• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial sampai dengan Orde Baru masih menempatkan para pengusaha dengan modal besar sebagai pemain utama dan membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan. Akibatnya masyarakat di sekitar hutan tetap berada dibawah garis kemiskinan (Awang 2003). Selain itu, sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia telah menyebabkan terjadinya alienasi masyarakat terhadap sumber daya alam yang akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik dalam pengelolaan sumber daya alam (Kartodihardjo 2006a).

Kegiatan eksploitasi hutan juga menyebabkan terjadinya peningkatan laju deforestrasi hutan di Indonesia. Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan rata-rata laju deforestrasi hutan di Indonesia tahun 2000 ― 2005 mencapai 1,174 juta hektar (Dephut 2009). Selain disebabkan oleh eksplotasi hutan, deforestrasi hutan di Indonesia juga disebabkan oleh kegiatan illegal logging, pembukaan hutan untuk pertanian/perkebunan rakyat dan perkebunan swasta, kebakaran hutan, perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara HPH dan masyarakat adat (Awang 2003). Darusman (2002) menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata disebabkan oleh kelemahan manajemen tetapi juga karena ketidakpuasan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar hutan.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia dari State Based Forest Management (SBFM) menjadi Community Based Forest Management (CBFM). Pergeseran paradigma pembangunan kehutanan ini ditandai dengan munculnya program- program pembangunan kehutanan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Roslinda 2008), salah satunya adalah program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 telah

memberikan masyarakat kesempatan untuk dapat mengelola kawasan hutan

produksi melalui skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

(2)

Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Dalam IUPHHK-HTR ini pemerintah memberikan akses hukum, kelembagaan, modal dan pasar kepada masyarakat dalam mengelola kawasan hutan produksi dengan kerangka kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari (Emilia & Suwito 2007).

Kementerian kehutanan sudah menetapkan target alokasi lahan untuk pembangunan IUPHHK-HTR sampai dengan tahun 2010 sebesar 5,4 juta hektar dengan melibatkan 360.000 kepala keluarga (Emilia & Suwito 2007). Namun realisasi pencadangan lahan IUPHHK-HTR sampai dengan bulan Juli 2009 baru mencapai 310.542,73 hektar atau 5,75% dari target sampai dengan tahun 2010, sedangkan perizinan IUPHHK-HTR yang sudah dikeluarkan baru 8 izin pada 8 kabupaten/kota yang tersebar pada 5 Provinsi dengan luas total ijin 155.305,95 ha atau sekitar 4,9% dari total areal pencadangan IUPHHK-HTR (BPK 2009).

Rendahnya realisasi baik pencadangan maupun perizinan IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan mengindikasikan adanya permasalahan baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan pembangunan IUPHHK- HTR tersebut. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya: status kawasan dan masalah tenurial masyarakat, terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkan faktor-faktor produksi, terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar dan informasi, regulasi pemasaran hasil hutan yang terlalu ketat, kurangnya penghargaan terhadap jasa-jasa lingkungan, kurang memadainya institusi HTR (Noordwijk et al. 2007). Berbagai permasalahan di atas menyebabkan hasil program pembangunan HTR tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Secara umum Kartodiharjo (2006a) menyatakan bahwa keberhasilan

pengelolaan hutan di Indonesia ditentukan oleh dua hal yaitu kepastian hak

tenurial dan keputusan-keputusan kolektif (collective action) yang tinggi. Salah

satu faktor yang menentukan munculnya collective action yang positif dalam

masyarakat adalah tingkat modal sosial yang terdapat dalam masyarakat

(Hasbullah 2006). Perbedaan tingkat unsur modal sosial seperti kepercayaan

dan posisi dalam jaringan/organisasi akan menimbulkan tingkat collective action

yang berbeda (Fukuyama 2001). Hasbullah (2006) menyatakan bahwa

ketidakberhasilan pembangunan di Indonesia selama ini dikarenakan hilangnya

energi tidak tampak yaitu kebersamaan dalam mengatasi masalah yang

dibangun oleh modal sosial yang kuat.

