• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS MASALAH DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA PADA SEORANG PENDERITA KOINFEKSI HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DAN VIRUS HEPATITIS C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN KASUS MASALAH DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA PADA SEORANG PENDERITA KOINFEKSI HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DAN VIRUS HEPATITIS C"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

MASALAH DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA PADA SEORANG PENDERITA KOINFEKSI HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS

DAN VIRUS HEPATITIS C

OLEH:

dr. JEMI TUBUNG 1214048211

PEMBIMBING:

dr. I WAYAN LOSEN ADYANA, SpPD-KHOM

PROGRAM STUDI PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR 2018

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul

“Masalah diagnosis autoimmune hemolytic anemia pada seorang koinfeksi Human Immunodeficiency Virus dan Virus Hepatitis C”. Laporan kasus ini merupakan bagian dari tugas ilmiah Program Studi Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.

Terima kasih kami ucapkan kepada dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD- KHOM yang telah membimbing kami dalam menyusun laporan kasus ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Laporan kasus ini menguraikan tentang masalah diagnosis autoimmune hemolitic anemia pada pasien dengan koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan virus hepatitis C.

Kasus ini merupakan kasus yang jarang dijumpai dan kadang tidak terdiagnosis pada penderita koinfeksi HIV dan virus hepatitis C, sehingga adanya laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran penulis dan pembaca mengenai masalah ini.

Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan kasus ini.

Denpasar, 6 Mei 2018 Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

BAB II ISI 2.1 Kasus ... 3

2.2 Pembahasan ... 7

BAB III PENUTUP 3.1 Ringkasan ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Foto rontgen dada pasien ... 5

2. Foto pasien ... 6

3. Mekanisme terjadinya AIHA ... 7

4. Kaskade komplemen ... 8

5. Mekanisme destruksi eritrosit pada AIHA tipe hangat ... 10

6. Mekanisme destruksi eritrosit pada AIHA tipe dingin ... 11

7. Mekanisme autoimun diinduksi virus hepatitis C ... 13

8. Algoritma diagnosis AIHA ... 14

(5)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Klasifikasi dan penyebab AIHA ... 9

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telah lama diketahui bahwa Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) berkaitan dengan beberapa manifestasi kelainan hematologi. Insidens AIHA (autoimmune hemolytic anemia) pada pasien HIV berkisar 3.06%, sedangkan pada populasi umum sekitar 1 per 75.000 – 80.000 per tahun.1 Meskipun demikian kasus AIHA pada penderita yang terinfeksi HIV jarang dilaporkan karena manifestasi klinis AIHA jarang tampak pada pasien-pasien tersebut, hal ini dapat menjadi fatal karena pada pasien yang terinfeksi HIV sering telah terjadi kekurangan cadangan sumsum tulang yang adekuat.2,3

Kelainan hematologi autoimun juga sering ditemukan pada pasien penderita hepatitis C, beberapa literatur menghubungkan hal ini dengan virus hepatitis C yang bersifat limfotropik. Sel B yang terinfeksi virus hepatitis C akan memproduksi autoantibodi, hal ini yang menyebabkan tingginya penanda-penanda autoimun pada pasien hepatitis C kronis.3 Akhir-akhir ini juga telah banyak dilaporkan kejadian AIHA lebih tinggi secara signifikan pada pasien hepatitis C kronis dibandingkan orang yang tidak terinfeksi hepatitis C.3,4

Banyak terjadi koinfeksi virus hepatitis C pada pasien-pasien AIDS, hal ini akan memperparah disregulasi imunologi yang telah terjadi sebelumnya. Beberapa laporan menunjukkan autoantibodi terhadap eritrosit dan kasus AIHA lebih tinggi pada pasien-pasien yang mengalami koinfeksi HIV dan virus hepatitis C, bila dibandingkan dengan pasien-pasien yang hanya terinfeksi oleh HIV atau virus hepatitis saja.3

Menurut beberapa peneliti, terdapat dua komplikasi yang dapat terjadi pada pasien terinfeksi HIV yang menderita AIHA, yaitu komplikasi yang berhubungan dengan transfusi dan komplikasi karena kondisi hiperkoagulasi. Saat transfusi pasien- pasien tersebut beresiko mengalami hemolisis masif, hipotensi, syok dan gagal ginjal sedangkan komplikasi karena kondisi hiperkoaglasi dapat menyebabkan peningkatan

