanding usaha budidaya dengan pakan pelet, hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih kompetitif dibanding dengan budidaya dengan pakan pelet. Hal ini disebabkan karena biaya tradable yang harus dikeluarkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet lebih

(25)

besar lebih besar dibanding budidaya dengan pakan alternatif terutama untuk biaya pakan berupa pelet itu sendiri.

5.2.2.2.Analisis Keunggulan Komparatif

Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic Resources Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi

Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 26 diketahui bahwa nilai DRC usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,07 sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif sebesar 0,47. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada usaha budidaya pakan pelet dan pakan alternatif untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 1,07 dan 0,47 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor patin, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu membutuhkan biaya US$1,07 jika budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagian besar pakan berupa pelet. Artinya, pada kondisi ini ikan patin lebih baik diimpor dibandingkan diproduksi di dalam negeri dalam rangka penghematan sumberdaya domestik. Dengan kata lain usaha budidaya dengan menggunakan sebagian pakan pelet tidak mempunyai keunggulan komparatif. Sedangkan jika usaha budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagaian besar pakan alternatif hanya membutuhkan biaya US$0,47. sehingga lebih baik diproduksi sendiri di dalam negeri dan bisa dilakukan penghematan devisa. Untuk melindungi produsen patin dalam negeri sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan diantaranya menghapuskan pajak impor bahan baku pakan. Sejak awal tahun 2012 pemerintah telah melarang impor patin dari Vietnam untuk melindungi produsen serta mendorong produksi dalam negeri.

Hasil analisis pada Tabel 26 juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai PCR dan nilai DRC usaha budidaya dengan

(26)

sebagian besar pakan pelet. Dimana nilai PCR sebesar 0,47 sedangkan nilai DRC sebesar 1,07, hal ini terjadi karena harga ikan patin di pasar internasional jauh di bawah harga di lokasi penelitian. Pada tahun 2011 harga rata-rata ikan patin di pasar dunia hanya sekitar US$ 1.00 atau hanya sekitar Rp 9.000 sedangkan harga ikan patin di lokasi penelitian rata-rata sebesar Rp 16.000. Disamping itu struktur biaya produksi tidak efesien khususnya input pakan, dimana sebagian besar pakan yang digunakan adalah pakan komersial (pelet) yang harganya cukup tinggi.

Harga pakan ikan di lokasi penelitian berkisar antara Rp 7.500 sampai dengan Rp 10.000 per kilogram, sedangkan harga pakan ikan di negara penghasil utama ikan patin (Vietnam) hanya sekitar Rp 3.000 sampai dengan Rp 5.000 per kilogram.

5.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu

Dampak kebijakan pemerintah dapat diiidentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Analisis dampak kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap beberapa hal yaitu: kebijakan yang memengaruhi harga input, kebijakan yang memengaruhi harga output, serta kebijakan yang memengaruhi baik harga input maupun output.

5.2.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output

Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output atau Output Transfer (OT) dan nilai Koefisien Proteksi Output Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output atau Output Transfer (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial.

Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 27.

(27)

Tabel 27. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011.

No. Indikator

Nilai

Pakan Pelet Pakan Alternatif 1. Output Transfer (OT) 10.802.840 14.515.187 2. Nominal Protection Coefficient on

Output (NPCO)

1,62 1,62

Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) baik untuk usaha budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif bernilai positif. Hal ini menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih tinggi dari harga sosialnya. Artinya, bahwa konsumen membeli ikan patin di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga internasional.

Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 27 diperoleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha budidaya ikan patin baik untuk budidaya pakan pelet maupun pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu sama yaitu sebesar 1,62. Hasil ini menunjukkan bahwa petani pembudidaya patin di Kabupaten Indragiri Hulu untuk kedua jenis usaha tersebut menerima harga lebih tinggi dari harga dunia (harga internasional). Harga patin segar ditingkat petani di lokasi penelitian berkisar antara Rp.15.000 sampai dengan Rp.17.000 per kilogram, sedangkan harga fillet patin impor hanya berkisar antara Rp.24.000 sampai dengan Rp.25.000 per kilogram atau hanya berkisar antara Rp.8.000 sampai dengan Rp.9.000 per kilogram patin segar. Keadaan ini menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan produsen (petani patin) dalam negeri.