(3)

Uraian diatas memberikan gambaran bahwa keberhasilan program pembangunan kehutanan juga ditentukan oleh faktor kultural masyarakat yang bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Pembangunan di Indonesia selama ini telah mengabaikan unsur modal sosial tersebut, bahkan telah terjadi penghancuran modal sosial akibat program-program pembangunan yang tidak tepat dan mengesampingkan aspek pembangunan kultural. Padahal modal sosial merupakan sine qua non

1

bagi pembangunan manusia, ekonomi, sosial, politik dan demokrasi (Hasbullah 2006).

Oleh karena itu, pembangunan HTR sebagai salah satu terobosan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada rakyat dalam mengelola hutan negara perlu memasukkan pertimbangan unsur modal sosial. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui tingkat modal sosial masyarakat yang akan ikut dalam pembangunan HTR. Hasil kajian tersebut dapat menjadi acuan bagi pemegang kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pembangunan HTR sesuai dengan tingkat modal sosial yang ada pada masyarakat. Keberadaan modal sosial yang kuat diharapkan akan menimbulkan collective action yang positif. Adanya collective action yang tinggi dari masyarakat akan memperbesar tingkat keberhasilan pembangunan HTR di wilayah tersebut.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK 357/Menhut- II/2009 tanggal 8 Juni 2009 di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) telah dicadangkan areal untuk pembangunan HTR seluas 8.000 ha pada Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sampai tahun 2010 izin IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan oleh Bupati OKI baru seluas 301,5 ha atau 3,8% dari luas areal pencadangan.

Kondisi areal pencadangan HTR tersebut merupakan kawasan yang sudah dijarah oleh masyarakat. Sampai dengan tahun 2010 telah terdapat 2.837 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami kawasan tersebut (Dishut OKI 2010).

Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai areal pencadangan HTR diharapkan mampu mengatasi permasalahan penjarahan di kawasan tersebut dan mengembalikan potensi serta fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya program HTR di kawasan tersebut belum memberikan hasil yang positif.

1   

Mengacu pada suatu tindakan yang sangat diperlukan dan penting, kondisi, atau

rumusan. Awalnya istilah hukum bahasa Latin untuk "[kondisi] yang tanpanya tidak

bisa," atau "tetapi untuk ..." atau “yang tanpanya tidak akan ada apa-apa."  

(4)

Kegagalan implementasi program pembangunan oleh pemerintah dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah paradigma perencanaan pembangunan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan. Padahal keberhasilan program pembangunan memerlukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan program pembangunan kurang mendapat respon masyarakat karena kurang sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.

Untuk menyukseskan pembangunan HTR ini, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur penunjang dari segi permodalan, teknis, dan pendampingan yang secara umum masuk dalam kategori modal ekonomi (economic capital) dan modal sumber daya manusia (human capital). Namun sekali lagi aspek kultural berupa modal sosial masyarakat setempat kurang mendapat perhatian. Padahal pengalaman pembangunan di berbagai negara telah memberikan gambaran yang jelas bahwa dengan economic capital dan human capital yang sama ternyata memberikan hasil pembangunan yang berbeda apabila diterapkan pada negara atau masyarakat yang berbeda, dan yang membedakannya adalah modal sosial (Hasbullah 2006).

Penelitian tentang program pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998). Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai pelaku utama.

Untuk menunjang keberhasilan pembangunan HTR diperlukan

pengetahuan yang jelas tentang karakteristik sosial budaya individu dan

masyarakat setempat, persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial

masyarakat setempat untuk menyusun rencana strategi pelaksanaan

pembangunan HTR. Diharapkan dengan strategi pelaksanaan HTR yang

mempertimbangkan karakteristik masyarakat, persepsi masyarakat dan juga

tingkatan modal sosial masyarakat akan dapat meningkatkan keberhasilan

program pembangunan HTR di Kabupaten OKI.

(5)

Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi dan budaya komunitas masyarakat dan individu di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

2. Seberapa besar tingkatan modal sosial masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program pembangunan HTR?

4. Apakah ada hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dan persepsi masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

5. Apakah strategi pembangunan HTR yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat lokal di area pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang;

2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang;

3. Mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang

persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial masyarakat sebagai informasi

penunjang dalam merumuskan strategi pelaksanaan pembangunan HTR di

lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang

Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan.

