• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

104 3.1 Penetapan Kriteria Optimasi

Setelah mengevaluasi berbagai data-data kegiatan produksi, penulis mengusulkan dasar evaluasi untuk mengoptimalkan sistem produksi produk alat tulis kantor PT Team Topla, yaitu dengan menggunakan metode DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control).

Gambar 3.1 Proses Pemecahan Masalah dengan Model DMAIC

(2)

1. Define

Pertama-tama penulis akan mengidentifikasi masalah yang muncul dengan membuat production flow chart. Di sini penulis akan mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan customer dan nilai-nilai kualitas, serta menentukan tingkat kualitas yang ingin dicapai.

2. Measure

Dalam tahap ini data-data dari hasil proses produksi diukur dengan UCL chart dan LCL chart. Penulis akan menghitung level sigma dalam DPMO dan mengukur faktor-faktor yang berpotensi mengakibatkan defect saat ini, dan mengukur spesifikasi yang diharapkan customer dengan CTQ

3. Analyze

Pada tahap ini penulis akan menentukan faktor-faktor yang paling mempengaruhi kualitas produk dalam proses produksi dengan menggunakan diagram Pareto, dan mencari faktor-faktor penyebab kegagalan dengan menggunakan Failure Mode and Error Analysis (FMEA) dan menemukan lokasi atau proses dimana dan proses apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan (cacat) kualitas.

4. Improve

Pada tahap ini penulis akan membuat berbagai kesimpulan cara-cara penyempurnaan proses pekerjaan berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, serta membuat standard operational procedure (SOP) yang efisien dan efektif

(3)

5. Control

Pada tahap ini akan diukur hasil-hasil yang dicapai setelah mengaplikasi SOP dan selalu menjaga agar deviasi produksi selalu berada di dalam batas-batas yang direncanakan dengan menggunakan UCL dan LCL

3.2 Pengembangan Alternatif Solusi

Dengan menggunakan metode DMAIC untuk menetapkan kriteria optimasi, maka selanjutnya akan dikembangkan alternatif solusi untuk memperbaiki produksi perusahaan. Level sigma kualitas produksi dipengaruhi oleh DPMO (Defect Per Million Opportunity), yang mana digambarkan dengan formula sebagai berikut:

Defect Per Million Opportunity adalah besarnya produk dengan defect yang muncul setiap kali perusahaan melakukan satu juta kali produksi. Apabila angka DPMO semakin kecil, maka ini menunjukkan bahwa kualitas proses produksi yang semakin baik, karena hal itu menunjukkan semakin sedikitnya jumlah produk defect yang muncul dalam satu juta kali produksi.

Dengan berpatokan pada formula tersebut di atas, maka untuk memperkecil DPMO bisa dilakukan dengan alternatif sebagai berikut, dengan menganalisis masing-masing unsurnya.

(4)

1. Memperkecil jumlah cacat (defect) yang ditemukan, dan mempertahankan jumlah total unit keseluruhan produksi.

2. Memperbesar jumlah unit yang diproduksi, namun tetap mempertahankan jumlah cacat (defect) yang ditemukan.

Dari kedua alternatif tersebut, penulis memilih untuk menggunakan alternatif pertama. Pilihan tersebut diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain:

• Angka produksi Topla Looseleaf Binder harus disesuaikan dengan besar penjualan PT Team Topla per bulannya. Produksi yang melebihi kapasitas penjualan akan mengakibatkan penumpukan barang jadi di gudang yang menyebabkan naiknya biaya penyimpanan gudang yang akan merugikan perusahaan. Selain itu, penumpukan buffer-stock (barang setengah jadi) dan barang jadi yang terus terkumpul secara kumulatif akibat kelebihan produksi akan menyebabkan tempat produksi, perakitan, dan penyimpanan PT Team Topla menjadi semakin sempit dan menyebebakan defisiensi tempat kerja.

Oleh karena itulah alternatif kedua tidak bisa diaplikasikan ke dalam peningkatan kualitas produksi level sigma PT Team Topla.

Meningkatkan jumlah produksi tanpa membiarkan angka defect ikut naik membutuhkan perbaikan proses untuk menekan produksi barang defect. Pada dasarnya kedua alternatif di atas memang membutuhkan perbaikan proses, sehingga solusi dari alternatif pertama juga akan menjadi solusi bagi alternatif kedua.

(5)

3.3 Pengembangan Model Optimasi

Untuk menjalankan alternatif solusi yang telah dipilih tadi, maka penulis akan menyusun model optimasi untuk menjalankan metode DMAIC. Model optimasi tersebut akan melibatkan beberapa tools yang berguna untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mencari solusi atas peningkatan kualitas produksi (level sigma) PT Team Topla.

Tools yang akan digunakan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

1. Flow chart

Diagram alir atau flow chart akan digunakan untuk mengidentifikasi urutan aktivitas serta arus bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi dalam suatu proses.

Diagram alir digunakan untuk membuat proses menjadi lebih mudah dilihat berdasarkan urutan-urutan (langkah-langkah) dari proses itu, sehingga bermanfaat bagi analisis dan perbaikan proses terus-menerus.

Pembuatan diagram alir proses (process flowchart) dapat mengikuti langkah- langkah sebagai berikut:

 Tim harus membuat suatu diagram alir awal dengan menggunakan Dokumen Definisi Proses untuk mendefinisikan Input, Pemasok, Output, dan pelanggan.

(6)

 Memperbaiki diagram alir proses dengan cara pemeriksaan kembali apakah diagram alir itu telah sesuai dengan proses sekarang. Hal ini dilakukan melalui wawancara dengan mereka yang terlibat dalam proses, validasi langkah-langkah proses, sekuens proses, dan titik-titik pembuatan keputusan, serta mengumpulkan data berkaitan dengan waktu kerja dari setiap aktivitas utama dalam proses itu.

 Validasi diagram alir berkaitan dengan apakah diagram alir proses terlalu spesifik ataukah terlalu global, akurasi ruang lingkup proses, keterlibatan antar-fungsi manajemen, dll.

 Interpretasi diagram alir proses melalui menghitung total waktu tunggu, total waktu kerja, identifikasi kesempatan untuk menciptakan biaya rendah atau tanpa biaya dalam proses itu, serta identifikasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value adding activities) serta aktivitas-aktivitas yang tidak saling berkait.

Dari diagram flowchart dapat dipetakan urutan proses kerja serta didapatkan data produksi di dalam kegiatan ini. Kemudian di sini akan ditemukan area atau sumber dari kesalahan atau cacat, serta besaran variasi yang tidak diinginkan, kemudian merumuskan solusi penyempurnaan yang paling efektif.

2. Critical to Quality (CTQ)

CTQ merupakan poin-poin atau sesuatu yang dianggap penting oleh pelanggan, yang mana poin-poin tersebutlah yang memberi kepuasan kepada

(7)

mereka. Dengan mengidentifikasi poin-poin CTQ, maka perusahaan dapat mengeliminir produk yang tidak memenuhi syarat atau memenuhi keinginan konsumen.

3. Defect per million opportunity

Sebelum perusahaan mengaplikasikan metode Six Sigma, maka perlu diketahui level sigma yang telah dicapai saat ini untuk dijadikan dasar pengukuran performa kerja perusahaan. Menghitung level sigma dapat diukur dengan DPMO untuk mengetahui besaran cacat per satu juta kesempatan 4. Diagram Pareto

Pembuatan diagram Pareto dilakukan dengan tujuan untuk menemukan defect mana yang paling besar dan paling berpengaruh di antara berbagai macam defect yang muncul dalam proses produksi yang dilakukan PT Team Topla agar diprioritaskan dalam penyelesaian masalahnya.