(28)

5.2.3.2.Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input

Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input dapat dilihat melalui nilai Transfer Input atau Input Transfer (IT), Transfer Faktor atau Factor Transfer (FT) dan Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).

Tabel 28. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Indikator

Nilai Pakan

Pelet

Pakan Alternatif

1. Input Transfer (IT) 3.072.506 800.059

2. Factor Transfer (FT) 434.870 429.659

3. Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)

1,26 1,31

Tabel 28 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input untuk usaha budidaya patin dengan pakan pelet adalah sebesar Rp.3.072.506. Sedangkan untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif hanya sebesar Rp. 800.059. Nilai Input Transfer (IT) untuk kedua jenis usaha yang bernilai positif mengandung arti bahwa terdapat pajak yang menyebabkan keuntungan petani pembudidaya berkurang. Salah satu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap input tradable yaitu PPN pada pakan pelet.

Factor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor- faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif. Tabel 28 menunjukkan bahwa Factor Transfer (FT) untuk usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu bernilai positif, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh petani pembudidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu pada harga privat lebih besar dibanding dengan

(29)

harga input non tradable pada harga sosialnya. Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp.434.870 pada usaha budidaya dengan pakan pelet dan Rp.429.659 pada budidaya dengan pakan alternatif.

Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 28, nilai NPCI untuk usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebesar 1,26 untuk budidaya dengan pakan pelet dan 1,31 untuk usaha dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa biaya input privat rata-rata lebih tinggi 30 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga dunia). Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan susidi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif.

5.2.3.3.Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output

Dampak kebijakan terhadap input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih atau Net Transfer (NT), Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP). Indikator- indikator ini menggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Tabel 29 menyajikan nilai dari masing-masing indikator kebijakan pemerintah terhadap input-output.

Tabel 29. Nilai Indikator Kebijakan Input-Output Usaha Budiaya Ikan Patin Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.]

No. Indikator

Nilai

Pakan Pelet Pakan Alternatif 1. Effective Protection Coefficient (EPC) 2,31 1,64

2. Net Transfer (NT) 7.295.464 13.285.469

3. Profitability Coefficient (PC) -17,72 2,17 4. Subsidy Ratio to Producer (SRP). 0,41 0,55

(30)

Nilai EPC menggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC>1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi.

Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai koefisien proteksi efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC) lebih dari satu baik pada usaha budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif menunjukkan adanya perlindungan atau proteksi oleh pemerintah terhadap petani. Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan oleh perbedaan harga jual patin impor dengan patin yang diproduksi di dalam negeri. Disamping itu juga adanya subsidi terhadap input tradable seperti pupuk Urea.

Nilai transfer bersih atau Net Transfer (NT) yang diterima oleh petani pada usaha budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif juga sama- sama bernilai positif. Artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih besar dari transfer yang diberikan kepada konsumen.

Koefisien profitabilitas atau Profitability Coefficient (PC) mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntung privat. Koefisien profitabilitas (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan input domestik. Tabel 29 memperlihatkan nilai PC sebesar minus 17,72 pada usaha budidaya dengan pakan pelet. Angka ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh petani pembudidaya dengan pakan pelet lebih besar dari harga sosialnya. Nilai PC yang minus terjadi karena harga patin ditingkat dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga patin di dalam negeri. Nilai PC untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih besar dari satu yaitu sebesar 2,17. Hal ini juga menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima petani pembudidaya patin juga lebih tinggi dari harga sosialnya.

Nilai rasio subsidi bagi produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan

(31)

pemerintah. Nilai SRP pada budidaya dengan pakan pelet positif sebesar 0,41 sedangkan pada budidaya dengan pakan alternatif sebesar 0,55. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini petani pembudidaya patin di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 41 persen dan 51 persen dari opportunity cost untuk produksi pada budidaya dengan pakan pelet dan pakan alternatif. Jadi secara keseluruhan kebijakan pemerintah menguntungkan petani pembudidaya ikan patin.

5.2.4. Analisis Sensitivitas Terhadap Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu

Berbagai perubahan pada kebijakan pemerintah atau faktor eksternal lainnya akan menyebabkan perubahan pada struktur biaya maupun keuntungan yang akan diterima oleh petani. Analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat perubahan-perubahan tersebut. Matriks analisis kebijakan (PAM) mempunyai keterbatasan yaitu merupakan analisis yang bersifat statis sehingga memerlukan simulasi kebijakan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di dalam sistem perekonomian yang dinamis. Analisis sensitivitas yang dilakukan meliputi penurunan harga output (ikan patin) serta penghapusan PPN pakan.

Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan 3 skenario yang mencakup penurunan harga output sebesar 25 persen, penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen dan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 5,5 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus). Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan harga output ikan patin sebesar 25 persen, menyebabkan petani pembudidaya ikan patin yang menggunakan pakan pelet menjadi merugi sebesar Rp.270.233. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan ikan patin dengan menggunakan pakan pelet sangat sensitif terhadap perubahan harga. Sedangkan apabila terjadi penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen, menyebabkan keuntungan budidaya dengan pakan pelet meningkat sebesar 24 persen. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi

(32)

maka keuntungan sosial akan meningkat baik pada usaha dengan budidaya pelet maupun budidaya dengan pakan alternatif.

Tabe 30. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

Skenario

Keuntungan dengan Pakan Pelet

Keuntungan dengan Pakan Alternatif Privat Sosial Privat Sosial Kondisi Normal 6.905.767 (389.697) 24.623.908 11.338.439 Harga output turun 25

persen (270.233) (389.697) 14.981.907 11.338.439 Penghapusan PPN

Pakan 10 persen 8.525.767 (389.697) 24.976.364 11.338.439 Depresiasi rupiah

sebesar 5,5 persen 6.905.767 586.288 24.623.908 12.335.941 Kondisi berbeda ditunjukkan oleh usaha budidaya ikan patin dengan pakan alternatif. Jika terjadi penurunan harga ikan patin sebesar 25 persen, keuntungan privat yang diterima petani masih cukup besar walaupun terjadi penurunan dari harga normal. Sedangkan jika terjadi penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen, hal ini tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan keuntungan privat petani karena penggunaan input pelet jumlahnya sedikit. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,5 persen maka keuntungan sosial budidaya dengan pakan pelet menjadi positif, sedangkan keuntungan usaha budidaya dengan pakan alternatif meningkat sebesar 8,8 persen.

Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing usaha budidaya ikan patin apabila terjadi perubahan harga output maupun input.

Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 31.

(33)

Tabel 31. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.

No. Skenario

Indikator Daya Saing

Pakan Pelet Pakan Alternatif

DRC PCR DRC PCR

1 Kondisi Normal 1,09 0,49 0,48 0,30

2 Harga output turun 25

persen 1,09 1,04 0,48 0,41

3 Penghapusan PPN pakan

10 persen 1,09 0,44 0,48 0,30

4. Depresiasi rupiah sebesar

5,5 persen 0,92 0,49 0,45 0,30

Tabel 31 menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan petani pembudidaya ikan patin pada kondisi tidak berdaya saing dan paling sensitif terhadap perubahan daya saing adalah ketika harga ikan patin turun sebesar 25 persen. Penurunan harga output 25 persen menyebabkan nilai PCR menjadi lebih besar, yang artinya keungulan kompetitif semakin menurun baik pada usaha budidaya dengan pelet saja maupun dengan pakan alternatif. Sedangkan penghapusan PPN pakan menyebabkan keunggulan kompetitif meningkat tetapi tidak cukup signifikan karena penurunan nilai PCR untuk kedua jenis usaha tidak terlalu besar. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,5% maka nilai DRC kedua jenis usaha mengalami penurunan dengan kata lain daya saingnya meningkat