(7)

risiko tromboemboli khususnya saat pasien menjalani transfusi. Meningat komplikasi yang dapat terjadi maka menjadi penting untuk mengidentifikasi dan meningkatkan kewaspadaan adanya AIHA sebagai salah satu penyebab anemia pada penderita terinfeksi HIV dengan koinfeksi virus hepatitis C.2,5

Adanya AIHA memperburuk prognosis dan dapat menjadi fatal bagi penderita koinfeksi HIV dan hepatitis C, untuk itu kasus ini diangkat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kejadian AIHA pada pasien AIDS dengan koinfeksi virus hepatitis C sebagai salah satu penyebab anemia pada penderita tersebut.

(8)

BAB II ISI

2.1 Kasus

Seorang pasien laki-laki, 50 tahun dikonsulkan dari bagian Bedah dengan keluhan nyeri seluruh area perut sejak empat hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri dirasakan mendadak, makin memberat bila pasien bergerak, awalnya nyeri dirasakan di area perut kanan bawah kemudian menjalar ke seluruh area perut. Demam dirasakan dua hari sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan terus menerus.

Lemas dirasakan pasien satu minggu sebelum nyeri perut, dirasakan perlahan-lahan makin lama makin berat sehingga pasien tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari.

Pasien juga mulai merasakan sesak napas sejak 5 hari terakhir. Menurut keluarga, pasien tampak pucat sejak satu minggu terakhir. Pasien belum buang air besar sejak satu minggu sebelum masuk RS dan belum buang angin sejak 3 hari sebelum masuk RS.

Tiga hari sebelumnya pasien berobat ke RSUD Badung dengan keluhan yang sama, kemudian dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi, diberikan injeksi ceftriakson satu gram intravena tiap 12 jam, injeksi metronidazol 500 mg intravena tiap delapan jam dan injeksi parasetamol 1 gram intravena tiap delapan jam.

Direncanakan transfusi darah tetapi tidak jadi dilakukan, dikatakan karena adanya ketidakcocokan darah pasien dengan darah donor. Pasien dirujuk ke bagian Bedah RSUP Sanglah untuk tatalaksana lebih lanjut dengan diagnosis rujukan peritonitis generalisata et causa suspect appendiks perforasi, acute kidney injury stage III ec suspect prerenal, Infeksi B24, anemia sedang, hipoalbuminemia, hiperkalemia dan hepatitis C.

Sembilan bulan lalu pasien mengalami demam hilang timbul sekitar satu bulan, diare hilang timbul dan penurunan berat badan 10 kg dalam dua bulan, tidak ada batuk dan nyeri menelan. Pasien berobat ke RSUD Badung kemudian dinyatakan HIV positif dan mendapat pengobatan antivirus tiga jenis, pasien tidak tahu nama obatnya. Pasien mengkonsumsi obat-obatan tersebut selama dua minggu kemudian

(9)

pasien tidak melanjutkan pengobatan lagi, hingga sakit saat ini. Bila mengalami demam atau sakit kepala di rumah, pasien biasanya mengkonsumsi obat parasetamol.

Pada saat dikonsulkan kesadaran pasien GCS E4 V5 M6, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 98x/menit, frekuensi napas 20 kali per menit dan temperatur aksila 37,70C. Kedua konjungtiva anemis dan tidak ikterik. Dinding dada simetris saat statis dan dinamis, suara napas vesikular, tidak ada ronki atau wheezing, sonor pada perkusi, pemeriksaan jantung dalam batas normal. Pada abdomen tampak distensi, tak tampak vena kolateral, bising usus positif menurun, nyeri tekan positif pada seluruh area abdomen. Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, traube space timpani. Ekstremitas hangat dan tak tampak edema.

Hasil lab pasien saat di RSUD Badung antara lain hemoglobin 8.7 g/dL, MCV 75.3 fL, MCH 25.1 pg, lekosit 7.13 x 103/uL, netrofil 85.9%, eosinofil 0.1%, basofil 0.0%, limfosit 9.5%, monosit 4.5% dan pletelet 449 x 103/uL. Faal hemostasis PT 14.5 (10.8 -14.4), INR 1.4 (0.9 – 1.1), APTT 35 (24 – 36). Kimia darah didapatkan ureum 185 mg/dL, kreatinin serum 6.7 mg/dL, LDH 1050 U/L, anti HCV positif, HbsAg negatif. Kesimpulan pemeriksaan Coomb’s test ditemukan adanya autoimmune antibody (direct coomb’s test: positif) yang coated pada sel darah merah penderita, tidak ditemukan adanya irregular allo antibody yang bebas di dalam serum penderita (indirect coombs test: negatif).

Hasil laboratorium awal di RSUP Sanglah didapatkan kadar hemoglobin 8.44 g/dl, MCV 79.96 fL, MCH 26.11 pg, lekosit 16.54 x 103/uL, netrofil 91.3%, limfosit 5.6%, basofil 0.2%, eosinofil 0.2%, dan platelet 223.7 x 103/uL. Kadar Bun 105.2 mg/dL, kreatinin 7.71 mg/dL, natrium 125 mmol/L, kalium 6.0 mmol/L, SGOT 8.1 U/L, SGPT 10.80 U/L, bilirubin total 0.55 mg/dL, bilirubin direk 0.37 mg/dL, bilirubin indirek 0.18 mg/dL, ALP 49 U/L, total protein 5.2 g/dL, albumin 2.2 g/dL, globulin 3.0 g/dL, gamma GT 27 U/L, serum iron 46.21 ug/dL, total iron binding capacity (TIBC) 90.00 ug/dL, dan feritin 1671 ng/mL.

Saat dilakukan hapusan darah tepi didapatkan gambaran sebagian besar eritrosit tampak hipokromik mikrositer, anisopoikilositosis, kesan jumlah lekosit normal, tak ada sel muda, tak ada granula toksik atau vakuolisasi, kesan jumlah trombosit normal, tidak ada giant platelet, kesan suatu gambaran anemia hipokromik mikrositer.

Pasien didiagnosis peritonitis generalisata, acute kidney injury stadium III et causa prerenal, infeksi HIV stadium IV (WHO) on HAART, putus obat, wasting

(10)

syndrome, oroesofageal candidiasis, AIHA dan anemia ringan hipokrom mikrositer et causa suspect anemia of chronic disease, hipoalbumin et causa suspect inflamasi kronis. Saran dilakukan hidrasi dengan NaCl 0.9% loading 500 cc dilanjutkan 20 tetes/menit, hemodialisis cito, transfusi PRC sampai Hb 10 gr/dL dengan premedikasi metilprednisolon 125 mg intravena, kotrimoksazol 960 mg per oral tiap 24 jam, fluconazol 200 mg intravena tiap 24 jam, antibiotik sesuai dengan yang telah diberikan sejawat bedah yaitu injeksi ceftriakson 1 gram intravena tiap 12 jam, injeksi metronidazol 500 mg intravena tiap 8 jam dan parasetamol 1 gram intravena tiap 8 jam.

Pada

hari ketiga perawatan dilakukan operasi, saat intraoperasi ditemukan appediks granggrenous kemudian dilakukan appendisektomi. Setelah operasi nyeri perut pasien membaik dan tidak lagi terjadi demam. Hari ketiga post operasi terjadi nyeri perut lagi dan demam lagi. Dilakukan relaparatomi, intraoperasi ditemukan abses dan adhesi ileum grade II, kemudian dilakukan release adhesi dan drainase. Setelah operasi kedua tidak lagi terjadi nyeri perut dan demam, keadaan umum pasien membaik.

Gambar 1. Rontgen dada pasien

(11)

Selama perawatan pasien ditransfusi PRC empat kantong dengan premedikasi metilprednisolon 125 mg intravena, dalam pemantauan tidak terjadi reaksi transfusi selama proses transfusi dan setelahnya. Setelah menjalani perawatan selama 16 hari, kondisi pasien membaik dan diijinkan menjalani rawat jalan.

Pada saat dipulangkan kadar hemoglobin 9.29 mg/dL, MCV 79.53 fL, MCH 25.30 pg, lekosit 7.43 mg/dl, dan trombosit 292.40 x 103/uL. Kadar Bun 30 mg/dL, kreatinin 0.93 mg/dL, SGOT 22.7 U/L, SGPT 7.70 U/L dan CD4 absolut 179 sel/uL.

2.2 Pembahasan

Walaupun AIHA telah dikenal sejak lebih dari 150 tahun lalu, tetapi hingga saat ini diagnosis, prognosis dan terapi AIHA tetap menjadi dilema.6 Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan tingkat hemolisis yang signifikan pada setiap kasus AIHA yang menyebabkan manifestasi klinis yang terjadi sangat heterogen.7

Gambar 2. Foto Pasien

(12)

Gambar 3. Mekanisme terjadinya AIHA.8

Autoimmune hemolytic anemia merupakan penyakit autoimun didapat yang ditandai adanya peningkatan destruksi eritrosit karena adanya autoantibodi anti eritrosit.6,7 Mekanisme terjadinya AIHA melalui dua mekanisme yaitu melalui antibodi terhadap antigen pada eritrosit dan reaksi antibodi terhadap molekul tertentu yang pada akhirnya ikut menghancurkan eritrosit. Sebagian eritrosit dihancurkan diperantarai antibodi dan sebagian lainnya diperantarai komplemen atau keduanya seperti pada gambar 3.8

Aktivasi komplemen akan menyebabkan hancurnya membran eritrosit dan menyebabkan hemolisis seperti pada gambar 4. Komplemen dapat teraktivasi melalui jalur klasik, jalur lektin dan atau jalur alternatif. Pada jalur klasik, didahului oleh ikatan C1q pada kompleks antigen-antibodi di permukaan sel, diikuti oleh aktivasi C1r yang akan mengaktifkan serin protease yang akan memecah C4 dan C2. Reaksi ini akan menghasilkan formasi C3 convertase yang akan memecah C3 menjadi C3a dan C3b yang akan terikat pada permukaan sel dan berperan sebagai opsonin. 9

(13)

Jalur lektin diawali ikatan lektin dan mannose sedangkan jalur alternatif dipicu oleh ikatan spontan C3 plasma pada permukaan sel. Seperti jalur klasik, kedua jalur ini akan memicu produksi C3 convertase yang akan mendeposisi C3b pada permukaan sel. 10

Komplemen C3b akan mengopsoninasi sel target dan selanjutnya akan dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial di limpa atau hati, sehingga terjadi hemolisis ektravaskular. Komplemen C3b dapat juga terikat pada C3 convertase kemudian membentuk C5 convertase yang akan memicu jalur terminal (litik).

Membran attack complex (MAC) atau disebut juga C5b6789 dapat menginduksi lisis sel. Pada AIHA, jalur terminal akan memicu hemolisis intravaskular. 9

Tabel 1. Klasifikasi dan penyebab AIHA.7 Tipe hangat

Primer (idiopatik) Sekunder:

Infeksi, contohnya HIV, hepatitis C

Gambar 4. Kaskade komplemen.9

(14)

Kelainan autoimun, contohnya SLE Kelainan limfoproliferatif

Obat-obatan

Tumor solid (sangat jarang) Tipe dingin

Cold haemagglutinin disease (CHAD) Primer (idiopatik)

Sekunder:

Kelainan limfoproliferatif

Infeksi, contohnya virus Epstein-Barr, Mycoplasma pneumonia Paroxysmal cold hemoglobinuria

Primer (idiopatik) Sekunder:

Infeksi, misalnya virus Haemophilus influenza, sifilis Tipe campuran

Autoimmune hemolytic anemia dapat diklasifikasikan seperti pada tabel 1.

Perbedaan temperatur mempengaruhi aktivitas optimal antibodi pada AIHA sehingga AIHA dibagi atas “cold” dan “warm”. Berdasarkan beberapa laporan diketahui bahwa infeksi merupakan salah satu faktor yang dapat menginduksi.7

Sekitar 75% kasus AIHA merupakan AIHA tipe hangat, antibodi pada tipe ini bekerja optimal pada suhu 370C. Imunoglobulin G (IgG) merupakan autoantibodi yang berperan pada sebagian besar kasus AIHA tipe hangat. Eritrosit yang diselimuti autoantibodi akan disekuestrasi dan fagositosis oleh makrofag di limpa. Eritrosit yang diselimuti imunoglobulin dapat juga mengikat C1q yang akan mengaktivasi jalur klasik komplemen seperti pada gambar 5.11

Autoantibodi pada AIHA tipe dingin mengaglutinasi eritrosit optimal pada suhu 3 – 4 0C. Aglitinin yang terikat pada imunoglobulin M (IgM) merupakan aktivator komplemen yang kuat pada AIHA tipe dingin, yang akan mengikat C1q dan akhirnya mengaktivasi jalur klasik komplemen. Sebagian C3b yang dilingkupi akan tersekuestrasi makrofag akan dihancurkan di hati seperti pada gambar 6.10

(15)

Terdapat beberapa hipotesis yang diajukan untuk menerangkan tingginya kejadian AIHA pada infeksi HIV, diantaranya terjadi: 1) reaksi silang antara patogen dan protein tubuh, 2) mimicry (kemiripan struktur) molekular, 3) efek langsung HIV

Gambar 5. Mekanisme destruksi eritrosit pada AIHA tipe hangat.9

Gambar 6. Mekanisme destruksi eritrosit pada AIHA tipe dingin.10

(16)

pada sel hematopoiesis, dan 4) hilangnya toleransi imun.13 Mimicry molekular antara protein HIV dan antigen eritrosit dapat memicu produksi autoantibodi yang dapat memicu terjadinya AIHA pada penderita terinfeksi HIV. Disregulasi CD4+ T-cell karena infeksi virus HIV dapat memicu terjadi defek toleransi terhadap self-antigen, beberapa penelitian telah dapat membuktikan bahwa penurunan toleransi imun pada infeksi HIV memainkan peran penting pada proses terjadinya AIHA.14

Manifestasi klinis AIHA yang terjadi bergantung pada tingkat hemolisis, kemampuan kompensasi sumsum tulang dan adanya penyakit dasar. Berdasarkan gejala klinis AIHA dapat dibagi atas 1) AIHA ringan didiagnosis hanya berdasarkan tes DAT (direct antiglobulin test) positif, 2) AIHA sedang ditandai anemia dan splenomegali, 3) AIHA berat berupa hemolisis fulminan ditandai adanya peningkatan sferositosis, hiperbilirubinemia, penurunan haptoglobulin dan hemoglobinuria.

Manifestasi klinis AIHA pada infeksi HIV seringkali berupa AIHA ringan. Menurut beberapa peneliti, pada pasien HIV ditemukan sekitar 34 % DAT positif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar Hb pada pasien AIDS dengan DAT positif biasanya lebih rendah dibandingkan dengan pasien AIDS dengan DAT negatif.

Penderita AIDS dengan DAT positif sering ditemukan pada penderita dengan kadar CD4 kurang dari 200 sel/uL.5 Tipikal antibodi yang ditemukan pada infeksi HIV dengan AIHA adalah warm antibodi (IgG dan atau C3d). 15

Infeksi virus hepatitis C 80% menjadi kronis yang dapat menyebabkan komplikasi hepatik dan ekstrahepatik. Lebih dari 75% pasien hepatitis C kronis akan mengalami komplikasi ekstra hepatik selama perjalanan penyakitnya.16 Saat ini telah dikenal lebih dari 30 komplikasi ekstra hepatik infeksi virus hepatitis C dan yang paling banyak berupa penyakit autoimun.17 Manifestasi komplikasi infeksi virus hepatitis C berupa AIHA sebenarnya jarang dijumpai dibandingkan dengan komplikasi ekstra hepatik lain.17

Komplikasi ekstra hepatik infeksi virus hepatitis C diperkirakan karena jaringan ekstra hepatik dapat menjadi reservoir virus tersebut. Komplikasi autoimun yang terjadi karena virus hepatitis C cenderung (tropisme) menginvasi jaringan limfoid. Virus hepatitis C mempunyai kemampuan menghindari deteksi sistem imun sehingga dapat mengakibatkan infeksi kronis dan mengaktivasi fenomena autoimun.18 Diperkirakan virus hepatitis C mempengaruhi sistem imun melalui pengaruhnya pada subset sel B selektif yang akan menginduksi rusaknya toleransi melalui reaksi sel T

(17)

terhadap apoptosis antigen tubuh seperti pada gambar 7. Konsekuensinya terjadi peningkatan aktivitas sel T helper-17.19

Sekitar 30% pasien yang terinfeksi HIV, mengalami koinfeksi virus hepatitis C. Hal ini mungkin disebabkan transmisi HIV dan virus hepatitis C melewati jalur yang sama.4 Koinfeksi HIV dan virus hepatitis C menyebabkan interaksi kedua virus tersebut pada sistem imun pasien, berupa disregulasi sistem imun yang telah terjadi makin parah dan imunodefisiensi karena infeksi HIV dapat mendownregulasi atau malah menstimulasi terjadinya penyakit autoimun yang disebabkan infeksi virus hepatitis C.3,4

Anamnesis yang hati-hati dan cermat sangat membantu untuk mendiagnosis AIHA. Lemas, mudah capek dan sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali dan urin berwarna merah gelap. Pada kecurigaan AIHA sekunder perlu digali tentang riwayat infeksi,

Gambar 7. Mekanisme autoimun diinduksi oleh virus hepatitis C. 19

(18)

riwayat transfusi, paparan terhadap obat atau vaksinasi dan tanda-tanda penyakit autoimun. Onset AIHA biasanya akut dan kadang-kadang dapat mengancam nyawa.12

Pasien mulai merasakan lemas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien juga merasakan lelah dan sesak napas. Pasien tampak pucat, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan sklera ikterik dan splenomegali. Pasien menderita infeksi HIV dan hepatitis C yang bisa dikaitkan dengan tingginya kejadian AIHA pada kedua penyakit tersebut. Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya dan belum pernah mendapat transfusi darah sebelum sakit ini.

Diagnosis AIHA dibuat berdasarkan hasil laboratorium anemia normositik atau makrositik, retikulositosis, kadar haptoglobulin serum rendah, peningkatan kadar lactate dehydrogenase (LDH), peningkatan kadar bilirubin indirek dan direct

Gambar 8. Algoritma diagnosis AIHA.12

(19)

antiglobulin test positif seperti pada gambar 8. Mendasarkan diagnosis berdasarkan hasil laboratorium seperti diatas dapat menjebak karena pada AIHA sekunder tidak selalu ditemukan hasil laboratorium yang biasanya ditemukan pada AIHA.12

Pada hemolisis ringan kadar LDH dapat normal atau malah peningkatannya dapat dipengaruhi oleh sepsis, trauma, gangguan hati dan ginjal. pada dapat juga terjadi retikulositopenia transien. Kadar haptoglobin normal dapat ditemukan pada hemolisis yang terjadi pada pasien dengan gangguan hati. Aglutinasi merupakan tanda yang secara konsisten ditemukan pada AIHA. 2,12

Direct antiglobulin test pertama kali diperkenalkan oleh Robin Coomb dan A.

Mourant pada tahun 1945, hingga saat ini tetap menjadi uji yang esensial untuk mengidentifikasi hemolisis karena proses imun. DAT positif menandakan adanya imunoglobulin (IgG, IgM atau IgA) atau komplemen (biasanya C3d) yang terikat pada membran sel darah merah. Direct antiglobulin test positif saja tidak dapat mendiagnosis AIHA, karena menurut beberapa penelitian DAT positif ditemukan pada 1 diantara 10.000 darah yang didonorkan dan 8% dari pasien yang dirawat di rumah sakit.7

Pada pasien dijumpai anemia sedang hipokrom mikrositer, hal ini mungkin terjadi karena pasien juga menderita anemia karena penyakit kronis. Tidak terjadinya retikulositosis pada pasien, dapat disebabkan oleh pengaruh infeksi HIV yang menyebabkan ketidakmampuan sumsum tulang mengkompensasi anemia yang terjadi.

Tidak terjadi peningkatan bilirubin pada pasien, bisa terjadi bila hemolisis yang terjadi sifatnya ringan. Peningkatan LDH pada pasien ini bisa merupakan tanda hemolisis dan atau juga karena infeksi akut serta gangguan ginjal yang dialami pasien.

Pemeriksaan DAT positif pada pasien yang memberikan kecurigaan bahwa pasien menderita AIHA.

Hingga saat ini, belum ada terapi AIHA yang berbasis bukti yang ada hanya berupa terapi empiris. Mengatasi penyebab AIHA merupakan modalitas utama pada terapi AIHA sekunder.12 Highly active antiretroviral therapy (HAART) berperan penting dalam meningkatkan luaran pasien terinfeksi HIV dengan AIHA. Highly active antiretroviral therapy menyebabkan restorasi dan peningkatan imunitas yang diperantarai sel T. Pada pasien yang mengalami AIHA ringan yang hanya berupa tes DAT positif atau hanya berupa hemolisis minimal, hematokrit stabil umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi perburukan klinis AIHA.1

(20)

Glukokortikoid tetap merupakan terapi lini pertama AIHA, terapi ini merupakan terapi empiris. Mekanisme aksi glukokortikoid pada AIHA berupa supresi produksi autoantibodi, mereduksi afinitas autoantibodi dan menurunkan destruksi eritrosit oleh makrofrag di limpa, ini mungkin terjadi melalui penurunan ekspresi reseptor Fcy.12

Transfusi dilakukan pada pasien AIHA harus selalu berdasarkan status klinis pasien, penyakit penyerta dan kadar hemoglobin. Transfusi boleh segera dilakukan pada pasien AIHA dengan anemia berat. Jika anemia mengancam nyawa maka transfusi tidak boleh ditunda walaupun terdapat kemungkinan ancaman hemolisis.7, 20

Pasien selama perawatan mendapatkan transfusi PRC karena menderita beberapa penyakit penyerta dan akan menjalani operasi, setelah keadaan umum membaik direncakan akan dilanjutkan pemberian ARV (anti retroviral) saat kontrol di poli VCT.

(21)

Bab III PENUTUP

3.1 Ringkasan

Telah dilaporkan kasus AIHA pada seorang penderita koinfeksi HIV dan hepatitis C. Manifestasi klinis AIHA tidak tampak pada pasien ini seperti kasus AIHA pada umumnya, hal ini umum terjadi pada kasus AIHA sekunder. Pemeriksaan DAT positif pada pasien sebagai dasar kecurigaan AIHA pada pasien ini.

Tatalaksana AIHA ringan yang hanya berupa DAT positif saja atau hemolisis ringan tidak perlu terapi khusus. Keputusan pemberian imunosupresan pada AIHA dapat dimulai pada AIHA sedang yaitu adanya tanda-tanda hemolisis yang signifikan.

Pemberian transfusi PRC pada pasien AIHA didasarkan atas kondisi klinis, adanya penyakit komorbid atau ada tidaknya tindakan operasi yang akan dijalani pasien.

(22)

Daftar Pustaka

1. Sherry NL, Wooley IJ, Korman TM. Autoimmune hemolytic anemia: an unusual presentation of HIV seroconversion disease. AIDS 2010; 24(12): 1968 – 70

2. Virmani S, Bhat R, Rao R, Khanna R, Agarwal L. A rare cause of anemia in HIV/AIDS. J Clin & Diag Res 2017; 11(8): OD01 – 2

3. Patsiornik Y, Nesa M, Foss S, Bernstein M, Burton J. Impact of Human Immunodeficiency infection on incidence of Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) in Patients with Hepatitis C; Correlation the genotype of Hepatitis C virus and AIHA. Blood 2008; 112: 4580 – 90

4. Singal AK, Anand BS. Management of hepatitis C virus infection in HIV/HCV co-infected patients: Clinical review. World J Gastroenterol 2009; 15(30): 3713 – 24

5. Olayemi E, Awodu OA, Bazuaye GN. Autoimmune hemolytic anemia in HIV- infected patients: a hospital based study. Ann of African Med 2008; 7(2): 72 – 6 6. Leibman HA, Weitz IC. Autoimmune hemolytic anemia. Med Clin N Am 2016;

9(7): 1 – 9

7. Allard S, Hill QA. Autoimmune haemolytic anaemia. ISBT science series 2016;

1: 85 – 92

8. Luzatto L. Hemolytic anemias and anemia due to acute blood loss. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J, eds. Harrison’s hematology and oncology 3rd edition. New York: Mc Graw Hill; 2017. Pp 111 – 30