(6)

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang terletak di Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan merupakan kawasan hutan produksi yang telah dirambah seluruhnya oleh masyarakat. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengatasi perambahan tersebut dan yang terakhir adalah dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai lokasi pencadangan pembangunan HTR. Tujuan pembangunan HTR di lokasi tersebut adalah untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk menyukseskan program pembangunan HTR tersebut diperlukan adanya collective action yang tinggi dari masyarakat. Sedangkan untuk membangun collective action ini diperlukan tingkatan modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain itu, keberhasilan program pembangunan juga ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang karakteristik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, karakteristik individu dalam masyarakat dan unsur-unsur modal sosial yang ada dalam masyarakat.

Tingkatan modal sosial dalam masyarakat dapat ditentukan dengan melakukan penilaian terhadap unsur-unsur modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Setelah itu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dengan karakteristik individu yang ada dalam masyarakat. Karakteristik individu yang diduga berhubungan dengan modal sosial adalah umur, pendidikan formal dan non-formal, pendapatan, luas lahan garapan, kesehatan, lama tinggal dan status sosial. Karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, serta bentuk-bentuk dukungan baik dari pemerintah desa, tokoh masyarakat/adat dan LSM pada kegiatan pembangunan HTR dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif.

Selain modal sosial, tingkat partisipasi masyarakat juga ditentukan oleh persepsi masyarakat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa persepsi seseorang akan mempengaruhi perilaku dan partisipasinya. Jika persepsi seseorang terhadap program HTR positif maka ia akan bersedia berpartisipasi dalam program tersebut dan sebaliknya.

Berdasarkan karakteristik masyarakat, karakteristik individu, persepsi

masyarakat dan hasil analisis modal sosial kemudian dilakukan analisis strength,

weakness; opportunity and threat (SWOT) untuk mengetahui faktor-faktor internal

(7)

dan eksternal yang berpengaruh pada pembangunan HTR. Untuk menentukan strategi pilihan dalam pembangunan HTR digunakan metode Quantitave Strategic Planning Matrix (QSPM). Skema kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran

  SWOT dan QSPM Komunitas masyarakat

dengan karakteristik sosekbud

Kegiatan Pembangunan HTR

Karakteristik individu (X)

• Umur (X1)

• Pendidikan formal (X2)

• Pendidikan non-formal (X3)

• Pendapatan (X4)

• Kesehatan (X5)

• Luas lahan (X6)

• Lama tinggal (X7)

• Status sosial (X8)

• Asal suku bangsa (X9)

• Asal domisili (X10)

Tingkatan modal sosial:

• minimum,

• rendah,

• sedang,

• tinggi

Skenario prioritas

strategi dalam pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan

Sialang

Modal sosial masyarakat Unsur modal sosial (Y 1):

• Kepercayaan (Y 1.1)

• Norma (Y 1.2)

• Jaringan (Y 1.3)

• Tindakan Proaktif (Y 1. 4)

• Kepedulian (Y 1.5)

Rekomendasi strategi pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang

Kebijakan dan dukungan pembangunan HTR Persepsi Masyarakat terhadap

HTR

• Alokasi lahan (Y 2.1)

• Pola HTR (Y 2.2)

• Manfaat HTR (Y 2.3)

• Jenis tanaman (Y 2.4)

• Persyaratan Perijinan (Y 2.5)

• Proses perijinan (Y 2.6)

• Jangka waktu dan luas pengusahaan (Y 2.7)

• Pewarisan ijin (Y 2.8)

• Hak dan kewajiban (Y 2.9)

• Pasar (Y 2.10)

• Kelembagaan (Y 2.11)

• Sosialisasi (Y 2.12)

• Pendampingan dan

Penyuluhan (Y 2.13)

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan yang terjadi pada bahan perpustakaan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu menurut Martoatmodjo (2009, hlm. 2.3) : a) Faktor Biologi, Kerusakan

Secara parsial, variabel kualitas layanan yang terdiri dari: dimensi variabel bukti fisik (tangibles) dan empati (emphaty) berpengaruh secara signifikan dan

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR