• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAII DALAM PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Boctrocera sp. (DIPTERA: TEPHRITIDAE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAII DALAM PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Boctrocera sp. (DIPTERA: TEPHRITIDAE)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA T.ULIS

ILMIAH

PEMANFAATAN TEKNIK FISIKA TERAPAII DALAM PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Boctrocera

sp.

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

Oleh:

I

Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si.

JIJRUS$I

FISIKA

FAKT'LTAS

MATEMATIKA

DAII ILMU PENGETAHUAI\I

ALAM

UNIYf,RSITAS UDAYANA

2016

(2)

HALAMAN PENGESAIIAN KARYA TULIS ILMIAH

Judul Penelitian

Ketua

a. Namakngkap b. NIP

c. JabatanFungsional d. Program Studi e. Nomor IIP

f.

Alamat surel (e-mail)

Pemanfaatan Teknik Pengendalian Hama (Diptera: Tephritidae)

Fisika

Terapan dalam

Lalat Buah Bactracera sp.

I Gde Antha Kasmawan, S.Si., M.Si.

t9670624199402r00r Lektor

Fisika

08t337314289

[email protected] gdeanthakas@yahoo. com

NIP. 1 966061rr99702t001

Universitas Udayana

Made Suaskara, M.Si.)

Bukit Jimbaran, 27 luli 2016 Penyusun

(I Gde Antha Kasmawan, S.Si.,M.Si.) NIP. 1 9670 624t99402t00r

(3)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia-Nya penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan judul: “Pemanfaatan Teknik Fisika Terapan dalam Pengendalian Hama Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae)” telah berhasil kami selesaikan. Adapun penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu unsur publikasi dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Jurusan Fisika F.MIPA Universitas Udayana.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada rakan-rekan sejawat yang telah memberikan bantuan dan motivasi untuk terselesainya Karya Tulisan Ilmiah ini. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik langsung maupun tak langsung, dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.

Kami berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan untuk memahaminya lebih lanjut, dipersilakan menyimak langsung lewat daftar pustaka di bagian belakang makalah ini. Segala saran dan kritik yang membangun kami harapkan demi peningkatan kualitas Karya Tulis Ilmiah ini.

Mengwi, Juni 2016

Penyusun

(4)

iii

DAFTAR ISI

Halaman:

Lembaran Pengesahan ..………..…….………. i

Kata Pengantar …...………...………… ii

Daftar Isi ………..………. iii

Daftar Gambar ………..…. iv

Bab I Pendahuluan ……….…….. 1

1.1 Latar Belakang ..………..……….... 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 3

1.3 Tujuan ………...…... 4

1.4 Ruang Lingkup Permasalahan ………. 4

Bab II Tinjauan Pustaka ………..………..…. 5

2.1 Morfologi Lalat Buah Bactrocera ………..…. 5

2.2 Siklus Hidup Lalat Buah Bactrocera ………... 6

2.3 Interaksi Serangga Herbivora dan Tanaman ……… 7

2.4 Pengendalian Hama Lalat Buah ……… 9

2.4.1 Pengendalian hama dengan teknik fisika terapan ... 10

2.4.2 Radiasi sinar gamma dan pengaruhnya terhadap organisme ….. 11

Bab III Pemanfaatan Teknik Fisika Terapan dalam Pengendalian Hama Lalat Buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae) ………..……… 14

3.1 Pengendalian Hama secara Mekanik …………...……….... 14

3.2 Pengendalian Hama dengan Cahaya ... 15

3.3 Pengendalian Hama dengan Bunyi ………... 16

3.4 Pengendalian Hama dengan Radiasi ……… 18

3.5 Pengendalian Lalat Buah Bactrocera dengan Radiasi Gamma ... 19

BAB IV Penutup ……….…………. 22

4.1 Kesimpulan ……… ………... 22

4.2 Saran ………. 23

Daftar Pustaka ………..……….… 24

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 2.1 Morfologi lalat buah ………...…………..…….………. 5 Gambar 2.2 Lalat buah Bactrocera carambolae imago ………. 6 Gambar 3.1 Perangkap cahaya (Light Trap) (BPPP, 2012) ……… 15

(6)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lalat buah Bactrocera, termasuk ke dalam ordo Diptera, keluarga Tephritidae, yang dalam kehidupannya lebih dikenal sebagai hama pemakan buah (frugivorous) dan termasuk hama utama. Hama lalat tersebut telah menjadi persoalan serius karena dapat memperkecil produksi dan dapat membatasi perdagangan antar pulau bahkan antar negara. Beberapa kasus serangan lalat buah yang menyebabkan penurunan produksi buah telah terjadi di beberapa bagian wilayah di Indonesia. Pada tahun 2005, di Kabupaten Sumedang, lalat buah Bactrocera dorsalis complex telah merusak buah pada 87.591 pohon mangga di lahan seluas 875 ha yang mengakibatkan 18,5 ton dari 220 ribu ton gagal panen. Sementara itu, di Kabupaten Kendal, serangan lalat buah telah mengakibatkan penurunan produksi buah lengkeng hingga mencapai 35% (Trubus, 2009). Di Kabupaten Karo (Sumatra Utara), serangan lalat buah juga telah mengakibatkan penurunan produksi jeruk hingga mencapai 40%

pada Januari 2012 (Kompas, 2012) dan pada Februari 2013, hampir 9.702,4 hektar dari 14.008 hektar lahan jeruk terancam rusak akibat dari serangan lalat buah (Berita Sore, 2013). Serbuan lalat tersebut di wilayah Jawa timur dan Bali mempelihatkan intensitas cukup tinggi hingga mencapai 70% dan bahkan dapat mencapai 100% pada buah belimbing dan jambu biji (Kardinan dkk., 2009). Sebagai faktor penghambat perdagangan, hama lalat buah telah mengakibatkan kegagalan ekspor produk buah asal Indonesia ke manca negara. Indonesia pada tahun 2006 tercatat pernah ditolak oleh Jepang, Australia, dan Belanda untuk ekspor komoditas mangga arumanis karena terdapat larva lalat di dalam daging buah tersebut (Trubus, 2009). Hal yang sama juga pernah terjadi untuk komoditas papikra Indonesia yang pernah ditolak Taiwan (Balittra 2013).

Malavasi et al. (2013) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik utama yang menyebabkan status lalat buah Bactrocera sebagai serangga invasif yang potensial, yaitu laju pertumbuhan populasinya yang cepat dan besar, kemampuan penyebaran alaminya yang tinggi, serta sebaran antropogenik yang tinggi karena tahapan siklus

(7)

2 hidup telur dan larva selalu ada di dalam buah yang segar. Salah satu contoh penyebaran lalat buah tersebut adalah carambolae fruit fly (CFF), spesies asli asal Indonesia, telah ditemukan di Suriname, yang mana kedua negara ini adalah sama- sama bekas koloni Belanda. Lalat buah Bactrocera mempunyai kemampuan untuk menyebar dengan cepat dan menyerang buah-buahan yang ada di daerah yang letaknya jauh dari pusat penyebaran aslinya. Berkenaan dengan hebatnya serangan lalat buah tersebut pada jenis buah-buahan komersial akhirnya mendorong semua negara pengimpor untuk memberlakukan peraturan karantina terhadap serangga tersebut. Adanya aturan tersebut dapat menghambat penjualan produk buah dan perluasannya (Kardinan dkk., 2009).