Berikut ini juga dilakukan simulasi terhadap output maupun input yang menyebabkan usaha budidaya menggunakan sebagian besar pakan pelet dan sebagian pakan alternatif tidak berdaya saing. Simulasi afirmatif terhadap usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 32.

(34)

Tabel 32. Simulasi Afirmatif Usaha Budiaya Ikan Patin Di Kabupaten Indragiri Hulu

No Jenis Usaha Skenario PCR DRC

1 Pakan Pelet Kondisi Normal 0,49 1,09

Harga patin di pasar internasional

naik sebesar 2,5 persen 0,49 0,99 Harga pakan pelet turun sebesar 3,5

persen 0,47 0,99

2. Pakan Alternatif

Kondisi Normal 0,48 0,30

Harga patin di pasar internasional

turun sebesar 47 persen 0,49 1,00 Harga patin di lokasi penelitian turun

sebesar 64 persen 1,00 1,00

Biaya input total naik sebesar 88

persen 0,62 1,00

Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi normal usaha usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet komersial pada kondisi normal tidak memiliki daya saing. Penurunan harga ikan patin di pasar internasional minimal sebesar 2,5 persen bisa meningkatkan daya saing usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet, ini terlihat dari nilai DRC menjadi 0,99.

Peningkatan daya saing juga bisa terjadi pada kondisi harga pakan pelet turun minimal sebesar 3,5 persen. Jadi bisa disimpulkan bahwa usaha daya saing usaha budidaya yang menggunakan pakan pelet komersial sangat tergantung pada harga patin di pasar dunia dan harga input pakan.

Kondisi yang jauh berbeda terjadi pada usaha budidaya dengan menggunakan sebagian besar pakan alternatif, dimana usaha tersebut memiliki daya saing yang cukup tinggi. Kondisi yang menyebabkan usaha ini tidak berdaya saing hanya apabila terjadi penurunan harga ikan patin di pasar internasional sebesar 47 persen atau penurunan harga di pasar lokal sebesar 64 persen. Kondisi lainnla jika terjadi peningkatan biaya input sebesar 88 persen, karena penggunaan input pada usaha ini pada kondisi normal sangat efesien terutama biaya pakan.

Referensi

Dokumen terkait

Ruang terbuka hijau aktif memiliki peran yang sangat penting dalam lingkungan perkotaan dan merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, dimana memiliki

Laporan Laba Rugi Pegawai PegawaiID &lt;pi&gt; Variablecharacters(10) &lt;M&gt; Peg awai Add Menu Laporan Stok Pemilik Nama username password Alamat Telp Status

Dari hasil kerja siswa dilihat dari kemampuan memecahkan masalah diketahui bahwa untuk soal nomor 1 terdapat 15 siswa yang tidak melakukan tahapan memahami

Adapun biaya yang sudah terjadi ( sunk cost) tidak lagi dapat dipertimbangkan dalam pembuatan keputus- an. Untuk menghasilkan keputusan ini dapat digunakan perhitungan

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian diperoleh dari sumber pustaka penelitian terdahulu yang membahas terkait dengan e-government serta data yang valid dari

Interlock adalah suatu skema yang dibuat pabrik apabila kondisi tertentu yang dianggap berbahaya untuk proses produksi aktif, hal ini dilakukan untuk melindungi

Pada kelas kontrol terlihat nilai modus tanggung jawab lebih rendah dari pada kelas eksperimen karena pada saat guru menjelaskan materi siswa tidak memperhatikan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas