• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep dan landasan teori yang mendukung penelitian ini. Hal tersebut dijelaskan seperti berikut ini.

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini dipaparkan hasil penelitian terdahulu yang bertalian dengan analisis kalimat. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan oleh Yayah Rokayah (2005) dalam skripsinya yang berjudul ”Kajian Sintaktik Kalimat Tunggal dalam Teks Berita Utama Kompas, Pikiran Rakyat, dan Galamedia”. Penelitian ini menganalisis masalah penggunaan struktur bahasa yang digunakan, khususnya mengenai struktur sintaktiknya.

Data diambil dari kalimat tunggal bukan kutipan langsung yang terdapat pada surat kabar Kompas, Pikiran Rakyat, dan Galamedia. Teori yang digunakan ialah teori Struktural. Metode yang digunakan adalah metode simak dan teknik catat.

Hasil analisis data yang dilakukan oleh Yayah Rokayah menunjukkan pola bahwa kalimat tunggal bahasa tulis dalam surat kabar yang diteliti memiliki variasi sebanyak lima belas pola kalimat. Pola yang paling mendominasi kehadirannya adalah pola SPK. Pola tersebut termasuk ke dalam pola kalimat dasar yang ada dalam bahasa Indonesia. Jenis kalimat berdasarkan peranan subjek yang mendominasi adalah kalimat aktif. Frekuensi kehadirannya dalam kalimat berita utama hampir tiga perempat didominasi oleh kalimat aktif dan sisanya adalah kalimat pasif. Jenis kalimat

(2)

berdasarkan kategori pengisi predikat kehadirannya didominasi oleh jenis kata verba tak transitif.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Hidayatur (2009) membahas tentang

“Relasi Makna Klausa Kalimat Majemuk pada Terjemahan Surat Luqman”. Dalam penelitiannya, Hidayatur membahas bentuk relasi makna dan kata penghubung yang digunakan untuk mewujudkan relasi makna. Data penelitian dikumpulkan dengan metode simak yang diikuti dengan teknik catat.

Relasi makna yang terdapat pada terjemahan surat Luqman meliputi tiga relasi makna, yaitu relasi makna antarklausa dalam kalimat, relasi makna antarkalimat dalam satu ayat, dan relasi makna antarayat. Dalam relasi makna antarklausa dalam kalimat terdapat lima belas hubungan makna, yaitu penjumlahan, penerang, kegunaan, syarat, cara, perbandingan, akibat, harapan, perturutan, waktu, isi, perlawanan, tak bersyarat, sebab, dan pengandaian. Relasi makna antarkalimat dalam satu ayat wujudnya berupa makna yang berkaitan dengan kalimat sebelumnya, tetapi masih dalam satu ayat. Relasi makna antarayat wujudnya berupa makna yang saling berhubungan dengan ayat sebelumnya.

Kata penghubung yang dipakai oleh Hidayatur adalah dan, yaitu, yang, sebagai, maka, untuk, bagi, jika, dengan, agar, seolah-olah, seakan-akan, sebagaimana, seperti, maka, agar, lalu, kemudian, ketika, setelah, bahwa, tetapi, sedang, dan walaupun.

Kandungan makna terjemahan surat Luqman, yaitu Alquran menjamin suksesnya orang- orang yang beriman, nasihat Luqman kepada anaknya (menghormati orang tua, menjalankan perintah-Nya shalat lima waktu, meninggalkan segala larangan-Nya) bahwa kekuasaan Allah adalah mutlak.

(3)

Selain itu, pembahasan tentang “Konstruksi Klausa Bebas dan Klausa Terikat dalam Kalimat Majemuk Bertingkat di Media Cetak Berbahasa Indonesia” juga dilakukan oleh Fatimah (2010). Fatimah membahas tipe-tipe konstruksi klausa bebas dan klausa terikat dalam kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan tata bahasa tagmemik. Sumber data diperoleh dari harian Kompas, Solo Post, tabloid Otomotif, Bintang Indonesia, majalah Tempo, Gatra, dan Kartini, serta novel Larung. Data tersebut dikumpulkan dengan metode simak dan tekniknya adalah teknik catat. Data diklasifikasikan berdasarkan kekontrasan klausa bebas dan klausa terikatnya.

Analisis data yang dilakukan oleh Fatimah, yaitu dengan menggunakan metode agih dan teknik yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung dengan teknik lanjutan tenik lesap dan teknik balik. Hasil analisis disimpulkan dengan menggunakan teknik simpulan secara induktif. Simpulan yang dapat ditarik dari penelitiannya adalah terdapat enam kelompok konstruksi dan empat belas subkonstruksi kalimat majemuk bertingkat deklaratif, serta tagmem dasar akar klausa transitif terdiri atas tiga gatra wajib, yaitu subjek sebagai pelaku, predikat sebagai pernyataan, dan objek sebagai penderita.

Penelitian ini mempunyai hubungan atau persamaan dengan ketiga penelitian di atas. Persamaan tersebut terletak pada penggunaan struktur bahasa yang digunakan, khususnya bidang sintaksisnya, di samping metode yang digunakan, yaitu metode simak dan teknik catat. Sementara itu, perbedaannya terletak pada unsur yang dikaji. Dalam hal itu Yayah Rokayah mengkaji pola kalimat tunggal, Hidayatur mengkaji klausa dengan memperhatikan hubungan antarklausa, dan Fatimah mengkaji tipe konstruksi

(4)

klausa. Selain itu, perbedaan lainnya, yakni terletak pada sumber data penelitian dan jumlah sampelnya.

2.2 Konsep

Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep. Konsep ini berupa konstruksi sintaktis dalam suatu unsur langsung berupa klausa dan analisisnya yang terdiri atas fungsi, kategori, dan peran sintaksis. Selain itu, dipaparkan mengenai prinsip dasar jurnalistik.

2.2.1 Konstruksi Sintaktis

Konstruksi sintaktis adalah pengelompokan satuan-satuan yang sesuai dengan kaidah-kaidah sintaktis suatu bahasa (Kridalaksana, 1984:120). Maksud pengertian di atas adalah bahwa konstruksi sintaktis itu merangkaikan unsur-unsur sintaktis yang ada sehingga membentuk bangunan kalimat yang lengkap dan memiliki makna.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sintaksis menunjuk pada ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk frase, klausa, dan kalimat. Oleh karena itu, konstruksi sintaktis merupakan satuan-satuan bahasa bermakna yang berupa frase, klausa, dan kalimat.

Ramlan (1981: 17) memberikan pengertian frasa yaitu satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Yang dimaksud batass fungsi adalah fungsi subjek dan predikat. Oleh karena itu, frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak bersifat predikatif. Satuan gramatikal tersebut tidak lain adalah bentuk konstruksi sintaksis.

(5)

Konstruksi frasa dalam bahasa Indonesia sering disebut kelompok kata karena bentuk konstruksi tersebut terdiri dari dua kata atau lebih sebagai anggotanya dan hubungan antara unsur langsungnya bersifat longgar. Apabila salah satu anggota frasa berperan sebagai pokok atau inti dan anggota yang lain berperan sebagai atribut (frasa bertingkat). Namun demikian, apabila anggota frasa berperan sebagai pokok atau inti dan di antara anggota frasa itu digabungkan dengan konjungsi (kata penghubung), frasa yang bersangkutan merupakan frasa koordinatif (frasa setara). Berdasarkan hal tersebut unsure langsung frasa atributif biasanya dua bentuk bebas, sedangkan unsure langsung frasa koordinatif lebih dari dua bentuk bebas.

Klausa merupakan satu di antara konstruksi sintaktis yang dibentuk dari kata dan frase. Berikut ini beberapa para ahli tata bahasa Indonesia mengemukakan pendapatnya tentang klausa. Kridalaksana (2001:59) mengatakan bahwa klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi sebuah kalimat. Kentjono (2002:58) berpendapat, klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata atau frase dan yang mempunyai satu predikat. Klausa pada umumnya merupakan konstituen sebuah konstruksi kalimat. Selanjutnya, Chaer (2009:41) mengemukakan bahwa klausa adalah satuan sintaktis yang berada di atas satuan frase dan di bawah satuan kalimat, yakni berupa runutan kata-kata berkonstruksi predikatif. Dengan kata lain, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai objek dan sebagai keterangan.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan linguistik yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek (S) dan predikat (P) serta berpotensi menjadi kalimat. Klausa dikatakan berpotensi menjadi kalimat karena

(6)

sesungguhnya klausa jika diberi intonasi final (dalam konvensi tulis berupa tanda baca titik, tanda seru, dan tanda tanya) akan berubah menjadi satuan kalimat.

Berdasarkan strukturnya, klausa dibedakan atas klausa bebas dan klausa terikat.

Klausa bebas adalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat. Di samping itu, klausa bebas mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Berbeda dengan klausa bebas yang strukturnya lengkap, maka klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap. Unsur yang ada dalam klausa tidak lengkap mungkin subjek, objek, atau keterangan saja (Ramlan, 2001:79).

Dengan demikian, apabila salah satu unsur langsung suatu bentuk konstruksi berupa bentuk terikat (afiks/imbuhan) dan konstruksi yang bersangkutan berupa kata, maka bentuk tersebut bukan konstruksi sintaksis, melainkan tergolong konstruksi morfologis. Hasil konstruksi morfologis berbentuk kata jadian (kata berimbuhan dan kata majemuk), sedangkan konstruksi sintaksis berupa frase, klausa, dan kalimat.

Berdasarkan dasar deskripsi di atas, bentuk konstruksi sintaktis memiliki ciri pokok, antara lain unsur langsungnya berupa bentuk bebas atau kata, hubungan antara unsur langsungnya longgar, di antara unsur langsungnya dapat disisipi bentuk bebas atau kata lain, biasanya unsur langsungnya tidak tetap, dan bentuknya berupa frase, klausa, atau kalimat.

2.2.2 Fungsi Sintaktis

Verhaar (1995:70) mengatakan bahwa fungsi-fungsi sintaksis terdiri atas unsur- unsur subjek, predikat, objek, dan unsur keterangan, yakni merupakan kotak-kotak kosong atau tempat-tempat kosong dan tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu, yakni berupa

(7)

kategori yang memiliki peranan tertentu. Fungsi induk dalam kalimat adalah predikat yang biasanya berupa verbal. Selanjutnya, fungsi sintaktis adalah konstituen yang formal.

Secara garis besar, kajian atas fungsi sintaktis merupakan usaha mendeskripsikan klausa atas fungsi-fungsi sintaktisnya atau jabatan klausa (istilah tradisional). Penentuan fungsi sintaktis, selain harus memperhatikan batas antarfungsi, juga dengan memperhatikan ciri fungsinya yang dapat dilihat dari unsur pengisi fungsi tersebut. Salah satu kata atau frase merupakan unsur pembentuk klausa dan kalimat.

Dalam suatu klausa, unsur-unsur tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Unsur yang satu akan menentukan atau ditentukan oleh unsur lainnya. Hubungan antarunsur itu dilihat dari sudut pandang penyajiannya dalam ujaran, akan menghasilkan fungsi, yang kemudian disebut fungsi sintaksis.

Selanjutnya, Verhaar (1995:70) memberikan pendapat bahwa yang termasuk dalam fungsi adalah istilah seperti subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K). Tiap-tiap unsur pembentuk itu hanya akan menduduki satu fungsi.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini berturut-turut dibicarakan fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.

2.2.2.1 Fungsi Subjek

Fungsi subjek merupakan konstituen kalimat yang memiliki ciri-ciri, yakni pada umumnya berkategori nominal, terletak di sebelah kiri fungsi predikat. Selain itu, fungsi subjek menjadi objek akibat pemasifan kalimat dan unsur tersebut menandai apa yang dikatakan oleh pembicara (Alwi, 2000:162).

(8)

2.2.2.2 Fungsi Predikat

Fungsi predikat sebagai unsur pusat dalam arti, yakni menentukan boleh tidaknya fungsi lainnya hadir. Fungsi predikat ini mempunyai tiga ciri. Pertama, fungsi predikat berada di sebelah kanan fungsi subjek. Kedua, unsur pengisi fungsi predikat pada umumnya bergolongan atau berkategori verba, tetapi tidak menutup kemungkinan berkategori nonverbal, seperti: nominal, adjektiva, atau numeralia. Ketiga, unsur tersebut menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subjek (Alwi, 2000:163).

2.2.2.3 Fungsi Objek

Fungsi objek sebagai unsur pendamping mempunyai empat ciri. Keempat ciri tersebut, yaitu (1) fungsi objek ada apabila unsur pendamping predikatnya adalah berkategori verba aktif transitif, (2) posisi fungsi objek berada di sebelah kanan fungsi predikat, (3) unsur pengisi fungsi objek bergolongan nomina, dan (4) fungsi objek dapat berubah fungsi menjadi fungsi subjek dalam kalimat pasif (Alwi, 2000:164).

2.2.2.4 Fungsi Pelengkap

Fungsi pelengkap memiliki perilaku yang hampir sama dengan fungsi objek. Hal ini disebabkan beberapa ciri fungsi pelengkap sama dengan sebagian ciri fungsi objek.

Secara rinci fungsi pelengkap yaitu berdasarkan posisinya, yakni berada di sebelah kanan predikat, tepatnya setelah fungsi objek pada verba transitif, unsur pengisi fungsi pelengkap adalah golongan nominal, fungsi ini tidak hanya terdapat pada kalimat yang predikatnya verba aktif transitif dan verba aktif intransitif, tetapi juga terdapat pada kalimat verba pasif; dan apabila kalimatnya dipasifkan fungsi pelengkap tidak mengalami perubahan fungsi seperti pada fungsi objek (Alwi, 2000:165).

(9)

2.2.2.5 Fungsi Keterangan

Fungsi keterangan merupakan fungsi yang tidak bergantung dengan fungsi lain.

Artinya, tidak ada syarat yang mengikuti atas hadir tidaknya fungsi keterangan. Apabila dibandingkan dengan fungsi objek dan pelengkap, kedua fungsi tersebut cukup dipengaruhi oleh unsur pengisi predikatnya. Oleh karena itu, fungsi keterangan biasa disebut fungsi non-inti. Fungsi ini biasanya diisi oleh unsur yang berkategori benda yang berfungsi sebagai keterangan atau preposisi. Adapun posisi fungsi keterangan dalam suatu kalimat yang runtut berada di awal atau di akhir konstruksi, di samping tidak menutup kemungkinan dalam suatu kalimat terdapat dua fungsi keterangan (Alwi, 2000:166).

2.2.3 Kategori Sintaktis

Kata yang mempunyai bentuk dan perilaku yang sama akan dimasukkan ke dalam satu kelompok, sedangkan kata lain yang mempunyai bentuk dan perilaku yang berbeda akan dikelompokkan pada kelompok yang berbeda. Pengelompokan dengan dasar bentuk dan perilaku menghasilkan kategori kata. Analisis kategori sintaktis merupakan usaha untuk mendeskripsikan unsur-unsur pembentuk klausa ke dalam golongan-golongan atau kelas-kelas kata atau frase.

Pada tataran sintaktis, kategori kata yang sudah dikembangkan dengan menambah kategori lain akan menghasilkan frase. Dalam hal ini nomina dengan perkembangannya disebut frase nominal, verba dengan perkembangannya disebut frase verbal, adjektiva dengan perkembangannya disebut frase adjektival, dan preposisi dengan perkembangannya disebut frase preposisional. Apabila kata atau frase yang

(10)

berkategori itu bergabung membentuk kalimat, maka deskripsi kategorinya disebut kategori sintaktis.

Dengan kata lain, kategori sintaktis adalah golongan atau kategori yang diperoleh suatu satuan sebagai akibat hubungan dengan kata-kata lain dalam konstruksi sintaktis. Dalam bahasa Indonesia, terdapat empat kategori utama, yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan. Di samping itu, kata juga memiliki satu kelompok lain yang dinamakan kata tugas yang terdiri atas beberapa subkategori. Salah satu subkategorinya adalah preposisi atau kata depan. Setiap kategori, baik berupa kata maupun frase hanya akan menduduki satu fungsi. Oleh karena itu, pengategorian unsur sintaktis sebagai langkah kedua setelah fungsi, di samping tidak lepas dari analisis fungsi sintaktisnya. Menurut Verhaar (1995:70), kategori kelas kata ditentukan oleh konstituen-konstituen klausa. Dalam kaitan ini istilah-istilah yang termasuk dalam tataran kategori adalah kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata depan (preposisional), dan sebagainya.

2.2.3.1 Nomina

Nomina adalah kategori yang secara sintaktis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, selain kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa. Jika dilihat dari bentuk morfologisnya, kategori nomina terdiri atas dua bentuk, yaitu nomina dasar dan nomina turunan. Nomina dasar adalah kategori kata yang belum mengalami proses morfologis atau masih berbentuk kata dasar. Dalam hal ini, baik nomina dasar maupun nomina turunan dapat dikembangkan sehingga menjadi frase nominal. Nomina sebagai kategori

(11)

mempunyai dua subkategori lagi, yaitu pronominal atau kata ganti dan numeral atau kata bilangan. Salah satu bentuk pronominal adalah kata ganti persona yang terbagi atas tiga bentuk, yaitu persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Seperti halnya bentuk nomina, kategori kata ini pun dapat dikembangkan dengan menambah kata lain sehingga dapat menjadi frase, yang kemudian disebut frase pronominal dan frase numeralia (Suhardi, 2001:420).

2.2.3.2 Verba

Verba atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat dan memiliki kemungkinan didampingi partikel tidak. Akan tetapi, tidak dapat di dampingi oleh preposisi seperti di, ke, dari, atau kata lain seperti sangat, agak, lebih.

Adapun bentuk kategori verba ada dua, yaitu verba dasar dan verba turunan (Suhardi, 2000:421).

2.2.3.3 Adjektiva

Adjektiva, yang disebut juga kata sifat atau kata keadaan, yakni kata yang dipakai untuk mengungkapkan sifat atau keadaan orang, benda, atau binatang. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva mempunyai ciri dapat bergabung dengan kata ingkar tidak dan kata yang lain, seperti: sedang, agak, paling, sekali, cantik, sopan, mahal, dan murah. Kata berkategori ini pun dapat diperluas dengan menambah kata lain sehingga menjadi frase adjektival atau frase sifat (Suhardi, 2001:422).

(12)

2.2.3.4 Preposisi

Preposisi atau kata depan adalah salah satu jenis kata tugas yang bertugas sebagai unsur pembentuk frase preposisional. Contoh kata berkategori preposisional adalah di, ke, dari, oleh, dengan. Kategori kata ini juga dapat diperluas dan membentuk frase preposisional (Suhardi, 2001:423).

2.2.3.5 Adverbia

Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia, nomina, dan verba, seperti: lebih, paling, sekali, dan paling cantik. Berkaitan dengan kata atau frase berfungsi keterangan, seperti kemarin, besok pagi, dan hari ini, yakni ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa bentuk-bentuk kata atau frase tersebut secara fungsional diperlakukan sebagai keterangan dan secara kategorial diperlakukan sebagai adverbial waktu, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa bentuk-bentuk kata atau frase tersebut secara fungsional diperlakukan sebagai keterangan, tetapi secara kategorial akan diperlakukan sebagai nomina atau nominal (Suhardi, 2001:424).

2.2.3.6 Konjungsi

Konjungsi (kata sambung) adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan yang lain dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam konstruksi. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran, baik yang setataran maupun tidak setataran. Sesuai dengan makna satuan-satuan yang dihubungkan oleh konjungsi, maka dapat dibedakan tugas-tugas konjungsi, seperti: penambahan, pilihan, gabungan, perlawanan, temporal, perbandingan, sebab, akibat, syarat, tak- bersyarat,

(13)

pengandaian, harapan, perluasan, pengantar objek, cara, perkecualian, dan pengantar wacana. Contoh konjungsi, di antaranya: agar, asalkan, baik, maupun, bahwa, gara- gara, maka, sambil, tanpa, walaupun demikian.

Berbeda dengan keempat kelas kata utama (nomina, verba, adjektiva, adverbia), kata tugas (preposisi dan konjungsi) hanya mempunyai arti gramatikal (tidak memiliki arti leksikal). Hal ini berarti bahwa arti kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frase atau kalimat. Dengan demikian, kata tugas penanda makna cara, seperti: dengan, secara, melalui, tanpa, sambil, sembari, dan seraya, baru memiliki arti apabila dirangkaikan dengan satuan gramatis lain (Suhardi, 2001:425).

2.2.4 Peran Sintaktis

Verhaar (1995:70) mengatakan bahwa peran adalah sesuatu hal yang dialami oleh fungsi berdasarkan kelas kata. Verhaar juga mengatakan bahwa tidak banyak penelitian yang menyebutkan struktur peran terdapat dalam semua bahasa. Oleh karena itu dalam semua bahasa perlulah dasar untuk mengungkapkan adanya orang atau benda yang menjadi pelaku dan pasien. Tataran peran adalah istilah-istilah, seperti: pelaku, penderita, penerima, aktif, pasif, dan sebagainya.

Analisis peran sintaktis akan tepat apabila melihat hubungan antarunsur-unsur pengisi fungsi-fungsi sintaktisnya. Peran sintaktis, baik berupa pelaku maupun penderita atau yang lainnya merupakan hasil hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lainnya dalam suatu proposisi. Hubungan antara unsur-unsur tersebut ditentukan oleh unsur pengisi predikatnya. Dengan demikian, peran sintaktis adalah hubungan antara predikator dengan sebuah nomina dalam proposisi.

(14)

2.2.4.1 Frasa

Secara umum pola struktur frasa dalam bahasa Indonesia kemungkinannya ada lima (Suhardi, 2001:63) yaitu frasa terbentuk dari kata ditambah kata atau F=K+K, frasa terbentuk dari kata ditambah frasa atau F=K+F, F=F+K, F=F+F, dan frasa terbentuk dari kata ditambah klausa atau F=K+Kl.

Unsur frasa hanya bermakna diterangkan atau menerangkan yang kemudian terkenal dengan makna D-M. Unsur yang menduduki D (diterangkan) adalah unsur yang dikembangkan atau unsur atribut (Alisyahbana, 1976:69). Di samping itu, ada deksripsi lain mengenai makna unsur pembentuk frasa yaitu yang dikemukakan oleh Ramlan (1987:32). Ramlan memberikan deskripsi makna unsur pembentuk frasa berdasarkan hubungan antara unsur pembentuk yang satu dengan unsur pembentuk yang lain dalam konstruksi frasa. Makna tersebut antara lain makna penjumlahan, pemilihan, penunjuk, jumlah, ragam, negative, aspek, dan makna tingkat.

2.2.4.2 Klausa

Fungsi subjek di dalam konstruksi sintaksis berupa klausa diisi oleh peran semantik pelaku, penderita, alat, sebab, hasil, tempat, penerima, pengalam, dikenal, dan jumlah. Fungsi predikat diisi oleh peran semantik perbuatan, keadaan, pengenal, jumlah, dan pemerolehan. Fungsi objek diisi oleh peran semantik penderita, penerima, tempat, dan hasil. Fungsi pelengkap diisi oleh peran semantik penderita, alat, dan hasil. Fungsi keterangan diisi oleh peran semantik tempat, waktu, cara, penyebab, pelaku, penyerta, alat, dan penerima (Verhaar, 1995:71).

(15)

2.2.5 Penulisan Judul Berita Rubrik Opini

Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagaimana tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu, maka bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut Badudu (1988), bahasa jurnalistik memiliki sfat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki, baik oleh bahasa pers maupun bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Sehubungan dengan hal tersebut, penulisan judul-judul berita pada rubrik opini khususnya harus menarik karena opini adalah suatu persoalan sosial yang diekspresikan secara formal dengan bentuk-bentuk dan konstruksi yang formal pula.Oleh karena itu, beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik da judul-judul berita khususnya adalah sebagai berikut.

1) Singkat

Bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.

2) Padat

Bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya.

Menerapkan prinsip 5 W+1H (what, when, where, why, who, dan how), membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.

3) Sederhana

Bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif,

(16)

praktis, sederhana pemakaian katanya, dan tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis).

4) Lugas

Bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .

5) Menarik

Menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang.

Menghindari kata-kata yang sudah mati.

6) Jelas

Informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghidnari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogianya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.

2.3 Landasan Teori

Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah di dalam penelitian. Penelitian ini merupakan suatu analisis struktur bahasa yang menggunakan teori Linguistik Deskriptif atau Linguistik Struktural. Maksudnya, bahwa semua analisis dan penemuan selalu berdasarkan pada data yang terkumpul.

Teori yang digunakan adalah teori Struktural yang dicanangkan Verhaar yang merupakan sintesis dari beberapa teori sintaksis modern. Verhaar (2001:162) memilah-

(17)

milah kalimat berdasarkan fungsi, kategori, dan peran. Verhaar (1995:70) mengatakan bahwa fungsi-fungsi sintaksis itu terdiri atas unsur-unsur SPOK yang merupakan kotak- kotak kosong atau tempat-tempat kosong dan tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Kategori kelas kata ditentukan oleh konstituen-konstituen klausa (Verhaar 1995:70). Dalam hal ini yang termasuk dalam tataran kategori adalah istilah- istilah kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata depan (preposisional), dan sebagainya. Peran adalah sesuatu hal yang dialami oleh fungsi berdasarkan kelas kata. Tataran peran adalah istilah-istilah, seperti pelaku, penderita, penerima, aktif, pasif, dan sebagainya.

Struktur merupakan susunan bagian-bagian dalam dimensi linier (Verhaar, 1983:107). Sebagai unsure kajian sintaksis, frasa memiliki konstruksi yang berbeda dengan unsur kajian sintaksis lainnya. Frasa pada umumnya terbentuk oleh gabungan kata, akan tetapi tidak menutup kemungkinan unsure frasa berupa gabungan frasa dan frasa, bahkan mungkin sekali berupa gabungan kata dan klausa. Kemungkinan ini menyebabkan adanya pola struktur frasa yang berbeda antara jenis frasa yang satu dengan jenis frassa lainnya. Di samping itu pertemuan antara unsur-unsur frasa tersebut juga menimbulkan makna. Makna hubungan antar klausa ini juga banyak ditentukan pada struktur frasanya.

Klausa pada umumnya merupakan konstituen sebuah konstruksi kalimat.

Penelitian ini berupa penelitian struktur klausa, maka teori Struktural ini digunakan untuk mengkaji fungsi, kategori, dan peran dalam judul-judul berita surat kabar Bali Post. Jadi, teori Struktural membahas bahasa dari segi strukturnya.

Selain itu, mengingat bahasa merupakan paduan antara aspek bentuk (formal aspect) dan aspek arti (semantic aspect), maka dalam analisis struktural juga dibicarakan

(18)

segi semantisnya. Hal ini sesuai dengan pandangan kaum strukturalis yang menekankan pada analisis struktural, tetapi tidak meninggalkan arti. Berlandaskan pada teori Struktural ini, diharapkan diperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan karena teori ini berusaha menggambarkan fakta atau objek secara empiris.

Referensi

Dokumen terkait

KESATU : Membentuk Satuan Tugas Anti Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA) Berbasis Masyarakat di Tingkat Desa Mappedeceng, Desa Benteng, Desa

Bahan pangan yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki

KESEHATAN UPAYA KEGIATAN TUJUAN.. SA SA RA N TA RGE T Fre k Or an g

adalah biaya masa lalu yang tidak dapat diubah oleh keputusan investasi masa depan (tidak harus dipertimbangkan dalam analisis ekonomi suatu.

Skripsi dengan judul “Analisis Kombinasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan PBL Pada Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Tematik Kelas III SDN Dinoy

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, guru sebagai salah satu unsur yang berperan penting dalam proses pembelajaran harus mampu memilih media,

Table matrik ini untuk !etiap pa!angan kriteria-kriteria, ukuran Table matrik ini untuk !etiap pa!angan kriteria-kriteria, ukuran kuantitati dan kualitati dari eek yang

regresi berganda), ukuran sampel sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian. Untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen yang