Siklus hidup lalat buah Bactrocera melewati empat tahapan, yaitu tahap telur, larva, pupa (kepompong), dan imago dan siklus hidupnya dari telur hingga imago produktif dapat mencapai selama sekitar 30-40 hari. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa lalat imago bisa tetap bertahan hidup selama 125 hari.

Bagaimanapun, umur serangga tersebut dapat bervariasi dengan lingkungan khususnya suhu dan ketersediaan pakan. Tahap telur dan larva dilewati di dalam daging buah. Saat mencapai instar akhir, larva lalat buah akan meloncat dan melenting keluar hingga jatuh ke tanah. Di dalam tanah, larva tersebut kemudian akan menjadi pupa dengan kulit terakhirnya hingga akhirnya menjadi imago (Malavasi et al., 2013).

Lalat buah Bactrocera memiliki siklus hidup relatif cepat dan tingkat penyebaran yang cepat dan luas sehingga perlu dikendalikan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Sistem PHT ini merupakan hasil pemahaman dari perpaduan berbagai disiplin ilmu eksakta dan sosial/ekonomi. Penerapan PHT haruslah disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sosial/budaya setempat untuk lebih menjamin proses pembangunan pertanian berkelanjutan yang mengutamakan kelestarian lingkungan (Oka, 2005). Penerapan PHT terkait dengan tindakan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tindakan tersebut dapat melalui cara fisika, lewat penggunaan unsur radioaktif tertentu; metode mekanik biasa, lewat pemakaian alat ataupun kecakapan/

kesanggupan fisik; metode budidaya, lewat penyesuaian waktu bercocok tanam; cara

(8)

3 genetik, lewat manipulasi gen tanaman atau pengganggunya; metode kimiawi, lewat pengguanan pestisida; serta metode-metode lainnya berdasarkan kemajuan ilmu dan teknologi (Budiasa, 2011).

Baik pemerintah maupun petani telah banyak melakukan upaya pengendalian hama lalat buah Bactrocera. Secara konvensional, beberapa cara pengendalian hama tersebut adalah melalui pembungkusan buah dengan lembaran kertas atau kantong plastik (pembrongsongan) dan melalui penggunaan pestisida. Pada umumnya, pengendalian hama yang lazim digunakan adalah melalui penggunaan pestisida sintetis, baik digunakan secara langsung maupun tak langsung. Hasil pengendalian dengan pestisida sinetetis memang lebih cepat diketahui hasilnya dan bersifat lebih praktis. Walaupun bersifat praktis, banyak ekses penggunaan pestisida tidak baik bagi kesehatan manusia.

Penelitian tentang PHT untuk hama lalat buah Bactrocera telah banyak dilakukan. Penggunaan pestisida alami (pestisida selasih) sebagai atraktan yang diterapkan pada tanaman mangga di Sumedang ternyata mampu meminimalisasi pemakaian pestisida sintetis sebesar 62%, dapat meminimalisasi rusaknya buah hingga 34%, dan mampu mendongkrak hasil panen hingga 73% (Kardinan, 2009). Di sisi lain, PHT untuk Bactrocera telah dicoba menggunakan ilmu fisika terapan, ilmu radiasi, yang salah satunya adalah melalui penggunaan radiasi sinar Gamma dengan dosis tertentu. Teknik pengendalian tersebut kemudian lebih dikenal sebagai teknik jantan mandul (TJM) atau pada serangga disebut dengan istilah teknik serangga mandul (TSM).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, beberapa permasalahan dapat dituliskan sebagai berikut :

1. Apa sajakah cabang-cabang ilmu fisika terapan dan perannya dalam PHT khususnya dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera?

2. Bagaimanakah pemanfaatan teknik ilmu fisika terapan khususnya teknik radiasi dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera?

(9)

4 1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah untuk:

1. Memahami cabang-cabang ilmu fisika terapan dan perannya dalam PHT khususnya dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera.

2. Memahami pemanfaatan teknik fisika terapan khususnya teknik radiasi dalam pengendalian hama lalat buah Bactrocera.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah pemanfaatan teknik fisika terapan dalam pengendalian hama serangga secara umum. Pembahasan selanjutnya dikhususkan pada pengendalian hama terpadu khususnya untuk pengendalian lalat buah Bactrocera sp. (Diptera: Tephritidae).

(10)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Lalat Buah Bactrocera

Lalat buah Bactrocera, termasuk ke dalam Ordo Diptera, Famili Tephritidae, Subfamili Dacinae, Tribe Dacini. Di alam, Famili Tephritidae terdapat sekitar 4000 spesies dan dikelompokkan ke dalam 500 genus. Secara morfologis, Tribe Dacini dibagi ke dalam tiga genus, yaitu Bactrocera, Dacus, dan Monacrostichus (Siwi dkk, 2006).

Lalat buah Bactrocra dewasa agak mirip dengan lalat rumah biasa, dengan panjang tubuh sekitar 8,0 mm, lebar sekitar 3 mm, dan sayap sekitar 7,3 mm.

Morfologi lalat buah ditunjukkan oleh Gambar 2.2 (Sukarmin, 2011). Bentuk kepala agak bulat berwarna merah kecoklatan dengan sepasang antena pendek. Bagian dada warnanya jingga, merah agak coklat, coklat kehitaman, dan umumnya ada dua garis memanjang dengan sayap tembus pandang berjumlah sepasang.

Gambar 2.1 Morfologi lalat buah (Sukarmin, 2011)

Pada bagian abdomen dapat dijumpai dua pita menyilang dan satu pita memanjang berwarna hitam yang kadang-kadang tidak tampak jelas. Lalat buah Bactrocera antara imago jantan dan betina terlihat jelas pada bagian abdomennya. Abdomen

(11)

6 pada lalat jantan lebih bulat sedangkan pada betina terdapat ujung agak runcing dengan alat peletak telur (ovipositor), seperti dalam Gambar 2.2 (Weems et al, 2012, Ditlinhort, 2013, dan Malavasi et al, 2013).

Gambar 2.2 Lalat buah Bactrocera carambolae imago (Malavasi et al, 2013)

2.2 Siklus Hidup Lalat Buah Bactrocera

Siklus kehidupan Bactrocera melewati empat tahapan, yaitu tahap telur, larva, kepompong, dan dewasa. Lalat buah ini menyelesaikan siklus dari telur hingga dewasa produktif sekitar 30-40 hari. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa lalat dewasa bisa tetap hidup selama 125 hari. Bagaimanapun, umur dapat bervariasi dengan suhu lingkungan dan ketersediaan pangan. Telur lalat buah berwarna putih bening sampai kuning krem, dan berubah agak lebih tua mendekati saat menetas (setelah 2 hari). Telur berbentuk bulat panjang seperti pisang dengan ujung meruncing, berukuran panjang 1,2 mm, lebar 0,2 mm, berkelompok 2 – 15 butir di bawah kulit buah. Setelah larva menetas, mereka mulai makan dan membuat liang di dalam daging buah. Larva lalat (3 instar) berupa belatung (bulat panjang), salah satu ujung larva berbentuk lancip (meruncing) dengan dua bintik hitam sebagai alat kait mulut, memiliki tiga ruas torak, delapan ruas abdomen, warnanya putih kekuning- kuningan dengan panjang sekitar 10 mm. Larva instar 3 mempunyai kemampuan

(12)

7 meloncat dan melenting keluar dari dalam buah dan menjatuhkan diri ke tanah, membentuk puparium dari kulit larva terakhirnya dan menjadi pupa di dalam tanah.

Stadium larva 6 – 9 hari. Pupa lalat buah berwarna coklat, bentuknya oval dan panjangnya sekitar lima mm. Umur pupa sekitar 10 hari, dan menjadi lalat buah dewasa. (Ditlinhort, 2013, dan Malavasi et al, 2013)

Pada B. carambola, perkawinan terjadi tepat sebelum gelap ketika intensitas cahaya menjadi kurang dari 1000 lux dan umumnya terjadi pada tanaman inang. Di Suriname, kawin pertama B. carambolae betina biasanya terjadi 18 hari setelah kemunculnya. Kemudian, lalat buah betina ini menusuk buah mentah dan sehat dengan ovipositornya, dengan cara membuat rongga. Biasanya, jumlah telur dihasilkan sebanyak 3000 telur selama hidupnya di laboratorium dan 1200-1500 telur pada masa produktif di bawah kondisi lapangan. Lalat buah dewasa, baik jantan maupun betina, membutuhkan makanan yang kaya asam amino, vitamin, mineral, karbohidrat dan air untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Baik imago jantan maupun betina harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari makan setiap hari di liungkungan sekitarnya. Jenis-jenis makanan lalat buah Bactrocera dapat bervariasi seperti makanan termasuk melon, madu bunga, serbuk sari, jus buah, buah matang, mikroorganisme dan kotoran burung (Malavasi et al, 2013).

2.3 Interaksi Serangga Herbivora dan Tanaman

Untuk lebih memahami lalat buah Bactrocera sebagai hama tanaman, sangat penting untuk mengetahui adanya interaksi antara serangga herbivora dan tanaman sebagai inangnya. Proses terjadinya interaksi serangga herbivora dan tanaman dapat dilihat dari aspek serangga dan tanaman (Marcia et al., 2002). Ditinjau dari aspek serangga, pada dasarnya terdapat lima tahapan proses yang dilalui sehingga terjadi atau tidaknya interaksi antara serangga dan tanaman sebagai inangnya. Lima tahapan dari proses tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menemukan habitat tanaman:

Habitat tanaman inang dapat ditemukan serangga berdasarkan rangsangan/

stimulus fisik, seperti cahaya, angin, gravitasi, temperatur, serta kelembaban.

Rangsangan ini akan memandu serangga menuju habitat tanaman inang.

(13)

8 2. Penemuan tanaman inang

Setelah menemukan habitat tanaman inangnya, serangga menemukan keberadaan tanaman inang dengan mengandalkan sinyal (isyarat) visual dalam bentuk warna, bentuk, dan ukuran tanaman inang serta aroma (kimia) dari tanaman inang.

3. Pengenalan tanaman inang

Tanaman untuk inang dikenali serangga dengan mencicipinya. Apabila seleranya sesuai, proses berlanjut dan bila tidak, serangga akan pergi ke tanaman lainnya.

4. Penerimaan tanaman inang.

Beberapa faktor fisik yang berpengaruh pada proses penerimaan inang adalah kondisi permukaan daun, meliputi kekerasannya, ada tidaknya lapisan lilin, dan kepadatan serta jenis bulu daun (pubescence).

5. Ketersediaan (kecukupan) tanaman sebagai inang

Syarat kelima dalam proses interaksi antara serangga dan tanaman inang adalah kecukupan tanaman sebagai inang yang meliputi kecukupan nutrisi dan tidak terdapat zat toksik dalam tanaman inang.

Bila dilihat dari sudut/sisi pandang tanaman, berlangsungnya proses interaksi serangga herbivora dengan tanaman sebagai inangnya dapat dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu:

1. Faktor morfologis

Tanaman inang biasanya menyajikan rangsangan (stimulus) fisik yang dapat menarik serangga hama untuk mendekatinya. Faktor morfologis tersebut dapat berupa ukuran daun, bentuk daun, warna daun, dan ketersediaan sekresi kelenjar.

Faktor-faktor lain seperti ada tidanya rambut pada daun serta keras tidaknya jaringan pada daun dapat pula mempersempit ruang gerak dan makan serangga.

2. Faktor fisiologis

Metabolisme tanaman menghasilkan senyawa kimia, yaitu senyawa primer dan sekunder. Senyawa primer adalah senyawa kimia yang berperan sebagai bahan katalis reaksi, pembentuk jaringan, serta penyedia energi, yang sangat terkait dengan pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Sedangkan, senyawa sekunder

(14)

9 adalah senyawa yang diduga berperan dalam mekanisme pertahanan serangga terhadap serangga lainnya. Adanya dugaan ini mengingat peranan senyawa ini belum jelas dalam metabolisme tanaman. Meski demikian, kedua senyawa ini berpengaruh pada proses pemilihan tanaman sebagai inang oleh serangga.

2.4 Pengendalian Hama Lalat Buah

Lalat buah adalah serangga perusak buah-buahan dan tanaman hortikultura lainnya yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Tingkat kerusakan dapat mencapai 75%. Adanya gangguan lalat buah di beberapa daerah di Jawa Timur dan Bali sangat bervariasi dengan selang lebar berkisar dari 6,4% hingga 70%. Gangguan lalat buah pada buah manga berada dalam kisaran 14,8% hingga 23%. Namun pada belimbing dan jambu biji, gangguan hama lalat buah berakibat fatal bahkan kerugian yang dialami petani hingga 100%. Oleh kerena itu, keberadaan lalat buah menjadi permasalahan serius dan bisa menjadi penghambat perdagangan (trade barrier) dunia (Kardinan dkk, 2009). Komoditas ekspor dari produk tanaman akan ditolak apabila di dalamnya ditemukan telur atau larva lalat buah, seperti yang pernah terjadi pada komoditas paprika Indonesia yang ditolak oleh Taiwan (Balittra, 2013).