Penjelasan proses pembuatan diagram Pareto akan dikemukakan melalui beberapa langkah berikut:

Langkah 1

Menentukan masalah apa yang akan diteliti, mengidentifikasi kategori- kategori atau penyebab-penyebab dari masalah yang akan diperbandingkan. Setelah itu merencanakan dan melaksanakan pengumpulan data.

a. Menentukan masalah apa yang akan diteliti. Contoh masalah:

keterlambatan pengiriman barang, keterlambatan pelayanan,

(8)

item yang rusak / cacat, kerugian dalam nilai uang, kecelakaan yang terjadi, dll. Kategori-kategori atau penyebab-penyebab dari masalah dapat diidentifikasi oleh pihak manajemen.

Sebagai misal: kategori-kategori atau penyebab-penyebab dari masalah keterlambatan pengiriman barang adalah kekurangan personel, kekurangan alat transportasi, terlalu sibuk, kemacetan lalu lintas, jadwal pengiriman barang tidak konsisten, dll.

b. Menentukan data apa yang diperlukan dan bagaimana mengklasifikasikan atau mengkategorikan data itu. Contoh:

klasifikasi berdasarkan penyebab keterlambatan, jenis kerusakan, lokasi, proses, mesin, shift, operator / pekerja, metode, dll.

c. Menentukan metode dan periode pengumpulan data. Termasuk dalam hal ini adalah menentukan unit pengukuran dan periode waktu yang dikaji.

Langkah 2

Membuat suatu ringkasan daftar atau tabel yang mencatat frekuensi kejadian dari masalah yang telah diteliti dengan menggunakan formulir pengumpulan data atau lembar periksa.

Langkah 3

Membuat daftar masalah secara berurut berdasarkan frekuensi kejadian dari yang tertinggi sampai terendah, serta hitunglah frekuensi

(9)

kumulatif, persentase dari total kejadian, dan persentase dari total kejadian secara kumulatif.

Langkah 4

Menggambar dua buah garis vertikal dan sebuah garis horizontal.

1. Garis vertical:

a. Garis vertikal sebelah kiri: buatkan pada garis ini, skala dari nol sampai total keseluruhan dari kerusakan.

b. Garis vertikal sebelah kanan: buatkan pada garis ini, skala dari 0% sampai 100%.

2. Garis horizontal:

a. Bagilah garis ini ke dalam banyaknya interval sesuai dengan banyaknya item masalah yang diklasifikasikan.

Langkah 5

Buatkan histogram pada diagram Pareto.

Langkah 6

Gambarkan kurva kumulatif serta cantumkan nilai-nilai kumulatif (total kumulatif atau persen kumulatif) di sebelah kanan atas dari interval setiap item masalah.

Langkah 7

Memutuskan untuk mengambil tindakan perbaikan atas penyebab utama dari masalah yang sedang terjadi itu.

(10)

5. Control chart

Control chart atau peta kendali dibuat untuk mengetahui apakah proses produksi Topla Looseleaf Binder masih berada di dalam kendali atau di luar kendali, dengan melihat apakah output dari proses tersebut berada di dalam batas-batas yang dapat diterima. Batas-batas tersebut meliput upper control limit (UCL) dan lower control limit (LCL). Produk yang berada di dalam batas kendali dikategorikan sebagai barang dengan kualitas baik, sementara produk yang berada di atas UCL ataupun di bawah LCL dikategorikan sebagai barang defect.

Control chart (peta kendali) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah control chart untuk data atribut (kualitatif). Peta kendali ini dipilih karena digunakan dengan tujuan untuk mengendalikan kualitas dari objek yang diteliti, dalam hal ini adalah kualitas Topla Looseleaf Binder. Dalam penelitian ini peta kendali yang akan digunakan adalah p-chart dan u-chart.

Untuk membuat peta kontrol p, maka dapat dilakukan mengikuti beberapa langkah berikut:

1. Tentukan ukuran contoh yang cukup besar (n > 30)

2. Hitung nilai proporsi cacat, yaitu: p-bar = total cacat / total inspeksi 3. Hitung nilai simpangan baku, yaitu: Sp = √{p-bar(1 – p-bar) / n}

Jika p-bar dinyatakan dalam persentase, maka Sp dihitung sebagai berikut:

Sp = √{p-bar(100 – p-bar) / n}

(11)

4. Hitung batas-batas control 3-sigma dari:

 Peta Kontrol p (batas-batas kontrol 3-sigma) CL = p-bar

UCL = p-bar + 3Sp LCL = p-bar – 3Sp

Tentu saja batas-batas control yang lain dapat juga dihitung apabila memang diperlukan, seperti: batas-batas control 1- sigma, 2-sigma, atau 6-sigma, sebagai berikut:

 Peta Kontrol p (batas-batas kontrol 1-sigma) CL = p-bar

UCL = p-bar + Sp

LCL = p-bar – Sp

 Peta Kontrol p (batas-batas kontrol 2-sigma) CL = p-bar

UCL = p-bar + 2Sp

LCL = p-bar – 2Sp

 Peta Kontrol p (batas-batas kontrol 6-sigma) CL = p-bar

UCL = p-bar + 6Sp LCL = p-bar – 6Sp

5. Plot atau tebarkan data proporsi (atau persentase) cacat dan lakukan pengamatan apakah data itu berada dalam pengendalian statistical.

(12)

6. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada dalam pengendalian statistical, tentukan kapabilitas proses menghasilkan produk yang sesuai (tidak cacat) sebesar: (1 – p-bar) atau (100% – p- bar%), hal ini serupa dengan proses menghasilkan produk cacat sebesar p-bar.

7. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada dalam pengendalian statistical, gunakan peta kontrol p untuk memantau proses terus menerus. Tetapi apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses tidak berada dalam pengendalian statistikal, proses itu harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum menggunakan peta kontrol itu untuk pengendalian proses terus-menerus.

Sedangkan untuk membuat peta kontrol u, dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa langkah berikut:

1. Tentukan ukuran contoh selama periode pengamatan.

2. Lakukan pengamatan untuk beberapa periode waktu atau beberapa kelompok contoh.

3. Hitung nilai rata-rata banyaknya ketidaksesuaian (titik spesifik) yang ditemukan per unit item, yaitu: u-bar = total banyaknya ketidaksesuaian (titik spesifik) dibagi dengan banyaknya unit item yang diperiksa.

4. Hitung nilai simpangan baku, yaitu: Su = √ (u-bar / n)

(13)

5. Hitung batas-batas control 3-sigma dari:

 Peta Kontrol u (batas-batas kontrol 3-sigma) CL = u-bar

UCL = u-bar + 3Su LCL = u-bar – 3Su

Tentu saja batas-batas kontrol yang lain dapat juga dihitung apabila memang diperlukan, seperti: batas-batas control 1- sigma, 2-sigma, atau 6-sigma, sebagai berikut:

 Peta Kontrol u (batas-batas kontrol 1-sigma) CL = u-bar

UCL = u-bar + Su

LCL = u-bar – Su

 Peta Kontrol u (batas-batas kontrol 2-sigma) CL = u-bar

UCL = u-bar + 2Su

LCL = u-bar – 2Su

 Peta Kontrol u (batas-batas kontrol 6-sigma) CL = u-bar

UCL = u-bar + 6Su LCL = u-bar – 6Su

(14)

6. Plot atau tebarkan data banyaknya titik spesifik yang tidak sesuai per unit item yang diperiksa (u = c / n) dan lakukan pengamatan apakah data itu berada dalam pengendalian statistikal.

7. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada dalam pengendalian statistikal, tentukan kapabilitas proses yang menghasilkan banyaknya titik spesifik yang tidak sesuai per unit item sebesar: u-bar.

8. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada dalam pengendalian statistikal, gunakan peta kontrol u untuk memantau proses itu terus-menerus. Tetapi apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses tidak berada dalam pengendalian statistical, proses itu harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum menggunakan peta kontrol itu untuk pengendalian proses terus- menerus.

6. Diagram sebab-akibat (Fishbone Diagram)

Diagram sebab akibat dibuat dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor- faktor apa sajakah yang mempengaruhi, dan lebih jauh lagi, menyebabkan terjadinya suatu hal (defect) dalam masing-masing proses produksi tersebut.

Setelah semua faktor-faktor penyebab defect itu teridentifikasi, maka diharapkan bagian assembling PT Team Topla bisa mengambil tindakan perbaikan proses dan kualitas produksinya.

(15)

Langkah-langkah dalam pembuatan diagram sebab-akibat dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Mulai dengan pernyataan masalah-masalah utama yang penting dan mendesak untuk diselesaikan.

2) Tuliskan pernyataan masalah itu pada “kepala ikan”, yang merupakan akibat (effect). Tuliskan pada sisi sebelah kanan dari kertas (kepala ikan), kemudian gambarkan “tulang belakang” dari kiri ke kanan dan tempatkan pernyataan masalah itu dalam kotak.

3) Tuliskan faktor-faktor penyebab utama (sebab-akibat) yang mempengaruhi masalah kualitas sebagai “tulang besar”, juga ditempatkan dalam kotak. Faktor-faktor penyebab atau kategori- kategori utama dapat dikembangkan melalui stratifikasi ke dalam pengelompokan dari faktor-faktor: manusia, mesin, peralatan, material, metode kerja, lingkungan kerja, pengukuran, dll, atau stratifikasi melalui langkah-langkah actual dalam proses. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori dapat dikembangkan melalui brainstorming.

4) Tuliskan penyebab-penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebab- penyebab utama (tulang-tulang besar), serta penyebab-penyebab sekunder itu dinyatakan sebagai “tulang-tulang berukuran sedang”.

5) Tuliskan penyebab-penyebab tersier yang mempengaruhi penyebab- penyebab sekunder (tulang-tulang berukuran sedang), serta penyebab-

(16)

penyebab tersier itu dinyatakan sebagai “tulang-tulang berukuran kecil”

6) Tentukan item-item yang penting dari setiap faktor dan tandailah faktor-faktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas.

7) Catatlah informasi yang perlu di dalam diagram sebab-akibat itu, seperti: judul, nama produk, proses, kelompok, daftar partisipan, tanggal, dll.

7. Failure Mode and Effect Analysis

Definisi dari berbagai terminologi dalam FMEA adalah sebagai berikut (Pyzdek, 2003, p596-599):

1. Potential Failure Mode adalah kegagalan-kegagalan yang mungkin terjadi dan yang mungkin tidak disukai oleh customer.

2. Potential Failure Effect adalah hal-hal yang muncul apabila kegagalan (Potential Failure Mode) itu terjadi.

3. Potential Causes adalah kemungkinan penyebab dari Potential Failure Mode tersebut.

4. Severity adalah penilaian atas seberapa signifikan kegagalan tersebut bisa memberikan kepada customer. Penilaian dengan pemberian rating untuk Severity bisa dilihat pada tabel di bawah ini. (Pyzdek, 2003, p598-599)

(17)

Tabel 3.1 Definisi Severity dalam FMEA

Rating Severity (SEV)

1 Minor. Customer tidak akan menyadari efeknya atau bahkan menganggap hal itu tidak penting.

2 Customer akan mengetahui efeknya.

3 Customer akan merasa terganggu terhadap kinerja yang rendah.

4 Sedang. Customer akan merasakan ketidakpuasan karena kinerja yang rendah.

5 Produktivitas akan customer menurun.

6 Customer akan melakukan komplain. Sangat mungkin terjadi customer meminta perbaikan, retur, atau bahkan uang ganti rugi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan biaya internal (perbaikan, pengerjaan ulang, dsb).

7 Kritis. Loyalitas customer akan berkurang. Operasional internal juga terkena dampak imbasnya.

8 Goodwill customer akan hilang sepenuhnya sebagai akibat dari efeknya. Operasional internal sangat terganggu.

9 Keselamatan customer atau karyawan lemah.

10 Bencana. Customer atau karyawan berada dalam bahaya

(18)

tanpa peringatan.

Sumber: Pyzdek, 2003, p598

5. Occurence adalah penilaian atas seberapa sering penyebab dari kegagalan ini terjadi. Penilaian dengan pemberian rating untuk Occurence bisa dilihat pada tabel di bawah ini. (Pyzdek, 2003, p598- 599)

Tabel 3.2 Definisi Occurence dalam FMEA

Rating Occurence (OCC)

1 Hampir tidak pernah terjadi.

2 Tingkat kegagalan yang terdokumentasi rendah.

3 Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi rendah.

4 Kegagalan terjadi dari waktu ke waktu.

5 Tingkat kegagalan yang terdokumentasi sedang.

6 Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi sedang.

7 Tingkat kegagalan yang terdokumentasi tinggi.

8 Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi tinggi.

9 Kegagalan sangat sering terjadi.

10 Kegagalan hampir selalu terjadi.

Sumber: Pyzdek, 2003, p598

(19)

6. Detectability adalah penilaian atas seberapa mungkin penyebab kegagalan itu bisa terdeteksi oleh sistem yang telah ada di perusahaan saat ini. Penilaian dengan pemberian rating untuk Detectability bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Catatan: p adalah perkiraan probabilitas suatu kegagalan tidak terdeteksi. (Pyzdek, 2003, p598-599)

Tabel 3.3 Definisi Detectability dalam FMEA

Rating Detectability (DET)

1 Hampir pasti bisa terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer.

(p ≈ 0)

2 Kemungkinan sangat rendah untuk sampai ke tangan customer tanpa terdeteksi.

(0 < p ≤ 0.01)

3 Kemungkinan rendah untuk sampai ke tangan customer tanpa terdeteksi.

(0.01 < p ≤ 0.05)

4 Biasanya terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer.

(0.05 < p ≤ 0.20)

5 Kemungkinan bisa terdeteksi sebelum sampai ke tangan

(20)

customer.

(0.20 < p ≤ 0.50)

6 Kemungkinan tidak terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer.

(0.50 < p ≤ 0.70)

7 Sangat tidak mungkin terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer.

(0.70 < p ≤ 0.90)

8 Kemungkinan terdeteksi buruk.

(0.90 < p ≤ 0.95)

9 Kemungkinan terdeteksi sangat buruk.

(0.95 < p ≤ 0.99)

10 Hampir pasti kegagalan tidak akan terdeteksi.

(p ≈ 1)

Sumber: Pyzdek, 2003, p598

7. Risk Priority Number (RPN) adalah hasil perkalian antara Severity (SEV), Occurrence (OCC), dan Detectabiilty (DET).

8. Recommended Action adalah usulan-usulan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebab-penyebab kegagalan tersebut dan mengurangi angka RPN.

Gambar

Gambar 3.1 Proses Pemecahan Masalah dengan Model DMAIC
Tabel 3.1 Definisi Severity dalam FMEA
Tabel 3.2 Definisi Occurence dalam FMEA
Tabel 3.3 Definisi Detectability dalam FMEA

Referensi

Dokumen terkait

Selain citra merek faktor harga memang merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan dalam menentukan pembelian produk minuman energi cair hemaviton energy drink..

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penelitian ini berusaha menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk sepatu running

Pada tahap ini, setelah melihat permasalahan yang dapat terjadi dalam kinerja operasional, maka perusahaan perlu menetapkan kebijakan baru untuk tetap mempertahankan komitmen

Kemudian dilakukan identifikasi terhadap jenis cacat yang dominan dan menentukan prioritas perbaikan dengan menggunakan Diagram Pareto, langkah selanjutnya adalah

Setelah semua data dan analisis dilakukan maka pertanyaan tentang apakah total biaya persediaan bahan baku mainan (yang terdiri dari biaya material, biaya penyimpanan dan

Apabila alternatif satu yang terpilih yaitu menggabungkan proses perakitan sub komponen dengan proses perakitan awal komponen utama dan memindahkan proses

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode dalam perhitungan baik untuk mendapatkan hasil permintaan yang akan datang maupun untuk mendapatkan hasil efisiensi

Wawancara dilakukan dengan kepala bagian Garment bagian lokal untuk mengetahui proses produksi dan perencanaan produksi serta bahan baku yang diperlukan dari produk-produk