9. Berentsen S. Role of complement in autoimmune hemolytic anemia. Transfus Med Hemother 2015; 42: 303 – 10

10. Berentsen S, Randen U, Tjonnfjord GE. Cold agglutinin-mediated autoimmune hemolytic anemia. Hematol Oncol Clin North Am 2015; 29: 455 – 71

11. Chen M, Daha MR, Kallenberg CG. The complement system in systemic autoimmune disease. J autoimmun 2010; 34: J276 – 86

12. Go RS, Winters JL, Kay NE. How I treat autoimmune hemolytic anemias.

Blood 2017; 116(11): 1 – 30

13. Martinez V, Diemert MC, Braibant M, Potard V, Charuel JL, Barin F, Costagliola D, Caumes E, Clauvel JP, Autran B, Musset L. Anticardiolipin

(23)

antibodies in HIV infection are independently associated with antibodies to the membrane proximal external region of gp41 and with cell-associated HIV DNA and immune activation. Clin Infect Dis 2009; 48(1): 123 – 32

14. Okoyee AA, Picker LJ. CD4(+) T-cell depletion in HIV infection: mechanism of immunological failure. Immunol Rev 2013; 254: 54 – 64

15. Iordache L, Launay O, Bouchaud O, Jeantils V, Goujard C, Boue F, Cacoub P, Hanslik T, Mahr A, Lambotte O, Fain O. Autoimmune diseases in HIV-infected patients: 52 cases and literature review. Autoimmun Rev 2014; 4(5): 1 – 8 16. Davis GL. Hepatitis C. In: Schiff ER, Sorrel MF, Maddrey WC, eds. Schiff’s

diseases of the liver 10th edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins;

2011. Pp. 808 – 44

17. Samuel DG, Rees IW. Extrahepatic manifestations of hepatitis C virus (HCV).

Frontline Gastroent 2013; 4: 249 – 54

18. Dufour JF, Pradat P, Riuvard M, Hot A, Dumontet C, Broussolle C, Trepo C, Seve P. Severe autoimmune cytopenias in treatment-naïve hepatitis C virus infection: clinical description of 16 cases. European J of Gastroent & Hep 2009;

21(3): 245 – 53

19. Paroli M, Iannucci G, Accapezzato D. Hepatitis C virus infection and autoimmune diseases. Int J of Gen Med 2012; 5: 903 – 7

20. Yilmaz F, Vural F. Autoimmune hemolytic anemia: Focusing on therapy according to classification. SOJ Immunol 2017; 5(1): 1 – 6

Referensi

Dokumen terkait

Guru PAUD di sekolah melakukan dua tugas pokok sebagai guru yaitu perencana dan penilai hasil perkembangan anak usia dini sementara pendidik PAUD di rumah (orang tua)

para pelanggan setia yang menggunakan KASKUS ini berpindah ke pihak penyedia jasa layanan online shop yang lain dan tidak loyal dalam menggunakan jasa KASKUS

SIKLUS HIDUP DAN REPRODUKSI Gurita merupakan hewan yang unik dan mempunyai jenis kelamin yang terpisah, dalam arti ada hewan jantan dan hewan betina serta tidak pernah

Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh karena infeksi. Banyak dampak  Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh karena infeksi. Banyak dampak  yang dapat terjadi karena

Seorang anak berusia 7 tahun dibawa oleh ibunya dengan keluhan nyeri telinga sebelah kanan sejak 3 hari yang lalu?. Sebelumnya pasien mengeluh batuk dan pilek selama 1 minggu

Pemanfaatan tanah komunal harus melibatkan simantek kuta (tetua adat) sebagai orang yang dianggap paling mengerti mengenai tanah komunal di kabupaten karo

Hal yang sama terjadi seperti pada pengetahuan PHBS, persentase pada anak perempuan tidak ada peningkatan bahkan pada anak laki-laki malah terjadi penurunan, mungkin karena

Jelen összefoglalóban a folyadékfázisú, hetero-gén katalitikus hidrogénezési reakciók terén, valamint a bázikus hordozós palládium- és rézkatalizátorok szerves