Dengan siklus hidup yang relatif cepat dan tingkat penyebarannya yang cepat dan luas maka perlu dikendalikan system Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pada dasarnya, PHT bukanlah hal baru untuk Indonesia. Pada tahun 1925, pada ahli Belanda telah menerapkan PHT untuk tanaman kelapa, yaitu penanggulangan hama Artona catoxanta yang hanya menggunakan kombinasi penyemprotan insektida botanik dan pemanfaatan musuh-musuh alaminnya. Konsep PHT kembali digiatkan kembali setelah gagalnya upaya pemerintah dalam pemberantasan hama dan penyakit tanaman yang hanya menggunakan insektisida kimiawi. Melalui instruksi presiden nomor 3 tahun 1986, Indonesia kembali menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Konsep ini adalah hasil pemahaman dari perpaduan berbagai disiplin ilmu-ilmu eksakta dan sosial/ekonomi. Penerapan PHT disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sosial/budaya setempat untuk lebih menjamin proses pembangunan pertanian yang mengutamakan kelestarian lingkungan (Oka, 2005). Selanjutnya, penerapan PHT diperkuat dengan peraturan pemerintah (PP No. 6 Th.1996) yang

(15)

10 mengatur mengenai perlindungan tanaman bahwa untuk pengendalian hama atau organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat menggunakan metode fisika, lewat penggunaan unsur radioaktif tertentu; metode mekanik, lewat pemakaian peralatan mekanis; metode budidaya, lewat penyesuaian penanaman tanaman; metode genetik, lewat manipulasi gen tanaman atau pengganggunya; metode kimiawi, lewat pemakaian pestisida; serta metode-metode lainnya berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi terkini (Budiasa, 2011).

Lalat buah tidak cukup hanya dikendalikan dengan ME (methyl eugenol) saja namun harus dipadukan dengan cara lainnya misalnya sanitasi kebun yaitu membersihkan dan mengubur buah busuk yang terserang lalat buah pada kedalaman 60-70 cm, pembrongsongan buah sedini mungkin ketika buah masih kecil dengan kertas semen atau plastik dan lain sebagainya, serta pemanfaatan musuh alami lalat buah berupa parasitoid yaitu dari jenis Opius sp. (Sarwono, 2003).

2.4.1 Pengendalian Hama dengan Teknik Fisika Terapan

Pengendalian hama terpadu (PHT) dengan teknik fisika terapan, khususnya untuk pengendalian serangga, umumnya menggunakan berbagai cara, yaitu mekanik, cahaya, bunyi, dan radiasi. Pengendalian dengan cara mekanik merupakan cara yang paling sederhana misalnya menggunakan sweeper aspirator. Alat sweeper aspirator tersebut khusus digunakan untuk menghisap serangga yang sedang terbang bebas di udara. Konstruksi alat tersebut berupa tabung yang dilengkapi baling-baling untuk menghisap serangga (Dirjen PPPL, 2010). Pengendalian dengan cahaya misalnya dengan perangkap cahaya (light trap). Alat light trap adalah suatu alat yang dipakai di malam hari khusus untuk mengendalikan serangga hama yang tertarik pada cahaya (BPPP, 2012). Komponen utama dari perangkap cahaya adalah berupa lampu, corong dan kantung plastik, serta atap pengaman dari cuaca buruk. Lampu perangkap cahaya dapat berupa lampu gantung berbahan bakar minyak bumi atau lampu pijar yang berkekuatan minimal 100 watt sedemikian hingga dapat difungsikan sebagai alat penarik serangga di waktu malam. Untuk mengendalikan serangga dengan bunyi, umumnya menggunakan bunyi frekuensi tinggi (gelombang ultrasonik). Lewat pembangkit bunyi, serangga dikenai paparan bunyi dengan frekuensi tertentu yang

(16)

11 biasanya mirip frekuensi gelombang bunyi dari si predator serangga (Mankin, 2012).

Pengendalian serangga dengan radiasi adalah pengendalian yang memanfaatkan efek radiasi dari suatu sumber radiasi, misalnya Co-60, terhadap serangga sebelum serangga tersebut dilepaskan. Untuk pengendalian dengan radiasi sebelumnya perlu dibahas tentang radiasi sinar gamma dan pengaruhnya terhadap organisme mengingat pengendalian cara ini sudah banyak dilakukan dan dipublikasikan khususnya untuk pengendalian lalat buah Bactrocera sp.

2.4.2 Radiasi Sinar Gamma dan Pengaruhnya terhadap Organisme

Radiasi sinar Gamma dapat dihasilkan dari sumber radiasi kobalt, yaitu Co- 60. Co-60 merupakan sumber radiasi yang dihasilkan dari aktivitas Co-9 yang ditembak neutron dalam reaktor nuklir, sehingga menjadi radioaktif, dengan persamaan reaksi :

Co59nCo60 (2.1) Hasil peluruhan Co-60 menjadi Ni-60 akhirnya dapat menghasilkan dua sinar gamma dengan energi masing-masing sebesar 1,17 MeV dan 1,33 MeV, dan waktu paruhnya sebesar 5,26 tahun atau konstanta peluruhan 0,011 bulan-1 (Akhadi, 2000).

Radiasi gamma (radiasi ionisasi) pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme pengganggu tanaman (OPT), baik berupa kelainan morfologi, fisiologi maupun kerusakan genetis. O'Brient dan Wolf (1976) menyatakan bahwa radiasi pengion yang mnyebabkan derajat kerusakan (kelainan) tergantung pada beberapa faktor, antara lain faktor teknik, faktor lingkungan, dan faktor biologi.

Beberapa faktor teknik radiasi yang berpengaruh terhadap derajat kelainan pada OPT, antara lain :

1. Tipe penyinaran: sinar dengan RBE (Relative Biological Effectiveness) tinggi akan memberikan efek lebih berat dibandingkan sinar bernilai RBE rendah.

2. Teknik pemberian dosis: dosis radiasi yang diberikan bertahap dan sekaligus akan memberikan pengaruh radiasi berbeda

3. Laju dosis: radiasi laju dosis tinggi akan berpengaruh lebih berat dibandingkan dengan laju dosis rendah, walaupun besar dosis yang diberikan besarnya sama.

(17)

12 Faktor lingkungan akibat radiasi ionisasi yang berpengaruh terhadap derajat kelainan pada OPT adalah faktor suhu dan atmosfer. Perbedaan suhu sebelum, selama, dan setelah penyinaran dapat memberikan pengaruh yang berbeda. Juga, radiasi dalam lingkungan atmosfer nitrogen akan memberikan pengaruh yang lebih rendah daripada jika diberikan pada lingkungan atmosfer oksigen. Ha ini karena oksigen yang terkena radiasi akan berubah menjadi ozon (O3) yang akan bersifat toksik.

Faktor biologi akibat radiasi ionisasi yang mempengaruhi derajat kelainan pada OPT, antara lain perbedaan spesies dan variasi sel/jaringan. Pada umumnya, spesies yang jumlah kromosomnya yang lebih banyak lebih peka terhadap radiasi daripada spesies yang jumlah kromosomnya sedikit. Untuk spesies yang ukuran kromosomnya besar akan lebih peka terhadap radiasi dibandingkan dengan spesies yang ukuran kromosomnya kecil. Juga, untuk spesies yang memiliki kromosom dengan setromer tunggal akan lebih peka terhadap radiasi daripada spesies yang mempunyai sentromer ganda. Selanjutnya, kepekaan sel terhadap radiasi akan berbanding lurus dengan aktivitas pembelahan sel dan berbanding terbalik dengan tingkat diferensiasinya (hukum Bergonnieden Tribondeau). Dengan demikian, sel-sel muda yang sedang aktif membelah dan masih dalam tingkat diferensiasi akan lebih peka terhadap radiasi daripada sel-sel yang tidak membelah dan tidak terdiferensiasi lagi.

Organisme yang dikenai radiasi akan dapat mengakibatkan kemandulan.

Menurut La Chance (1997), gejala kemandulan sebagai akibat radiasi pada OPT jantan dapat disebabkan oleh gejala seperti :

1. Aspermia (jantan tidak memiliki sperma) atau tidak tersedianya sperma matang untuk dipindahkan ke betina pada saat kopulasi. Aspermia biasanya terjadi apabila penyinarannya dilakukan pada stadium pupa mupun dewasa.

2. Inaktivasi sperma, yaitu hilangnya kemampuan sperma membuahi sel telur.

Radiasi tidak sampai memutuskan daur spermatogenesis tetapi sperma yang dihasilkan berada dalam keadaan tidak aktif atau lemah.

3. Mutasi laten dominan,, yaitu kelainan yang terjadi pada gen atau kromosom baik pada sperma maupun sel telur yang mengakibatkan kematian pada zigot yang dihasilkan.

(18)

13 4. Ketidakmampuan kawin dapat terjadi baik pada jantan maupun betina.

Selain merusak sel gamet, radiasi juga merusak sel somatik dan menghambat biosintesa enzim atau hormon yang berperan dalam perkawinan, sehingga OPT menjadi lemah dan tidak mampu melakukan perkawinan dengan baik atau daya saing kawin menurun (Knipling, 1955).

Dosis ambang sterilitas yang permanen berdasarkan International Commission on Radiological Protection (ICRP 60) adalah berkisar antara 3,5 Gy hingga 6 Gy. Pemberian dosis yang semakin besar pada testis akan mengakibatkan penurunan jumlah sel sperma semakin banyak dan waktu pulih kembali normal juga akan semakin lama, selama dosis ambang kemandulan permanen belum tercapai.

Dosis ambang terjadinya sterilitas yang bersifat sementara adalah sebesar 0,15 Gy karena pada dosis tersebut penurunan jumlah sel sperma selama beberapa minggu sudah terjadi (ICRP 60, 1990).

(19)

14

BAB III

P E M A N F A AT AN T E K NI K FI S I K A T E R A P A N DA L A M PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH Bactrocera sp.

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, pengendalian hama terpadu (PHT) yang memanfaatkan teknik fisika terapan merupakan pengendali hama yang memenuhi kriteria untuk pertanian berkelanjutan khususnya ramah lingkungan. PHT dengan teknik fisika terapan khususnya untuk pengendalian serangga, secara umum memanfaatkan cara mekanik, cahaya, bunyi, dan radiasi.

3.1 Pengendalian Hama secara Mekanik

Pengendalian hama serangga secara mekanik memanfaatkan sifat-sifat mekanik dari suatu benda, seperti gerak translasi dan rotasi. Sebagai contoh, Sweeper Aspirator, yaitu suatu peralatan berupa tabung dengan baling-baling penghisap yang mampu untuk menghisap serangga khususnya nyamuk (Dirjen PPPL, 2010). Dengan peralatan tersebut, serangga nyamuk dapat dikendalikan. Tingkat keberhasilan dari pengendalian nyamuk dengan peralatan tersebut tentunya sangat tergantung kepada keterampilan operator dalam menggunakan peralatan dan kekuatan dari daya hisap alat tersebut. Selama ini, penelitian tentang pengendalian hama lalat buah bactrocera menggunakan metode dan peralatan tersebut belum diketahui. Hal ini mungkin disebabkan kurang selektifnya alat ini untuk diterapkan pada pengendalian hama baik dalam skala laboratorium maupun di lapangan. Dengan daya hisapnya, alat ini akan menghisap apa saja termasuk serangga. Serangga yang mungkin terhisap baik yang mengganggu maupun yang berguna bagi tumbuhan. Untuk penerapan di lapangan, alat ini akan memerlukan daya hisap yang besar sehingga komponen pendukungnya juga berkapasitas besar dan memerlukan energi yang besar pula.

Dengan kata lain, alat Sweeper Aspirator tidak begitu efektif untuk pengendalian hama lalat buah Bactrocera. Dengan kata lain, penggunaan peralatan Sweeper Aspirator dinilai kurang efektif dan efisien untuk PHT lalat buahbactrocera.

(20)

15 3.2 Pengendalian Hama dengan Cahaya

Pengendalian hama serangga dengan cahaya memanfaatkan sifat-sifat cahaya dan ketertarikan serangga pada cahaya. Contoh peralatan yang memanfaatkan cahaya yang banyak dijumpai di lahan pertanian adalah perangkap cahaya (Light Trap), seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3.1. Perangkap cahaya ini dinilai mampu mengendalikan hama serangga pada waktu malam (BPPP, 2012). Metode perangkap cahaya ini memanfaatkan cahaya lampu dan ketertarikan serangga pada cahaya di malam hari.

Gambar 3.1 Perangkap cahaya (Light Trap) (BPPP, 2012)

Komponen utama dari perangkap cahaya adalah yaitu sumber cahaya (lampu), cerobong dan atap dari bahan plastik. Bola lampu berkekuatan 100 watt, digunakan sebagai penarik serangga saat malam hari. Cerobong sebagai tempat masuk serangga, dilengkapi kantung plastik yang fungsinya sebagai penampung serangga yang telah

(21)

16 terjebak. Sedangkan, atap plastik berfungsi sebagai pelindung lampu listrik serta komponen lainnya pada saat cuaca buruk atau hujan.

Selama ini, perangkap cahaya telah dinilai cukup berhasil pengendalian hama serangga. Di BB Padi Sukamandi, saat populasi sedang tinggi, penggunaan alat tersebut telah berhasil menangkap wereng coklat sebanyak 376.000 ekor/malam/unit.

Selanjutnya, masing-masing sebanyak 12.000 ekor/malam/unit penggerek batang padi kuning dan 146.000 ekor/malam/unit kepinding tanah telah berhasil ditangkap menggunakan perangkap cahaya tersebut (BPPP, 2012). Sedangkan penelitian tentang pengendalian hama lalat buah bactrocera dengan metode ini belum diketahui. Hal ini mungkin disebabkan karakteristik lalat buah Bactrocera yang kurang tertarik pada cahaya di malam hari.

3.3 Pengendalian Hama dengan Bunyi

Pemanfaatan bunyi atau akustik sebagai terapan ilmu fisika telah diupayakan pemanfaatannya. Daerah potensial bagi pertumbuhan penggunaan teknologi akustik dalam pengeloaan hama meliputi produksi sinyal yang mengganggu komunikasi getaran, terutama pada Hemiptera, dan pengembangan perlakuan pengendalian yang menggabungkan feromon dengan sinyal bunyi atau sinyal getaran yang terpola dengan tepat. (Mankin, 2012). Salah satu bidang penerapan akustik dalam PHT adalah pemanfaatan gelombang bunyi.

Uji coba pemanfaatan gelombang bunyi, khususnya ultrasonik (frekuensi di atas 20 kHz) telah diterapkan pada serangga tertentu. Penerapan ultrasonik pada serangga telah dilakukan pada nyamuk, kumbang, semut, lalat, dan serangga lainnya.

Pada gandum, penerapan gelombang ultrasonik telah berhasil mengendalikan hama Sitophilus granaries dewasa dalam biji gandum ketika biji gandum dikenai paparan ultrasonik sekitar 5,4 watt/cm2 selama 2,5 menit (Penhuusen et al, 1997; Vincen et al, 2002). Selanjutnya, penerapan perangkat ultrasonik pada semut putih, Technomyrmex albipes (Hymenoptera: Formicidae) telah pula memberikan hasil yang memuaskan (Warner, 2005). Penerapan gelombang ultrasonik juga dapat mempengaruhi nyamuk demam berdarah, Aedes aegepti. Dalam 1 – 6 jam observasi, 3,33 – 10% nyamuk mati dengan kelompok kontrol semuanya masih hidup. Namun

(22)

17 setelah 24 jam paparan ultrasonik, sebanyak 74% nyamuk mati, sedangkan kelompok kontrol hanya 7,33% nyamuk yang mati (Hadi dkk., 2009). Pemanfaatan gelombang ulrasonik pada mosquito bugs, Helopeltis theivora, dapat mempengaruhi pola makan, umur, dan reproduksi dari serangga tersebut. H. theivora mengalami kematian dini bila terkena paparan ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz selama 15, 30, 45 menit per hari dari satu 1 instar seterusnya. Tingkat oviposisi (peletakan telur) dan penetasan 0,437 ± 0,12 , 0,645 ± 0,15 telur/betina/hari dan 4,76 ± 0,46 %, 16,67 ± 2,89% bila terkena selama 30 dan 15 menit per hari, yang 1,09 ± 0,23 telur/betina/ hari dan 95,45 ± 8,24% untuk kontrol (Sci dan Cult, 2011). Penggunaan beberapa perangkat ultrasonik telah meningkatkan aktivitas serangga (Yturralde dan Hofstetter, 2012).

Serangga, seperti binatang yang mendengar lainnya, harus mengekstrak informasi dari bunyi yang mereka dengar sehingga mereka dapat merespons dengan tepat. Salah satu parameter bunyi yang membawa informasi adalah kadar frekuensinya. Serangga menganalisis frekuensi bunyi untuk mengidentifikasi (mengenali) pasangannya, untuk menilai jarak ke pesaing potensial, dan untuk mendeteksi predator dan mangsa (Pollack dan Imaizumi, 1999)

Parameter akustik optimal telah diteliti untuk pengusir nyamuk elektronik agar dapat bekerja lebih baik. Parameter akustik ini meliputi energi akustik, frekuensi, dan amplitudonya. Ketiga parameter ini sangat berperan penting dalam mewujudkan perangkat pengusir yang efektif. Parameter akustik optimum meliputi frekuensi puncak 58,5 kHz, energi akustik 12,32-10,84 Pa2s, bandwidth 19,40-19,85 kHz, rata-rata frekuensi maksimum dan minimum masing-masing 55,13-55,48 kHz dan 34,66-44,26 kHz, dan dengan amplitude puncak SPL maksimum dan minimum masing-masing 134,08-134,28 dB SPL dan 132,06-133,27 dB (Mang’rai dkk, 2012).

Selama ini, penelitian pemanfaatan bunyi (akustik) untuk pengendalian lalat buah Bactrocera menggunakan gelombang sonic telah dilakukan untuk diaplikasikan pada perangkap akustik (acoustic trap), yaitu perangkap serangga yang dilengkapi dengan umpan akustik. Penelitian tentang penggunaan perangkap akustik pada lalat buah Mediterania (Ceratitis capitata) telah dilakukan oleh Mizrach et al., (2005).

Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa perangkap akustik dengan frekuensi gelombang 150 Hz pada tingkat tekanan bunyi 67 dB dapat menarik 28 % lebih

(23)

18 banyak betina daripada perangkap yang tidak menyertakan umpan akustik. Namun, kajian tentang penggunaan gelombang sonik dalam pengendalian lalat buah belum diketahui kelanjutannya terlebih untuk spesies lalat bactrocera lain.

Penelitian tentang penggunaan ultrasonik untuk pengendalian lalat buah Bactrocera sp. belum diketahui. Penelitian sebaiknya lebih difokuskan pada pencarian parameter-parameter akustik optimum, yaitu selang frekuensi, puncak amplitudo, dan energi dari gelombang ultrasonik yang dapat diterapkan pada pengendalian hama lalat buah Bactrocera. Dengan diketahuinya parameter- parameter ini, PHT untuk lalat buah Bactrocera yang ramah lingkungan dapat terwujud.

3.1 Pengendalian Hama dengan Radiasi

Pengendalian serangga hama dengan radiasi adalah PHT yang memanfaatkan efek radiasi dari suatu sumber radiasi, misalnya Co-60, terhadap serangga sebelum serangga tersebut dilepaskan. Teknik ini dikenal dengan teknik serangga mandul (TSM). TSM adalah salah satu hasil penerapan dari ilmu fisika yang memanfaatkan efek radiasi suatu sumber radiaktif dengan tujuan untuk pengendalian OPT yang ramah lingkungan. Pertama kali TSM dikenalkan oleh Knipling (1955) dalam rangka mengendalikan lalat ternak (Cochliomyia hominivorax Coq). Menurutnya, lalat betina yang diketahui dapat kawin sekali saja selama hidupnya, jika kemudian kawin dengan lalat jantan yang mandul, tidak akan menghasilkan keturunan. Dalam pelaksanaannya, pelepasan serangga mandul melibatkan baik jantan maupun betina.

Betina mandul dan jantan mandul dilepaskan bersama-sama dengan harapan bahwa perkawinan antara betina normal (subur) dengan jantal normal dapat diminimalisasi.

Program TSM dapat dilaksanakan melalui dua metode yaitu pembiakan massal dan pemandulan serangga di dalam laboratorium kemudian serangga mandul dilepaskan ke lapangan dan metode pemandulan yang diproses di lapangan. Metode pertama, jika serangga mandul dilepaskan ke suatu populasi serangga yang tinggi di lapangan maka terjadi penurunan kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak. Bila nilai kemandulan radiasi serangga tersebut hingga 100% dan memiliki daya saing kawin sama dibandingkan serangga normal dan perbandingan jumlah

(24)

19 antara pelepasan serangga radiasi dengan jumlah serangga normal sama (1:1) maka akan terjadi penurunan kemampuan berkembang biak sebesar 50%. Jika jumlah pelepasan serangga radiasi Sembilan kali jumlah serangga di lapangan maka terjadi penurunan kemampuan berkembang biak sebesar 90%. Sedangkan untuk metode pemandulan di lapangan dengan tidak melepas serangga yang telah dibuat mandul di laboratoruim, namun pemandulan langsung dilakukan di lapangan baik jantan maupun betina dengan menggunakan kemosterilan. Dengan metode tersebut akan didapat dua hal yang dapat mempengaruhi perkembangbiakan serangga. Yang pertama adalah manculnya sebagian dari serangga lapangan yang diakibatkan langsung kemosterilan dan yang kedua adalah dari serangga yang telah dimandulkan terhadap serangga yang masih subur. Oleh karena itu jika pemandulan serangga lapangan mencapai 90%, maka potensi perkembangbiakan dari 10 % serangga sisa yang masih fertil akan berkurang lagi 9 %, maka penurunan potensi perkembangbiakan seluruhnya akan mencapai 99%.

Keberhasilan cara pengendalian lalat ternak (Cochliomyia hominivorax Coq) dengan pelepasan serangga mandul, mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian di beberapa negara. Di India, Weidhase et al (1962) menggunakan TSM untuk mengendalikan nyamuk Cx. p. fatigans dengan meradiasi 10.000 pupa jantan yang berumur 24-36 jam dengan dosis 70 Gy. Di Florida, Amerika Serikat, Patterson et al (197) meradiasi pupa jantan berumur 24 jam dari nyamuk An.quadrimaculatus dengan dosis 120 Gy. Dengan teknik yang sama, Patterson (197) di California, Amerika Serikat, mengunakan nyamuk Cx. tarsalis berumur 24-36 jam, dengan dosis 60 Gy. Dari ketiga penelitian tersebut, dosis radiasi yang digunakan menyebabkan kemandulan nyamuk jantan 99%.

3.5 Pengendalian Lalat Buah Bactrocera dengan Radiasi Gamma

Pada tahun 2006, Nahar et al. meneliti penggunaan radiasi Gamma pada lalat buah melon, Bactrocera cucurbitae. Pada dosis 30 Gy, telur yang menetas berkurang hingga 0,93 % dan daya saing kawin hampir sama, baik yang terkena radiasi maupun yang tidak diradiasi. Serangga mandul, baik jantan maupun betina, diperoleh pada dosis 40 Gy.

(25)

20 Puanmanee et all. pada tahun 2010 telah menyelidiki pengaruh iradiasi sinar gamma pada pupa lalat buah Bactrocera correcta, dengan sumber radiasi Cs-137 pada berbagai dosis telah diselidiki dalam kondisi laboratorium. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persentase munculnya imago, kelainan dewasa dan lama hidup imago jantan tidak berbeda secara signifikan dari satu sama lain pada 0, 5, 10, 15 dan 30 Gy, sedangkan imago jantan yang mandul yang terkena radiasi dengan dosis tersebut masing-masing adalah 23,85, 21,78, 59,10, 72,57 dan 98,34%.

Persentase kemandulan imago jantan pada dosis 5 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol (0 Gy). Penyelidikan menunjukkan bahwa daya saing kawin imago jantan ketika diiradiasi pada 30 Gy hampir sama dengan imago jantan yang tidak dikenai radiasi.

Mahmoud dan Barta pada tahun 2011 telah memanfaatkan teknik serangga mandul dalam program terpadu terhadap lalat buah Bactrocera zonata. Pupa lalat diradiasi dengan Co-60 selama 48 jam dengan dosis radiasi 10, 30, 50, 70 atau 90 Gy. Hasil yang diperoleh adalah bahwa keberhasilan telur yang menetas dan munculnya dewasa menurun dengan meningkatnya dosis. Dalam uji coba tersebut, tidak ada ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kesuburan lalat betina untuk semua dosis yang diberikan. Paparan radiasi pada pupa dengan dosis 90 Gy menghasilkan sterilitas total telur untuk telur yang dihasilkan/diletakkan oleh imago betina tanpa perlakuan yang dikawinkan dengan imago jantan yang diberi perlakuan.

Perbedaan signifikan dalam efek radiasi pada kesuburan imago betina ditemukan yang mengalami penurunan secara bertahap dengan meningkatnya dosis. Tidak ada pengaruh yang besar pada kemampuan terbang diamati namun dengan meningkatnya dosis radiasi nilai daya saing kawin untuk imago jantan dengan perlakuan 30 dan 70 Gy menunjukkan bahwa imago jantan yang diradiasi mampu bersaing dengan sukses dengan yang tidak diradiasi.

La Chance pada tahun 1967 telah menyatakan bahwa beberapa keuntungan dari pemanfaatan TSM pada OPT adalah :

1) Selektif : sasaran hanyalah pada OPT yang diinginkan.

2) Ramah lingkungan: tidak menyisakan residu yang membahayakan.

3) Tidak menimbulkan perlawanan/resistensi

4) Tidak menggunakan agen hayati sebagai musuh alami OPT.

(26)

21 Selanjutnya persyaratan agar populasi OPT dapat dikendalikan dengan TSM adalah :

1) Organisme betina tidak bersifat parthenogenesis.

2) Organisme, khususnya jantan, harus mudah dikembangbiakan secara missal.

3) Organisme tidak mengalami kelainan fisiologi dan morfologi serta penurunan kemampuan kawin.

4) Organisme betina hanya bisa kawin sekali dan berumur lebih pendek daripada jantan.

5) Organisme jantan sepatutnya bisa kawin tidak hasnya sekali dan memiliki umur lebih lama daripada organisme betinanya.

(27)

22

BAB IV PENUTUP

4. 1 Kesimpulan

Pada umumnya, cabang-cabang ilmu fisika terapan yang berperan dalam menunjang PHT serangga adalah cabang ilmu mekanika, cahaya, bunyi, dan fisika radiasi, yang secara keseluruhan ramah lingkungan sehingga mendukung persyaratan untuk pertanian berkelanjutan. Pemanfaatan mekanika pada PHT dicirikan pada pemanfaatan sifat-sifat mekanik benda, pemanfaatan cahaya dicirikan pada pemanfaatan sifat cahaya tampak dan interaksi serangga terhadap cahaya, pemanfaatan bunyi, khusunya ultrasonik, ditekankan pada pemanfaatan parameter- parameter akustik yang digunakan, sedangkan pemanfaatan teknik radiasi ditekankan pada pemanfaatan efek radiasi yang ditimbulkan oleh sumber radiasi. Secara khusus, dalam kaitannya dengan PHT lalat buah Bactrocera sp., penelitian dengan pemanfaatan mekanika, cahaya dan bunyi belum diketahui, sedangkan penelitian dengan teknik radiasi yang telah banyak diteliti dengan hasil memuaskan. Walau demikian, pemanfaatan gelombang bunyi juga cukup menjanjikan untuk PHT sepanjang parameter-parameter akustiknya diketahui dengan pasti.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nahar et al. (2006), Puanmanee et al. (2010), dan Mahmoud dan Barta (2011), penggunaan teknik serangga/jantan mandul (TSM atau TJM) menggunakan radiasi Gamma untuk mengendalikan hama secara terpadu (PHT) lalat buah Bactrocera sp. layak untuk dipertimbangkan.

Penggunaan radiasi Gamma dalam TSM dilakukan saat serangga masih berada dalam stadium pupa.

Penelitian dengan teknik radiasi untuk PHT lalat buah Bactrocera sp. adalah dengan pemanfaatan radiasi sinar Gamma dari sumber radiasi Co-60 dan Cs-137.

Teknik tradiasi semacam ini dikenal sebagai tetnik serangga mandul (TSM). Pada lalat buah melon, Bactrocera cucurbitae, serangga mandul, baik jantan maupun betina, diperoleh pada dosis 40 Gy. Penyelidikan pada lalat buah Bactrocera correcta menunjukkan bahwa daya saing kawin imago jantan ketika diiradiasi pada 30 Gy hampir sama dengan imago jantan yang tidak dikenai radiasi. Sedangkan,

(28)

23 pada lalat buah persik Bactrocera zonata. dosis radiasi 90 Gy mengakibatkan kemandulan total. Secara umum, kemampuan terbang yang diamati tidak dipengaruhi radiasi dan daya saing lalat jantan yang diradiasi dapat bersaing dengan sukses dengan yang tanpa diradiasi untuk dosis 30 dan 70 Gy. Kemunculan lalat dewasa dan telur yang menetas menurun dengan meningkatnya dosis, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kesuburan betina yang ditemukan pada semua dosis.

4. 2 Saran

Secara umum, pemanfaatan teknik fisika terapan khususnya TSM dalam PHT bertujuan untuk menekan populasi hama ke tingkat populasi yang secara ekonomi tidak merugikan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Atau dengan kata lain, penerapan teknik pengendalian hama serangga tidak ditujukan untuk digunakan sebagai pemusnah serangga. Setiap metode dalam PHT sudah barang tentu punya keunggulan serta kelemahan masing-masing. Perpaduan metode PHT tentunya akan memberikan hasil yang lebih maksimal dalam pengendalian hama serangga.

(29)

24

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, M. 2000. Dasar-Dasar Proteksi Radiasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Balittra, 2013. Metil Eugenol Sebagai Perangkap Lalat Buah. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Budiasa, I W. 2011. Pertanian Berkelanjutan Teori dan Pemodelan. Denpasar:

Udayana University Press.

Ditlinhort. 2013. Lalat Buah. Direktorat Perlindungan Hortikultura Departemen Pertanian Republik Indonesia.

ICRP 60 (International Commission On Radiological Protection), 1990.

Recommendations of the International Commission on Radiological Protection, Publication 60, Pergamon Press, Oxford.

Hadi, U. K., Koesharto, FX., Sigit, SH., Sugiarto. 2009. Study of the effect of ultrasonic device against the dengue mosquito, Aedes aegypti (Diptera:

Culicidae). Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk. Bogor 10 Agustus.

Knipling, E.F. 1955. Possibilitiesof Insect Control or Erredication Through the Use of Sexuality Sterile, J. Econ. Entomol. p.: 48, 459-462.

Kompas.com. 2012. Lalat Hancurkan Jeruk. [cited 2014 July 23] Available from:

http://regional.kompas.com/read/2012/02/01/03114452/.Lalat.Hancurkan.Jeruk

(30)

25 Malavasi, A., Midgarden, D., Meyer, M. D. 2013. Bactrocera Species that Pose a Threat to Florida: B. carambolae and B. invadens. In : Peña, J., editor.

Potential Invasive Pests of Agricultural Crops. CAB International. p.214-227.

Mankin, R. W. 2012. Review Applications of acoustics in insect pest management.

CAB Reviews, 7: 1-7.

Marcia O.M., Marcio,C.,Silva F.2002. Plant-insect interactions: an evolutionary arms race between two distinct defense mechanisms. Braz. J. Plant Physiol, 14:2.

Mizrach, A.; Hetzroni, A.; Mazor, M.; Mankin, R. W.; Ignat, T.; Grinshpun, J.;

Epsky, N. D.; Shuman, D.; Heath, R. R. 2005. Acoustic Trap for Female Mediterranean Fruit Flies American Society of Agricultural, 48(5):2017-2022

Patterson, R.S., Sharma, V.P., Singh, K.R.P., Sheetheram, P.L. and Grover, K.K.

1975. Use of Radiosterilized Males to Control Indigenous Population of An quadrimaculatus Say: Laboratory and Field Studies. Mosquito. News 35.

Pollack, G. S., Imaizumi, K. 1999. Neural Analysis of Sound Frequency in Insects.

BioEssays, 21:295–303.

Sarwono. 2003. PHT Lalat Buah (Dacus syn. Bactrocera dorsalis, Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 6:142-149.

(31)

26 Trubus. 2009. Kepak Maut Lalat Buah. [cited 2014 July 29] Available from:

http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-

ontent/uploads/2009/12/Kepak%20Maut% 20Lalat%20Buah.pdf

Sukarmin. 2011. Teknik Identifikasi Lalat Buah di Kebun Percobaan Aripan dan Sumani, Solok, Sumatera Barat. Buletin Teknik Pertanian, 16: 24-27.

Warner, J., Scheffrahn, R. H. 2005. Laboratory Evaluation of Baits, Residual Insecticides, and an Ultrasonic Device For Control of White-Footed Ants, Technomyrmex albipes (Hymenoptera: Formicidae). Sociobiology, 45:1-14.

Weems H.V., Heppner, J. B., Nation, J. L., Fasulo, T. R. 2012 . Oriental Fruit Fly, Bactrocera dorsalis (Hendel) (Insecta: Diptera: Tephritidae). Gainesville:

University of Florida. p.1-2.

Yturralde, K. M., Hofstetter, R. W. 2012. Efficacy of Commercially Available Ultrasonic Pest Repellent Devices to Affect Behavior of Bed Bugs (Hemiptera:

Cimicidae). Journal of Economic Entomology, 105:2107-2114.

Gambar

Gambar 2.1   Morfologi lalat buah (Sukarmin, 2011)
Gambar 2.2  Lalat buah Bactrocera carambolae imago (Malavasi et al, 2013)
Gambar 3.1   Perangkap cahaya (Light Trap) (BPPP, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh teman-teman ikom, Baskoro, Elsi, Tyas, Devi, Ifa, Try Arini, Dinda, Nurul, Nourvian, dan lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan semuanya yang telah

Berdasarkan dari hasil analisa yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh simpulan bahwa store atmosphere mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen

Hasil dari penelitian ini untuk memudahkan mahasiswa dalam mendapatkan informasi yang berada pada layanan informasi akademik fakultas teknik tanpa harus datang terlebih dahulu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa etanol dengan kadar 80% lebih efektif digunakan sebagai bahan bakar karena lebih ekonomis dan memiliki lama

(Sebagai contoh, bayang kan kalau bahasa Inggris cat [ucapannya kat, =kucing] dipinjam untuk bahasa Indonesia kata, oleh karena suaranya dekat. Dan ke mu dian istilah kata

Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa seba- gian besar santri di Pesantren Lembaga Pendi- dikan Islam, Pondok Karya Pembangunan, Kota Manado menunjukkan tingkat pengetahuan

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Riwayat penyakit adalah penyakit yang pernah diderita ibu yang mempunyai resiko terhadap kehamilan dan persalinan ini, yang terdapat pada kartu status ibu..